That Day He Let Her In
Moon
Tanpa diberi kabar, aku tahu kamu akan menungguku di depan pagar rumahku. Pagi ini aku membuatkan tuna sandwich untukmu. Entah bagaimana tiba-tiba semua ini sudah menjadi ritual pagi hari aku dan kamu.
Aku pamit kepada kedua orang tuaku, tak sabar membuka pintu rumahku dan melihatmu berdiri di sana dengan senyum yang menjadi ciri khasmu, menyapaku bersama mentari pagi.
Hari ini berbeda, langit begitu gelap gulita, rintik hujan mulai turun membasahi aspal tempatmu biasa berdiri. Aku duduk di bangku teras rumahku, menunggumu, khawatir kamu bersikeras ke rumahku seperti biasa.
Hampir setengah jam aku menunggu, tak ada tanda-tanda kehadiranmu menjemputku. Tak lama salah satu sahabatku lewat di depan rumahku, menawarkanku untuk berangkat bersamanya dan ayahnya naik mobil. Awalnya aku menolak, tapi setelah diyakinkan bahwa kamu tak akan datang hari ini, akhirnya aku mengiyakan.
Di dalam mobil, sahabatku bertanya padaku bagaimana aku bisa jatuh hati pada laki-laki itu. Aku hanya bisa tersipu malu menggambarkan perasaanku dan kekagumanku akan sosokmu.
Kamu yang tak pernah absen untuk membantu sekitarmu yang sedang kesulitan. Kamu yang diam-diam memperhatikanku dan selalu menjagaku dari kejauhan. Kamu yang selalu terlihat dingin, namun hangat untukku. Kamu, dengan tekad bajamu yang meruntuhkan pertahananku.
Sesampainya di sekolah, aku langsung melangkah dengan cepat ke arah kelasmu. Beberapa sahabatmu menyapaku dan mengatakan kamu belum datang sama sekali ke sekolah hari ini. Aku menanyakan rumahmu kepada mereka, namun tidak ada satupun yang tahu. Itulah kamu, selalu memberi jarak bagi orang-orang terdekatmu untuk masuk ke dalam kehidupanmu.
Tak lama bel tanda masuk sekolah berbunyi, aku kembali ke kelasku tanpa mendapatkan informasi apa-apa tentang keberadaanmu. Aku mulai khawatir. Di dalam kelas aku hanya memikirkan tentangmu. Untuk pertama kali dalam hidupku, ada sosok lain dalam pikiranku selain keluargaku.
Sesekali aku melihat handphone ku berharap ada pesan darimu. Aku bersikeras tak mau menghubungi lebih dulu. Jujur saja, aku membenci gengsiku sendiri. Jemariku sudah gelisah ingin mengetik kata-kata kerinduanku padamu.
Ibu guru di depan kelas sudah membaca gerak-gerikku. Ia hampir memberikan pertanyaan untukku yang tak memperhatikannya. Untungnya aku terselamatkan oleh bunyi bel istirahat.
Temam-teman sekelasku langsung berhamburan keluar ruang kelas. Aku masih terpaku di bangkuku, melihat ke arah pintu, tempat dimana kamu biasanya mengintip ke dalam kelasku sambil tersipu-sipu.
Salah satu sahabatku menepuk lenganku membuyarkan lamunanku, ia bersikeras mengajakku ke kantin karena tahu aku belum sarapan. Aku membiarkan tuna sandwich mu di dalam tasku, tak ingin orang lain yang memakan sandwich yang kubuat sepenuh perasaanku untukmu.
Aku duduk di bangku panjang kantin dengan sahabat-sahabatku yang lainnya, merasa kesepian di tengah keramaian, aku bisa memahami apa yang biasa kamu lalui hari ini.
Aku membiarkan kuah bakso kesukaanku tetap bening, biasanya kamu yang pura-pura acuh dari kejauhan yang mengambil dan meletakan mangkuk sambal dengan botol kecapnya di depanku dan berlalu.
Salah satu sahabatmu menyadari keresahanku kehilangan dirimu hari ini. Ia menghampiriku membawakan mangkuk sambal dan botol kecap itu untukku, duduk di depanku, lalu tersenyum kepadaku. Ia menceritakan keadaanmu hari ini. Aku memintanya untuk menanyakan alamat rumahmu.
Ternyata jauh juga rumahmu, aku semakin tersentuh oleh keteguhanmu mengingat kamu yang selalu ada di depan rumahku pagi-pagi untuk menemaniku berangkat ke sekolah.
Aku memohon kepada sahabatmu untuk mengantarkanku ke rumahmu. Ia mengatakan beberapa sahabatmu yang lain juga ingin menjengukmu. Betapa beruntungnya kamu memiliki sahabat-sahabat seperti mereka.
Bel masuk sekolah berbunyi, aku pun mengembalikan mangkuk baksoku, membayarnya dan bergegas kembali ke kelasku, tak sabar menunggu jam pulang dan bertemu denganmu, Samudra.
