3 | Reuni Kecil
"Reuni kecil dan kerinduan"
Samudra sedang berada di ruangan atasannya. Letnan Kolonel Juan Gunawan. Ruangan itu diisi empat orang, termasuk Samudra. Suasananya sedikit tegang, karena ketiganya harus menyerahkan laporan tentang apa yang mereka hadapi di langit udara Malang. Sayangnya karena kejadian tersebut satu orang teman mereka tidak selamat, yaitu Ade Husnan. Samudra dan yang lainnya begitu terpukul.
Letkol Juan menipiskan bibirnya setelah membaca laporan dari ketiga penerbang terbaik di negeri ini. Dia mengetuk-ngetuk jarinya di atas meja sambil sesekali mendongak menatap ketiga anak buahnya. Dia mau tidak percaya tetapi kemelut yang terjadi dua hari yang lalu telah membuat berita besar. Media massa mulai memberitakan tentang pertempuran yang terjadi di udara, serta alien yang dihadapi oleh prajurit TNI AU. Pemerintah sudah berusaha untuk menutupinya tetapi ada masyarakat yang sempat merekam kejadian yang terjadi kemarin, sehingga viral di internet. Hal itu menyebabkan berita tentang kedatangan alien di Indonesia sampai terdengar oleh negara-negara lainnya.
"Aku bukannya tidak suka kalau kita bisa mengetahui kalau ada kehidupan lain di luar sana, tetapi ini lebih dari apa yang kita kira. Saat ini semuanya mulai heboh, wartawan, orang-orang militer, pejabat dan orang-orang sipil juga heboh dengan aksi yang kalian lakukan," ucap Letkol Juan.
Samudra dan yang lainnya tidak menjawab. Mereka malah berharap segera keluar dari ruangan tempat mereka sekarang berada.
"Laporan kalian saya terima, hanya saja akan sangat sulit untuk menjelaskan ini ke Panglima," ucap Letkol Juan. "Pihak atasan sekarang akan membentuk tim khusus untuk menyelidiki makhluk itu. Makhluk itu sudah dievakuasi dan diamankan oleh divisi baru bentukan dari Panglima langsung."
"Ijin bicara, pak," kata Samudra.
"Silakan!"
"Kalau boleh tahu dimana tempat makhluk itu berada?" tanya Samudra.
"Makhluk itu ada di Malang. Di sana kita ada pangkalan militer rahasia. Di sana basis kita karena tiga kekuatan besar tentara di negeri ini ada di kota itu. Kita juga memanggil orang-orang yang terpilih untuk menyelidiki dan menginvestigasi makhluk itu. Dalam taraf apakah berbahayanya, ataukah makhluk itu membawa teman. Kalau misalnya dia membawa teman, seperti apa teman-temannya? Tetapi satu hal yang pasti kita bisa menumbangkannya, karena salah satu pilot kita mampu untuk menumbangkannya meskipun tanpa memakai misil," jelas Letkol Juan.
"Maaf pak, saya kira saya bisa mengalahkannya hanya karena keberuntungan," ucap Samudra.
"Keberuntungan kamu bilang? Kamu itu terlalu merendah, saya sejak pertama kali melihatmu sudah yakin kamu ini pilot terbaik. Kamu bisa mengetahui kelemahan dan kekuatan pesawat yang kau piloti bahkan kau bisa membuat keputusan yang cepat untuk mengalahkan makhluk itu seolah-olah kau sudah faham kelemahannya. Kau belajar cepat, itulah salah satu hal yang tidak dimiliki oleh pilot-pilot lain selain kamu," tukas Letkol Juan. "Termasuk kalian!" sambungnya sambil menunjuk ke dua rekan Samudra.
"Siap pak!" ucap kedua rekan Samudra serempak.
"Hari ini kau beserta rekan-rekanmu pergi ke Malang. Langsung bergabung dengan tim Garuda Besi yang telah dibentuk oleh Panglima Angkatan Udara. Di sana kau menjadi komando tim udara untuk berjaga-jaga terhadap segala sesuatu yang akan terjadi. Aku yakin sekali karena kita menangkap satu makhluk, maka akan datang makhluk-makhluk yang lain," lanjut Letkol Juan. "Kau sekarang tak lagi menjadi instruktur. Kau terjun langsung."
"Siap pak!"
"Segera berkemas! Bubar!" perintah Letkol Juan untuk terakhir kalinya. Ketiga pilot menghormat kepada atasannya, kemudian balik badan untuk keluar dari ruangan atasannya itu.
