Part 9

"Bagaimana ini? Sudah pagi dan Abi masih belum mau keluar juga. Dia masih belum mau bicara sama aku..?" Lirih Dilly pada ibu dan Bastian, serta Maudy yang pagi-pagi langsung datang ke rumah Dilly begitu tahu kejadian semalam. Mereka saat ini sedang berkumpul di ruang makan untuk membahas permasalahan dengan keluarga Nepal.

"Sabar, Dilly. Anak kecil ya begitu. Kalau dikecewakan buat dia ngambek adalah hal yang paling bisa dia ekspresikan. Abi belum bisa berpikir seperti kita. Kadang-kadang kita harus memposisikan diri kita sepert Abi." jawab Ibun.

"Tapi Dilly khawatir, Bun. Belum lagi kemarin Dilly sudah mengecewakan dia sebelumnya. Abi pasti benar-benar marah sama mamanya."

"Nanti biar Bi Isah yang bujuk lagi, dia cuma mau sama Bi Isah sekarang ini, kita sabar saja, Ibun juga jadi pusing," ujar Ibun.

"Hmm... kita harus bahas mengenai permintaan atau sedikit ancaman dari keluarga Nepal, kita harus bagaimana? Apa yang harus kita lakukan?" tanya Bastian, khususnya pada Maudy yang lebih paham.

"Umm.. sebelumnya aku musti menjelaskan beberapa hal secara hukum. Secara garis besar saja." tutur Maudy.

"Perlu aku ingatkan bahwa setiap anak berhak untuk mengetahui siapa orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dilly sebagai ibu dari Abi berhak atas hak asuh. Kalau misalnya Nepal dan keluarga mengambil Abi, cara yang dapat ditempuh untuk memperoleh hak asuh Abi lagi adalah selain melalui pengadilan, dapat juga meminta bantuan dari Komisi Perlindungan Anak. Masalah hubungan hukum antara anak yang dilahirkan di luar pernikahan dengan orang tuanya itu diatur dalam Pasal Empat Puluh Tiga ayat satu Undang-Undang Nomor satu Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang mana atas pasal tersebut, Mahkamah Konstitusi atau MK memutus bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan dalam hal ini Abi hanya mempunyai hubungan perdata dengan Dilly dan keluarga Dilly serta dengan pria sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan tes DNA misalnya. Tapi kan Dilly mengakui itu darah daging Al. Jadi Al sebenarnya mempunyai hak juga." jelas Maudy.

"Terus, kalau mereka merebut paksa Abi, apa kita bisa mempidanakan?"

"Bisa," jawab Maudy. "Karena mereka telah berniat memisahkan si anak dengan ibunya, mereka dapat dijerat pidana berdasarkan Pasal tiga tiga nol Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Tapi ada kasus seperti itu ya. Di tingkat pengadilan negeri, si ayah dinyatakan bersalah. Namun di tingkat banding, ayah tersebut dibebaskan. Kenapa? Karena terbukti ayah itu adalah ayah biologis si anak. Jadi, Nepal bisa saja bebas,"

"Tapi, anak itu hasil kejahatan, bagaimana? Bisa kita pidanakan?" tanya Bastian lagi.

"Bisa, tapi... itu tergantung kalian. Terutama Dilly. Karena itu akan memakan waktu yang cukup lama. Terlalu rumit. Tapi kalau kalian mau. Kita bisa lakukan itu."

Mereka semua terdiam.

Dilly mengusap-usap muka dan mengacak-acak rambutnya. "Sebenarnya dari sejak Dilly mengandung Abi.. Dilly sudah tahu hal-hal seperti ini bisa saja terjadi. Dilly juga sadar betul kalau nanti Abi cepat atau lambat akan tahu yang sebenarnya dan dia akan menanyakan tentang ayahnya. Kita memang nggak bisa menutupi hal ini terus. Apalagi kita nggak punya foto apa-apa kalau Abi ingin tahu sosok ayahnya. Dilly sadar betul, kalau Abi sudah besar nanti dia akan bertanya-tanya siapa ayah kandungnya... hanya saja.. Dilly nggak pernah nyangka kalau hal itu akan terjadi sekarang," tutur Dilly.

