24 | Ingatlah Tugasmu
Sirine meraung-raung di mana-mana. Satu dunia berduka. Seluruh tempat di dunia ini yang didatangi nomad mendapatkan serangan yang sama. Pemusnahan umat manusia besar-besaran telah dimulai. Seluruh media mengabarkan kedukaan, para reporter dan wartawan menangis menyaksikan apa yang sedang terjadi. Semuanya sudah terjadi, tak ada yang bisa memutar balikkan waktu. Indonesia juga mendapatkan serangan yang cukup telak. Nyaris seluruh kota di Indonesia luluh lantak. Daerah yang tak terkena dampak adalah daerah yang jarang penduduk seperti pedesaan ataupun pegunungan.
"Malapetaka, apa yang terjadi di depan mata kita adalah malapetaka. Apakah ini akhir dunia?" terdengar suara reporter tv melaporkan apa yang sedang terjadi. Di layar terlihat bangunan-bangunan yang hancur, orang-orang terluka, serta orang-orang berlarian ke sana kemari memberikan pertolongan.
Seorang lelaki yang berada di balik jeruji besi sedang menonton berita di tv. Nyaris di sekujur tubuhnya terdapat luka bakar yang tidak biasa. Separuh wajahnya terbakar, sedangkan lengan dan kakinya terdapat bekas-bekas kulit yang melepuh. Dia adalah Rahardian, seseorang yang pernah melawan Samudra dulu. Melihat peristiwa yang terjadi di tv dia ikut merinding. Pertarungannya dengan Samudra tidak menakutkan, justru melihat kengerian yang ada di tv membuatnya merinding.
Sudah lama dia meringkuk di penjara. Dia dikenai pasal berlapis, karena membunuh serta melakukan beberapa kejahatan lain. Setelah pertarungan dengan Samudra, dia benar-benar tak pernah lagi punya keinginan untuk hidup sebenarnya. Beberapa kali mencoba untuk bunuh diri tetapi gagal. Dia juga sudah enggan menggunakan kekuatan ajaib yang dia miliki, meskipun tak susah untuk bisa keluar dari tembok penjara, tetapi ia tidak melakukannya. Dia berpikir mati di dalam penjara lebih baik daripada harus mati di luar sana. Namun, melihat apa yang sedang terjadi di luar sana, membuat ia merasa terpanggil.
"Apa yang dilakukan oleh orang-orang itu? Kenapa mereka tak membantu? Bukankah mereka punya kekuatan ajaib pula?" gerutu Rahardian.
"Lagi ngoceh apa kau?" tanya teman satu selnya.
"Itu, lihat di tv!" tunjuk Rahardian.
"Bukan urusan kita. Lagian kalau toh dengan uru hara seperti itu kita bisa keluar, barulah itu lain soal," ucap orang tersebut.
Rahardian menghela napas. "Kalian tak mengerti apa-apa. Sudahlah."
Orang-orang di dalam satu sel itu tak ada yang berani membantah Rahardian. Dia tidak dipandang rendah di dalam sel tersebut. Di dalam LAPAS ada banyak tingkatan kasta. Dari kasta rendah sampai yang tertinggi. Mereka diurutkan berdasarkan level kejahatan yang mereka lakukan. Semakin tinggi kasta kejahatannya, maka dia akan dianggap sebagai bos. Rahardian termasuk salah satu di antaranya. Sebagai narapidana pembunuhan, maka dia mendapatkan tempat khsusus dan disegani. Tak ada satupun preman dan para penjahat yang mau berurusan dengan dia di dalam LAPAS. Terlebih dia juga satu-satunya orang yang berani dengan kepala sipir yang terkadang sok berkuasa. Berkali-kali masuk ke sel isolasi adalah kehormatan baginya. Dia berkali-kali keluar dari LAPAS dengan cara yang tidak diketahui, tetapi dengan santai ia masuk lagi ke dalam LAPAS. Tambah lagi orang-orang tertegun dengan dirinya.