***
Sun
Aku berusaha untuk bangkit dari kasurku, namun kepalaku terasa berat sekali. Badanku demam tinggi, ibuku terlihat khawatir melihat wajahku yang katanya pucat sekali.
Ia memanggil supir keluargaku memintanya menyiapkan mobil untuk membawaku ke rumah sakit, aku menolaknya, dan bersikeras bahwa aku masih kuat untuk berangkat ke sekolah.
Ibuku langsung menolak mentah-mentah dan memintaku untuk tetap berbaring di kasurku. Aku hanya bisa menurutinya. Aku mengambil handphone ku dari balik bantalku. Mati. 'Sial', umpatku dalam hati.
Aku meraih charger handphone ku dan langsung mengisi baterainya. Awalnya aku berniat untuk mengabarimu, kalau aku tak bisa menemanimu berangkat ke sekolah hari ini. Namun kenyataan menyadarkanku, aku belum jadi siapa-siapa dalam kehidupanmu. Aku mengurungkan niatku.
Aku berbaring dengan gelisah di kasurku, merindukan kamu dengan tingkah manis dan senyum malu-malumu itu yang tak pernah gagal membuat jantungku berdegup tak karuan.
Seharian aku membayangkan aktivitasmu hari ini di sekolah. Sedang apa kamu sekarang? Dengan siapa? Apakah kamu kehilangan diriku sebesar aku kehilangan kehadiranmu di orbitku?
Asisten rumah tanggaku membawakan makanan dan obat ke dalam kamarku, entah dirasuki apa aku hari ini, begitu manjanya aku hanya ingin makan hasil buatanmu. Namun ibuku memaksaku untuk makan dan meminum obatnya agar kesehatanku membaik.
Handphone ku bergetar, aku bergegas melihatnya berharap kamu mengkhawatirkanku. Ternyata salah satu sahabatku yang menanyakan kabarku. Aku menceritakan keadaanku bahwa aku tak bisa masuk sekolah hari ini, tak lupa berpesan untuk mengambilkan mangkuk sambal dan botol kecap untukmu. Aku tahu kamu pasti memesan bakso kesukaanmu.
Ia tiba-tiba menanyakan alamat rumahku, aku tak tega kalau sahabat-sahabatku harus jauh-jauh ke rumahku, tapi ia memaksaku. Aku pun memberikan alamat jelas rumahku, ia mengatakan akan datang menjengukku sepulang sekolah nanti bersama sahabat-sahabatku yang lain. Setidaknya aku merasa sedikit terhibur meskipun aku berharap ada kamu yang ikut ke rumahku.
Efek obat ini mulai menyerangku, aku tak bisa menahan rasa kantukku. Aku memejamkan mataku, menunggu sahabat-sahabatku datang mengunjungiku.
*duk duk duk*
Pintu kamarku diketuk, aku tak ingat sudah berapa lama aku tidur hari ini. Sahabatku mengintip dari balik pintu itu sambil tersenyum cengengesan. Aku melambaikan tanganku menyuruhnya untuk masuk.
Tiba-tiba sahabat-sahabatku berhamburan masuk ke dalam kamarku membawakanku buah, roti, susu, dan berbagai macam makanan yang biasa dibawa saat menjenguk orang sakit.
Mereka menyalamiku satu persatu. Ada yang berbeda dari senyum mereka. Sahabatku saling sikut sambil cengengesan melihat ke arahku, ada sesuatu yang mereka sembunyikan.
Tak lama pintu kamarku diketuk lagi. Aku melirik ke arah pintu, senyumku langsung mengembang lebar hampir menyentuh daun telingaku. Ia berdiri disana dengan sepiring tuna sandwich yang terlihat baru dihangatkan.
Ia berjalan menghampiriku, aku bisa merasakan wajahku yang menyala merah, sama seperti wajahnya, mungkin jika aku dan kamu berdiri di perempatan, semua mobil akan berhenti melihat begitu merahnya wajah kita.
Ia memberikan sandwich buatannya kepadaku, aku tak sabar untuk mencobanya. Ia tertawa kecil malu-malu seperti biasanya. Entah, mungkin ada yang lucu dengan caraku mengunyah.
Sahabat-sahabatku terus menggodaku sambil bercerita tentang sekolah hari ini. Wanita itu duduk di sebelahku, pelan-pelan tangannya mendekati tanganku dan mengenggamnya. Ada rasa hangat yang kurasakan saat jarinya menyusuri buku-buku dari jemari panjangku.
Ia dengan antusias mendengarkan sahabatku bercerita dengan serunya di depanku. Salah satu sahabat terdekatku mengatakan kalau ia alasan mengapa mereka rela jauh-jauh mengunjungiku.
Aku memintanya untuk mengambilkan iPod kesayanganku. Aku menawarkan sebelah earpod ku kepadanya sambil tersenyum ke arah wajah manisnya sambil bersyukur dalam hati, 'Thank god i found you, Sherandien.' Samar-samar terdengar suara Jason Mraz mengalun.
Well, you done done me and you bet I felt it
I tried to be chill, but you're so hot that I melted
I fell right through the cracks
Now I'm trying to get back
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top