4 | Bitter Sweet
Mendadak dan tak bisa bicara banyak. Mirip dengan seseorang yang ikut quiz dadakan pada sebuah mata perkuliahan terlebih lagi apabila mahasiswa tersebut tidak siap. Hanya saja ujian yang diterima Windi kali ini lumayan berat. Berada di dekat orang yang sudah lama dia rindukan tentunya merupakan momen yang bisa membuatnya bahagia, namun bersamaan dengan itu saking bahagianya ia tak tahu harus berkata apa. Hatinya bercampur aduk, otaknya tak bisa berpikir jernih. Baru kali ini setelah sepuluh tahun lamanya mereka bisa bertatapan langsung.
"Gue nggak bisa ngomong apa-apa," ucap Windi tiba-tiba. Keduanya berada di sebuah bangku yang berada di Alun-Alun Kota Malang. Hari itu malam sudah turun, setelah salat maghrib di Masjid Jami' yang tepat berada di depan Alun-Alun, mereka pun berbicara berdua di bangku itu.
Samudra mencoba menarik napas. Dia memenuhi paru-parunya dengan oksigen gratis yang disediakan alam. Dia menoleh ke arah Windi yang sejak dari tadi pandangannya kosong ke depan. Pemuda itu mengelus-elus kepala Windi, gadis itu menunduk seperti anak kucing. Ia selalu lemah kalau diperlakukan seperti itu oleh Samudra.
"Aku benci kamu melakukan itu," gerutu Windi.
"Kenapa?" tanya Samudra. "Aku suka melakukannya."
"Ih, dibilang benci koq," ucap Windi. Tetapi ia membiarkan Samudra melakukannya.
Samudra menghentikannya. Ia lalu menyandarkan kedua sikunya ke kedua pahanya. Windi menoleh ke arah Samudra yang kini menatap kosong ke depan. Wajah Samudra sedikit berubah, ada jenggot dan jambang tipis. Meskipun telah dicukur tetapi masih terlihat. Hal itu makin membuat perasaan Windi teraduk-aduk, ia tak percaya kalau cowok yang dulu disukainya kini makin hot. Badan kekar, atletis dengan dada bidang serta perut rata, lengan berotot dan wajahnya itu menggemaskan. Ia bersyukur sekaligus khawatir kalau Samudra ada yang melirik atau malah main di belakangnya.
"Lo koq bisa tahu sih gue ada di restoran itu tadi?" tanya Windi yang penasaran.
"Menemukanmu itu gampang. Meskipun kau bersembunyi di kedalaman bumi, gue pasti bisa menemukannya," jawab Samudra.
Windi mengamati Samudra yang berbicara serius. Selama beberapa detik Windi mencoba mencerna perkataan Samudra. Ia pun menyerah, "Baiklah, gue percaya."
"Kau makin cantik," puji Samudra.
Windi tersentak kaget. Dia kali ini mendengar pujian Samudra secara langsung. "Oh, makasih."
"Terima kasih karena masih percaya kepadaku. Rasanya aku tak punya kesempatan untuk bisa selalu dekat denganmu. Untung saja aku mendapatkan kesempatan walau cuma sebentar," ujar Samudra.
"Sebentar? Lo mau pergi lagi?" tanya Windi sambil mengernyit.
Samudra mengangguk. "Bagi kami, hanya semenit atau satu jam bertemu dengan orang terkasih itu sudah cukup, meskipun bagi orang terkasih waktu itu tak cukup."
"Jangan, Lo jangan pergi!" pinta Windi sambil menggenggam lengan Samudra. Dia menyandarkan keningnya ke bahu Samudra. Tercium bau maskulin pemuda itu. "Gue sungguh melarang Elo pergi."
"Aku masih di sini sampai urusan alien ini selesai," ujar Samudra.
Windi mendongak, "Alien. Jadi pesawat-pesawat itu? Salah satunya Elo?"
"Iya, aku yang menumbangkannya. Makhluk itu datang dari langit, lalu menyerang kami. Satu rekan kami tewas, padahal ia termasuk pilot terbaik," terang Samudra.
"Makhluk itu sekarang dimana?"
"Ada di sini koq. Tapi kami merahasiakan tempatnya. Aku ditugaskan untuk menjadi tim yang menjaga kalau sewaktu-waktu terjadi sesuatu yang tidak diinginkan."