Setelah berada di luar Samudra bisa bernapas lega. Meskipun setiap kali setelah selesai bertugas selalu melapor, agaknya tatapan mata Letkol Juan yang usianya sudah memasuki 50 tahun itu ada suatu kewibawaan yang tak bisa dia lawan. Siapapun pasti takluk kalau berhadapan dengannya. Kedua rekannya saja tak banyak bicara.
"Ke Malang yah?" gumam William.
"Kap, bagaimana perasaanmu ketika menumbangkan monster itu?" tanya Heri.
"Aku serba salah," jawab Samudra.
"Lho koq?" William dan Heri kebingungan mereka saling berpandangan.
Samudra menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badan ke arah mereka. "Masalahnya karena aku tak bisa berbicara dengan makhluk itu, mungkin dia akan memanggil teman-temannya datang kemari. Dan kita tak tahu kekuatan mereka seperti apa. Iya kalau mereka melawan negara adidaya seperti Amerika ataupun Rusia dengan skuadron tempur udaranya yang lebih banyak dari kita, kalau kita diserang? Kita belum siap."
Kedua rekannya bisa menyadari apa yang menjadi kekhawatiran dari Samudra. Mereka juga bisa merasakan bagaimana makhluk itu bisa bergerak cepat dan menumbangkan mereka. Untuk pesawat biasa, tidak akan bisa mengalahkan makhluk itu. Apalagi skill terbang mereka juga tak bisa dibandingan dengan Samudra.
"Kita berkabung terhadap rekan kita yang telah mendahului. Kita harus selesaikan misi ini demi rekan kita," ucap Samudra.
"Siap Kap!" seru kedua rekannya sambil memberikan salut.
"Prajurit, kita harus bersiap ke Malang!" ajak Samudra sambil meninggalkan mereka.
* * *
Agi terbangun. Kepalanya terasa berat, pandangannya yang redup mulai jelas. Dia berada di ruangan serba putih, di atas ranjang dengan warna serupa. Aroma etanol begitu semerbak, membuat dia langsung mengenali tempat dia sekarang berada, apalagi selang infus tampak terpasang di lengannya, itu saja sudah menjadi petunjuk. Di rumah sakit
"Umak udah sadar?" tanya seorang di dekatnya.
Agi menoleh ke kanan. Di sana ada seorang yang sangat ia kenali. Indra teman sekampusnya. Melihat Agi siuman Indra menepuk pundak kawannya itu.
"Untunglah, kau siuman. Kau lihat apa yang terjadi kemarin? Kukira umak terluka gara-gara serangan alien," ujar Indra.
"Alien?"
"Iya, alien. Kau lihat kan?" tanya Indra mencoba meyakinkan sahabatnya.
"Memangnya berapa hari aku pingsan?" tanya Agi.
"Dua hari," jawab Indra.
"Asu, dua hari? Lha, aku nggak ikut ujian semester pendek dong?!" keluh Agi. Dia menyesal sekali harus tepar selama dua hari. "Trus adepes rotom-ku?"
"Urusan adepes rotom wis jangan khawatir. Aku sudah nyelametin. Untung orang-orang di sekitar tempat itu baik-baik. Jadi aman adepes-mu, sam!" ujar Indra.
Agi mendesah lega. Perutnya sekarang seperti ada yang berdendang. Dia lapar. "Aku luwe. Ndra, umak bawa nakam?"
"Ora jes. Mending check out dulu aja. Habis ini kita nakam bareng, aku yang traktir," ucap Indra.
Agi setuju dengan ucapan Indra. Siapa lagi yang bisa dekat dengan dia selain Indra. Agi mencoba bangun dari tempat tidurnya, tubuhnya serasa sakit semua, terlebih ketika ia memutar-mutar pinggangnya. Suara persediannya bernyanyi.
Agi hendak mencopot selang infus yang ada di tangannya ketika seorang dokter wanita masuk ke dalam kamarnya. Agi dan Indra terkejut ketika melihat dokter tersebut masuk. Dia sangat cantik. Rambutnya panjang, dia memakai jas putih sebagaimana seragam dokter. Jas tersebut menutupi kemeja berwarna krem, dengan rok hitam yang panjangnya selutut ia tambah kelihatan makin menawan. Agi melirik ke nama yang ada di dada dokter tersebut. Dr. Windi Aulanara N.
