9 | Bersama

"Galuh tidak sadar kalau sekarang tangannya digenggam erat oleh Agi"

~ - o - ~

Beberapa hari kemudian Galuh berada di kamarnya sambil menyelesaikan makalah yang dia buat untuk kuliah yang dia isi besok. Ada perasaan menyesal kenapa ia harus ke Malang. Semangat hidupnya yang selama ini dia peroleh perlahan-lahan mulai pudar lagi. Dia sudah lama melupakan tentang peristiwa yang terjadi sepuluh tahun lalu. Baginya persahabatan yang terjalin antara dia, Windi, Samudra dan Ratri merupakan persahabatan yang tidak biasa. Karena mereka sama-sama pemilik kekuatan ajaib. Lagipula Galuh masih belum bisa melupakan bagaimana ia dulu pernah menyukai Samudra. Ah, melihat Samudra sekarang ia merasa lebih baik. Windi benar-benar mendapatkan pria yang tepat. Lalu dia?

Wajahnya makin kusut. Ia mengikat rambutnya yang sudah mulai panjang. Terakhir kali ia mencukur rambutnya setahun yang lalu, mungkin dia harus mencoba untuk mencari salon muslimah yang ada di sekitar kampus. Mestinya ada, kalaupun tidak ada ia akan mencoba cari cara lain. Memiliki rambut panjang kemudian ditutup kerudung itu harus benar-benar dijaga kalau tidak maka akan lepek dan gerah. Kalau sudah berkeringat maka akan ketombe terlebih lagi baunya akan apek. Galuh sendiri merasa selama ini dia baik-baik saja merawat rambutnya. Seminggu dua kali keramas. Kalau tidak keluar ia tidak akan memakai kerudung agar rambutnya mendapatkan udara.

"Mbak Gal, makan nggak?" tanya Ririn dari luar kamar. "Udah siap lho masakan kami."

"Iya, sebentar!" jawab Galuh.

Galuh menutup layar laptopnya. Setelah itu ia beranjak dari tempat dia duduk. Dia keluar kamar lalu mendapati meja makan sudah ada dua orang di sana. Ada Ririn dan Yuyun. Sepertinya keduanya memasak hari ini. Tempat kos ini memang menyenangkan bagi Galuh karena para penghuninya mendapatkan giliran memasak. Kali ini kebetulan giliran Ririn, sedangkan Yuyun mencoba ikut membantu. Ia sangat tertarik mempelajari kuliner Indonesia. Maklum ia jarang sekali melihat kuliner Indonesia apalagi merasakannya. Tinggal di Jepang sejak kecil membuat dia tidak banyak mengenal tanah kelahiran orangtuanya.

"Wuih, masak apa nih?" tanya Galuh sambil melirik meja makan.

"Oh, ini ada sup ayam, cah kangkung, sambel terasi, trus juga ada tempe goreng, tahu goreng ama kerupuk. Yu-chan mencoba membantuku tadi. Ternyata ia sangat tertarik untuk mempelajari kuliner Indonesia. Sampai-sampai hampir semua proses memasak ia yang melakukannya," ujar Ririn.

"Oh ya? Wah, kalau begitu harus diajarin yang lain juga dong. Nggak cuma makanan ini aja," kata Galuh menyemangati adiknya Agi tersebut.

"Aku sangat senang sekali bisa belajar dari mbak Ririn. Ternyata dia pintar memasak yah," ucap Yuyun.

"Kamu itu merendah, tadikan yang memasak kamu semua," ujar Ririn.

Yuyun nyengir. "Tapi kan semuanya Mbak Ririn yang memandu. Aku jadi belajar banyak. Hontouni arigato!" Yuyun membungkuk kepada Ririn.

Ponsel Galuh bergetar. Ada orang yang menelponnya. Jarang sekali dia mendapat telpon kalau tidak terlalu penting. Hanya saja kali ini yang membuat dia tertarik siapa lagi kalau bukan Agi yang menelpon. Nama Abisoka terpampang jelas di sana. Ternyata pemuda itu sudah mulai berani menelponnya. Galuh takut untuk menerima, ia menatap layar ponselnya untuk waktu yang lama.

"Dari siapa mbak?" tanya Ririn.