Walaupun Rahardian disegani di LAPAS, tetapi dia masih tidak menggubris ketika banyak para napi dengan catatan kriminal yang tidak biasa ingin merekrutnya. Bagi mereka Rahardian adalah aset penting, kalau ada yang bisa merekrutnya, maka sudah pasti mereka punya kekuatan baru yang tak terkalahkan. Nyatanya justru orang-orang itu tak ada yang berani kepada Rahardian. Orang ini siap mati kapanpun. Ia bahkan lebih menyukai kematian, ketika mengingat lagi dosa-dosanya. Sampai sekarang ia masih merindukan kematian.
"Aku ingin keluar dari tempat ini," ucap Rahardian.
"Wah, kau tahu caranya keluar dari tempat ini?" tanya penghuni sel.
"Kalian tak perlu ikut, aku ingin keluar sendirian. Urusan ini tak bisa diselesaikan dengan orang-orang seperti kalian," jawab Rahardian.
"Tidak bisa begitu, kalau kau ingin keluar kami juga ikut," kata salah satu penghuni sel.
Penghuni sel itu ada enam orang termasuk Rahardian, semuanya adalah para kriminal dengan tingkat kejahatan yang tidak biasa. Mereka tentu saja sangat ingin keluar dari tempat ini, kecuali Rahardian. Namun, pikiran Rahardian berubah. Dia ingin keluar untuk membantu manusia-manusia yang sedang membutuhkan pertolongan.
"Kalian tak akan bisa keluar dari tempat ini," ucap Rahardian.
"Kenapa?" tanya salah satu penghuni sel.
Tiba-tiba Rahardian menggerakkan tangannya, seketika itu kaki kelima penghuni sel lainnya terkurung oleh lapisan bebatuan dan semen. Mereka menjerit.
"A-apa ini? Lho, kenapa kakiku?" jerit salah satu penghuni sel.
"P-punyaku juga! Ada apa? Kenapa bisa begini?" kata penghuni yang lain.
Rahardian tersenyum. Dia lalu menggedor-gedor teralis. "Tolong! Tolooong! Toloong!" teriaknya. Teriakannya yang cukup kencang membuat penjaga terhenyak. Salah satu sipir kemudian segera menghampiri sel di mana Rahardian berada.
"Ada apa?" tanya sipir tersebut.
"I-itu pak, teman-teman saya. Tiba-tiba kakinya terbungkus batu!" kata Rahardian sambil menunjuk ke lima penghuni sel lainnya.
Sang Sipir sempat tak percaya, tetapi setelah melihat keadaannya ia pun terkejut. Dia segera meniup peluit yang dia bawa. Dua temannya segera tanggap lalu ikut menghampiri ke arahnya. Mereka saling berpandangan saat melihat keadaan kelima orang yang ada di dalam sel tersebut.
"Kok bisa begitu, bagaimana kejadiannya?" tanya sang sipir.
Rahardian mengangkat bahunya. "Saya tak tahu pak, tiba-tiba terjadi begitu saja."
Sang sipir mengernyit. Dia lalu mengambil kunci yang ada di pinggangnya, setelah itu membuka pintu teralis. Rahardian sangat senang. Dia adalah pengendali tanah dan batu. Kekuatan ajaib yang dia miliki tidak bisa membuka pintu teralis yang terbuat dari besi.
"Kalian kenapa bisa begini?" tanya sipir lainnya.
"Tidak tahu, Pak. Tiba-tiba begini," jawab penghuni sel.
Saat pintu terbuka, Rahardian tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dengan kemampuannya mengendalikan batu, dia membuat lantai yang ada di pijak sang sipir tumbuh. Semua sipir terkejut tanpa tahu apa yang terjadi. Mereka sudah terpental saat kaki mereka terangkat ke udara. Dengan cekatan Rahardian keluar dari sel. Kedua tangannya dia kepalkan, dengan segera bebatuan yang ada di lantai dan dinding bergerak menyelimuti tinjunya. Setelah itu ia hantamkan tinjunya ke arah para sipir. Ketiga sipir tadi langsung pingsan dengan sekali pukul.
Penghuni sel terperangah melihat Rahardian. Kini mereka tahu kenapa Rahardian sangat ditakuti. Bukankah ia bisa keluar dari LAPAS kapan saja dia mau? Cerita tentang Rahardian bisa keluar dari LAPAS ternyata bukan isapan jempol. Pantas saja dia cukup ditakuti.