Windi menarik napas dalam-dalam. Ia melepaskan pegangannya. Dia teringat dengan pertarungan mereka dengan Leviathan. Kini apalagi yang akan dihadapi oleh manusia. Perasaannya sangat kuat akan terjadi sesuatu.
"Johan dulu pernah berkata kalau ada sesuatu yang datang dari langit, maka akan terjadi malapetaka bagi manusia. Aku tahu ini tidak akan mungkin dipercayai oleh semua manusia, tetapi semuanya sudah nyata. Kehadiran makhluk itu hanya peringatan, sebentar lagi akan muncul makhluk-makhluk lainnya yang mungkin lebih hebat dan lebih kuat dari yang aku tumbangkan," jelas Samudra.
"Gue ingin sekali bertemu makhluk itu, mungkin kita bisa bicara dengannya," ucap Windi.
Samudra menggeleng. "Tak ada yang bisa berbicara dengannya. Aku sudah mencobanya. Makhluk itu berbicara dengan cara yang lain, ia tak seperti Kesadaran Bumi. Dia lebih tepatnya seperti sesuatu dari tempat lain. Bisa jadi ia berbicara dengan cara yang tidak kita ketahui."
"Gue kira urusan kita sudah berakhir setelah Jakarta, ternyata masih ada."
Samudra hanya mengangguk. Dia menyandarkan punggungnya ke bangku. Dia mengamati kerlap-kerlip lampu yang ada di sekitar Alun-Alun. Orang-orang berlalu-lalang mencari hiburan sendiri. Sementara itu beberapa ekor burung merpati tampak bertengger di rumah-rumah mereka setelah seharian sibuk mengais rejeki dari bijih-bijih jagung pemberian para pengunjung.
"Aku boleh tinggal di tempatmu?" tanya Samudra.
"Heh? Maksudnya?" tanya Windi.
"Sebenarnya, aku disuruh tinggal di barak, tetapi aku tak suka. Itu kalau kau membolehkan sih," jelas Samudra.
"Nggak. No no no. Kita belum mahrom. Nggak boleh. Apa kata para tetangga nanti?" tolak Windi.
"Ya bilang aja suamimu," goda Samudra.
"Sembarangan, SIM aja belum punya koq. No way!" toal Windi sambil menyilangkan tangannya.
"SIM?"
"Surat Izin Menikah!" jawab Windi.
Samudra tertawa. "Jadi kamu sudah siap nikah?"
"Itu....," mulut Windi tertutup. Ia tak bisa meneruskan. Ada banyak pertimbangan-pertimbangan yang sebenarnya harus dia kompromikan. Menikah butuh persiapan yang tidak sedikit, juga bukan karena Samudra memang pemuda yang cocok baginya, melainkan membutuhkan kesiapan mental, terutama ketika profesi Samudra sebagai seorang perwira angkatan udara.
"Kenapa?" tanya Samudra.
"Sam, kita harus memikirkan ini. Apa Elo siap untuk menikah beneran? Persoalannya adalah kita, profesi kita sekarang ini benar-benar bertolak belakang. Elo hidup demi negeri ini, tugas ke sana kemari, sedangkan gue mungkin akan berada di suatu tempat untuk waktu yang lama. Lo beneran serius ingin nikahi gue?"
Samudra tak menjawab. Dia tahu kemana arah pertanyaan Windi. Windi orangnya serius, begitu juga Samudra, tetapi Samudra sadar sekarang ini ego mereka masih tinggi. Dia juga tak ingin mengecewakan Windi dengan status LDR-nya yang terus-terusan. Tapi, apa boleh buat.
"Aku mengerti," ucap Samudra. "Kita memang perlu waktu untuk memikirkan ini."
Windi mendesah. Ada raut wajah kecewa di wajahnya. Tetapi, ia bisa memahami kenapa Samudra berkata demikian. Pemuda ingin menjaga perasaannya. Pasti di dalam batin Samudra sedang terjadi kemelut yang sama dengan dirinya. Oleh karenanya, ia tak berani untuk mengorek lebih jauh lagi tentang keadaan Samudra, takut acara melepas rindu ini akan berakhir tidak baik.
"Besok kau ada waktu?" tanya Samudra.
