14 | Melepas Kerinduan
"Aku ingin mencintamu dengan sederhana"
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
~ Sapardi Djoko Damono ~
A/N
Bab ini bukan konsumsi anak-anak. Jadi kalian yang masih di bawah 17 tahun pergi jauh-jauh!
|
|||
|
Bau rumah sakit yang khas membuat Samudra sangat merindukan Windi. Semenjak Windi menjadi dokter setiap berkunjung ke rumah sakit membuat Samudra selalu teringat dengan kekasihnya itu. Memang hubungan jarak jauh begitu menyakitkan. Hanya saja, mereka memang ingin sekali memanfaatkan waktu di saat mereka bersama, seperti sekarang ini. Samudra memakai kaos abu-abu dengan jaket berwarna serupa. Sengaja ia tak memberitahu Windi ketika hendak pergi ke rumah sakit tempat dimana gadis itu bekerja. Tentu saja kehadiran dia langsung mencuri perhatian para suster yang berjaga, terlebih waktu sudah lewat pukul 22.00, ditambah lagi seorang prajurit tampan membawa bunga di tangannya.
"Permisi, Dokter Windi ada?" tanya Samudra kepada suster yang berjaga di lobi.
Suster yang ditanyai itu cuma bengong melihat Samudra, hampir saja rahangnya lepas melihat pemuda tampan itu ada di hadapannya. Temannya langsung menepuk bahunya.
"Hei, malah melamun!" tegur temannya.
"Eh, iya. Mau jenguk siapa mas?" tanya suster tersebut.
"Dokter Windi ada? Ruangannya dimana kalau boleh tahu?" tanya Samudra lagi.
"Oh, Dokter Windi. Iya, dia ada di ruangannya. Ada di lantai tiga. Naik saja nanti setelah naik tangga belok kanan, di telusuri saja koridornya, ada papan nama di atas pintu," jawab suster tersebut. Ia masih terkesima dengan Samudra.
"Baiklah, terima kasih," ucap Samudra. Dia segera meninggalkan lobi untuk naik ke anak tangga.
Suster itu tampaknya masih belum hilang kekagumannya terhadap Samudra. Mungkin bagi sebagian orang ada cowok tampan malam-malam masuk ke rumah sakit bisa jadi cowok jadi-jadian. Tapi memang cewek siapapun yang melihat Samudra yang sekarang pasti akan klepek-klepek. Wajahnya sangat maskulin dengan jambang halusnya, terlebih tubuhnya lebih atletis membuat cewek manapun akan menelan ludah dibuatnya.
Samudra bergegas menaiki tangga hingga akhirnya ia sampai di lantai yang ditunjukan. Kepalanya menoleh kiri kanan, setelah itu mengikuti petunjuk yang diarahkan oleh suster tadi. Koridor rumah sakit di lantai tiga ini sepi. Sepertinya lantai tiga merupakan ruangan dokter dan staf, sebab tak ada kamar pasien ataupun ruang bedah di lantai ini. Saat melintasi koridor, Samudra membaca semua papan nama satu per satu hingga akhirnya menemukan yang dicarinya. Papan nama bertuliskan Dr. Windi Aulanara Nugraha, Sp. B.
Maksud hati Samudra hendak mengetuk pintu, tetapi ternyata Windi malah yang membuka pintu. Tentu saja dokter cantik itu terkejut melihat kekasihnya sudah di luar.
"Hai?" sapa Samudra.
"Elo? Ngapain ke sini?" tanya Windi balik.
"Nih, buatmu!" ucap Samudra sambil memberikan bunga yang ada di tangannya.
Windi merasa geli menerima bunga itu. "Makasih, sampai repot-repot beli bunga. Emangnya masih ada yang buka toko bunga jam segini?"
"Nggak juga sih. Aku tadi minta bawahanku untuk membelikannya. Masih wangi nggak?"
Windi mencium aroma bunga mawar yang dibawakan oleh Samudra. Masih wangi. Seberkas senyum merekah di bibirnya. Dia mengangguk.
"Kamu sudah mau pulang?" tanya Samudra.
Windi mengangguk. "He-em. Tadi baru saja menangani satu pasien."