"Sudah baikan?" tanya Dr. Windi.
"Eh, dok. Ini aja mau check-out," jawab Indra.
"Siapa yang suruh pulang? Kamu masih harus menjalani test. Kami kira kemarin kamu koma tapi setelah di-scan ternyata baik-baik saja. Kamu seperti orang yang tertidur," sanggah Dr. Windi.
"Err... tapi aku sehat dok," ujar Agi.
"Yang bisa menentukan kamu sehat atau tidak itu saya," ucap Dr. Windi. "Sekarang, kamu harus melewati beberapa pemeriksaan."
"Tapi dok!?" Agi ingin menyanggah.
"Tidak!" Dr. Windi bersikeras.
Akhirnya Agi hanya bisa pasrah. Wanita ini begitu memaksa, bahkan Agi seperti tak punya kekuatan kalau harus berurusan dengan dokter yang judes seperti ini. Akhirnya hari itu Agi harus menjalani beberapa test lagi sampai kemudian dia diperbolehkan pulang.
"Meskipun dari hasil lab kamu baik-baik saja, tapi tetap saya masih merasa khawatir karena kondisimu itu tidak normal," ujar Dr. Windi. "Hidungmu berdarah, mungkin karena kecapekan, tetapi bisa jadi karena sebab lain."
"Jadi apa saya masih harus di Rumah Sakit dok? Saya harus pulang soalnya banyak pekerjaan yang harus saya lakukan," ujar Agi.
"Baiklah, kamu boleh pulang. Tapi kalau ada apa-apa segera pergi ke rumah sakit," ucap Dr. Windi sambil tersenyum.
"Makasih dok," ucap Agi sambil berlalu.
Setelah Agi pergi meninggalkan ruangannya, Windi menghembuskan napas panjang. Hari yang melelahkan dan Agi merupakan pasien terakhirnya hari ini. Lehernya serasa pegal. Di mejanya tampak beberapa tumpukan arsip pasien, satu set PC iMac serta pigura kecil dengan gambar Samudra dan dia dalam satu frame. Windi memandangi foto itu. Sudah sepuluh tahun ini Samudra masuk akademi militer, kemudian dia lanjut menempuh pendidikan penerbangan sehingga menjadi pilot. Selama sepuluh tahun ini pula mereka hanya berhubungan melalui telepon ataupun chat.
Sebenarnya untuk hubungan jarak jauh tak ada masalah, hanya saja hati perempuan terkadang goyah. Windi masih ingat pengalaman dia sepuluh tahun lalu saat berpisah dengan Samudra. Dia rela melepas kekasihnya itu dengan derai air mata. Samudra sendiri berkata kepadanya, "Kalau kau ingin mencari kekasih lain, aku tak akan memaksamu. Aku tahu terkadang hati kita tak akan kuat untuk bisa bersabar. Tetapi aku akan tetap bersabar untuk terus mencintaimu. Aku akan menunggumu, Windi."
"Arrgghh, menungguku? Menunggu bagaimana? Kenapa sih kau susah sekali dihubungi akhir-akhir ini?" gerutunya kepada foto Samudra. "Aku tak bisa melupakanmu, dasar cowok nggak berperasaan!" Dia menelungkupkan pigura kecil itu ke meja.
Segera Windi berdiri. Ia melepas jas dokternya lalu dia hanger ke tempat gantungan baju yang ada di sudut ruangan. Di ruangan tersebut ada pembatas ruangan yang biasanya digunakan untuk berganti baju. Windi mengambil ranselnya untuk mengambil celana yang ia biasanya ia pakai kalau sudah selesai bertugas. Kemudian ia mengganti roknya dengan celana jeans. Setelah itu ia ganti sepasang sepatu hak tingginya dengan sepatu kets dengan kombinasi warna putih dan ungu. Selesai berganti baju, ia membawa ranselnya pergi. Sesaat sebelum ia melangkah, lagi-lagi dia mendesah. Dia memperbaiki lagi posisi pigura kecil yang tadi dia telungkupkan ke meja. Kini posisi pigura itu kembali seperti semula. Ia memonyongkan bibirnya yang merah ke arah foto itu. "Mmmmuuahh, sampai nanti Windrider, awas kalau selingkuh!"