Galuh tersentak. Ia seperti orang yang baru saja sadar dari melamun, "Oh. Tidak, bukan siapa-siapa. Sebentar yah!?" Segera Galuh melangkah pergi dari meja makan. Ririn dan Yuyun saling berpandangan.

Gadis itu sengaja menyembunyikan kalau Agi yang menelpon. Menurutnya kalau sampai ia bercerita tentang Agi akan menimbulkan salah pengertian. Terlebih lagi Yuyun tahu kalau kakaknya menaruh hati kepadanya. Bisa jadi sesuatu buruk yang tidak diharapkan. Tetapi kenapa? Tidak masalah bukan kalau toh mereka tahu? Hanya saja hal ini membuat Galuh tidak nyaman. Setelah memutuskan untuk menelpon di dalam kamarnya, akhirnya Galuh menerima telepon itu.

"Halo?!" sapa Galuh.

"Halo. Maaf, kalau aku menelpon," ucap Agi.

"Ada perlu apa? Kalau tak penting aku akan tutup," kata Galuh dengan nada sewot.

"Kau tidak keberatan mendapatkan voucher buku gratis?" tanya Agi menawarinya sesuatu.

Godaan, pikir Galuh. Dia akan selalu lemah kalau ditawari buku, apalagi gratis. Apakah Agi berusaha mendekatinya dengan cara ini? Baiklah. Dia berhasil.

"Tentu saja aku mau. Kau punya voucher buku gratis?" Galuh penasaran.

"Ada. Kalau kau mau kita bisa beli buku bersama," ucap Agi.

"Besok?" tanya Galuh.

"Sekarang. Vouchernya hanya khusus untuk hari ini. Sore ini bagaimana?"

Galuh merasa kecewa, tetapi sepertinya ia harus lebih banyak berbuat baik kepada Agi karena dia pada dasarnya pemuda baik-baik. Lagipula memang selama ini Galuh merasa dia tidak pernah terbuka kepada siapapun. Dari Yuyun dia bisa mengetahui banyak hal, hanya saja informasinya tak begitu membantu, karena gadis itu tak begitu mengetahui sifat kakaknya seperti apa. Hanya satu informasi yang solid dari Yuyun yang bisa diterima. Agi pernah mengalami trauma dan itu berat baginya.

Kekuatan pesona yang ada pada diri Galuh tidak akan berpengaruh kepada mereka yang memiliki kekuatan hati. Sebagaimana yang telah ia coba kepada Agi dan juga Samudra, mereka tidak terpengaruh dengan kekuatannya. Samudra tidak terpengaruh karena kekuatan hatinya kepada Windi sangatlah kuat. Lalu apa kekuatan hati yang dimiliki Agi sedangkan dia tak punya siapa-siapa di negeri ini? Apakah keluarganya? Bisa jadi.

"Baiklah. Aku mau," ucap Galuh. Dia tak sanggup menerima godaan ini.

Setelah Agi mengatakan akan menjemputnya, dia lalu menutup teleponnya. Wajah Galuh tampak berseri-seri setelah keluar dari kamar. Melihat wajah perempuan itu berseri-seri Yuyun dan Ririn kembali berpandangan. Keduanya lalu mengamati Galuh lekat-lekat.

"Apa?" tanya Galuh yang merasa risih diperhatikan seperti itu.

"Cieee, siapa tuh yang barusan menelpon?" goda Ririn.

"Sepertinya Mbak Galuh ceria sekali," ucap Yuyun.

Ririn melipat tangannya sambil memeriksa wajah sepupunya. "Iya nih, sepertinya habis ini bakalan ada yang jadian."

"Siapa pula yang jadian? Nggak. Bukan koq," sanggah Galuh.

"Memangnya siapa sih, Mbak? Koq pake sembunyi-sembunyi segala?" tanya Yuyun yang merasa ingin tahu.

"Dari temen," jawab Galuh.

"Mas Agi yah?" tebak Yuyun frontal.

"Bukan, teman dosen," jawab Galuh berbohong.

"Mbak Galuh bohong ya?" goda Yuyun lagi.

"Yu-chan, jangan digoda gitu. Ntar nafsu makannya hilang!" ujar Ririn sambil terkekeh.

