17 | Pertemuan Ayah dan Anak
Hanya ada tiga orang di ruangan tersebut. Samudra, Agi dan Garry. Suasananya sangat mencekam, dingin, gelap dan merinding. Agi ada di sisi lain bersama Samudra, sedangkan Garry berada di sisi satunya dengan pemisah kaca tebal. Kedua bapak dan anak itu hanya terdiam seribu bahasa, bahkan semenjak keduanya sama-sama duduk saling berhadapan. Jam dinding satu-satunya yang berani bersuara di ruangan itu. Suara detiknya terdengar sebagai satu-satunya suara yang paling bising. Semuanya merasa tak nyaman, terlebih lagi Samudra. Dia sudah lelah menunggu reuni keluarga ini untuk saling bicara.
"Bisa kita mulai? Kalian sudah tiga puluh menit tanpa suara," ucap Samudra.
Garry membuang pandangannya ke arah yang lain. Dia sendiri juga tak tahu harus bicara apa. Sudah lama dia tidak melihat putranya sendiri, karena keputusan pengadilan yang melarang dia untuk kontak dengan putranya. Agi juga tak tahu harus berkata apa, selain menunggu.
"Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan," kata Garry. "Setidaknya kau harus tahu kalau aku tak bermaksud untuk meninggalkan ibumu. Aku sama sekali tak punya pikiran jauh sampai di sana. Kau mungkin bertanya-tanya bagaimana orang yang berada di LIPI bisa bekerja di LAPAN. Sebenarnya, tak ada yang aneh. Hanya karena satu panggilan, semuanya berubah waktu itu."
"Kau bicara apa?" tanya Agi.
"Sebentar, biarkan aku menceritakan sesuatu yang tidak kau ketahui agar kau tak salah paham terhadap apa yang sebenarnya terjadi," jawab Garry.
"Bagaimana aku harus mempercayaimu?"
"Kejadian ini, makhluk asing itu tidak datang pertama kalinya ke bumi. Mereka sudah datang lebih dulu beberapa tahun yang lalu. Ini adalah kunjungan kedua mereka. Kejadiannya memang dirahasiakan. Aku tidak kaget kalau dipanggil lagi kemari, karena ini bukan yang pertama kalinya aku berada di sini. Kami pernah berada di waktu-waktu yang berat. Aku orang yang mengabdikan hidupku untuk penelitian, menjadi ilmuwan di salah satu lembaga negara adalah cita-citaku, hanya saja meneliti sesuatu yang asing bagiku adalah hal yang baru.
"Para ilmuwan dari LIPI dan LAPAN akhirnya bergabung untuk sebuah project, yang disebut sebagai project Ekstra Terestrial. Saat itulah kami benar-benar sibuk meneliti makhluk itu. Aku sampai tidak peduli lagi kepada keluargaku karenanya. Kami makin stress karena dituntut untuk segera menjawab berbagai pertanyaan, apalagi makhluk itu tak bisa menjawabnya. Kami mendeteksi energi yang tidak biasa pada makhluk itu hingga akhirnya makhluk itu lepas kendali.
"Makhluk itu kami kira sudah mati, tetapi ada pijaran-pijaran energi yang mencurigakan sehingga dari situlah kami berasumsi makhluk itu masih hidup. Karena, ini menyangkut keamanan nasional para tentara pun dilibatkan untuk mengamankan perimeter. Selama berbulan-bulan kami meneliti makhluk itu tetapi tanpa hasil. Kami tak bisa berkomunikasi dengannya, hingga akhirnya ibumu mengajukan cerai kepadaku. Setiap aku berangkat ke tempat penelitian, sebenarnya aku rindu untuk bisa bersama denganmu, bermain denganmu, tetapi sayangnya aku tak bisa. Demi ilmu pengetahuan dan juga demi keamanan negara ini akhirnya aku harus mengorbankan banyak hal.
"Akhirnya terjadilah, hari itu aku sebenarnya sudah mempersiapkan semuanya sebab esoknya aku harus menghadiri putusan pengadilan. Kamu dan ibumu berada di pesawat sedang dalam perjalanan ke Indonesia. Sebenarnya pula aku sudah pasrah. Aku tahu aku banyak salah. Meninggalkanmu dan ibumu sendiri. Lagipula aku berharap ibumu mendapatkan pasangan yang lebih pantas. Aku turut bersyukur kalau lelaki itu si Syahputra adalah lelaki yang baik. Tetapi tetap saja hatiku tidak terima. Walaupun aku bilang baik-baik saja, tetapi aku sebenarnya masih mencintai ibumu. Lalu terjadilah. Makhluk itu lepas kendali, kemudian menghancurkan fasilitas kami. Banyak korban berjatuhan, pesawat-pesawat tempur dihancurkan dengan mudah olehnya. Tak hanya itu, makhluk itu juga menghajar pesawat sipil.