"Gue sibuk dari pagi sampai sore. Lo tahu sendiri pekerjaan gue di rumah sakit itu tidak mudah, datang pagi kemudian sewaktu-waktu ada pasien yang harus dioperasi. Panggilan mendadak tengah malam pun sampai gue ladeni apabila darurat," jawab Windi. "Tapi sungguh gue ingin banget bisa bersama Lo. Gue ingin banget bersama ama Lo."
"Iya, aku mengerti," ujar Samudra. Dia menggenggam tangan Windi, kemudian mencium punggung tangan gadis itu. "Kalau gitu besok aku akan main ke tempatmu bekerja."
"Hah?"
"Kenapa? Nggak boleh?"
"Bukan gitu, gila apa? Ntar apa kata penghuni rumah sakit? Gua bisa jadi bahan gosip! Nggak. Gue nggak mau Lo ke tempat kerja gue," tolak Windi.
Samudra menempelkan punggung tangan Windi ke pipinya. Windi merasakan punggung tangannya digelitiki rambut-rambut jambang pemuda itu. Dia merinding karenanya.
"Jadi aku tak boleh ke tempatmu tinggal, juga nggak boleh ke tempatmu kerja, baiklah. Aku bisa mengerti," ucap Samudra sambil mengangguk. Dia lalu melepaskan tangan Windi.
"Lo nggak kecewa kan? Lo nggak marah kan?"
Samudra menggeleng. Dia mengedipkan sebelah matanya. "Tenang aja, aku bukan orang yang memaksa koq. Selama aku berada di kota ini, aku usahakan akan selalu mengunjungimu. Mungkin setelah jam kerja?"
Windi mencoba berpikir sejenak. "B-boleh, setelah jam kerja cukup baik. Aku bisa."
"Baiklah kalau begitu, sampai besok," ucap Samudra. Dia melihat arlojinya sejenak sebelum beranjak dari tempatnya duduk.
Windi ikut berdiri. "Kau sudah mau pergi?"
"Aku harus laporan dulu ke atasan," jawab Samudra.
"Oh, begitu."
Sekali lagi Samudra mengelus-elus kepala Windi. Biarpun Windi jengkel diperlakukan seperti itu, toh ia suka-suka saja. Samudra lalu berbalik setelah berpamitan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam. Rindunya sedikit terobati, meskipun tidak sempurna, tetapi cukuplah untuk melepas rindu.
Sementara itu ketiga temannya tadi mengamati Windi dan Samudra dari jauh. Mereka menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekitar Alun-Alun Kota Malang. Hasan tampak senang melihat lampu warna-warni yang gemerlapan di sekitar lokasi Alun-Alun. Galuh juga senang bisa bercanda bersama anaknya Ratri. Hasan memang menggemaskan, mereka bercengkrama sampai Windi mengabari kalau ia sudah selesai bicara dengan Samudra. Mereka akhirnya kembali berkumpul, kecuali Jimmy yang masih asyik bermain bersama anaknya.
"Gimana Samudra?" tanya Galuh.
"Yah, begitulah," jawab Windi sambil tersenyum.
"Kalau ada yang ingin Elo omongin ke gue, gue siap koq nek," ucap Ratri.
"Aku juga," ujar Galuh.
Windi tersenyum. "Gue akan baik-baik saja koq."
Galuh menggeleng. "Kamu ini nggak baik-baik saja. Kamu diapain ama Samudra? Diputus? Biar aku hajar dia."
"Nggak, dia nggak mutusin gue. Malah gue seneng koq dia masih menyempetin nemuin gue di saat sibuk-sibuknya," jawab Windi.
"Nah, trus?" Ratri masih bingung.
"Gue sebenarnya capek dengan hubungan kita yang terus seperti ini. Nggak mudah lho kita LDR-an sampai bertahun-tahun. Dianggap pacar tapi nggak pernah ketemu, tapi kalau nggak dianggap juga emang punya. Bingung gue. Tapi yakin deh, Samudra itu jodoh gue. Hanya saja saat ini kami memang belum saatnya bersama," kata Windi seperti menahan perasaannya.
"Lha, lo koq sedih gitu?" tanya Ratri. "Kalau misalnya dia serius kan dia bakalan ngajakin lo nikah."