Windi lalu buru-buru pergi dari ruangannya. Ia menekan saklar yang ada di dekat pintu, kemudian lampu yang ada di ruangannya mati. Saat berjalan menuju ke tempat parkir ia merogoh ponsel yang ada di ranselnya. Ternyata ada telepon dari sepupunya, Ratri. Windi segera mengangkatnya.
"Halo?! Ada apa Rat?" sapa Windi.
"Windi, gue baru nyampe di Malang!" seru Ratri.
"Oh ya? Ngapain?" tanya Windi.
"Ya mainlah. Berlibur dong neng. Emangnya mau ngapain ke sono? Gue mau menghabiskan banyak waktu di pantai," jawab Ratri.
"Lha? Emang anak lo gimana?" tanya Windi.
"Diajak juga, bapaknya juga nih!" jawab Ratri.
"Oh, diajak juga. Wah, bisa reunian dong," ucap Windi.
"Hahaha, siapa takut? Yuk? Mau kemana kita?" tanya Ratri. "Ayolah, Lo kan udah lama di Malang. Mestinya tahu tempat kuliner terbaik."
Windi nyengir. Ratri apa tidak tahu kalau selama di Malang ini ia sangat sibuk melayani pasien. Tetapi ia tak mau dong dianggap kudet alias kurang update dengan Malang. Yah, walaupun sudah setahun di Malang, ia masih belum hafal betul dengan jalan-jalannya yang terkadang mirip labirin.
"Ayo aja sih, siapa takut", ucap Windi menyanggupi. Dia sebenarnya juga senang sih ada kunjungan dari orang terdekatnya.
"Eh iya, udah tahu belom? Galuh ada di Malang juga loh," kata Ratri memberitahu.
"Hah? Yang bener? Tahu darimana?"
"Ayolah, Lo yang deket ama dia masa' nggak tahu? Gue tahunya dari instagramnya," jelas Ratri.
"Instagram? Eh, jarang lho dia posting. Masa' sih?" Windi penasaran.
"Iya, gue kaget sih pas ngelihat ia ngepost kampus Unibraw," ucap Ratri.
"Lho, deket dong."
"Nah, makanya itu. Lo usulin deh nanti kita ketemuan di mana. Ntar kita sama-sama reunian kecil-kecilan!" ucap Ratri.
"Oh, OK. Setuju. Ntar aku kabarin," ucap Windi.
Setelah itu Ratri menutup teleponnya. Dengan wajah berseri-seri Windi segera menuju ke mobil Nissan Juke warna putih miliknya yang berada di tempat parkir. Windi masuk ke dalam mobil. Sebelum ia menghidupkan mesinnya. Ia mencoba untuk membuka akun instagram milik Galuh. Galuh jarang sekali update Instagram, mungkin karena sibuk. Pekerjaannya sebagai salah seorang ilmuwan di LAPAN memang membuatnya harus banyak bekerja di ruang laboratorium yang entah laboratoriumnya seperti apa.
Postingan terakhir Galuh tampak dia mengunggah video pendek tentang halaman kampus. Dari caption fotonya sudah jelas kalau video itu diambil di halaman kampus Universitas Brawijaya. Salah satu universitas negeri bergengsi di kota Malang. Siapapun pasti bakal mengenali bangunan dan air mancurnya. Galuh tak hanya memposting video pendek dengan durasi 15 detik itu, ia juga memfoto dirinya berdiri di salah satu gedung Fakultas MIPA bersama dosen-dosen yang lain. Windi tersenyum melihat foto itu. Ada yang berubah dari Galuh, kepalanya sekarang sudah ditutupi dengan jilbab. Ia makin cantik, mungkin efek kedewasaan, terlebih meskipun disebut profesor tetapi Galuh terlihat sudah bisa berdandan sekarang.
Windi kemudian memberikan komentar di postingan foto tersebut dengan kalimat, "@galuh_sd Sampai di Malang nggak bilang-bilang. Hari ini WAJIB TRAKTIR untuk REUNIAN!" Windi menambahkan beberapa icon smile.
Tak butuh waktu lama bagi Galuh untuk membalasnya. Dia pun membalas, "@windi_samudra Siapa takut? Mau makan di mana Bu Dokter?"
Windi tersenyum. Dia masih belum tahu tempat mana yang cocok untuk mengajak sahabat-sahabatnya makan malam. Tetapi akhirnya ia pun memutuskan tempat di mana ia pernah makan bersama rekan-rekan seprofesinya. Setelah membalas chat Galuh dengan memberikan nama tempat makan IKAN BAKAR 52 sebagai jawaban, ia pun menghidupkan mobilnya untuk segera menuju ke tempat itu. Tak lupa Windi juga mengabari Ratri untuk menuju ke tempat itu pula.