"Memang benar di dalam penjelasan blackbox sang pilot mengira mesin terkena petir, tetapi sebenarnya bukan. Ada campur tangan sesuatu. Makhluk itu menyerang pesawat yang kalian tumpangi lalu pesawat itu jatuh." Garry tak melanjutkan lagi.
"Ma-makhluk itu sudah ada di bumi sejak dulu?" tanya Agi terkejut.
"Iya, dan maafkan aku. Aku tak bisa memberitahumu. Apalagi setelah aku melihatmu bisa melakukan kekuatan itu. Aku semakin takut kalau ini ada imbasnya dari makhluk tersebut. Apalagi kejadian-kejadian aneh yang terjadi di Jakarta waktu itu, kalian pasti tahu tentang pohon-pohon raksasa yang tiba-tiba muncul di Jakarta bukan? Maka dari itulah aku mengasingkanmu dari dunia luar. Sebab aku takut kau akan menyakiti orang lain," jelas Garry.
Suasana pun hening sejenak. Terlihat Agi mengambil napas dalam-dalam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi. Ada beberapa pertanyaan yang akhirnya terjawab, meskipun begitu ada sebagian pertanyaan yang belum terjawab.
"Kau bilang makhluk itu sudah ada di bumi sejak lama?" tanya Samudra.
"Dua puluh tahun yang lalu ada benda asing yang jatuh ke bumi," jawab Garry. "Benda asing itulah yang mengubah segalanya. Dulu LIPI dan LAPAN masih dua organisasi yang terpisah, sekarang karena hal tersebut menjadi bersatu. Makanya jangan heran jika ilmuwan-ilmuwan dari LIPI ditarik ke sana. Termasuk aku salah satunya."
Samudra serius mendengarkan cerita Garry.
"Semenjak makhluk asing itu kembali sebenarnya semangatku meledak-ledak lagi, tetapi kutahan hingga kalian datang sendiri membutuhkan bantuanku. Semenjak kematian istriku, aku berusaha untuk tidak lagi berhubungan dengan penelitian, tetapi apa boleh buat. Saat aku menyadari itu makhluk yang sama, akhirnya mau tak mau aku harus masuk menjadi orang yang memimpin penelitian ini," jelas Garry.
Dia pun melanjutkan, "Sudah bertahun-tahun lamanya kita tak tahu bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan makhluk ini. Kita hanya tahu mereka mengirimkan gelombang yang sangat aneh, gelombang itu mengacaukan segala bentuk sinyal elektromagnetik. Tetapi, sekarang kita menyadari ada satu orang yang bisa mengetahui bagaimana cara berkomunikasi dengan makhluk tersebut. Dan dia adalah Abisoka. Aku sudah membuat alat khusus untuk mendeteksi kemana gelombang aneh yang dikirimkan oleh ECHO. Semuanya mengarah ke satu orang. Yaitu, Abisoka."
Samudra menghela napas. "Akhirnya aku paham sekarang, bagaimana kau bisa membuat alat pendeteksi gelombang yang dipancarkan makhluk asing secepat itu. Hal itu karena kau sudah pernah membuatnya. Bukan begitu?"
"Kau tahu akhirnya. Jadi aku tak perlu menjelaskannya lagi bukan?"
"Apa yang sebenarnya kau inginkan?" tanya Agi. "Dan jangan panggil aku Abisoka. Aku tak ingin menggunakan nama pemberianmu."
"Iya, aku akui kau dendam padaku sampai tak mau dipanggil dengan nama lahirmu. Itu hal yang wajar. Aku bisa mengerti itu. Aku sangat mengerti, tetapi aku tetap akan memanggilmu Abisoka," kata Garry sambil memaksakan senyumannya yang canggung di depan putranya. "Dengarlah, kita tak punya waktu lagi. Terserah kau mau menghakimiku dengan cara apapun aku akan siap. Tetapi saat ini umat manusia membutuhkan kita. Mereka sudah ada di bulan. Entah apa yang sedang mereka lakukan di sana, menunggu atau apalah. Katakan kepadaku bagaimana caranya berkomunikasi dengan mereka?"