"Sok tahu ah kalian ini," ucap Galuh sambil menggeleng.

"Soalnya Mas Agi barusan bilang bakalan ngajak Mbak beli buku," ucap Yuyun, setelah itu disambut ledakan tawa Ririn. Wajah Galuh makin merah. Ia menundukkan wajahnya, dia menyibukkan diri mengambil makanan ke atas piringnya.

"Cieehh, diajak kencan. Cieeh," goda Ririn.

"Bukan kencan koq. Seenaknya aja bilang kencan," bantah Galuh.

"Yah, awalnya sih beli buku bareng, lama-lama jadi kegiatan rutin beli buku bareng," lanjut Ririn.

"Ah, terserah kalian!" ucap Galuh yang langsung menyendokkan nasi ke mulutnya dengan kesal.

* * *

Sore itu Agi sudah berada di depan pagar. Galuh sendiri sebenarnya menghabiskan waktu hampir setengah jam untuk memilih baju. Entah kenapa padahal hanya pergi biasa tapi dia sendiri bingung memilih baju. Ririn sampai geli melihat apa yang dilakukan Galuh. Berkali-kali perempuan itu bertanya, "Ini cocok nggak?" dan berkali-kali pula Ririn menjawab "Cocok". Namun, agaknya sama sekali pendapat dari sepupunya itu dianggap benar.

"Mbak Gal ini mau kencan aja bingung milih baju. Udah yang ungu tadi aja udah bagus," ucap Ririn.

"Ih, siapa pula yang kencan. Aku cuma jalan biasa koq, mau beli buku," ucap Galuh sambil cemberut.

Ririn kemudian menghampirinya lalu mencubit kedua pipinya sampai-sampai membuat Galuh seperti pinguin. "Mbak Gaaaal, mbak itu udah cantik. Pakai baju apa saja cocok, percaya deh. Mbak selama ini soalnya nggak pernah melihat diri mbak sebagai seorang yang menarik. Makanya mbak serasa nggak cocok memakai apapun."

Ucapan Ririn membuat Galuh tersentak. Dia mengakui kalau selama ini memang dia tak begitu memperhatikan dirinya sendiri. Terlebih untuk urusan dandan. Dia tak pernah memperhatikannya, dandan yang dia lakuka ya sekedar dandan saja. Bedak tipis, lipstik seadanya, parfum seperlunya, begitu sederhana. Tetapi meskipun begitu, menurut Ririn, sepupunya ini cantiknya natural. Yuyun tersenyum melihat Galuh, hal itu membuat Galuh makin salah tingkah.

"Kenapa? Ada apa? Ada yang aneh dengan diriku?" tanya Galuh sambil menatap Yuyun.

Yuyun manggut-manggut. "Mbak Gal ini sebenarnya cantik. Kawai."

Galuh tak tahu harus berkata apa kalau dua orang penghuni kos ini sudah memujinya seperti itu. Entah harus malu entah juga harus bangga. Akhirnya hari itu ia memakai kerudung warna pastel dengan kemeja berwarna putih serta memakai baju kodok. Baju kodok yang dia pakai berupa rok berwarna biru dongker dengan tali di pundaknya. Sederhana dan ia memang tak suka menjadi pusat perhatian. Begitu Galuh keluar dari rumah Agi yang sudah menunggu lama di luar terkejut melihat Galuh yang sudah siap. Tampilan Galuh sedikit berbeda itu membuat Agi cukup terpesona.

"Maaf nunggu lama," ucap Galuh.

"Ah, nggak juga koq. Kalau cuma menunggu seperti ini sih nggak masalah," ujar Agi dengan santai.

"Kita memangnya beli buku kemana?" tanya Galuh.

"Ke Gramedia," jawab Agi. "Nggak keberatan kan aku bonceng?"

Galuh sedikit mengernyit. Dia sebenarnya merasa keberatan. Tetapi demi menjaga perasaan Agi dia pun mengangguk.

"Aku bisa pesan mobil taksi online kalau kamu keberatan," kata Agi.

Galuh menggeleng. "Tak apa, jangan hiraukan aku. Setidaknya kamu sudah menunjukkan berbuat baik. Itu sudah cukup untukku."