Perjalanan Windi tidak mudah memang selama ini. Dia mendapatkan beasiswa untuk kuliah di kedokteran UI untuk spesialis ahli bedah. Setelah belajar mati-matian, Windi pun menjadi asisten dokter selama beberapa tahun setelah itu ia mendapatkan ijin praktek dan akhirnya memilih bekerja di Rumah Sakit Brawijaya yang ada di kota Malang. Sebab di Rumah Sakit ini memang sedang membutuhkan tenaga medis.
Lain ceritanya dengan Ratri. Sepupunya cuma kuliah di Tehnik Sipil. Setelah lulus, Ratri kemudian bekerja di perusahaan terkemuka di dalam bidang ekspor impor. Sebenarnya nggak nyambung, tetapi namanya juga cari pekerjaan agar dapat uang. Selama itu pula dia masih berhubungan dengan Jimmy yang secara ajaib menjadi pacarnya setelah lulus dari SMA sampai lulus kuliah. Beberapa tahun lalu mereka menikah. Setelah itu Ratri tidak bekerja dan fokus untuk menjadi ibu rumah tangga. Windi sangat suka sekali dengan anak Ratri yang sangat lucu.
Perjalanan menuju ke tempat tujuan memang agak jauh. Kemacetan hanya terjadi di dua lampu merah yang memang menjadi langganan macet. Setelah melewati beberapa lampu merah, Windi pun melewati daerah Alun-Alun Kota hingga kemudian berbelok ke salah satu kawasan mall yang cukup ramai. Di depan mall tersebut ada kantor BUPATI. Tempat yang dimaksudkan untuk bertemu langsung terlihat papan namanya, karena tidak jauh dari kantor milik Pemerintah Daerah tersebut.
Windi segera memarkir mobilnya, lalu membawa ranselnya sekalian. Suasana rumah makan yang terkenal dengan nuansa indianya itu terlihat sepi. Hanya beberapa meja saja yang terisi. Windi sepertinya tiba terlebih dahulu. Dia sudah tak sabar ingin melihat bagaimana keadaan teman-temannya sekarang. Setelah melakukan reservasi, ia pun pergi ke meja yang telah disediakan.
Windi memesan kue-kue basah seperti lumpia dan pastel serta minuman ringan sambil menunggu teman-temannya. Ia harus membalasi beberapa pesan yang masuk dari kantor. Beberapa asisten dokter membutuhkan jawaban dari penanganan-penanganan pasien. Windi sangat bersyukur teknologi sekarang sudah sangat maju, maka dari itu untuk urusan-urusan seperti ini bisa dia respon dengan cepat.
Kurang lebih lima belas menit kemudian tampak sepasang lelaki dan perempuan membawa seorang anak balita dalam gendongan. Dari jauh Windi langsung mengenali siapa yang datang itu. Windi segera berdiri dari tempat duduknya untuk menyambut sepupunya.
"Ratriii!!!" seru Windi.
Ratri juga menjerit, "Windiii!"
Ratri hari itu memakai jilbab berwarna telor asin dengan gamis warna biru cerah, bahkan tampak selaras dengan rok berwarna biru dongker. Dia memakai gendongan berwarna coklat dengan anak balita kira-kira berusia dua tahun lebih sedang kebingungan melihat tempat yang baru saja didatangi olehnya. Sedangkan suami Ratri tampak memakai kaos warna putih lengan panjang serta celana jeans. Tampak di pundaknya ada tali tas yang mana semuanya berisi perlengkapan bayi.
Windi memeluk Ratri sambil cipika-cipiki, setelah itu ia menciumi bayi yang ada di gendongan sepupunya. Jimmy sang suami kemudian menjabat tangannya.
"Lama tak jumpa," ucap Jimmy.
"Iyalah, sudah sibuk masing-masing. Mau gimana lagi. Kebetulan kita ketemu," ujar Windi.
"Sebenarnya ini semua idenya Ratri. Dia ngebet ingin pergi ke Malang, tahu saja kalau Lo ada di sini," ucap Jimmy.
"Udah ngobrolnya nanti. Duduk dulu, capek nih gendong, Hasan!" gerutu Ratri.
"Ah, iya. Ayo duduk! Duduk!" ucap Windi mempersilakan.