Rahardian mengambil kunci yang ada di tangan sang sipir, setelah itu ia pergi melarikan diri. Ia tak kesulitan untuk bisa keluar dari LAPAS. Dengan kekuatan ajaibnya, ia bisa menghajar semua penjaga. Setelah ia keluar dari LAPAS, barulah ia tahu keadaan yang sebenarnya. Kota-kota, jalanan-jalanan, gedung-gedung, kendaraan-kendaraan hancur. Dia melihat bangunan LAPAS yang sebagian juga hancur. Di jalanan tampak petugas medis dan orang-orang sedang bahu-membahu menolong korban. Saat ia mendongak ke langit, dia melihat ribuan moncong meriam terarah ke bumi.
"Samudra, kuharap sekarang ini kau masih hidup. Kau dan pemilik kekuatan ajaib yang lain, kuharap juga sedang melawan mereka," gumam Rahardian.
Lelaki ini mengepalkan kedua tangannya. Tanah bergetar. Orang-orang keheranan dengan apa yang terjadi. Tubuh Rahardian tiba-tiba diselimut tanah. Aspal-aspal mulai retak lalu bebatuan berhamburan menuju ke arah Rahardian seperti kawanan lebah yang mengerubungi mangsanya. Bebatuan, pasir dan tanah terus bergerak dengan sendirinya seperti dipanggil. Material-material itu kemudian memadat, bersatu dan menyatu menjadikan bentuk baru. Monster batu raksasa yang pernah bertempur dengan Samudra bertahun-tahun yang lalu kini muncul lagi. Kali ini tubuh sang monster lebih besar lagi setinggi gedung. Bahkan lebih tinggi lagi. Saat kakinya melangkah suara bedebumnya yang keras membuat seluruh tempat yang ada pada radius jangkauannya bergetar hebat. Orang-orang berteriak histeris saat raksasa batu ini mulai menyerang para nomad.
Raksasa Batu melemparkan bebatuan yang merupakan bagian dari tubuhnya tepat ke arah para nomad. Batu-batu tadi menghantam alien-alien tersebut. Serangan itu berlangsung terus-menerus. Batu-batu sebesar mobil berterbangan menghantam para nomad. Satu per satu para nomad berbentuk meriam berjatuhan dari udara. Rahardian merasa di atas angin, hingga ia kemudian menghentikan serangannya ketika di hadapannya ada sosok yang lebih besar seperti dirinya. Raksasa logam, bertubuh polos, memiliki satu mata. Tangannya berbentuk seperti tangan manusia, mengepal dan siap untuk menyerang Rahardian.
Raksasa Batu kemudian melemparkan batu dengan ukuran lebih besar dari pada tank. Tak hanya itu, dia juga berlari untuk kemudian dengan tangan perkasanya menghantam raksasa logam. Batu-batu itu menghantam, tetapi sama sekali tak berpengaruh. Bebatuan itu hancur berkeping-keping saat menghantam tubuh raksasa logam.
"Kau bercanda!" gerutu Rahardian. Dia tak menyangka akan mendapatkan lawan yang tangguh.
Raksasa Logam kemudian menghantam Raksasa Batu dengan pukulan sekeras-kerasnya. Tubuh raksasa batu pun hancur, bersamaan dengan itu Rahardian terpental jauh lalu jatuh menghantam mobil. Beruntunglah tubuhnya terlindungi dengan kekuatan batunya. Dia tak merasakan sakit, tetapi kesal luar biasa.
"Ya Tuhan, bagaimana aku menghadapinya?"
* * *
Johan melihat semuanya dari langit. Api-api berjatuhan dari langit. Dia mendengar semua jeritan manusia. Bibirnya gemetar melihat kematian jiwa-jiwa yang tak berdosa. Dia merasa gagal menjadi seorang Geostreamer. Dia harus berbicara dengan Shangri-La, tak ada waktu lagi. Dulu ia nyaris gagal melindungi umat manusia saat temannya Dina mengamuk. Sekarang, ia harus menghadapi kekuatan yang tidak bisa ia kenali. Bagaimanapun juga ia harus bisa menyelamatkan semuanya, meskipun nyawanya yang menjadi taruhan.