Agi menoleh ke arah Samudra. Sang prajurit hanya mengangguk, menandakan semuanya akan baik-baik saja. Agi tak tahu seberapa jauh ia mengetahui tentang makhluk itu. Yang jelas ECHO sekarang bisa berkomunikasi dengannya. Persoalannya lain ketika orang seperti ayahnya ingin agar bisa berkomunikasi dengan mereka.
"Aku tak tahu bagaimana cara mereka terhubung denganku. Hanya saja, aku bisa melihat apa yang mereka lihat. Mereka seolah-olah sedang mencari keberadaanku," ujar Agi.
"Mencari keberadaanmu? Jelaskan! Aku tidak begitu mengerti," desak Garry. "Kenapa mereka mencarimu?"
"Mereka seperti mencari orang yang bisa diajak berkomunikasi. Aku bisa bertelepati dengan mereka. Ada resonansi, ada gelombang yang bisa aku tangkap dengan otakku. Kemudian saat kami sudah sinkron akhirnya aku bisa merasakan apa yang mereka rasakan, melihat apa yang mereka lihat. Seperti itu. Aku tak bisa menjelaskan lebih lanjut," terang Agi.
"Kau dengan kekuatanmu bisa seperti itu?" Garry terkesima. Ia tak pernah percaya kalau anaknya sudah sejauh ini.
"Sekarang apa? Kau mau membedahku? Mau memeriksaku?" Agi kemudian berdiri. Ia mendorong kursinya, lalu berjalan menuju ke pintu. "Aku sudah cukup bicara denganmu. Kau sudah tahu apa yang terjadi kepadaku."
"Resonansi itu.... 432hz?" tanya Garry.
"432hz?" gumam Samudra.
"Itu adalah frekuensi misterius yang selama ini menjadi misteri. Nikolas Tesla pernah berkata bahwa If you want to find the secrets of the universe, think in temrs of energy, frequencey and vibration. Dia juga berkata, if you only knew the magnificence of the 3, 6, and 9, then you would have a key to the universe. Kalian tahu frekuensi 432hz adalah angka yang ajaib. Dia akan sempurna dibagi dengan 12 dan akan menghasilkan 36. Sedangkan angka-angka ini adalah kelipatan dari 3, 6, dan 9. Berarti aku tidak salah kalau kalian berkomunikasi dengan frekuensi ini bukan?" terang Garry.
"Sebentar frekuensi 432hz bukannya terlalu kecil untuk bisa ditangkap oleh manusia biasa?" tanya Samudra.
"Terlalu kecil bagi manusia biasa, tapi tidak bagi Abisoka. Dia memiliki kemampuan yang kalian semua tahu," jawab Garry. "Selama ini banyak orang mengatakan kalau teori Nikola Tesla ini hanyalah gurauan. Banyak yang menghubungkan tentang mistis, tetapi dengan ini semua telah jelas bahwa kita bisa berkomunikasi dengan mereka."
"Sudah bicaranya? Aku ingin kembali," ucap Agi.
Samudra menoleh ke arah Garry. Sang ilmuwan itu menghela napas. Dia lalu mengangguk kepada sang prajurit. Tanpa bicara lebih lanjut, Agi segera membuka pintu untuk keluar dari ruangan itu diikuti oleh Samudra. Sementara itu Garry segera berlari menuju ke tempat ia bekerja.
Sang ilmuwan gila ini terus bergumam, "Aku sudah tahu. Ini pasti ada hubungannya dengan frekuensi itu. Frekuensi yang membuat kita bisa berkomunikasi dengan makhluk asing."
Tak berapa lama kemudian dia sampai juga di ruangannya. Galuh sudah ada di sana dengan para ilmuwan yang lain. Dia segera menunjuk Galuh.
"Kau, jurnalmu tentang resonansi. Kau pasti mengingatnya bukan? Tentang resonansi yang bisa mempengaruhi tumbuhan dan makhluk-makhluk yang ada di bumi. Aku ingin kau mengirim pesan dengan frekuensi 432hz ke luar angkasa. Kau masih ingat bukan dengan cara apa tanaman-tanaman itu bisa terpengaruh oleh suara?" tanya Garry kepada Galuh.