Mereka pun akhirnya beramah tamah saling melepas rindu yang selama ini sudah lama tidak bertemu. Windi tak bisa menghitung berapa lama mereka tidak bertemu, tetapi yang jelas semenjak lulus kuliah dan menjadi asisten kedokteran amat jarang Windi bertemu dengan Ratri. Mereka pun ngobrol banyak hal terutama tentang pekerjaan dan keluarga serta tentang anaknya Ratri yang lucu serta perkembangannya. Ratri memesan puding untuk si kecil, sambil ngobrol ia pun menyuapi anaknya dengan puding
"Ngomong-ngomong, gimana kabar kalian?" celetuk Ratri.
"Kabar apaan?" tanya Windi pura-pura tak tahu.
"Halah, Lo sama Samudra. Siapa lagi? Kapan nyusul?" tanya Ratri.
Windi tersenyum kecut. "Entahlah, nggak jelas."
"Waduh, koq nggak jelas?"
"Yah, habis gimana lagi. Gue sibuk, dia sibuk. Kami tak pernah ketemu lagi, cuma ngobrol jarak jauh. Tahu sendirilah gimana punya pacar seorang anggota militer. Tugaslah, latihanlah, inilah, itulah," gerutu Windi serasa curhat.
"Yah, elo harus maklum. Do'i kan emang jadi pengabdi negara sekarang. Lagian Elo yang milih jalan ini. Yang sabar ya say?" ucap Ratri sambil menepuk lengan Windi.
Windi tersenyum manis. Raut wajahnya berubah. "Setidaknya aku senang koq kalian datang. Tapi kita masih belum lengkap lho. Galuh mau datang habis ini."
"Oh ya?"
Seakan-akan panjang umur, Galuh terlihat dari pintu restoran. Dia memakai kerudung abu-abu, sewarna dengan kemeja yang dia pakai dengan rok hitam. Dia membawa tas pinggang di bahu kanannya. Melihat Windi ada di salah satu meja, segera Galuh melambaikan tangan kepadanya. Windi pun membalas lambaiannya. Galuh terkejut melihat Ratri dan Jimmy juga berada di sana. Seolah-olah ini merupakan reuni kecil yang mereka tunggu-tunggu setelah lama tidak bertemu.
"Ya ampun. Profesor kita ini makin cantik aja," puji Ratri setelah memeluk Galuh.
Galuh berterima kasih atas pujian itu. Dia kemudian dipeluk Windi, setelah itu menjabat tangan Jimmy. Ia duduk di sebelah Windi. "Sudah lama?"
"Sudah. Gue aja takut Lo nggak dateng, hampir saja kita bayarin sendiri," ledek Windi.
Galuh tertawa. "Ya udah, pesen aja. Masya Allah, aku sampai pangling ama kalian."
"Nggak salah Gal? Elo tuh yang bikin pangling kita. Ya nggak, say?" bantah Ratri sambil menyenggol suaminya.
"Iya, Elo banyak berubah," puji Jimmy. "Lebih cakep. Jangan bilang Elo masih jomblo."
Galuh mendesah. "Udah deh, jangan bahas status. Aku tahu kalian ini udah punya pasangan semua, bahkan kamu udah punya anak. Aku masih jomblo sampai sekarang."
"Masa'?" tanya Windi tak percaya.
"Dibilang koq. Mau gimana dapet pacar? Tiap hari kerjanya di ruangan terus, jarang keluar. Keluar-keluar kalau liburan aja," jawab Galuh sebal.
"Hahahaha, jangan gitulah. Elo itu cakep suwer, Gal. Bahkan gue kira setiap cowok bakal setuju kalau cantiknya Elo ini bikin sakit gigi," puji Windi. "Pasti ada dong yang tertarik ama Elo."
Galuh mengangkat bahunya. "Tapi gue enjoy aja koq hidup sendiri. Lagian untuk menuju ke hubungan yang sekedar pacaran aku nggak mau. Mendingan nikah aja. Aku butuh seorang yang benar-benar siap."
"Subhanallah ukhti, luar biasa," ucap Windi dan Ratri serempak. Jimmy langsung tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Windi dan istrinya.
"Dasar kalian. Nggak berubah ya ternyata," ucap Galuh gusar.
"Habisnya beneran deh, Gal. Kamu itu lebih kalem sekarang. Pakai jilbab pula. Ini kemajuan lho," puji Windi sekali lagi.
