25 | Menghilangkan Keputus Asaan

"Kabut apa ini sebenarnya?" gumam Sheila saat kabut gelap mulai memenuhi jalanan di kota Malang. Bersamaan dengan itu orang-orang menjerit histeris. "Gelap, semuanya gelap. Kita tak bisa keluar dari hotel!"

Mereka sekarang berada di kamar hotel. Sepertinya sedang terjadi kekacauan di luar sana. Hal itu membuat mereka tak bisa berbuat banyak.

"Kenapa?" tanya Galuh.

"Aku bisa melihat suara, pita-pita itu semuanya berwarna gelap. Kita tak bisa keluar," ujar Sheila.

"Lalu apa yang harus kita lakukan?" tanya Ririn.

Galuh masih memeluk Agi yang sedang gemetar. Mata Agi melirik ke kabut yang ia lihat dari kaca jendela. Kabut itu seolah-olah sedang mencari-carinya. Dengan wajah ngeri Agi kemudian mendekap Galuh lebih erat. Menyadari ketakutan itu, Galuh berusaha menenangkan Agi dengan mengusap-usap punggungnya. Yuyun juga berada di dekatnya. Melihat bagaimana dengan penuh perhatiannya Galuh menemani Agi, Yuyun turut senang. Kakaknya ternyata sudah punya orang yang bisa menjaga dirinya.

"Mas Agi, kau harus kuat. Sadarlah!" ucap Yuyun yang panik melihat kakaknya gemetar.

"Kau tak apa-apa, tenanglah!" ujar Galuh.

"Bagaimana dengan Windi dan yang lainnya?" tanya Sheila. "Aku khawatir dengan mereka."

"Kau tak perlu mencemaskan Windi. Dia lebih tangguh dari kelihatannya," jawab Galuh. "Sekarang ini, aku lebih khawatir Agi daripada yang lain."

"Aku juga khawatir dengan suamiku," ucap Sheila. "Aku tahu suatu saat nanti hari ini akan datang. Aku tak bisa menggunakan ponsel, sinyalnya mati. Aku tak tahu kabar anakku bagaimana. Trus, telpon hotel juga tak berfungsi."

Ririn mencoba ponselnya. Ia melihat di simbol sinyal hanya terlihat tanda silang. Artinya tak ada servis operator. Semuanya benar-benar lumpuh. Komunikasi lumpuh. Tiba-tiba lampu padam. Listrik mulai lumpuh juga. Sekarang tak ada penerangan yang bisa mereka jadikan teman.

"Bagus, sekarang listrik padam," gerutu Ririn.

"Selimuti aku!" pinta Agi. "Aku bisa merasakannya. Dia datang."

Yuyun segera mengambil selimut setelah itu menutupi Agi dengannya. Galuh ikut membungkus tubuh Agi dengan selimut. Galuh tak tahu bagaimana caranya lagi untuk bisa menolong Agi. Yuyun juga tak mengerti tentang keadaan kakaknya tersebut. Apa yang membuatnya bisa sampai seperti itu? Dada Galuh terasa sakit melihat penderitaan yang didapati oleh Agi. Ingin rasanya ia menghapus penderitaan itu. Tapi bagaimana?

Mungkin pertanyaan terbesarnya adalah kemana Kesadaran Bumi yang dulu pernah menemuinya? Kemana kakek-kakek yang memberikannya kekuatan yang tak diinginkannya ini?

"Aku ingin keluar sebentar," ucap Galuh.

"Mbak Gal, mau kemana? Kita aman di sini!" sergah Ririn.

Galuh menggeleng. "Ada yang harus aku lakukan. Kalian tunggu aku, jaga Agi!"

"Tenanglah, Mas Agi bisa aku jaga," ucap Yuyun. "Kau pasti punya urusan yang ingin kau selesaikan."

Galuh hanya mengangguk. Sepertinya Yuyun lebih tahu tentang apa yang ada di pikiran kekasih kakaknya tersebut. Sifat Galuh mirip dengan sifat kakaknya, ada sesuatu yang pasti disembunyikan. Seolah-olah orang lain tidak boleh tahu beban yang sedang dia pikul.