Bastian hanya bisa mengusap-usap punggung Dilly mendengar hal itu.

"Ibun bangga sama Dilly, Ibun nggak pernah sangka di umur kamu yang masih muda, kamu sudah kepikiran hal itu. Yaah... sekarang semua terserah kamu. Jujur, Ibun sakit hati sama keluarga mereka. Ibun tidak rela dan ikhlas dengan perlakuan mereka yang seenaknya datang ketika Abi sudah besar. Mereka tidak tahu betapa susahnya anak Ibun membesarkan Abi.. tapi.. saat ini Ibun juga memikirkan perasaan Abi.."

"Sama, Dil. Aa juga begitu. Semalam Aa rasanya pengen nonjok muka si Pak David. Tapi memang secara hukum, Abi berhak tahu siapa orang tuanya. Kita tidak bisa menyembunyikan itu selamanya. Benar kata kamu, suatu saat Abi akan bertanya sosok ayahnya."

"Apa saran dari Tante Maudy?" tanya Dilly.

"Hmm... ada dua hal. Kita kasih mereka kesempatan untuk mengurus Abi dengan jangka waktu tertentu, tapi tetap harus dengan persetujuan Abi alias tidak memaksakan kehendak si anak. Ataauu... kamu bawa pergi Abi menjauh. Ini kalau kamu tidak mau Abi jatuh ke tangan mereka. Tapi saran Tante yang kedua iti riskan. Karena kamu tahu Mas David seperti apa, dia tidak akan berhenti. Jadi.. kalau kamu tidak keberatan, mohon maaf kalau Tantr harus menyarankan kamu yang nomor satu. Kita selesaikan ini secara baik-baik tapi tetap kita yang pegang kendali," saran Maudy.

Mereka kembali terdiam. Berpikir keras. Saran dari Maudy ada benarnya, pilihannya ada 2. Berdamai dengan syaray atau perang sekalian.

"Astagfirullah..., ada-ada aja cobaan ini.. Alhamdulillah kita masih dikasih ujian," celetuk Ibun.

"Umm.. sebenarnya kalau dipikir-pikir ini seperti sudah jalannya rencana dari Tuhan untuk mempertemukan Abi dengan ayahnya. Sejak Al pulang dari Inggris, sejak itulah mereka bertemu," kata Maudy.

"Yaa bagaimanapun itu namanya kontak batin antara ayah dan anak," Ibun mengusap rambut Dilly.

"Bu, punten pisan Bibi mengganggu. Si dedek udah Bibi bujuk. Katanya mau ketemu sama mamanya."

"Alhamdulillah..," Dilly bersiap untuk naik ke atas.

"Itu.. sama satu lagi.. ingin ketemu Papanya juga,"

***


Rumah dua tingkat tanpa pagar itu memiliki halaman depan yang cukup luas sekiranya setengah lapangan bola, tanaman-tanaman yang tumbuh di situ pun menambah keasrian rumah. Dengan aksen kayu dan kaca terlihat sekali rumah ini di desaign dengan minimalis. Garasi rumah yang tidak ditutup menunjukkan si empunya rumah memiliki 4 buah mobil dengan jenis yang berbeda. Terdapat 1 buah jeep, 1 buah mobil sedan mewah, 1 buah mobil MPV dan 1 buah mobil city car.

Keluarga Dilly memarkirkan mobil tepat di depan lahan kosong depan pintu garasi.

Dilly menarik napas panjang sebelum turun dari mobil, dia masih setengah hati datang ke rumah Nepal untuk mengantarkan Abi yang ingin bertemu dengan Papanya. Saat mengutarakan permintaan itu, Abi tak lagi marah pada Dilly, namun dia merajuk dan memohon pada Mama, Nini dan Uwa-nya agar dia bisa bertemu dengan Nepal dan keluarga. Akhirnya dengan musyawarah dan tawar menawar yang alot antara Pak David dan Bastian, lahirlah sebuah kesepakatan bahwa Abi akan tinggal di keluarga Natalegawa selama seminggu untuk mengenal keluarga dari pihak Papanya. Hal ini dilakukan keluarga Dilly dengan sangat berat hati, namun melihat kepolosan Abi yang terlihat senang karena dia belum mengerti apa-apa, akhirnya mereka merelakannya.