"Aku soalnya terpengaruh oleh seniorku di kampus. Salah satu anggota rohis. Dia banyak memberikanku pemahaman seputar menjaga aurat, jadinya... begitulah. Lagipula yang banyak berubah itu kamu, Win. Kamu lebih kalem sekarang, lebih apa yah...lebih mempesona. Dokter Windi. Wih, denger itu aja rasanya gimana gitu," cerita Galuh sambil memuji Windi.
"Itu juga betul sih," celetuk Ratri.
Mereka pun memesan makanan. Setelah beberapa menit kemudian makanan pesanan mereka pun datang. Sambil makan mereka mengobrol tentang peristiwa-peristiwa terbaru hingga akhirnya membahas tentang fenomena yang baru saja terjadi di langit. Kedatangan alien dan berita tentang pesawat TNI AU yang bisa menumbangkan makhluk asing itu.
"Ngomong-ngomong, itu Samudra bukan kira-kira?" tanya Galuh. "Menurutmu gimana, Win?"
Windi mengangkat bahunya. "Entahlah."
Melihat wajah Windi yang sedikit sendu, Ratri sepertinya bisa memahami perasaan Windi. Windi bisa saja berharap-harap cemas tentang setiap pesawat yang jatuh. Dia hanya bisa berharap itu bukan Samudra. Pemuda itu pernah berkata kalau terjadi apa-apa dengannya, maka orang yang pertama kali dihubungi adalah dirinya. Maka dari itu, selama tak ada kabar buruk dari TNI, artinya tak ada sesuatu yang buruk terjadi dengan Samudra. Tetapi syukurlah pilot yang gugur itu bukan Samudra, sebagaimana jumpa pers Panglima TNI beberapa waktu lalu.
"Setiap Gue mendengar suara pesawat tempur mengudara di langit, Gue merasa itu Samudra. Tetapi Lo tahu, Gue tak bisa mengucapkan apa-apa kepadanya kalau seandainya memang benar itu dia. Gue hanya bisa melihat pesawat itu dari jauh, melintas dari balik awan. Ah, sudahlah. Ini sudah pilihan Gue yang memilih kekasih seorang prajurit. Toh, kalau dia berani selingkuh Gue bakal menaboknya kalau ketemu. Kalau perlu Gue tenggelamkan aja di Laut Jawa," ucap Windi sambil mengunyah udang tepung yang ada di hadapannya.
Ratri , Jimmy dan Galuh tersenyum. Mereka bisa mengerti perasaan Windi. Mengalami hubungan jarak jauh itu memang tidak mudah. Galuh sendiri tak bisa memberikan nasehat yang berarti karena ia tak pernah mengalami hal itu. Tanpa disadari oleh mereka, seseorang sebenarnya sudah masuk ke restoran tersebut. Dia memakai seragam tentara dengan tanda wing di dadanya. Langkahnya memang senyap, keberadaannya tak terdeteksi hingga kedua mata Windi tertutup oleh tangannya. Ratri, Jimmy dan Galuh terbelalak. Mereka tak menyadari kalau orang yang mereka bicarakan sudah ada di tempat itu.
Dada Windi berdesir. Dia berusaha mengambil napas. Oksigen di paru-parunya seolah-olah lenyap begitu saja. Perlahan-lahan ia menepis tangan yang menutupi kedua matanya. Dia segera berdiri dan mendapati seorang dengan potongan rambut cepak, berseragam loreng, berdiri di hadapannya.
Samudra sudah berdiri di hadapannya. Pilot muda itu tersenyum kepadanya, "Kenapa? Kalian seperti melihat hantu."
PLAK! Suara tamparan keras terdengar hingga seluruh restoran mendengarnya. Samudra bingung ia sampai menggosoki pipinya yang ditampar oleh Windi.
"Aduh, kenapa aku di tampar?" tanya Samudra.
"Ternyata bukan mimpi," jawab Windi. Ia segera memeluk orang yang disayanginya itu. Rasanya semua kerinduannya tertumpah saat itu juga. "Kenapa Lo nggak ngasih kabar? Kenapa?"
Samudra bingung kenapa dia ditampar kalau hanya untuk meyakinkan bahwa Windi tidak bermimpi, tapi sudahlah. Yang penting rasa kerinduan mereka sudah terobati dengan reuni kecil ini.
* * *
AN
adepes rotom: Sepeda motor
nakam: makan
Ora jes: bukan
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top