"Dia tadi nanyain gitu sih."
"Trus? Kamu apa?" tanya Galuh.
"Gue tanyain balik. 'Emang lo siap?' gitu," terang Windi.
Ratri langsung mencubit pipi sepupunya. "Iiiih, Lo ini ya. Mau sampai kapan begitu terus? Gue pernah lho jadi nyamuk Lo berdua dulu. Yang satunya malu-malu yang satunya bego."
Windi mengusap-usap pipinya yang barusan dijewer Ratri. "Tapi kan bener tindakan gue. Kalau dia serius ya dia bakalan jawab 'ayo aja'. Tapi dia masih punya pertimbangan-pertimbangan, sama seperti gue."
"Ya jelaslah. Cowok itu nunggu Elo yang jawab, bukannya Elo balikin lagi ke dia. Kalau Elo jawab 'iya gue siap'. Ya udah, dia juga ngikut Elo. Koq elo bego sih, Win. Samudra itu padahal tulus lho cinta ama Elo," ucap Ratri dengan gemas.
"Kamu masih ingat kan bagaimana dia dulu aku hipnotis memakai kekuatanku? Kekuatanku tak mempan kepadanya, itu artinya hatinya sangat kuat. Dia kuat menyukaimu, harusnya kamu tak menyia-nyiakan kesempatan ini, Win," Galuh ikut-ikut menasehati.
Windi mendesah. Dia merangkul kedua sahabatnya. "Udahlah, kalian koq mirip orang tua sih? Kita harusnya menikmati reuni kecil ini. Lupakan sejenak Samudra, toh besok katanya dia mau ketemu ama gue koq."
"Serius?" tanya Ratri.
"Iya, serius," jawab Windi. "Mau makan es krim?"
"Ayuk!" jawab Galuh.
Mereka pun bergegas menuju ke toko es krim terdekat. Ratri melambai-lambaikan tangannya kepada suaminya agar ikut. Segera saja Jimmy menggendong Hasan untuk ikut serta bersama ketiga perempuan itu.
* * *
Agi bertengger di atas genteng sambil menikmati sebotol minuman bersoda bersama sahabatnya, Indra. Indra menghirup rokok mild yang tinggal tersisa sebatang. Mereka melihat pemandangan kota Malang dari atap kos-kosan. Kebiasaan ini sering dilakukan Agi ketika ia sedang suntuk atau terlalu banyak beban pikiran. Dia baru saja berbicara dengan ayah tirinya soal kepergian adiknya ke Indonesia.
Saat membaca pesan dari Nugi ayah tirinya, dia melihat orang tua itu mencoba menghubunginya berkali-kali. Agi melihat banyak miss-call dan juga chat yang tidak terbalas.
Nugi Syahputra: Agi! Kau di sana?
Nugi Syahputra: Jawablah! Jangan bikin papa khawatir.
Agi Syahputra: Maaf pa, barusan tepar jadi nggak bisa jawab.
Nugi Syahputra: Tepar? Memangnya kenapa sampai tepar? Kamu bikin papa khawatir.
Agi Syahputra: Papa tak perlu khawatir. Agi baik-baik saja koq.
Nugi Syahputra: Jaga kondisi kalau begitu.
Agi Syahputra: Pa, serius nih Yuyun ke Malang?
Nugi Syahputra: Serius, papa sudah meminta bantuan pihak rektorat untuk membantunya.
Agi Syahputra: Tapi, kenapa?
Nugi Syahputra: Agi, aku tahu kamu sekarang ini sedang memikirkan tentang keputusan pengadilan itu. Sebaiknya kamu tak perlu memikirkannya terlalu dalam. Semuanya akan baik-baik saja. Yuyun urusan papa, kau cuma perlu mendampinginya saja. Ia sudah besar dan bisa jaga diri.
Agi Syahputra: bukan begitu maksudku. Saat ini Yuyun tak tahu apa-apa tentang Indonesia. Dia besar di Jepang, belajar di Jepang, tahu-tahu kuliah di Indonesia. Aku khawatir dia tak bisa beradaptasi.
Nugi Syahputra: Kamu tak perlu khawatir. Banyak koq mahasiswa-mahasiswa dari Jepang yang bisa beradaptasi. Tolong carikan saja tempat kos yang bagus, itu saja sih.