Mereka berdua pun akhirnya naik skuter metik milik Agi. Galuh duduk menyamping di jok belakang. Pemuda itu mengendarai sepeda motornya dengan perlahan. Mungkin kecepatannya di angka 40 km/jam. Bukan berarti ia menikmati, tetapi sangat berhati-hati agar tidak terjatuh atau mungkin selip. Kota Malang memang makin ramai, karena tiap tahun pasti dibuka lahan baru untuk perumahan. Para pendatang berdatangan dari luar kota maupun dari luar pulau. Tak sedikit dari mereka kemudian menetap. Mobilisasi juga cukup tinggi, maka dari itu kota yang dulunya nyaman untuk dibuat jalan-jalan mulai berubah menjadi penuh sesak, lambat dan polusi karena kemacetan.

Tak ada yang bisa disalahkan karena memang Malang dengan berbagai pesonanya telah membuat banyak orang berduyun-duyun untuk bisa menetap di kota ini. Kota ini dekat dengan pegunungan, jadi ketika musim kemarau tidak terlalu panas, sedangkan ketika musim penghujan air benar-benar melimpah. Bahkan, beberapa tempat juga sampai terjadi banjir apabila air hujannya cukup deras dan dalam durasi yang lama.

Sampai sekarang kota ini terus berbenah, mulai dengan banyaknya kawasan hijau yang dibangun, mulai dilindunginya tempat-tempat historis oleh pemerintah setempat. Galuh bisa melihat hasilnya di setiap ia melewati beberapa taman kota dan juga beberapa cagar budaya yang masih terjaga. Tak berapa lama kemudian mereka sudah sampai di toko buku. Setelah turun dan memarkir sepeda motornya di tempat parkir keduanya segera masuk ke dalam toko buku.

"Ini beneran dapet voucher beli buku gratis di sini?" tanya Galuh untuk meyakinkan dirinya. "Atau jangan-jangan kamu cuma ingin ngajak aku jalan saja."

Agi mengangguk. "Aku memang ingin ngajak kamu jalan."

Galuh cemberut. "Jadi?"

"Selain itu juga, aku tak bohong koq," ucap Agi sambil menunjukkan beberapa lembar voucher beli buku gratis di tangannya. Dia menyerahkan semuanya kepada Galuh. "Tenang aja ini valid koq. Aku bisa jamin. Voucher ini diberikan ama salah seorang yang pernah aku antarkan pake layanan Ojol. Kebetulan ia sangat berterima kasih kepadaku dan memberikanku voucher ini sebagai tip. Dia bilang akan sangat bermanfaat bagi seorang mahasiswa seperti aku daripada tip uang."

Galuh tersenyum. "Baiklah, terima kasih." Gadis itu buru-buru masuk ke toko sambil membawa voucher pemberian Agi. Dia segera datang ke kasir untuk menanyakan apakah voucher itu valid. Ternyata ia masih tak percaya dengan Agi. Setelah kasir mengatakan voucher itu valid, segeralah akhirnya Galuh berbelanja. Matanya sangat berbinar-binar melihat rak-rak buku. Dia memang maniak buku.

Bagaikan seorang putri dan pengawalnya, Agi hanya berjalan mendampingi Galuh. Beberapa kali Galuh menunjuk ke buku-buku dari tokoh-tokoh tertentu. Mereka masih berputar-putar kepada rak buku-buku histori dan juga psikologi.

"Kenapa cari-cari buku psikologi?" tanya Agi penasaran.

"Ada sesuatu yang ingin aku pelajari. Itu aja sih," jawab Galuh.

"Oh, tumben. Semoga kamu bisa mendapatkan sesuatu dari situ," ujar Agi.

"Jangan meragukanku. Aku cepat dalam belajar," kata Galuh. "Ada seseorang yang mengajariku untuk bisa cepat belajar dan hal itu aku terapkan. Sangat bermanfaat sekali."

"Hmm.... biar kutebak. Dokter Windi?"

Galuh memutar bola matanya. "Kau membaca pikiranku lagi?"