Galuh tentu saja mengingat tentang penelitiannya yang membuat dia bertitel profesor. Apa hubungan penelitiannya dengan ini semua?
"I-iya, aku masih ingat. Tetapi buat apa? Lagipula dengan cara apa kita mengirimkan frekuensi itu ke luar angkasa?" tanya Galuh penasaran. "Anda sudah bicara dengan Agi?"
"Kita akan berkomunikasi dengan alien," jawab Garry.
Sementara itu Agi buru-buru kembali ke ruangannya dengan diikuti oleh Samudra. Pikirannya kalut. Perasaan takut itu masih ada di dalam dadanya. Ia teringat bagaimana ia berada di dalam lemari dihukum ayahnya. Padahal kesalahan yang dia lakukan amatlah sepele. Kesalahannya adalah duduk di teras depan rumahnya. Kenapa sampai keras sekali ia dihukum? Dan setiap kali ayahnya melihat Agi menggunakan kekuatannya, maka sudah pasti pukulan melayang. Ini terlalu kejam. Napasnya hampir habis menahan setiap rasa emosi yang meluap-luap. Tiba-tiba pundaknya dipegang oleh Samudra. Agi terkejut.
"Kau tak apa-apa?" tanya Samudra.
Agi segera menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Samudra. "A-aku tak apa-apa."
"Yang jelas itu bukan ulahku," Samudra menunjuk ke salah satu sudut koridor. Di sana ada pot tanaman yang melayang di udara. Agi terkejut melihatnya. Ia segera menenangkan dirinya. Pot itu pun terjatuh.
"Maaf. Aku...aku tak bisa menahan emosiku," ucap Agi sambil menunduk. Diambilnya oksigen hingga paru-parunya penuh lalu ia lepaskan perlahan-lahan.
"Aku bisa mengerti," kata Samudra. "Kau masuklah ke kamarmu dulu. Setengah jam kemudian keluarlah!"
Agi mengernyit. Ia tahu maksud Samudra, tapi tak menyangka secepat ini.
"Galuh sekarang berada di ruang kerja Profesor Garry. Aku hanya punya sedikit waktu untuk bisa mengeluarkan kalian," kata Samudra.
"Lalu bagaimana dengan Anda? Anda bisa dipecat. Apa itu tak mengapa?"
"Jangan pikirkan aku. Kau dan ECHO harus keluar dari tempat ini. Kau bilang dia masih hidup dan bicara denganmu bukan?"
"Iya," kata Agi sambil mengangguk. "Apa rencanamu?"
"Aku tak bisa mengatakannya. Yang jelas, aku tak percaya Profesor Garry akan bisa berbicara dengan makhluk luar angkasa itu. Kalau kau bisa berbicara dengannya, maka kau juga bisa berbicara dengan mereka. Seharusnya kau bisa bernegosiasi dengan mereka. Tentunya para Jendral tak akan sudi memakai ideku. Mereka menganggapmu sebagai manusia percobaan, kau tak akan mungkin bisa keluar dari tempat ini dengan mudah."
Apa yang samudra ucapkan membuat Agi sekarang yakin, ia tak akan bisa keluar dengan mudah tanpa bantuan Samudra.
"Ikuti saja apa yang aku perintahkan. Kau akan keluar dari tempat ini bersama Galuh. Aku juga harus mengeluarkan temanmu," terang Samudra.
"Temanku?"
"ECHO. Dia juga keluar."
* * *
Ririn dan kawan-kawan juga punya rencana untuk bisa masuk ke dalam fasilitas militer tempat Agi dan Galuh berada. Tapi permasalahannya adalah bagaimana cara mereka untuk bisa memasukinya? Indra meminjam mobil MPV dari salah satu kenalannya. Tentunya mobil ini harus tidak mencolok. Setelah janjian untuk ketemu di kampus, akhirnya Indra menjemput Ririn dan Yuyun serta tiga orang temannya Indra untuk ikut serta. Mereka tahu bahwa ini bukan persoalan mudah untuk masuk ke dalam area militer. Taruhannya jelas nyawa.
"OK, semua. Kita tahu ini taruhannya nyawa. Kita akan mencoba untuk mengobrak-abrik fasilitas militer," ujar Indra. "Putri dan Ela tidak ikut. Cuma cowok-cowok dan dua orang cewek saja. Tapi, jangan khawatir mereka berjaga dari jarak jauh."
"Tak masalah kalau mereka tak ikut?" tanya Ririn.