Agi Syahputra: Pa, aku tetap tak setuju Yuyun berada di Indonesia. Aku tak mau dia nanti jadi ikut-ikut urusan keluargaku.
Nugi Syahputra: Agi, keluargamu keluargaku juga. Kau tak perlu khawatir dengan semua itu. Lindungi saja adikmu di sana. Sampai kau lulus, maka semuanya akan baik-baik saja.
Agi Syahputra: Yah, seandainya semuanya semudah itu pa.
Nugi Syahputra: Pokoknya carikan saja tempat kos buat adikmu.
Dengan wajah ditekuk Agi mencoba untuk bisa memahami jalan pikiran papanya. Memang sih papanya sangat perhatian kepadanya, tetapi apa yang dilakukannya kadang sangat berlebihan.
"Jadi umak itu kenapa punya dua nama, sob?" celetuk Indra memecah keheningan. "Sampai sekarang umak nggak pernah cerita kepada ayas."
Agi kemudian merebahkan diri di atas genteng. Dia memakai kedua telapat tangannya sebagai bantal. Ditatapnya langit malam yang tampak tercoreng karen polusi mercury. Cahaya-cahaya yang terbias dari lampu-lampu kota menutupi cahaya bintang yang seharusnya terlihat dengan langit secerah ini.
"Yakin umak mau denger?" tanya Agi.
"Yakin," jawab Indra.
"Kepo banget ente ini," ucap Agi.
"Ayolah sob, umak-kan sudah pernah tahu kondisi keluargaku, juga kondisi ayas yang emang ruwet," ujar Indra. "Bagi-bagi ceritalah."
"Emang dasarnya umak itukan wajahnya ruwet dari dulu," ledek Agi.
"Sompret, dikira wajah ayas ini benang jahit apa?' gerutu Indra.
Agi tertawa. "Ya, ya, ya baiklah. Sebenarnya ini ceritanya nggak rumit koq. Tapi daripada umak mati penasaran, mendingan ayas cerita."
Indra mulai memasang telinga. Dia mematikan rokoknya dan mulai berkonsentrasi mendengarkan Agi.
"Dulu, ketika emes ama ebes nikah, keluarga kami sangat bahagia. Aku sendiri bisa merasakannya walaupun belum mengerti apa-apa. Sampai akhirnya ebes lebih sering pulang malam, lebih sering menghabiskan waktu dengan pekerjaannya. Oh ya, ebes ini seorang ilmuwan. Jadi pekerjaannya tiap hari ya seputar apa yang dia teliti," cerita Agi. "Karena fungsinya sebagai ibu rumah tangga tidak dihargai oleh ebes akhirnya emes minta gugat cerai."
"Perceraian ini alot karena ebes selalu berhalangan untuk hadir di dalam sidang. Ebes juga seolah-olah tak pernah lagi merespon permintaan emes dan tak menganggap emes pernah ada. Apalagi setelah resmi bercerai, pengadilan belum memutuskan resmi hak asuh atas emes-ku. Ayas akhirnya hidup sendirian ama emes, sampai akhirnya emes kenal dengan pria yang lebih menyayanginya hingga akhirnya menikah lagi dengan pria itu. Pernikahan pun dilakukan, setelah itu emes diboyong ke Jepang oleh papa tiriku. Akhirnya namaku pun diganti, sebab namaku sebelumnya merupakan pemberian ayah kandungku, yang mana ibuku tidak suka. Namaku diubah menjadi Agi Syahputra. Syahputra itu merupakan nama papa tiriku.
"Setelah bertahun-tahun waktu lamanya menunggu putusan pengadilan, akhirnya ada surat panggilan pengadilan kepada ibuku. Sayangnya kami harus pergi ke Indonesia. Tetapi saat itu pesawat kami terkena turbulensi parah, mesin mati dan terbelah di udara. Itu yang terjadi, ajaibnya aku masih selamat.