Agi menggeleng. "Di sini terlalu bising. Terkadang kalau aku berada di keramaian seperti ini rasanya seperti semua orang berbicara dalam waktu yang bersamaan. Ibaratnya aku hanya bisa menggunakan telingaku dan menutup radar otakku dari mendengarkan pikiran orang lain."

Galuh mengernyit. "Kau bisa melakukan itu?"

"Tentu saja," jawab Agi. "Aku sudah bisa melakukan ini semenjak aku kecil. Latihan pertamaku menggunakan kekuatan psikokinesis yaitu dengan mengangkat benda-benda seperti mainanku dengan pikiran. Awalnya aku tak tahu kalau aku bisa menggerakkan benda-benda itu sampai aku kemudian mengetahui ada yang spesial dari diriku."

"Darimana kau mendapatkan kekuatanmu? Kesadaran Bumi apa yang memberikannya?" tanya Galuh penasaran.

Agi sama sekali tak tertarik dengan buku-buku yang ada di rak. Dia lebih tertarik untuk menceritakan sesuatu kepada Galuh. "Semuanya berawal dari kecelakaan pesawat. Ketika aku melayang-layang di udara bersama para korban sesuatu menangkapku. Bentuknya seperti naga bersayap lebar. Aku tak ada seujung kukunya. Dia kemudian memberikanku kekuatan ini. Awalnya aku kira itu hanya mimpi sampai aku bisa menggerakkan sesuatu dengan pikiranku, bahkan aku juga bisa membaca pikiran orang lain."

"Meskipun orang itu berada di dalam ruangan lain? Tertutup misalnya temboknya besi atau yang lain?"

Agi mengangguk. "Aku bisa mendengarnya. Kekuatan ini tidak seperti kekuatan Profesor X dalam komik X-men. Dimana Magneto memakai helm dari besi agar bisa melindungi pikirannya dari Profesor X. Kekuatanku lebih dari itu. Aku menangkap semua frekuensi dari pikiran manusia, dari sanalah aku bisa mengetahui apa yang dia pikirkan, apa yang dia sembunyikan bahkan aku bisa mengakses bagian memori terdalam di dalam otak mereka. Semuanya terjadi begitu saja. Kemudian aku menyadari kalau kekuatanku ini makin lama makin berkembang dan makin kuat. Terkadang aku sendiri sampai takut dengan kekuatanku."

"Selama ini tak ada yang membimbingmu?" tanya Galuh.

"Tidak ada. Semuanya kulakukan sendiri. Bahkan ayah kandungku saja tidak pernah mengajariku. Aku malah terlalu takut kepadanya," jawab Agi. Dia sedikit menerawang saat menceritakan tentang ayahnya.

"Kau tak pergi ke psikolog untuk mengobati traumamu?" tanya Galuh.

Agi mengangguk. "Dulu aku punya psikiater pribadi, namanya Dr. Mariana Silalahi. Hanya saja beliau meninggal sebelum aku pindah ke Malang. Hampir tiap minggu aku datang dan menceritakan apa yang aku alami. Beliau punya cara untuk membuat traumaku sedikit terobati dengan cara menceritakan pengalamanku setiap hari serta membantuku untuk melihat dunia dari sisi yang berbeda."

"Hasilnya?" tanya Galuh penasaran.

"Lumayan. Aku bisa mengatasi traumaku, tetapi... itu tidak lama. Setiap aku bertemu dengan ayahku lagi, pasti terjadi lagi hal itu. Rasa takut yang amat besar, membuatku merasa dingin membeku. Kau tau ketika berada di tengah padang es? Seperti itulah rasanya. Membeku hingga sulit untuk bernapas," jelas Agi.

Galuh pernah membaca artikel-artikel tetang orang-orang yang memiliki masalah dengan mentalnya, salah satunya rasa takut yang membuat badannya serasa menggigil. Selama ini Galuh hanya takut kepada satu hal yaitu kekuatan yang ada pada dirinya. Dia pun penasaran apakah Agi juga takut kepada kekuatannya?

"Kau takut dengan kekuatanmu?" tanya Galuh.

Agi menggeleng. "Tidak. Aku tak pernah takut, bahkan aku menganggap kekuatan ini sangat membantuku dalam berbagai hal. Di saat-saat aku sedang susah, aku bisa terbantu karenanya. Juga, aku bisa menolong orang."