"Justru kalau mereka ikut, kita tak akan bisa berbuat banyak. Mereka butuh di depan komputer untuk mengabarkan kita tentang apapun. Ibaratnya mereka ini adalah mata kita," jawab Indra.
"Ayo, kita tak punya waktu! Jalan Ko!" ucap Herman kepada Eko yang menjadi sopir.
Mobil kemudian melaju meninggalkan tempat mereka berkumpul tadi. Langit sore berubah menjadi gelap saat mereka masuk ke kota Batu. Mereka menempuh jalan lain menuju rute ke Gunung Arjuno. Suasana di pinggiran kota makin sepi, bahkan tak banyak kendaraan yang melintas. Sementara itu angin dingin mulai meresap masuk ke dalam mobil. Berkali-kali Indra mengeluh dingin padahal AC saat itu tidak dinyalakan.
Setelah kurang lebih satu setengah jam berkendara akhirnya mereka sampai di sebuah persimpangan. Jalanan di tempat ini sangat sepi, bahkan sebagian tak beraspal. Ada satu rute yang terlihat tersembunyi. Mereka melihat beberapa dedaunan, pepohonan serta bunyi gemercik air. Eko kemudian membelokkan mobilnya masuk ke rute tersebut. Goncangan demi goncangan mereka rasakan saat roda-roda mobil menggilas bebatuan dan jalanan yang berlubang.
Ririn memekik saat di depan mereka ada sungai. "Awas ada air!"
"Tenang aja, justru ini rute yang sebenarnya," ujar Indra.
Mobil kemudian menerabas aliran sungai tersebut. Terdengar suara dentuman. Ririn dan Yuyun cukup panik dengan keadaan seperti ini. Hanya saja Eko tak gentar dengan halangan itu. Dia sudah pernah melewati jalanan ini dan tahu apa yang dilakukan.
"Pihak militer membuat jalan sendiri. Mereka pintar membuat jalan yang seperti tidak pernah dilewati. Salah satunya adalah membelah sungai," ujar Indra. "Kau lihat tadi di belakang? Jalanan ini seperti sengaja ditutup agar tidak ada satupun yang lewat tempat ini. Kami sebenarnya memakai rute yang memutar, karena tahu kalau kita lewat rute yang sama seperti saat kita mengoperasikan drone, mereka akan mengetahui. Tetapi ini jalan rahasia yang lain."
Mobil berjalan membelah belantara, kegelapan semakin tebal menyelimuti, lampu mulai dinyalakan, tetapi kendaraan melaju dengan cukup pelan. Sekarang mereka memasuki hutan, tetapi suara binatang-binatang malam tidak begitu terdengar. Hanya desiran lembut angin menggerakkan pepohonan, dedaunan gemerisik, serta tanah yang lembab tergerus roda mobil.
"Aku koq ngeri ya, kita berada di mana?" tanya Ririn.
"Sebentar lagi kalian juga tahu kita berada di mana," jawab Eko.
Mobil berhenti. Ririn dan Yuyun keheranan karena tempat mereka berhenti benar-benar seperti berada di tengah hutan. Hanya terlihat pepohonan serta tanaman-tanaman belukar. Eko segera mematikan mesin, setelah itu keluar. Indra, Herman dan Dodi juga ikut keluar. Mau tak mau Yuyun dan Ririn keluar juga tanpa bertanya ada apa.
"Kita hampir sampai, tinggal berjalan lagi sebentar. Ini daerah yang tidak terjamah oleh CCTV. Kami sudah mengamatinya sejak lama," ujar Herman.
"Sudah lama? Sejak kapan kalian memeriksa tempat ini?" tanya Ririn.
"You have no idea what've we been trough," jawab Herman.
"Kami meneliti seberapa luas tempat ini dan ternyata melebihi luasnya lapangan sepak bola. Di sekelilingnya ada pagar yang tentu saja dialiri aliran listrik, sehingga siapapun tak bisa masuk. Hanya saja kami punya cara lain untuk bisa masuk ke dalam. Yah, setidaknya cara ini tidak diketahui dan aman," jelas Eko.
"Kalian sudah merencanakan sejauh itu?" tanya Ririn.
"Sebenarnya ini adalah hal iseng, tetapi karena teman kami sedang dalam masalah, mau tak mau kita harus menolongnya bukan? Kurasa ini bukan kebetulan, kami berteman dengan Agi, kebetulan juga kami sedang menyelidiki fasilitas yang cukup mencurigakan ini. Ternyata rasa penasaran kami bisa menjadi jalan untuk menolongnya," ujar Herman.