"Kalau begitu kamu pasti belum makan malam," tebak Samudra. "Makan yuk?! Aku yang traktir."
"Siapa takut."
* * *
Keduanya makan malam di sebuah restoran yang tak jauh dari tempat itu. Restoran itu adalah restoran masakan padang yang cukup terkenal. Meskipun sudah larut ternyata tempatnya masih belum tutup. Mereka memesan makanan masing-masing. Lebih enak pesan langsung daripada harus mengambil lauk yang sudah tersaji di meja seperti kebiasaan pelayanan nasi padang pada umumnya. Mereka berdua lebih suka makan dengan cara seperti itu. Samudra memesan lauk ayam goreng sedangkan Windi memesan empal goreng. Mungkin bagi sebagian orang akan berkata malam-malam makan seperti ini apa tidak gendut?
Windi sepertinya tak pernah mempedulikan ia gendut atau tidak. Ia tak begitu memperhatikan berat badan. Malah boleh dibilang ia sering lupa makan. Terkadang hanya untuk mengurusi pekerjaan ia pernah nyaris dua hari lupa makan. Apalagi jika pasiennya banyak. Sedangkan Samudra sudah pasti akan selalu olah fisik setiap hari agar terjaga berat badannya.
Bicara mengenai nasi padang membuat keduanya teringat peristiwa bertahun-tahun yang lalu saat Ratri sedang masuk rumah sakit karena kecelakaan. Tiba-tiba Windi senyum-senyum sendiri mengingat hal itu.
"Kenapa?" tanya Samudra.
"Nggak, gue teringat sesuatu saja," jawab Windi. Dia melanjutkan makan.
Samudra mengerutkan dahinya. Ia sebenarnya juga mengingat peristiwa itu. Mungkin karena Windi malu untuk mengutarakannya. Tentu saja ia masih ingat bagaimana mereka makan nasi padang berdua. Windi saat itu benar-benar kelaparan karena menjaga Ratri. Dan itu untuk pertama kalinya wajah mereka sangat dekat sekali. Mungkin saja saat itu cinta mereka mulai tumbuh untuk pertama kali.
"Kamu teringat dengan kejadian saat Ratri dirawat di rumah sakit yah?" celetuk Samudra.
Hampir saja Windi tersedak. Ia buru-buru minum teh dingin yang ada di meja. "Nggak koq. Nggak!" Meskipun berkata begitu. Tetap saja tak bisa menyembunyikan raut wajahnya yang sekarang tersipu-sipu.
"Kalau aku sih ingat hal itu. Kamu masih ingat?" Samudra sepertinya tak mempedulikan Windi. Ia malah ingin Windi benar-benar malu.
Windi cuma mengangguk. Sudah tentu dia ingat.
"Setiap kali aku makan masakan padang, pasti teringat peristiwa itu. Rasanya itu peristiwa baru saja kemarin, padahal sudah lama," kenang Samudra.
"Lo bikin gue malu. Udah ah!" gerutu Windi.
Mereka pun lanjut makan. Tiba-tiba saja tangan Samudra menyentuh pinggiran bibirnya. Dokter cantik itu terkejut saat jari tangan cowok ganteng itu mengusap butiran nasi yang melekat di pinggir bibirnya. Mulutnya pun berhenti mengunyah. Dia rindu sekali disentuh seperti itu. Tiba-tiba tangan pemuda itu ditahannya.
"Terus terang, aku sebenarnya rindu saat-saat seperti ini. Rasanya aku tak ingin lagi bisa jauh darimu," ujar Windi. Dia menempelkan telapak tangan kekasihnya itu ke pipinya. Rasanya hangat. Jantung sang prajurit pun berdebar.
"Aku tahu, selama ini aku tak pernah bisa memberikan kepastian kepadamu. Tetapi aku berjanji, setelah tugas ini selesai aku ingin bisa bersama denganmu," ucap Samudra.
Si Dokter Cantik ini mengangkat wajahnya sedikit. Dia melihat mata Samudra yang menatapnya dengan tatapan hangat. Apa dia tak bermimpi mendengar perkataan ini? Tidak, ini pasti mimpi. Apa cowok ini ingin mengatakan kalau dia sudah tak ingin lagi hidup di dunia militer? Atau bagaimana?