"Ini gila, apa yang diinginkan Profesor Garry? Dia melakukan ini semua?" tanya Samudra. Keduanya masih ada di udara.
"Bawa aku ke Shangri-La," ujar Johan.
"Aku tak bisa membawamu begini, Johan. Maaf. Tenagaku mulai melemah," kata Samudra. "Kita bisa meminjam pesawat helikopter. Setelah itu aku antarkan kau ke sana."
Samudra terbang menuju ke pangkalan udara, lalu mendarat di sana. Di tempat tersebut ia segera meminjam helikopter yang masih tersisa. Terbang cukup lama membuatnya kelelahan. Dia terlalu banyak menggunakan kekuatannya hari ini. Melihat ada sebotol air minum di salah satu barak segera ia habiskan air tersebut. Johan masih termangu sambil sesekali menatap jauh ke utara. Dari tempat dia berdiri Shangri-La tak kelihatan, tetapi dia tahu makhluk itu ada di sana. Di Laut jawa.
Johan menoleh ke arah entitas yang disebut ECHO. Makhluk yang berubah menjadi kapal luar angkasa Yamato itu tampak berdiam seperti benda mati. Johan berpikir kalau mereka adalah suatu kehidupan yang lain. Manusia hanya berpikir kalau kehidupan itu membutuhkan air, membutuhkan udara, butuh makan dan minum. Namun, ECHO dan yang sejenisnya berbeda. Mereka tidak terbuat dari bahan organik. Mereka tak membutuhkan makan dan minum. Mereka butuh energi murni yang mana tidak diolah terlebih dahulu seperti manusia mengolah bahan makanan yang kemudian menjadi energi. Mereka juga makhluk yang bisa jadi tidak memiliki perasaan. Cara mereka berkomunikasi juga berbeda dengan makhluk hidup yang ada di bumi. Mereka saling terkait dengan gelombang dan resonansi. Pantas saja Agi bisa berbicara dengan mereka.
"Aku akan mencoba untuk mencari pinjaman helikopter, kau tunggu di sini," ucap Samudra seraya meninggalkan Johan sendiri.
Sang Geostreamer berjalan mendekati ECHO. Dia penasaran apakah ECHO bisa berbicara dengan dia ataukah tidak. Atau bagaimana caranya agar dia bisa berkomunikasi dengan makhluk ini. Jelas tidak mungkin dengan bahasa manusia. Johan mencoba suatu cara yang dia gunakan untuk bisa berkomunikasi dengan bumi. Mungkin saja ECHO akan mengerti.
"Maaf Pak, Anda tak boleh mendekat!" cegah seorang tentara yang berjaga-jaga di sekitar ECHO. Johan tak bisa mendekat. Ia agak kesal. Bisa dimengerti kenapa para prajurit melakukan itu. Akhirnya ia akan mencoba cara lama, dia berjongkok, kemudian ditempelkan kedua telapak tangannya ke tanah.
"Bumi Bicaralah!" ucapnya.
Dalam sekejap jiwa Johan terhisap ke suatu lorong gelap dengan cahaya hijau di ujung lorong tersebut. Dia tersadar di dalam ruangan yang sama seperti ketika ia pertama kali berbicara dengan bumi. Ada yang lain. Ruangan itu kosong. Tidak ada siapa-siapa. Kemana semuanya? Biasanya ia akan berbicara dengan beberapa Kesadaran Bumi.
"Johan," terdengar suara.
Johan menoleh kiri dan kanan. Tak ada siapapun di ruangan ini. Lalu siapa yang mengajaknya bicara?
"Semuanya pergi," ucap suara itu lagi.
"Siapa?" tanya Johan.
"Aku adalah Bumi," jawab suara itu.
"Bu...mi? Bumi? Tak mungkin, bumi selama ini tak pernah berbicara langsung denganku....," Johan tak yakin dengan pendapatnya sendiri, tetapi ia juga yakin kalau suara itu adalah bumi. Planet tempat tinggal manusia.