Sheila sepertinya paham apa yang sedang terjadi. Dia memberi isyarat kepada Ririn agar tenang. "Biarkan dia. Aku tahu Galuh pasti punya rencana. Bukan begitu?"

Galuh mengangguk sambil tersenyum. Tanpa berpikir panjang, dia segera pergi keluar dari kamar hotel. Dia sendiri tak tahu hendak kemana. Ia hanya ingin mencari tempat yang sunyi. Tempat yang bisa dia gunakan untuk berbicara dengan Kesadaran Bumi. Dia tahu pasti ada suatu cara yang bisa dia gunakan untuk menolong semua orang. Tetapi bagaimana?

Dia merasa bodoh sekarang ini. Merasa semua peristiwa yang terjadi sekarang ini adalah kesalahannya. Dia sendiri tak yakin apakah ia bisa menolong orang-orang ini. Kekuatannya tak bisa dia gunakan kepada Agi, sebab Agi memiliki hati yang kuat. Sama seperti Samudra. Kalau saja bisa, mungkin sekarang ini ia bisa mempengaruhi Agi agar tidak takut dan gemetar.

Galuh tak sadar ia sudah berada di depan hotel. Dia tak tahu hendak kemana sekarang.

"Kakek Dipa. Kenapa kau tak muncul? Kau Kesadaran Bumi, bukan? Kau yang memberikan kekuatan ini kepadaku kenapa tidak muncul? Muncullah! Sebagaimana Kesadaran Bumi yang lainnya muncul. Kenapa kau tak pernah muncul lagi?" ujar Galuh.

Dia menoleh ke kanan dan ke kiri kalau-kalau makhluk itu muncul. Dia lalu berlari ke sana kemari mencari-cari, hingga akhirnya putus asa. Melihat orang-orang sedang panik berlarian ia merasa iba. Bahkan sekarang ini ia merutuki dirinya sendiri.

"Kenapa kau berikan kekuatan ini kepadaku? Apa salahku? Kenapa harus aku? Karena kekuatan ini aku nyaris kehilangan sahabatku. Karena kekuatan ini pula aku melukai orang lain. Kalau memang kekuatan ini sangat berbahaya seperti ini, kenapa kau berikan kepadaku? Kenapa aku? Tak tahukah kau aku sangat menderita?"

Air mata Galuh keluar. Dia tak bisa lagi menahan emosinya. "Kumohon, keluarlah! Apa yang harus aku lakukan? Aku merasa tak bisa berbuat apa-apa sekarang ini. Aku pernah berusaha untuk mengakhiri hidupku karena kekuatan ini. Kalian, Kesadaran Bumi seolah-olah memberikan sebuah pisau kemudian kalian lepas kami di hutan belantara. Kenapa kalian melakukan ini kepada kami? Aku sama sekali tidak bangga memiliki kekuatan ini, aku merasa kekuatan ini adalah kutukan. Ya, kalian benar-benar telah mengutuk kami! Betapa banyak orang-orang yang terluka, karena sebagian pemilik kekuatan ajaib? Lalu ini, apa? Makhluk apa pula yang sangat berambisi untuk menghabisi manusia? Kenapa mereka melakukan itu?

"Keluarlah, aku mohon. Berikan aku penjelasan atas semua yang terjadi. Kenapa kau tidak muncul?" teriak Galuh. Suara Galuh seperti tenggelam begitu saja di dalam kesunyian. Tak ada yang menanggapinya, tak ada yang menolongnya.

Awan tiba-tiba datang bergulung-gulung. Fenomena ini tidak biasa. Galuh mendongak. Awan itu sama seperti awan ketika Samudra dulu bertarung. Sheila bernyanyi, seolah-olah berusaha membantunya. Gadis ini tidak menyadari hal tersebut. Kakinya berjalan lagi tanpa tujuan. Dia tidak berusaha melarikan diri, hanya tak tahu apa yang harus dia lakukan.