"Setelah itu karena emes meninggal, ayas akhirnya diasuh oleh ayah kandungku. Berbagai penyiksaan aku terima saat diasuh oleh ebes. Dia memukulku, mengancam dan membentak. Aku tak kerasan diperlakukan seperti tu, bahkan meminta bantuan kepada papa tiriku agar bisa segera dijemput. Akhirnya dengan perwakilan pengacara papa tiriku, akhirnya aku bisa diselamatkan. Setelah menjalani sidang yang alot, akhirnya pengadilan memutuskan aku boleh keluar dari Indonesia dan berkumpul dengan keluargaku yang lain asalkan memenuhi beberapa syarat, yaitu namaku harus dipaggil Abisoka. Kedua, aku tak boleh pergi keluar negeri sampai lulus kuliah. Ketiga, aku boleh memutuskan apa yang aku mau setelah lulus kuliah, selama itu aku tidak boleh menuntut apapun kepada ayah kandungku. Keempat, ayah kandungku membiayai semua keperluanku hingga aku lulus kuliah.
"Di balik itu semua, sebenarnya aku mengalami trauma psikis yang berat. Aku takut kepada ayah kandungku sejak dulu. Rasanya ketika berhadapan dengan dia seluruh kekuatan di dalam diriku meredup. Semenjak ibuku meninggal, dia sangat membenciku, aku hanya dibolehkan keluar rumah hanya untuk sekolah saja. Tapi itu tak berlangsung lama karena pihak KPAI terus memantauku, sehingga ayahku membiarkan aku keluar tapi tetap dengan pengawasan. Selama ini pula ia pasti marah kepadaku kalau aku menamai diriku Agi Syahputra. Nama itu memang pemberian ibuku karena tak ingin lagi dipanggil dengan nama Abisoka yang mana itu pemberian ayahku. Status namaku pun menjadi alot. Perubahan nama ini sebenarnya sudah ada dalam putusan pengadilan, hanya saja tak banyak orang yang tahu. Memang sih ada imbas nantinya di sini, semua kartu identitasku akan diganti dengan nama Agi Syahputra setelah aku lulus. Ini juga jadi masalah kalau misalnya aku nanti bekerja di luar negeri. Aku hanya akan dikenal orang dengan nama Abisoka. Mau tak mau aku harus menyebut namaku Abisoka, padahal aku tak suka nama pemberian ayahku itu. Rasanya seperti trauma," cerita Agi panjang lebar.
Indra jadi menyesal memaksa temannya untuk menceritakan kejadian itu. "Waduh, maaf. Aku tak tahu kalau nama itu sangat berarti bagimu. Sekarang aku tahu kenapa kau tak mau dipanggil Abisoka."
"Tak perlu khawatir, aku bisa memahami koq kalau orang mau memanggilku dengan panggilan Abisoka. Lagipula itu yang tertera di kartu identitasku. Hanya saja, aku lebih senang dipanggil Agi. Aku selalu memperkenalkan diri sebagai Agi kepada orang-orang bukan Abisoka. Iya sih, dulu aku memang takut memperkenalkan diriku sebagai Agi Syahputra, sekarang tidak," jelas Agi.
Indra mengangguk paham. Persoalan nama bisa jadi serumit itu. Dia bersyukur keluarganya tidak mengalami hal-hal semacam itu. Dunia ini luas, akan banyak dia bertemu dengan orang-orang yang memiliki masalah kompleks lainnya.
"Adikmu datang kapan?" tanya Indra.
"Kenapa tanya?"
"Penasaran ajalah sob," jawab Indra.
"Kepo kepingin tahu adikku?" tanya Agi.
"Iya, ada fotonya nggak?"
"Ada. Tapi awas ya sampai deketin!" ancam Agi.
"Yaelah, siapa pula yang mau deketin kalau mas-nya galaknya kayak herder gini?"
Agi merogoh ponselnya lalu melihat-lihat foto di folder galeri. Setelah ia mendapati satu foto, diserahkan ponselnya kepada Indra. Secara antusias Indra mencoba memperhatikan apa yang ada di layar ponsel. Dia mengernyit. "Nggak salah? Cewek item, bulet, gembrot gini adikmu?"
Seketika itu Agi tertawa. "Asu, kon gawe goro ya?" umpat Indra yang baru tahu kalau Agi mengerjainya.
"Hahahaha, langsung buyar semua imajinasimu ya? Wahahahaha. Jangan salah, cewek yang gembrot seperti itu malah dianggap paling cantik di Afrika loh," ujar Agi.
"Iya, itu di Afrika, Ndul! Ini di Indonesia, Indonesia!! Ayas lempar ke sungai Brantas umak tahu rasa ntar," gerutu Indra yang bener-bener naik pitam udah terlanjur antusias.