"Iya, aku sudah lihat bagaimana kau menolong orang. Pernah kau menolong orang selain aku?"

Agi mengangguk. "Sering."

Galuh mengangkat alisnya. "Kau luar biasa. Bisa menolong orang dengan kekuatanmu. Mirip seperti temanku. Dia sering juga menolong orang dengan kekuatannya."

"Siapa?"

"Teman sekolahku dulu. Namanya Teuku Samudra. Dia sekarang jadi prajurit TNI," ujar Galuh.

"Oh. Kau suka kepadanya?"

Galuh tertawa, "Tidak. Dia sudah punya kekasih. Lagipula mereka saling mencintai. Keduanya juga merupakan sahabatku."

"Maksudku, kau pernah suka kepadanya?"

Galuh menipiskan bibirnya. Dia mengangguk.

"Aku jadi penasaran. Seperti apa orangnya," gumam Agi.

"Kau akan bertemu dengannya suatu saat nanti. Dia orangnya bersahabat koq. Bayangkan saja, selama hidupnya ia hanya ingin mencari orang yang telah menolong dia sewaktu bencana tsunami di Aceh," kata Galuh. "Dia akhirnya bertemu di sekolah kami. Ternyata gadis yang telah menolongnya itu sahabatku."

"Ah, itu. Dr. Windi itu sahabatmu bukan?"

"Kamu tahu?"

Agi mengangguk. "Aku bisa membaca pikiran kalian saat di taman. Bahkan apa yang ada di pikiran Dr. Windi juga aku bisa membacanya. Itulah bahayanya kalau pikiran kalian dibiarkan terbuka. Seseorang yang memiliki pikiran terbuka akan mudah dibaca."

"Kau sudah mahir ternyata menggunakan kekuatanmu," ucap Galuh. "Aku jadi ingin menutupi pikiranku agar tak bisa dibaca olehmu."

"Hahahaha, aku bisa mengajarimu. Sebenarnya, awal mula aku menggunakannya. Kau tahu kemampuan Superman yang bisa mendengarkan semua suara? Nah, itu terjadi kepadaku juga. Aku bisa mendengarkan semua suara pikiran manusia yang berada radius tertentu. Bukan hanya itu saja, termasuk hewan pun bisa aku dengarkan. Awal mulanya aku merasa pusing sekali, hingga akhirnya aku mencoba untuk berkonsentrasi kepada objek tertentu saja. Misalnya saja kepada lawan bicaraku. Dengan begitu aku tidak mengalami yang kusebut sebagai overload," jelas Agi.

"Kau bisa mengajariku?"

Agi mengangguk. "Tentu. Caranya cukup mudah. Kau latihlah dirimu untuk mengatur memori yang ada di otakmu. Misalnya saja, kau punya berbagai macam kotak di otakmu. Kotak-kotak tersebut bersisi berbagai kenangan-kenangan yang tak ingin kamu buang. Kenangan-kenangan itu kau tata sedemikian rupa lalu kau kunci, sedangkan kenangan-kenangan yang kau anggap tak perlu biarkanlah berceceran atau kau buang kalau tidak dibutuhkan. Sebenarnya juga, manusia tak bisa memusnahkan memori kepada sesuatu yang sudah mereka alami. Mereka hanya menempatkannya kepada kotak khusus yang kemudian kotak tersebut disimpan rapat-rapat. Cara untuk menghapus memori sebenarnya cukup mudah, yaitu kau ganggu saja kerja sel otak pada bagian lobus frontalis, tepatnya bagian prefrontal. Bagian ini ada pada Cerebrum atau kita mengenalnya otak besar. Sebagian besar orang yang mengalami gangguan pada bagian ini tidak mengingat apa yang terjadi. Kita menyebutnya sebagai amnesia. Makanya orang-orang yang menderita amnesia biasanya baru saja mendapatkan benturan yang keras sehingga menyebabkan sel-sel yang berada pada bagian cerebrum terganggu. Seperti kumpulan bola bilyard yang ditumbuk dengan bola putih, berhamburan kemana-mana. Butuh waktu memang agar sel-sel itu kembali ditarik ke tempatnya semula. Makanya itu sebagian orang yang menderita amnesia bisa sembuh lantaran sel-selnya kembali menyembuhkan diri, sebagian tidak karena bagian sel tersebut sudah rusak."