Galuh sampai di sebuah bangku. Dia pun duduk di sana. Dia tak mempedulikan orang-orang sedang berlarian kesana kemari karena panik. Kepalanya menunduk dan dia pun menangis. Keadaannya benar-benar putus asa. Di benaknya ia teringat dengan kedua orangtuanya. Bagaimana kabar mereka? Apakah mereka selamat? Ia pun memeluk tubuhnya sendiri.

"Hujan selalu menyegarkan," tiba-tiba terdengar suara orang. Galuh terkejut. Di sebelahnya sudah ada seorang kakek duduk bersandar di bangku. Betapa bahagianya Galuh saat itu. Kesadaran Bumi yang memberinya kekuatan tiba-tiba saja muncul di sebelahnya. Tanpa aba-aba ia pun memeluk kakek tersebut.

"Kenapa? Kenapa kau baru muncul?" tanya Galuh.

"Karena kau sudah tak membutuhkan kekuatanmu lagi, maka dari itulah aku tak menyapamu lagi. Kau menganggap kekuatan ini adalah kutukan, tetapi sebenarnya bukan. Tergantung bagaimana kamu menilainya," jawab sang kakek.

Galuh melepas pelukannya. Dia mencoba memahami apa yang diucapkan sang Kesadaran Bumi. Kakek itu bangkit dari duduknya, membiarkan air hujan membasahi tubuhnya. "Kesadaran Bumi hanyalah melaksanakan tugasnya. Di dalam tubuh setiap pemilik kekuatan ajaib, terdapat mineral yang sama dengan kami. Oleh sebab itulah kami bisa menemui kalian. Setiap bagian dari diri kami adalah Alpha, kau juga adalah bagian darinya. Kau sudah ditentukan sebagai pemilik kekuatan semenjak ledakan besar."

"Tetapi kekuatan ini hanya menjadikan keburukan buatku. Teman-temanku, bahkan aku melukai orang lain," ujar Galuh.

"Benarkah demikian? Itu tidak sepenuhnya benar," sanggah Kesadaran Bumi. "Coba kau ingat, kapan kau pernah menggunakan kekuatan itu sepenuhnya? Apakah kau menggunakan kekuatan itu kepada Daniel?"

Galuh mencoba mengingat-ingat kembali. Dia yakin pasti karena pengaruh kekuatannya sehingga Daniel tiba-tiba menyukainya.

"Itu tidak benar, kau belum pernah menggunakan kekuatanmu kepada Daniel. Apa yang dirasakan Daniel kepadamu dulu adalah perasaan yang sesungguhnya, bukan pengaruh karena kekuatanmu," terang sang Kesadaran Bumi.

Galuh terkesiap. Dia tak mempercayainya.

"Apakah karena itu kau merasa bersalah? Jangan. Kau tidak bersalah dalam hal ini. Lalu, kepada Gagah Prambudi. Apakah kau bersalah karena itu? Tidak, jangan kau salahkan dirimu. Kau melakukannya untuk menolong orang lain. Kau menyayangi sahabat-sahabatmu, kau melakukannya untuk Windi. Kalau kau biarkan Gagah Prambudi berbuat sesukanya, maka akan banyak jiwa menjadi korban kejahatannya. Kau tidak bersalah dalam hal ini."

Galuh mulai merasa sedikit lega dengan penjelasan Kesadaran Bumi. Setidaknya ia mengetahui kalau kejadian di masa lalunya bukan karena ia menggunakan kekuatannya.

"Sekarang, kau ingin aku memberitahu rahasia terbesar kekuatanmu?" tanya Kesadaran Bumi.

Galuh mengangguk. "Iya. Katakan!"

"Kekuatanmu bukan saja mempengaruhi manusia. Kekuatan pesonamu bisa mempengaruhi semua makhluk hidup, artinya tidak terbatas hanya manusia saja. Dengan kekuatanmu kau bisa membimbing siapa saja untuk memperbaiki diri mereka. Bahkan, untuk menyelamatkan orang lain yang membutuhkan pemikiran yang positif. Aku yakin kau tahu apa yang aku maksud."