"Kau lebih mengenaliku, kau seorang Geostreamer. Tentunya kau lebih tahu tentang diriku daripada manusia," katanya lagi.
Johan tak bisa membantah perkataan itu. Dia memang lebih tahu planet ini daripada manusia yang tinggal di atasnya. Tak jauh dari tempat dia berdiri muncullah cahaya, seorang perempuan memakai gaun berwarna hitam dan putih ada di hadapannya. Rambutnya sangat panjang hingga menyentuh lantai. Wajah perempuan itu aneh. Tidak seperti manusia, permukaan kulitnya terdiri dari akar pohon, bebatuan dan air. Tetapi Johan melihat kalau perpaduan benda-benda itu bisa membentuk pola wajah.
"Terkejut melihatku?" tanya Bumi.
"Te-tentu saja terkejut," jawab Johan. "I-inikah wujudmu?"
"Kau tak perlu memikirkan wujudku, aku bisa menjadi apa saja yang aku mau. Seperti menjadi Sheila?" Tiba-tiba wajah Bumi berubah menjadi Sheila. Johan terkejut melihatnya. "Atau menjadi Anton?" Dalam sekejap wajahnya berubah lagi menjadi Anton, sahabatnya yang telah pergi. "Terus terang, aku sangat menyukai Anton sebenarnya. Pengorbanannya luar biasa agar kalian selamat. Seandainya kau tidak mengejar perempuan bernama Melati, mungkin keadaanmu tidak seperti sekarang, tapi itu sudah berlalu bukan?"
"Ada alasan apa kau bertemu denganku dalam keadaan seperti ini?"
"Itu artinya waktumu sudah dekat," kata Bumi.
"Benarkah?"
"Kau sudah tahu konsekuensi menjadi seorang Geostreamer."
"Tapi, aku belum menyelesaikan misiku. Masih banyak yang harus aku lakukan untuk menyelamatkan manusia. Lagipula, aku tak bisa berdiam diri saja melihat ribuan manusia tewas terkena serangan itu."
Bumi berkata, "Semua akan ada pada waktunya. Semua pemilik kekuatan ajaib sekarang sedang berjuang. Tetapi mereka tak akan cukup untuk mengalahkan kekuatan Shangri-La dan Omega."
"Katakan kepadaku bagaimana cara mengalahkan mereka?"
"Aku tak bisa mengatakannya, karena aku juga tak tahu. Tetapi sebagai teman, aku akan memberitahukanmu suatu cerita tentang Big Bang."
"Apa? Big Bang? Teori Big Bang? Penciptaan alam semesta?" tanya Johan penasaran.
Bumi mengangguk.
"Tapi aku tak punya waktu untuk ini, aku harus segera menolong orang-orang," ucap Johan.
"Oh, aku yakin kau punya waktu. Benarkan?"
Johan mengangguk. Dia memang punya waktu.
"Dulu, jauh sebelum bintang-bintang, planet, galaksi, matahari dan bumi terbentuk ada dua entitas yang sangat besar. Entitas itu bernama Alpha dan Omega. Mereka ditakdirkan untuk bertabrakan. Ledakannya menyebabkan segala benda yang kita lihat sampai sekarang. Dari pecahan paling besar hingga pecahan paling kecil."
Tiba-tiba di dalam kepala Johan seperti disajikan berupa gambaran-gambaran tentang keadaan alam semesta. Ruangan pun berubah menjadi suatu layar tiga dimensi. Ruangan di tempat Johan berdiri, ia bisa melihat kedua benda yang sangat besar bertabrakan.
"Alpha dan Omega tahu kalau dirinya akan bertabrakan kemudian meledak. Namun, mereka punya keyakinan sendiri-sendiri. Omega berpikir hanya merekalah, makhluk yang hanya bisa memberikan manfaat, sedangkan Alpha hanya percaya kepada keyakinan yang semu. Alpha percaya manusia bisa berubah menjadi baik, memperbaiki diri, bisa berevolusi memperbaiki segala kelemahan yang ada pada diri mereka agar menjadi baik. Omega tidak percaya dengan itu. Pecahan-pecahan Alpha sebagian ditangkap oleh tubuh pemilik kekuatan ajaib dan juga darah Geostreamer."