"Kau tahu banyak ternyata," puji Galuh.

Agi mengetuk kepalanya. "Aku sering membaca. Tak ada yang perlu dipuji."

Galuh suka sikap Agi yang merendah. Sebenarnya cowok ini pintar. Dari caranya bicara serta pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya Galuh yakin kalau Agi ini merupakan orang yang enak untuk diajak diskusi.

Agi menoleh kiri dan kanan. Dia mengernyit. "Apa yang terjadi?"

"Hah? Apa?" tanya Galuh terkejap.

"Kemana orang-orang?" tanya Agi saat melihat sudah tak ada lagi orang-orang di dalam toko buku tersebut.

Galuh juga keheranan karena tadi perasaan toko buku itu ramai, tetapi sekarang tiba-tiba tak ada manusia satupun. Agi merasa ada yang aneh. Segera dia menarik tangan Galuh untuk keluar dari toko buku tersebut, sebab ia merasa ada yang aneh dengan ini semua. Begitu ia hendak keluar muncul beberapa orang berseragam hitam menodongkan senapannya ke arah mereka. Dilihat dari seragam mereka tampaknya orang-orang itu anggota dari pasukan khusus. Tak terlihat wajah mereka karena ditutupi dengan kain hitam yang hanya ditampakkan matanya saja.

Segera saja Agi waspada. Dia menempatkan Galuh ke belakang seolah-olah hendak melindungi wanita itu. Tentu saja Galuh berdebar-debar karena secara tiba-tiba dia berada di dalam situasi yang mengejutkan seperti ini. Agi bingung kenapa tadi dia tidak merasakan apapun hingga tiba-tiba semua pengunjung toko buku ini sudah tidak ada hingga menyisakan beberapa orang berseragam gelap ini.

"Siapa kalian?" tanya Agi.

Dari arah lain muncul seseorang berseragam TNI. Galuh terkejut melihat orang itu. "Samudra?!"

Agi menoleh ke arah orang yang baru datang itu. Secara bergantian dia melihat Galuh dan lelaki yang baru saja datang. "Dia Teuku Samudra yang kau ceritakan barusan?"

Galuh mengangguk. "Iya. Itu dia."

"Galuh? Sedang apa kau di sini?" tanya Samudra kebingungan.

"Kau sendiri sedang apa?" tanya Galuh.

"Ini ada urusannya dengan keamanan negara," jawab Samudra. "Dia temanmu?"

Galuh mengangguk. "Iya."

Samudra menatap ke wajah Galuh yang ketakutan. Sebaliknya dia bergantian menatap ke wajah Agi yang tampaknya siaga seakan-akan dia ancaman bagi dirinya dan Galuh. Mungkin Galuh tidak sadar kalau sekarang tangannya digenggam erat oleh Agi. Melihat itu Samudra memberi isyarat agar anggota pasukan yang ada di ruangan itu menurunkan senjatanya.

"Tapi ndan, tugas kita menangkapnya," ucap salah satu prajurit.

"Kau mau melanggar perintah?"

"Siap tidak!" ucap para prajurit.

"Kalau begitu, aku yang akan mengambil alih dari sini. Kalian pergi dan berjaga di luar. Dia temanku," ucap Samudra.

Segera saja beberapa orang bersenjata tadi pun pergi. Dalam beberapa detik ruangan itu pun hening. Hanya mereka bertiga saja yang membisu di antara tumpukan buku-buku.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi?" tanya Galuh.

"Abisoka, katakan kalau kau bisa berkomunikasi dengan makhluk asing itu. Sebab kalau iya, maka aku akan memastikan kalau kau harus ikut bersamaku saat ini juga," ucap Samudra.

Agi menoleh ke arah Galuh. Masih ada rasa khawatir di pancaran mata Galuh. Perempuan itu mulai merasakan sesuatu yang tidak bisa dia ungkapkan. Sesuatu yang sangat mengusik hatinya. Entah kenapa seakan-akan sekarang ada kupu-kupu mengepakkan sayap di perutnya. Ada perasaan aneh yang menghampirinya ketika dengan sigap Agi melindunginya. Kini sudah tiga kali perempuan itu dilindungi pemuda ini.