"Shangri-La?" mata Galuh terbelalak.

"Kau sudah mengerti sekarang."

"Tetapi, aku tak bisa mempengaruhi orang yang memiliki hati yang kuat," ujar Galuh.

"Memang benar, tetapi Shangri-La tak memiliki hati. Dia berbeda dengan manusia."

"Dan aku akan memberikan tambahan kekuatan kepadamu. Hanya saja setelah ini aku tak akan menemui lagi untuk selamanya. Apa kau keberatan dengan hal itu?"

Galuh mengernyit. "Maksudmu ini perpisahan kita?"

"Aku hanya akan melihatmu dari jauh. Kekuatanku tak akan bisa muncul untuk kedua kalinya setelah memberikan kekuatan tambahan kepadamu," ujar Kesadaran Bumi. "Entitas kami punya waktu dan kekuatan terbatas."

"Apa yang akan kau berikan kepadaku?"

"Kau akan mengerti setelah menggunakannya. Aku yakin kau akan menggunakan kekuatanmu ini dengan bijak. Kau bukan orang jahat, Galuh. Kau bisa menggunakannya dengan bijak," jelas Kesadaran Bumi.

Sang kakek kemudian mendekat ke Galuh, setelah itu menyentuh dahi gadis tersebut. Galuh merasakan tangan sang kakek menghangat, setelah itu dari tubuh sang kakek muncul cahaya yang sangat menyilaukan. Galuh menutup matanya. Untuk beberapa detik dia memicingkan mata, hingga kemudian dia membuka lagi. Sang kakek pun sudah tidak kelihatan lagi.

"Terima kasih, aku akan menggunakan kekuatan ini dengan sebaik-baiknya."

Tak henti-hentinya Galuh mengucapkan terima kasih. Dia sekarang tahu apa yang harus dilakukan.

* * *

Helikopter yang membawa Johan dan Samudra sudah berada di atas Laut Jawa. Dari kejauhan mereka bisa melihat bagaimana bentuk Shangri-La. Shangri-La lebih seperti bentuk sebuah gunung kristal dengan berbagai sudut runcing. Beberapa bagian dari bentuknya seperti bebatuan terjal dengan bentuk heksagonal seperti sarang lebah. Kabut berwarna gelap keluar dari Shangri-La, mereka tak mengetahui sebenarnya bagaimana kabut itu bisa keluar dari Shangri-La.

"Kita mendarat di mana, Kapten?" tanya sang pilot. "Pandangan kita terbatas!"

"Sial, susah sekali mendekat," ucap Samudra.

"Kita bisa turun dari sini. Kau masih punya tenaga untuk menggendongku?" tanya Johan kepada Samudra.

"Mungkin, kalau kau tak keberatan. Namun, aku tak akan punya tenaga lagi untuk kembali," kata Samudra. "Terbang akan membutuhkan tenaga yang tidak sedikit."

"Ayo lakukan!" pinta Johan.

Samudra dan Johan melepaskan headphone mereka. Sang pilot kebingungan saat Samudra berjalan menuju ke pintu helikopter bersama Johan.

"Kapten? Anda mau ngapain?" tanya sang pilot.

"Segera pergi dari tempat ini!" perintah Samudra.

"Tapi...," sang pilot tak meneruskan kata-katanya saat Samudra menggendong Johan, setelah itu terjun dari helikopter. Samudra menggunakan kemampuan terbangnya untuk bisa mendarat di atas Shangri-La. Tenaga Samudra nyaris habis, tetapi ia tetap memaksa. Akhirnya mereka pun mendarat di atas tempat yang datar. Samudra mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya.

Johan menatap jauh ke depan. Dia bisa mendengarkan suara-suara tertentu. Shangri-La berbicara kepadanya. Dia mengerti begitu saja, sama seperti ketika ia berbicara dengan Bumi untuk pertama kali. Apakah bahasa yang mereka gunakan sama?