"Termasuk aku?" tanya Johan terkejut.
"Geostreamer termasuk yang unik, karena kekuatannya adalah pengaruh langsung dari Alpha. Maka dari itulah, kekuatanmu tak ada batasannya, berbeda dengan yang lainnya. Mereka bisa merasakan lelah, tetapi kau tidak. Meskipun mungkin efek samping dari penggunaan kekuatan ini adalah kau akan merasa mual.
"Kembali kepada Omega. Dia sampai sekarang masih percaya bahwa manusia tidak akan berubah. Omega menganggap manusia akan selamanya menjadi racun bagi dunia. Kau lihat sendiri bagaimana manusia menyayangi planet mereka? Pulau sampah di laut? Itu baru terjadi di zaman ini, Omega juga membenci ketika manusia berperang dengan sesamanya, membunuh sesamanya, hal itu makin membuat dia yakin untuk memusnahkan manusia lalu akan berganti dengan makhluk lain yang lebih bisa merawat planet.
"Tetapi Alpha tetap berpikiran positif. Dia tetap percaya bahwa manusia bisa berubah. Meskipun kau sebagai manusia juga tahu bagaimana sifat-sifat manusia yang cenderung merusak. Alpha ibarat sisi positif dari alam semesta, sedangkan Omega ibarat sisi negetif dari alam semesta ini. Sekarang kau akan berada pada keputusan yang sulit di dalam hidupmu. Johan, apakah kau yakin bisa melalui ujian berat ini?"
Johan terdiam. Dia mencoba mencerna apa yang dikatakan Bumi. "Aku tak mengerti."
"Lihatlah!" Bumi menyibakkan tangannya. Di ruangan itu, terlihat layar seperti film. Johan melihat rumahnya. Di sana ada anak-anaknya yang sedang tinggal bersama para pengasuh. Tak lama kemudian rumahnya dihantam dengan tembakan meriam. Ledakan tak bisa diayal lagi. Rumahnya hancur berkeping-keping beserta apapun yang ada di dalamnya.
"TIDAAK! TIDAK! Kau... kau itu... itu tadi sungguh? Anak-anakku?" gemetar bibir Johan menyaksikan rumahnya yang hancur karena serangan yang dilakukan oleh para nomad. Johan tahu hal ini suatu saat nanti akan terjadi. Namun, dia tak tahu kalau pengorbanannya akan secepat itu. Air mata keluar meleleh di pipinya. Dia bersedih, berduka, remuk, hancur.
"Mereka, apakah...?" Johan tak berani meneruskan.
"Mereka menjadi korban dari serangan nomad," jawab Bumi.
"B-bagaimana aku mengatakan hal ini kepada istriku? A-aku....." Johan terpukul. Dia tak tahu lagi harus bagaimana menerima semuanya.
"Aku dulu pernah bertanya kepadamu, apakah kamu siap kehilangan orang yang kau cintai untuk menyelamatkan semua manusia? Apakah hal itu seimbang? Pilihanmu dulu adalah lebih memilih untuk menyelamatkan umat manusia, maka dari itu seharusnya kau tak bersedih atas keputusan yang telah kau ambil, Johan."
Mau bagaimana pun juga, Johan tetaplah manusia. Dia tak bisa menahan kesedihannya. Membayangkan wajah anak-anaknya yang menjadi korban pun dia tak sanggup. Terlalu banyak pengorbanan yang harus dia lakukan untuk menyelamatkan dunia. Dia belum siap.
"Kau sudah rela untuk melepas mereka?" tanya Bumi.
Johan tak menjawab.
"Jadi, kau tidak peduli lagi dengan umat manusia? Baiklah, aku bisa mengerti. Tidak setiap orang bisa mengemban tugas sebagai seorang Geostreamer. Kau termasuk di dalamnya," ledek Bumi. "Manusia memang demikian. Mereka tak akan bisa berbuat apa-apa ketika orang-orang yang dicintai menjadi korban, kehilangan orang yang dicintai adalah kelemahan terbesar manusia. Untuk itulah Omega dengan bantuan Shangri-La ingin menghapus manusia-manusia seperti itu. Karena, mereka tak menginginkan kehidupan yang lebih baik. Mereka egois hanya ingin mendapatkan apa yang mereka inginkan saja, tanpa mempedulikan orang lain."