"Aku ....," Samudra tak bisa meneruskan. Dia tahu ini hal yang sulit sekali diungkapkan. Dia tahu risiko dan konsekuensi yang akan dipilihnya apabila mengucapkan kata-kata ini. Tetapi ia tak sanggup lagi melihat keadaan kekasihnya sekarang ini.
Selama ini Windi telah berjuang sendiri. Semenjak ayahnya divonis bersalah dan dipenjara membuat gadis ini berjuang sendiri bersama kakaknya. Memang ia masih bisa bertahan dari pekerjaan dia sebagai selebritis hingga akhirnya kuliah sampai menjadi seorang dokter spesialis. Hanya saja itu sangat berat bagi Windi. Kakaknya sekarang merantau ke luar negeri. Satu-satunya yang paling dekat di Indonesia ini hanya Samudra. Tentu saja setahun sekali bertemu itu sudah syukur.
Ucapkan Sam! Ucapkan! Jangan sampai hubungan ini kau gantung!
Windi menunggu. Dalam hati dia tahu pasti berat bagi Samudra. Terlebih pula tak mungkin tidak ada risiko dari hubungan mereka berdua apabila bersatu kelak.
"Aku...," lagi-lagi susah bagi Samudra untuk bicara.
Windi menghela napas. Dia melepaskan tangan kekasihnya lalu melanjutkan makan. "Makan saja! Gue kelaparan."
Samudra lagi-lagi mengutuk dirinya sendiri yang tak bisa tegas. Terlalu banyak pikiran-pikiran yang menghalanginya untuk bisa mengucapkan "Maukah kau menjadi istriku". Apa susahnya berkata seperti itu? Susah tentu saja. Ia memikirkan banyak hal, karirnya, karir Windi, juga bagaimana mereka bisa bertemu?
Akhirnya mereka melanjutkan makan dengan canggung tanpa suara. Lagipula apa yang harus dibicarakan?
Selesai makan keduanya keluar dari restoran. Mereka menghirup udara Malang yang dingin. Malam makin larut dan jalanan makin sepi.
"Mau kuantar pulang?" tawar Samudra.
"Gue bawa mobil koq," jawab Windi.
"Baiklah, biar aku yang nyetir."
Windi tak keberatan. Akhirnya mereka pun menuju ke tempat parkiran rumah sakit. Tak lama kemudian mereka sudah berada di dalam mobil Nissan Juke warna putih dengan Samudra menjadi sopirnya. Sekali lagi, tak banyak bicara di antara keduanya. Bukan karena mereka tak ingin bercakap-cakap tetapi Windi terlalu lelah untuk membahas apapun. Bahkan, keduanya hanya berbicara lewat sentuhan. Seperti sekarang ini, saat melaju di atas aspal tangan keduanya tak pernah lepas.
Setelah melaju di jalanan kota Malang yang lengang, mereka sampai juga di apartemen tempat tinggal si dokter cantik. Samudra agak canggung mengantar kekasihnya hingga sampai di depan pintu apartemennya. Dia sama sekali tak pernah sedekat ini dengan Windi.
"Kau tinggal sendiri?" tanya Samudra.
"Iya, Lo tahu sendiri kakak gue ada di luar negeri. Mungkin dia bakalan lama di sana," jawab Windi.
"Tahu nggak pas sebelum dia keluar negeri dia menemuiku."
"Oh ya? Memangnya ada apa?" tanya Windi sambil membuka kunci pintu. Ia memberi isyarat kepada Samudra agar masuk. Pemuda itu hanya bisa berdiri, ada keraguan di dalam dirinya. Ini bukan persoalan boleh atau tidak, juga bukan persoalan malu atau tidak. Tapi bagaimana jika terjadi apa-apa kepada mereka? Mereka belum menikah! Ngapian juga berduaan di dalam apartemen? Iya kalau bisa melawan godaan kalau tidak?
Lampu apartemennya menyala secara otomatis setiap kali ada orang yang masuk. Windi melepas sepatunya. Samudra hanya berdiri di pintu. Ia masih ragu.
"Masuklah!" pinta Windi.