"Johan? Kau mau kemana?" tanya Samudra saat Johan melangkahkan kakinya. Dia mendengus kesal. Samudra mengeluarkan pistol dari pinggangnya untuk mengikuti Johan.

Bulu kuduk Samudra berdiri. Entah karena rasa takut ataukah hawanya yang memang tidak bersahabat. Kabut misterius ini mungkin salah satunya. Samudra mengira kabut ini pasti berakibat buruk kalau dia hirup. Sang prajurit pun mulai berhati-hati. Dia waspada kepada setiap gerakan dan suara sambil terus berada di belakang Johan yang seolah-olah menghampiri sesuatu yang memanggilnya. Mereka terus berjalan hingga sampai jauh ke dalam Shangri-La.

Setelah jauh berjalan ke dalam Shangri-La, kedua orang ini akhirnya sampai di sebuah tempat yang dipenuhi cahaya-cahaya kecil. Cahaya-cahaya itu seperti lampu-lampu LED yang redup dengan diselimuti kabut. Samudra tak bisa melihat dengan jelas apa saja yang ada di ruangan tersebut, tetapi dia bisa melihat ada bayangan manusia di sana, berdiri di depan bola raksasa berwana ungu.

"Selamat datang Geostreamer," sapa seseorang.

Samdura mengenali suara itu. "Profesor Garry," panggil Samudra. "Apa yang profesor lakukan?" Dia langsung membidik sang Profesor.

"Maaf, tapi aku tak membutuhkanmu," ucap Profesor Garry.

Tiba-tiba Johan dikejutkan dengan suara bedebum yang sangat keras. Ia baru menyadari kalau ada sesuatu di dalam ruangan itu. Ada kaki raksasa berkuku tajam berada tepat di depannya. Samudra mendongak, ia melihat makhluk raksasa seperti naga dengan tubuh berwarna kelabu menghadangnya. Pemuda ini tak bisa berbuat banyak saat tangan besar sang Omega menghantamnya hingga ia terpental melesat keluar dari Shangri-La dengan kecepatan tinggi. Untungnya kewaspadaan Samudra cukup baik, ia telah melindungi dirinya dengan kekuatan angin sebelum tangan raksasa Omega menghempaskannya. Tubuh Samudra seperti semut yang disentil oleh manusia, terbang melayang di udara dengan kecepatan tinggi.

Samudra meronta. Ia berusaha menyerap segala energi yang ia miliki agar bisa mengendalikan tubuhnya untuk tidak jatuh ke bumi. Sebab, ia tahu kalau sampai jatuh ke bumi tubuhnya bisa hancur. Dia mulai menata kekuatan anginnya, kedua tangannya terus menggapai-gapai hingga akhirnya ia bisa membuat pelindung di sekitar tubuhnya sebelum menghantam sebuah bangunan. Samudra terhempas cukup jauh, dari Laut Jawa hingga ke pesisir utara pulau jawa. Ia mendarat dengan buruk di salah satu rumah penduduk. Tubuhnya menghantam atap rumah hingga jebol.

Samudra meraba-raba tubuhnya kalau ada luka. Rasa sakit dan nyeri berasa di punggungnya akibat pendaratan buruk. Matanya melihat ke sekeliling. Ada beberapa orang yang ada di dalam rumah tersebut. Mereka terheran-heran saat Samudra berusaha berdiri dari reruntuhan. Samudra menatap beberapa anggota keluarga yang berada di dalam rumah tersebut.

"Maaf, nanti aku ganti," ucap Samudra. Setelah itu ia berdiri untuk keluar dari rumah tersebut. Sebelumya ia mendongak dulu untuk melihat seberapa parah kerusakan rumah ini. Lumayan parah. Rumah tersebut kini punya lubang baru di atapnya, cukup besar. Dia lalu keluar lewat pintu sambil meninggalkan para penghuni rumah tersebut dengan penuh pertanyaan.