Agi masih tertawa sampai ia meraih ponselnya lagi untuk mencari foto adiknya. Kali ini ia membuka folder khusus tempat foto-foto keluarganya. Dia lalu memperlihatkannya kepada temannya tersebut. "Ini foto keluargaku."
Indra dengan seksama memperhatikan foto seorang wanita yang terlihat cantik, berambut panjang menggendong seorang bocah laki-laki. Dia mengira itu ibunya. Sementara itu ada seorang lelaki di sebelahnya menggendong seorang bayi. Dia mengira lelaki ini adalah papa tirinya.
"Ini papa tiriku, trus ini bundaku. Yang digendong papaku itu Yuyun. Cakep kan?" kata Agi. Dia lalu menyimpan ponselnya lagi.
"Lha? Gitu doang?" tanya Indra yang masih penasaran. "Jangan gitulah, sob. Masa' umak nggak punya foto terbarunya. Kalau foto bayi buat apa?"
Lagi-lagi Agi tertawa. "Ente ngebet banget sih kepengen tahu adikku?"
"Ayolah, sob. Pengen tahu aja. Kepo berat nih, sekali aja deh. Kan cuma ayas yang tahu," rayu Indra.
Melihat Indra dikerjai dua kali membuat Agi senang. Akhirnya dia mengambil ponselnya lagi, lalu memperlihatkan sebuah foto. Kali ini foto seorang gadis yang memakai baju sekolah khas pelajar di Jepang. Baju seragam putih dengan pita di lehernya. Gadis itu tampak cantik dengan poni rambut yang menyentuh alis. Kulitnya cerah dengan senyuman yang menawan, mirip seperti model-model Jepang yang cantik.
Indra menelan ludah. Dia tak menyangka kalau ini adalah adiknya Agi. Tetapi siapa tahu Agi berbohong. "Ini beneran adik umak?"
"Lah? Nggak percaya?" tanya Agi.
"Ya habis, umak barusan ngerjain ayas dua kali. Ya penasaran lah!" gerutu Indra.
"Kalau nggak percaya ya udah," ucap Agi yang hendak menyimpan kembali ponselnya.
"Sebentar! Sebentar! Lihat lagi!" ucap Indra.
"Nggak boleh!"
"Ayolah, Gi. Sekali aja. Plis lima detik aja!" pinta Indra.
Agi mengabulkannya. Diperlihatkannya lagi foto Yuyun. Gadis itu memang cantik, tidak seperti gadis Indonesia pada umumnya. Apa mungkin pengaruh pergaulan di Tokyo sampai-sampai dia terlihat cantik seperti itu. Indra menelan ludah lagi, cantiknya benar-benar bikin sakit gigi.
"Emang papa tirimu ada keturunan Jepang gitu?" tanya Indra penasaran.
Agi mengangguk. "Iya, ada. Itu nurun ke dia. Makanya dia terlihat lebih cakep. Kakekku atau ayah dari papa tiriku orang Indonesia yang menikah dengan orang Jepang. Nuansa Syahputra, nama kakekku. Trus ibunya bernama Yoko Koyuki. Jadi kemungkinan besar nurunnya dari situ."
Agi menyimpan lagi ponselnya tanpa meminta persetujuan Indra apakah sudah puas atau belum. Agi mendongak melihat langit. Malam semakin larut, terlebih suasana berangin dan dingin. Bulan-bulan seperti ini cuaca Malang justru dingin, seolah-olah untuk menyambut mahasiswa baru dengan kesan bahwa Malang adalah kota yang dingin. Agi masih penasaran dengan pandangannya. Kenapa ia seolah-olah berada di dalam makhluk asing itu?
Dia sudah membaca berita seputar makhluk asing tersebut. Dia mengira makhluk itu ingin berkomunikasi dengannya. Tetapi ia sendiri tak mengerti komunikasi seperti apa yang diinginkan makhluk tersebut. Dia sudah mencoba beberapa cara untuk berkomunikasi lagi dengan pikirannya. Tetapi sepertinya makhluk itu lenyap begitu saja. Di mana keberadaannya makhluk itu, hanya orang-orang tertentu saja yang mengetahuinya.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top