Samudra pun masuk meski ragu. Apartemen Windi, tidak begitu mewah tapi cukup nyaman baginya. Beberapa barang seperti dokumen-dokumen berserakan di meja. Windi segera buru-buru merapikannya. Gadis itu lalu membuka kulkas untuk mencari sesuatu yang bisa diminum. Ada beberapa minuman kaleng di lemari pendingin itu. Dia ambil dua kemudian menyerahkannya kepada Samudra.
"Mau?" tanya Windi.
Samudra yang sedang melepas sepatunya mengangguk saja. Dia memberi isyarat kepada gadis itu agar melemparkan ke arahnya. Minuman kaleng pun dilempar lalu dengan sigap cowok itu mampu menangkapnya. Setelah sepatunya selesai di lepas, Samudra lalu bergegas menuju ke sofa sambil membuka minuman kaleng tadi. Tak terlihat gadis itu, mungkin sedang ganti baju.
Pemuda itu kini duduk sendirian di sofa. Terlihat balkoni yang tertutup tirai, di sana biasanya Windi menjemur baju-bajunya. Meskipun tertutup tapi dari celah-celah tirainya bisa terlihat. Betapa canggungnya Samudra saat ini, sebab meskipun mereka sudah berpacaran lama, tetapi untuk sedekat ini tidak pernah. Apalagi ini cuma berdua di apartemen, siapa tahu yang ketiga nanti beneran ada setannya.
Untuk mengusir canggungnya Samudra menenggak minumannya sampai habis, hingga kemudian Windi muncul dari kamarnya dengan baju yang berbeda. Hampir saja Samudra tersedak, akibatnya ia terbatuk-batuk. Saat itu Windi memakai celana pendek seperti hotpants, serta kaos lengan pendek. Tentu saja hal itu membuat pilot muda ini panas dingin. Jantungnya kian berdebar menyaksikan pemandangan yang ada di hadapannya.
"Whoa, nggak perlu seperti itu kali. Kenapa? Terpesona ama penampilanku sampai terbatuk-batuk?" tanya Windi sambil tertawa kecil.
Tahu aja. Samudra tersenyum-senyum sendiri.
Dan apa yang terjadi selanjutnya di luar dugaan Samudra. Windi mendekatinya. Si pilot muda merapatkan punggungnya ke sofa. Ia seolah-olah sedang menghadapi musuh. Tetapi ini bukan musuh biasa. Lucunya adalah meskipun tahu musuh, tetapi dia sama sekali tak melawan malah justru membiarkan bidadari cantik ini naik ke pangkuannya lalu dalam sekejap kedua bibir mereka telah menyatu.
Dalam beberapa detik Samudra tak bisa bernapas. Terasa kerinduan dalam sentuhan Windi. Dia benar-benar merindukan kekasihnya. Setiap hisapan di bibirnya itu menandakan bahwa ia benar-benar tak ingin melepaskan Samudra lagi. Kalau pemuda itu tak mau mengatakannya maka biarkan dia saja yang berkata, "Aku tak ingin kau pergi".
Tangan dokter cantik itu merangkul leher si pilot. Jantung si pilot berdetak sangat cepat, tubuh keduanya sekarang menempel erat hingga tanpa di perintah pun si pilot membalas pelukannya. Ia juga rindu. Rindu yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Saat kedua bibir mereka terlepas. Kedua mata mereka saling menatap sayu.
"Lo tahu kalau gue kangen ama Elo?"
"I love you"
"Me too"
"Please don't go away!"
"I won't"
"Promise?"
Samudra mengangguk. "Yeah. Dan sebenarnya aku ingin bilang, setelah misi ini selesai, maukah kau menjadi teman hidupku untuk selama-lamanya?"
"Hmm? Lo ngelamar gue?"
"Iya, aku sudah mantabkan dalam hati. Aku tak bisa lagi berpisah denganmu untuk waktu yang lama. Sudah cukup."
Sekali lagi bibir Windi mengecup kekasihnya. Terlihat mata gadis itu mengeluarkan air mata yang kini meleleh di pipinya. "Gue sudah lama kepingin Elo mengatakannya."
"Lalu? Jawabanmu?"
Windi mengangguk. "Lo tahu apa jawabannya."
Keduanya tersenyum. Setelah itu mereka berpelukan sambil sesekali mengecup satu sama lain.