Keluarga ini tidak terpengaruh kabut yang dikeluarkan oleh Omega. Samudra mendongak ke langit, tak ada tanda-tanda nomad di udara. Kemana para nomad? Apakah para nomad hanya mengincar daerah padat penduduk? Bisa jadi? Atau mungkin karena ECHO telah membantu membersihkan para nomad di atas langit beberapa saat yang lalu? Bisa jadi juga.

Samudra keluar dari rumah dengan langkah kaki terseok-seok. Dia butuh minum, tenggorokannya serasa terbakar. Terpental dengan kecepatan tinggi lalu mendarat dengan tidak mulus tak pernah ia alami sebelumnya. Kalau saja ia berada di dalam pesawat, sudah pasti nyawanya melayang. Ia cukup bersyukur memiliki kekuatan ajaib. Dia duduk di tepi jalan sambil mengatur napasnya, lalu bersandar di sebuah tiang penyangga papan nama.

"Makhluk apa tadi? Itukah Omega? Bagaimana caraku mengalahkannya?" gerutu Samudra. "Sial, tenagaku habis. Aku butuh minum."

Saat Samudra kelelahan dia melihat sekeliling tempat tersebut. Dia membaca tulisan di papan nama yang berada di atasnya. Di sana tertulis "LANUD TNI-AU SURABAYA". Alisnya terangkat. "Lihat, betapa beruntungnya aku. Semoga saja aku bisa meminjam salah satu pesawat."

* * *

Galuh kembali ke kamar hotel. Dia melihat Agi berada di dalam selimut menggigil dengan tatapan mata kosong. Sheila tampak sedang menatap jendela sambil bernyanyi dengan suara merdunya. Nyanyian pemanggil hujan Sheila. Sedangkan Ririn sedang duduk. Dia tampak senang saat melihat Galuh kembali.

"Mbak Gal!?" seru Ririn dan Yuyun bersamaan.

"Agi, aku tahu kau sedang ketakutan. Mungkin akibat pengaruh kekuatan ayahmu, tetapi ini bukan saatnya untuk takut," ucap Galuh.

Agi tak menggubrisnya seolah-olah ia berada di tempat lain. Galuh mendekat kepada pemuda itu lalu menamparnya dengan keras.

"SADAR! LIHAT AKU! LIHAT AKU!" ucap Galuh sambil menggoyang-goyangkan kepala Agi.

Pikiran Galuh sekarang berusaha masuk ke dalam pikiran Agi, sebagaimana pikiran mereka telah sinkron. Mereka terhubung satu sama lain. Saat pikiran Galuh masuk ke dalam pikiran Agi, Galuh seolah-olah bisa melihat Agi sedang terikat oleh akar-akar pohon.

"Ini tidak boleh terjadi," ucap Galuh. Dia segera mendekat ke Agi. Tampak wajah Agi memucat seolah-olah seluruh darahnya terhisap oleh akar-akar tersebut. Ini semua berada di dalam pikiran, Ririn dan Sheila tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan keduanya. Yang bisa mereka lihat sekarang Galuh dan Agi mematung begitu saja.

Sekarang Galuh berusaha melepaskan ikatan akar-akar pohon yang melilit tubuh orang yang dicintainya itu. Sekuat tenaga ia melakukannya.

"Bangun Agi! Sadarlah! Kau tak boleh takut! Aku tak mau kehilanganmu. Ayolah!" jerit Galuh. Dia berusaha melepaskan Agi dari akar-akar tersebut. Sekuat tenaga tangan Galuh melepaskannya, ia tak peduli kalau sampai ia kehilangan tangannya karena usahanya itu. Akar-akar itu ternyata tak hanya melilit Agi, kini tangannya juga mulai dirambati oleh akar-akar tersebut. Dia tak peduli yang penting Agi selamat.

Lilitan demi lilitan akar di tubuh Agi mulai lepas. Saat itu tubuh Galuh mulai diliputi kegelapan. Akar-akar tersebut mulai beralihi dari tubuh Agi ke tubuhnya. Hingga saat tubuh Agi terbebas semua dari akar-akar itu kini tubuhnya yang terpenjara. Ia tak dapat bergerak. Air matanya keluar, ia menyerah. Ia putus asa. Dan di saat ia merasakan keputus-asaan itulah ada tangan yang menggapainya.