"Sejujurnya aku tak begitu paham soal rasa penasaran kalian, tetapi untuk Agi aku ikut," sambung Indra. "Dia anak yang baik selama ini. Tak pernah mengeluh dengan apa yang tidak dia miliki, ia juga sangat pandai menjaga persahabatan. Dan yang pasti ia sangat menyayangi adiknya."
Alis Yuyun bertaut. Mencoba menelaah apa yang dimaksudkan oleh Indra dengan senyuman yang dilempar kepadanya.
Setelah berjalan beberapa menit, mereka sampai di depan pagar yang terbuat dari kawat. Pagar kawat tersebut berdengung yang menandakan ada aliran listrik statis di sana. Di area pagar tersebut ada satu gap yang memisahkan pagar tersebut dari pepohonan dan rerumputan. Beberapa serangga dan hewan-hewan seperti kadal, katak dan beberapa burung menjadi bangkai di tempat tersebut. Serangga-serangga seperti lalat, jangkrik dan belalang juga terlihat bergelimpangan di sekitarnya.
"Pagar kawat?" gumam Ririn.
Yuyun tak berani mendekat saat melihat hewan-hewan yang telah menjadi bangkai di sekitar pagar tersebut. "Banyak hewan yang mati."
"Pagar ini ada aliran listrik, karena itulah mereka mati," ujar Indra.
"Bagaimana cara kita masuk?" tanya Yuyun.
"Ada deh. Lihat aja!" ucap Eko. Dia segera berjalan ke arah lain. Yang lainnya pun mengikuti kemana dia pergi. Mereka akhirnya sampai di pepohonan dan semak belukar yang cukup rimbun. Di antara semak-semak tersebut ada sebuah suara seperti gemercik air.
"Sungai kecil!" seru Yuyun.
"Ya, di tempat ini ada sungai kecil. Trus bagian pagar yang tersentuh sungai ini tak ada aliran listriknya. Sepertinya sengaja dibentuk seperti ini. Sebab kau tahu kalau ada manusia yang terkena sengatan listriknya bisa berabe juga urusannya. Lagipula listrik kalau kena air juga bakalan konslet. Dan sebagai gantinya di sana ada kamera cctv yang selalu menyorot ke arah kita," jelas Eko sambil menunjuk ke sebuah kamera cctv yang terpasang di pohon.
"Jangan khawatir," kata Dodi. "Teman kita akan mengatasinya dari jarak jauh. Sekuriti bagian sini kita matikan agar orang-orang tak curiga, sebab kalau semuanya dimatikan mereka akan curiga."
"Bagaimana? Kalian basah-basahan sedikit nggak apa-apa kan?" tanya Indra.
Ririn mengamati tempat yang akan mereka masuki. Pagar kawat tersebut terpasang melintang. Di bawahnya ada sungai kecil yang masuk ke dalam area militer. Lubang itu cukup dilewati orang. Tentunya dengan cara tiarap atau merangkak. Itu akan membuat mereka harus sedikit menyelam ke dalam sungai kecil tersebut.
"Putri, bagaimana?" tanya Dodi kepada Putri di telepon.
"Siap, kami sudah melakukan penetrasi ke kamera dan sekuriti. Tetapi kalian harus cepat. Waktu kalian cuma satu menit untuk pergi ke dalam dan mencari tempat yang aman dari jangkauan cctv!" jelas Putri.
"Kalian dengar kan? Ayo!" ucap Dodi.
Segera saja Eko yang langsung turun ke sungai kecil tersebut. Sungainya ternyata dalamnya cuma selutut. Eko lalu merendah agar kepalanya bisa melewati pagar kawat tersebut. Setelah ia sampai di seberang segera saja diikuti yang lain. Ririn yang tidak berniat untuk basah-basahan akhirnya terpaksa ikut. Dia langsung saja turun ke air lalu melakukan apa yang seperti Eko lakukan. Disusul Indra, Yuyun dan Herman.
Dengan berbasah-basahan kelima pemuda-pemudi ini berhasil masuk ke dalam. Segera mereka berlari menuju ke titik di mana tidak ada cctv yang mengawasi. Ada banyak spot yang bisa mereka pakai untuk bersembunyi. Tanaman-tanaman begitu tertata rapi sehingga memudahkan mereka untuk bersembunyi saat melihat ada orang yang berlalu-lalang. Mereka tetap berhati-hati kalau-kalau ada cctv di sekitarnya.