"Temani aku malam ini?" pinta Windi.
Samudra sedikit ragu.
"Please...!"
Cowok ini pun akhirnya mengangguk.
Tidak.
Jangan berpikiran buruk dulu kepada mereka. Meskipun mereka sedekat ini sekarang, bahkan bisa jadi selangkah lagi mereka akan melakukan perbuatan yang tidak-tidak, tetapi mereka sanggup menahan diri. Windi turun dari pangkuan Samudra, setelah itu menarik tangan sang pilot untuk mengikutinya ke dalam kamar.
Malam itu Windi tidur di dalam pelukan Samudra. Gadis cantik itu tidur sambil dipeluk Sang Pengendara Angin. Dokter Cantik itu tidur membelakangi kekasihnya. Mereka cukup lelap tertidur mungkin juga karena kecapekan. Selain lelah karena pekerjaan, mereka juga lelah harus menahan rindu selama ini. Bertemu seperti ini sudah membuat mereka bahagia. Samudra membelitkan tangannya seolah-olah tak ingin berpisah dari kekasihnya. Berkali-kali ia membisikkan kata "I love you" hingga ia pun akhirnya terlelap. Malam itu Gadis Di Atas Air terlelap dengan senyuman yang tersungging di bibirnya.
* * *
Pagi kembali menyapa. Rasanya malam itu terasa sangat singkat. Windi dan Samudra tetap harus menerima kenyataan bahwa waktu akan terus bergulir dan mereka akan kembali harus melakukan aktivitas mereka. Mereka agak kesiangan, tetapi setidaknya sekarang perasaan mereka makin kuat. Mereka telah berkomitmen untuk lebih serius, bahkan Samudra sudah benar-benar mantab untuk menikahi Windi.
Si Gadis Di Atas Air sedang sibuk di dapur. Dapurnya tak begitu besar, meskipun begitu dapur ini telah menjadi teman Windi untuk survive selama di kota Malang. Masih ada bahan-bahan sayuran dan lain-lain di kulkas. Itu saja sudah cukup sebenarnya untuknya memasak. Dia mulai memotong-motong, setelah itu menumis, memasukkan bumbu lalu selesai. Masakannya sederhana, tumis wortel, kubis, buncis serta irisan daging kornet. Baunya sudah membuat cacing yang ada di perut Samudra protes.
"Hmm, baunya. Wah, kalau kamu jadi istriku nanti bisa-bisa aku jadi gendut ntar," ucap Samudra yang saat itu baru saja keluar dari kamar mandi. Dia bahkan masih memakai handuk yang menutupi perut sampai lutut.
Windi menoleh ke arah kekasihnya. Dadanya langsung berdesir melihat potongan tubuh atletis itu. Dia baru tahu kalau dada bidang Samudra ditumbuhi bulu-bulu halus.
Plak! Windi menampar bayangannya sendiri.
Lo sedang masak goblok! Iya elo ngiler tapi belum halal! Ingat masakanmu bisa gosong kalau ngelihatin body roti sobek macam itu!
Windi buru-buru kembali fokus ke wajan penggorengan. Setelah selesai ia pun mengangkat wajan itu lalu menghidangkan masakannya di atas piring saji. Gadis cantik itu kemudian mengambil nasi dari rice cooker. Sementara Samudra berganti pakaian, gadis itu menata meja makan, hingga telah siap. Samudra yang sudah memakai bajunya pun menghampiri meja makan.
Masakan Windi benar-benar membuat perut sang pilot keroncongan. Harap maklum, makanan di barak tidak seenak ini. Dengan telaten Dokter Cantik ini mengambilkan nasi ke piring Samudra. Setelah itu dia mengambilkan sayurannya. Mereka pun akhirnya makan.
Samudra mencoba masakan tersebut. Suapan pertama, lalu kedua dan seterusnya. Masakan Windi benar-benar lezat. Cowok itu benar-benar menikmatinya. Saat mereka asyik makan, Samudra ingin memberitahu kekasihnya tentang masalah yang kini dihadapi Galuh. Sebenarnya ia ingin mengutarakannya kemarin, tetapi sepertinya waktunya kurang tepat. Mungkin disaat makan seperti ini bisa jadi waktu yang cukup tepat.