"Kau tak boleh putus asa. Jalan kita masih panjang!" Agi memegang tangannya. Setelah itu pemuda itu menarik tubuh Galuh agar keluar dari lilitan akar-akar tersebut. Keduanya lalu terbebas dari kegelapan.

Galuh dan Agi tersadar. Keduanya saling menatap satu sama lain. Kali ini Agi menarik kepala Galuh lalu menciumnya. Keduanya seolah-olah baru saja berpisah bertahun-tahun lamanya. Galuh merangkulkan lengannya ke leher Agi. Untuk beberapa detik lamanya mereka tenggelam dalam ciuman yang boleh dibilang seperti ciuman kerinduan. Ciuman itu pun berakhir dengan keduanya tersenyum satu sama lain.

"Baiklah, setelah ini semua selesai aku tak ingin berpisah denganmu," ucap Agi.

"Aku juga," sambung Galuh.

"Kau mau menikah denganku?"

"Woy! Adegan romancenya ntar aja napa? Nggak ngira apa ada yang jomlo di sini?" gerutu Ririn membuat suasana romantis mereka jadi sedikit canggung. Yuyun ikut nyengir melihatnya.

Galuh dan Agi menoleh ke arah Ririn yang menampakkan wajah sewot. Galuh mencium Agi sekali lagi, seolah-olah mengejek Ririn. Yuyun menyunggingkan senyum.

"Ih, malah diterusin," gerutu Ririn.

"Sudahlah, yang penting mereka tak apa-apa," ucap Yuyun.

"Baiklah, kita bicarakan ini nanti setelah semuanya selesai," ucap Galuh.

Agi kemudian bangkit. Dia merasa ada kekuatan baru yang bangkit dari dalam dirinya. Untuk beberapa saat dia mengamati keadaan sekitar. Dari jendela ia bisa melihat kabut yang menyelimuti kota.

"Kita harus menuju ke Shangri-La," ucap Galuh.

"Iya, aku tahu. Saat kau masuk ke dalam pikiranku tadi aku sudah tahu semua yang terjadi. Kau bertemu dengan Kesadaran Bumi, kau sekarang tidak menyalahkan dirimu lagi," tutur Agi.

Galuh mengangguk.

"Apa rencana kalian?" tanya Ririn. "Pergi ke Shangri-La? Itu gila! Kau bisa terbunuh, Mbak Gal!"

"Menurutmu, siapa yang bisa melakukan ini kalau bukan kami?" tanya Galuh. "Ririn, Yuyun, terima kasih atas semuanya. Aku tak tahu apakah aku bisa kembali atau tidak."

"Mas Agi? Mas yakin akan baik-baik saja? Bagaimana kalau bertemu dengan ayah?" tanya Yuyun.

"Aku bisa bicara dengannya," jawab Agi.

"Tapi tak semudah itu bukan?"

Agi mengangkat bahunya. "Dia harus dihentikan. Aku tak ingin semua orang celaka karena ulahnya."

"Mbak Gal!" Ririn langsung memeluk Galuh. "Jangan tinggalin aku. Nanti bagaimana aku bicara sama Om dan Tante?"

"Aku akan baik-baik saja. Kau tak perlu khawatir. Setidaknya, menyelamatkan umat manusia lebih baik daripada aku harus berdiam diri saja," ujar Galuh. "Aku sekarang tidak takut lagi terhadap kekuatanku. Aku bisa melakukannya. Tapi, bagaimana kita bisa menuju ke Shangri-La?"

Agi tersenyum sambil menoleh ke jendela. Sheila menoleh ke arah mereka. "Kukira teman kalian yang akan membawa kalian ke sana," ucap Sheila. Di luar sana terlihat kapal luar angkasa melayang di atas hotel. ECHO telah berada di sana menunggu Agi dan Galuh untuk naik ke dalamnya.

* * *

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top