"Kau tenanglah, tak apa-apa. Aku akan baik-baik saja," ucap Agi.

Galuh mencoba untuk tenang. "Samudra orang baik. Dia tak akan melakukan apa-apa."

"Aku tahu. Aku sudah membaca pikirannya. Ia hanya melaksanakan tugas," ujar Agi. Agi menoleh ke arah Samudra. "Iya, kau benar. Aku bisa berkomunikasi dengan makhluk itu."

Samudra mengangguk. "Baiklah kalau begitu. Kau bisa ikut denganku? Saat ini bumi sedang dalam ancaman. Khususnya negeri ini. Aku tak tahu apa yang diinginkan alien itu, juga bagaimana mereka bisa ke bumi."

"Bukankah Johan sudah pernah mengatakannya? Kau masih ingat apa yang dikatakan Johan bertahun-tahun yang lalu?" tukas Galuh membuka kembali ingatan Samudra tentang pertemuannya dengan Johan sebelum ia pergi ke Akademi Militer.

Benar sekali Samudra pernah bertemu dengan Johan membicarakan sesuatu ancaman dari luar angkasa. Hanya saja dia tak tahu kalau ancamannya sekarang. Di luar itu, ternyata tak ada satupun yang bisa berkomunikasi dengan makhluk itu selain cowok yang ada di hadapannya ini.

"Aku ingat. Maka dari itu, kita butuh dia sekarang," ucap Samudra.

"Tetapi kenapa sampai membawa pasukan? Apa kau tahu tentang Agi?" tanya Galuh.

"Iya, aku tahu. Aku sudah melihat profilenya," jawab Samudra. "Agi Syahputra, nama yang diberikan ibunya setelah bercerai dengan ayahnya, hanya saja dia harus menyematkan nama Abisoka sampai dia lulus kuliah yang mana ini merupakan keputusan pengadilan. Dia harus berada di Indonesia sampai lulus kuliah baru dia boleh memutuskan apa yang dikehendakinya. Abisoka berdarah A, punya darah Jepang, menempuh pendidikan Fisika, mulai bisa menggunakan kekuatannya sejak masih kecil. Diperkirakan setelah peristiwa kecelakaan pesawat yang terjadi beberapa waktu yang lalu. Secara tidak langsung kau mirip denganku."

"Kau juga bertemu dengan Kesadaran Bumi?" tanya Agi.

"Anemoi. Dia menyebut dirinya itu. Dengan siapa kau bertemu?" tanya Samudra.

"Ultima," jawab Agi.

Samudra menghela napas. Dia tersenyum. Ada perasaan lega yang menghampirinya. "Syukurlah. Aku kira kau diberi kekuatan oleh yang lain."

"Apa? Apa maksudmu diberi kekuatan oleh yang lain?" tanya Agi.

"Aku tak bisa mengatakannya meskipun kau bisa membaca pikiranku, tak akan kubiarkan kau membukanya," jawab Samudra. "Iya, aku telah dilatih untuk tidak bisa membuka pikiranku kepadamu. Selain tentunya hal-hal yang penting."

Agi menelan ludah.

"Apa aku mendapatkan jaminan kalau aku ikut bersamamu?" tanya Agi.

"Kau bisa percaya kepadaku, sebagaimana kau percaya kepada Galuh," jawab Samudra. "Kami  teman. Temannya Galuh juga temanku."

Samudra mendengar sesuatu di alat komunikasinya. Dia menekan earphone yang menempel di telinganya sambil menatap ke arah dua orang yang ada di hadapannya. Tatapannya berubah. Ia sepertinya tidak suka.

Agi menelan ludah. Ia mendengar suara yang muncul di earphone tersebut. Dia menoleh ke arah Galuh sambil tersenyum. "Sepertinya kita akan ditakdirkan untuk bersama."

Galuh menyatukan alisnya untuk bisa memahami perkataan itu. Hingga kemudian Samudra sendiri yang mengatakan, "Galuh, kau juga ikut."

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top