"Ada sesuatu yang terjadi dengan Galuh," kata Samudra tiba-tiba.
"Oh ya? Ada apa?"
"Kamu pasti tahu bukan tentang alien yang aku tumbangkan beberapa waktu lalu?"
Windi mengangguk.
"Aku sudah menemukan orang yang bisa berbicara dengan makhluk itu, permasalahannya adalah cowok itu punya hubungan dengan Galuh. Dan sepertinya mereka serius," cerita Samudra.
Windi mengangkat alisnya. Ini kabar baru tentu saja. Dia sudah berharap lama akan ada cowok yang mau dekat dengan Galuh. Ia buru-buru mengambil minum karena nyaris tersedak. Setelah lega ia baru berbicara.
"Serius? Emang gimana kejadiannya?" tanya Windi penasaran.
Samudra kemudian menceritakan semuanya, dari awal bagaimana ia menumbangkan ECHO, setelah itu membentuk tim khusus, bertemu dengan Johan, lalu menangkap Agi dan Galuh di toko buku, hingga akhirnya Agi berada di ruang isolasi. Bahkan kejadian sewaktu di ruang isolasi itu diceritakan semua.
"Wow!" seru Windi. "Lo seperti baru saja menceritakan cerita fiksi ilmiah."
"Tapi itu kenyataan. Aku sekarang ini sedang free, sementara Agi dan Galuh aman berada di sana. Kita masih membutuhkan dua orang itu untuk bisa berkomunikasi dengan ECHO," ujar Samudra.
"Whoa, sebentar! Agi atau Abisoka yah? Ah, gue ingat sekarang. Bocah yang dulu pernah pingsan dan jadi pasienku!" seru Windi. "Nggak nyangka bocah itu naksir ama Galuh. Eh, emang mereka jadian gitu?"
"Sepertinya begitu. Kalau kau lihat bagaimana mereka berada di ruang isolasi kau bakan tahu sendiri kalau hubungan mereka tak sekedar dosen dan mahasiswa."
"Jadi mereka dosen ama mahasiswa? Hahahaha," Windi tergelak mendengarnya. "Dapat berodong dong dia!"
Samudra cuma mengangguk saja.
"Elo bisa bawa gue ke sana? Gua kepengen ketemu Galuh," pinta Windi.
"Tidak semudah itu. Tempat itu terisolasi, berada di pinggiran Malang. Bahkan untuk masuk butuh akses berlapis. Saat ini aku hanya ingin bisa melakukan apa yang dipinta Johan kepadaku."
"Oh ya, apakah Johan masih ada di kota ini?"
"Iya. Kau masih punya nomornya?"
Windi mengangguk cepat.
"Iya, dia masih di kota ini sampai urusan ini selesai. Yang jelas, sekarang ini makhluk itu datang ke bumi tidak sendirian. Aku yakin apapun alasannya dia pasti membawa teman. Dan kamu tahu berita yang viral sekarang ini? Sebenarnya aku sudah tahu dari Johan, tetapi kau bisa lihat apa yang sekarang sedang trend di jejaring sosial."
"Apa?"
"Lihat saja trending topic di twitter! Kau akan melihatnya sendiri."
Windi buru-buru menyambar ponselnya. Setelah itu ia mencoba melihat halawan twitter dari layar ponsel. Dia mengernyit melihat tulisan di trending topic twitter. Sesuatu yang sangat jelas tertulis di sana. "#AlienOnTheMoon"
* * *
A/N
Banyak pekerjaan. Inilah yang membuat saya cukup lama untuk tidak menengok lapak saya ini. Jadi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Pekerjaan di kantor telah menguras waktu dan tenaga saya. Ada satu projek yang harus segera selesai jadi saya ngebut untuk bisa menyelesaikan projek tersebut.
Semoga chemistry yang saya bangun di bab ini antara Windi dan Samudra bisa dapet. Memang sedikit jleb sih. Semoga nggak bikin yang jomblo jadi makin merana kalau baca bab ini. Hehehehe.
Bab depan, kita akan beralih ke Indra CS yang berusaha untuk menemukan keberadaan Galuh dan Agi. See you next time. -_^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top