"Aku ingin bicara dengan Omega," ucap Johan tiba-tiba memotong kata-kata Bumi.
"Dia ada bersama Shangri-La," kata Bumi.
"Aku memang kehilangan orang-orang yang aku cintai, tetapi aku tak ingin orang lain merasakan apa yang aku rasakan. Bawa aku kepadanya!" ucap Johan. Matanya memerah menahan kedukaan yang sekarang terasa sesak di dalam dadanya.
"Kau bisa menemuinya di Shangri-La," ucap Bumi.
Perlahan-lahan Johan menjauh dari ruangan tempat ia bicara dengan Bumi. Jiwanya kembali ke tubuhnya. Matanya terbuka menyaksikan langit yang mulai menggelap, padahal sekarang harusnya hari masih terang. Samudra tampak ada di dekatnya keheranan melihat dia berbaring di tanah. Johan bangkit, perutnya terasa mual setelah melakukan komunikasi dengan Bumi. Ini komunikasi yang tidak pernah ia alami sebelumnya. Berbicara langsung dengan Bumi.
"Kau tak apa-apa? Kau menangis," ujar Samudra melihat air mata yang menetes di pipi pria itu.
"Antar aku ke Shangri-La, kau bisa?" tanya Johan dengan mata memerah. Dia tak menjawab pertanyaan Samudra. Wajahnya datar, tetapi ekspresi kesedihan tak bisa disembunyikannya.
"Bisa, aku sudah mendapatkan izin," jawab Samudra.
Setelah melalui proses yang rumit dan berbelit-belit Samudra akhirnya mendapatkan izin untuk menggunakan helikopter yang tersisa. Satu-satunya helikopter yang ada adalah milik TIM SAR yang saat itu juga sedang digunakan untuk mengangkut orang-orang yang terluka ke rumah sakit. Samudra kemudian mengajak Johan untuk menumpang helikopter tersebut.
Sang pilot yang bertugas melihat ke arah Samudra. "Kapten Samudra? Anda ikut?"
"Habis ini kalian kemana?" tanya Samudra.
"Kami akan mengevakuasi korban. Kami berusaha sebisa mungkin untuk menolong semua korban," jawab sang pilot.
"Ada yang lebih penting dari itu. Antarkan kami menuju Laut Jawa!" pinta Samudra.
"Tapi Kapten, kita tak bisa. Saya harus mengambil para korban," tolak sang pilot.
"Dengarlah, aku bisa saja menerbangkan helikopter ini sendirian. Tetapi aku tak melakukannya. Kalau kau tak melakukannya sekarang, akan banyak nyawa melayang karenamu," ujar Samudra.
"Kapten, apa yang sebenarnya Anda rencanakan?"
"Turuti perintahku dan jangan banyak tanya!" kata Samudra.
Sang pilot menelan ludah melihat tatapan mata Samudra. Dia mengangguk dan memberikan salut. Dia bersedia menolong Samudra dan Johan. Helikopter pun terbang.
Sementara itu kabut gelap mulai keluar dari Shangri-La. Hewan-hewan serta makhluk-makhluk yang mengelilingi entitas itu pun mulai menyebar. Mereka ketakutan dengan kabut gelap tersebut, seolah-olah Shangri-La yang mereka kenal sudah berubah menjadi sesuatu yang mengerikan. Kabut itu terus menyebar ke berbagai sudut bumi. Manusia yang terkena kabut itu bertingkah aneh.
Mereka merasakan kengerian, ketakutan, was-was dan kegilaan. Satu sama lain, manusia saling menyerang, memukul. Ketidak warasan mulai merajalela dimana-mana. Sebagian membunuh diri mereka sendiri dengan membakar diri, menggantung dirinya, terjun dari gunung, terjun dari bukit, menabrakkan diri di kereta api, atau melompat dari gedung tertinggi. Hanya mereka yang tak mengenal rasa takut tidak terkena dampak buruk dari kabut gelap tersebut. Dalam sekejap populasi manusia mulai berkurang drastis.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top