"Kira-kira dimana Agi berada?" tanya Indra.
"Ini yang jadi rahasia. Ada suatu pintu tempat keluar masuknya kendaraan berat. Kalian melihatnya nggak?" terdengar suara Ela di headset Indra.
Indra mencari-cari pintu yang dimaksud. Dia mengangkat bahunya, "Pintu apaan? Nggak ada pin...tu...." Belum sempat Indra mengklarifikasi ada suara yang cukup keras seperti pintu yang terbuka. Dari situlah semuanya merendahkan kepala mereka agar tertutup oleh semak-semak.
Tak jauh dari tempat mereka berada ada satu pintu besi yang sangat besar terbuka ke atas. Suaranya sangat keras seperti pintu gerbang. Di depan pintu itu ada beberapa tentara bersenjata lengkap. Dari situlah akhirnya ia tahu pintu apa yang dimaksud. Dari pintu tersebut keluar dua kendaraan seperti truk.
"Aku sepertinya tahu pintu apa yang kau maksud," ucap Indra.
Indra mengernyitkan dahi. Pintu itu sangat aneh sebab di belakang pintu tersebut tak ada ruangan. Hanya sebuah lorong yang panjang mengarah ke gunung. Perlu diketahui bahwa tempat fasilitas militer ini benar-benar merapat di kaki gunung. Hanya saja tidak ada yang tahu sejauh mana lorong tersebut menembus gunung. Indra cukup takjub dengan apa yang ia lihat, ternyata pemerintahan Indonesia punya juga tempat instalasi militer rahasia seperti ini.
"Indra? Ngapain kalian ada di sini?" terdengar suara yang tak asing bagi Indra.
Indra langsung menoleh ke kanan dan kekiri. Bulu kuduknya merinding. "K-kalian dengar sesuatu nggak?"
"Lha? Ririn? Yuyun? Kalian semua ngapain ke sini?" terdengar lagi suara.
Indra yakin mendengar suara tersebut, hanya saja sepertinya suara itu tidak terdengar di telinga tetapi seperti masuk ke dalam kepalanya.
"Iya, dengar. Suara Mas Agi!" bisik Yuyun yang tak ingin suaranya terdengar terlalu tinggi.
"Tetapi dimana? Agi? Kau ada dimana?" tanya Indra.
"Mana Agi?" tanya Eko. Dia juga kebingungan. "Aku bisa dengar suaranya! Kalian dengar juga?"
"Kalian semua tak perlu tahu aku ada di mana. Kenapa kalian kemari? Yuyun juga, kenapa?" terdengar suara Agi.
"Kami lagi nyari situ cuy!" ucap Indra. "Trus akhirnya nemu tempat ini."
"Pergilah, tempat ini tak aman buat kalian!" sergah Agi.
"Tak aman? Lah kamu sendiri?" Indra bertanya balik. "Kamu ada di mana sih? Apa mereka melakukan eksperimen aneh-aneh ke kamu?"
"Agi? Ini Agi? Aku bisa dengar suaramu. Kau seperti bicara di dalam kepalaku," ucap Ririn. Dia keheranan seperti mendengar sesuatu yang tidak lazim. Semua orang kebingungan saat itu karena bisa mendengar suara Agi di dalam kepala mereka.
"Maaf mbak. Gara-gara aku Galuh jadi ikutan kebawa. Tapi tenanglah. Kalian tetap di situ! Jangan bergerak! Kalian bawa mobil?" tanya Agi.
"Iyalah nyet, bawa!" jawab Indra.
"Bagus, sebab aku dan Galuh akan pergi dari sini. Kau tak akan percaya dengan apa yang aku alami," ucap Agi.
"Galuh bagaimana?" tanya Ririn.
"Dia baik-baik saja. Jangan khawatir, aku akan melindunginya apapun yang terjadi," jawab Agi.
"Cuy, kayaknya umak harus banyak cerita nih. Bagaimana umak melakukan hal itu," ujar Indra.
"Tenang sob, ntar juga umak bakal mengerti," kata Agi mengakhiri pembicaraannya. Suaranya tidak terdengar lagi. Tetapi Indra dan kawan-kawan mengetahui kalau sesuatu benar-benar sedang terjadi di dalam kompleks militer ini.
* * *
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top