Di dalam rumah, Al yang belum mengetahui kedatangan mereka masih asyik mengobrol dengan Elle melalui telepon.

"Nggak apa-apa aku baru bisa ke Bandung minggu depan?" tanya Elle.

"Hmm.. sebenernya pengen kamu ada di sini sekarang juga malah,"

"Yaa maaf sayang..aku nggak bisa. Tapi aku udah punya list lokasi untuk pernikahan di Bandung nanti. Pas aku ke Bandung kita cek sama-sama ya?"

Al tidak menjawab.

"Nah..nah kaan.. pasti kamu lagi melamun mikir kemana-mana sampai nggak dengar omongan aku? Haloo, Mas!?"

"Eh? Apa?"

"..... kamu lagi ada yang di pikirin ya?"

"Nggak kok. Cuma lagi ada sedikit kerjaan aja di kantor, load lagi banyak,"

"Beneeerr? Nggak bohong kan?"

"Nggak, sayang..," ujarnya berbohong. Al sebenarnya mau cerita dan juju mengenai masalah dia ternyata memiliki seorang anak pada Elle. Tapi dia masih ragu-ragu. Akankah Elle menerima masa lalu dia? Menerima kehadiran Abi?

"Hmm.. ya udah begini aja.. kalau nggak mau bilang di telepon, nanti pas aku ke sana, kamu harus cerita semuanya ya?" ujar Elle penuh pengertian.

Tanpa sadar Al tersenyum. "Elle."

"Hmm?"

"Terima kasih ya.. kamu benar-benar wanita yang paling pengertian yang pernah aku kenal,"

"Nggak usah gombal!"

"Seriuus, aku jadi kangen banget sama kamu,"

"Kalau soal kangen sih jangan ditanya..aku juga kangen banget sama kamu..,"

"Eh, sayang. Nanti aku telepon kamu lagi ya, kayaknya ada tamu,"

"Oke.. kamu di sana jaga perasaan ya, jangan nakal."

"I love you,"

"Love you too,"

Sadar yang datang pasti adalah putranya, Al setengah berlari menuju pintu depan. Menyusul pembantunya yang sedang berjalan untuk membukakan pintu.

"Biar saya saja, Mbok." ujar Al bersemangat. Dia langsung membuka pintu.

"Assalamualaikum," ujar Abi.

"Halo Abi!" Al spontan memeluk dan menciumi kepala Abi, Abi terlihat masih sedikit canggung meski dia melemparkan senyum pada Al.

"Jawab dulu salam dari Abi. Waalaikumsalam." tegur Dilly.

"Oh iya, sampai lupa. Waalaikumsalam Abi...," Al mencubit pelan pipi Abi.

"Halo.., Om...," sapa Abi ragu-ragu, dia lalu melirik Mamanya sebentar. "Pa..pa..," ujar Abi pelan.

Seketika ada perasaan hangat dan menyenangkan pada diri Al setelah mendengar panggilan itu.

"Haloo.. Abi...," sapa Mema yang berada di belakang Al.

"Itu siapa?" tanya Abi.

"Itu nenek kamu, ibunya Papa."

Abi yang masih belum familiar, sedikit mundur dan bersembunyi di balik badan Dilly.

"Abi jangan takut, Mema nggak galak kok, malah Mema dari tadi nungguin Abi datang, Mema sudah menyiapkan makanan kesukaan Abi, di dalam juga ada kolam renang dan tempat bermain sudah Mema siapkan, Abi pasti bakalan betah di sini,"

Mata Abi perlahan berbinar-binar. "Abi..., salim dulu, itu nenek Abi kok, sama kayak Nini...," ujar Dilly. Pelan-pelan Abi pun menghampiri Mema dan mencium tangan neneknya itu.

"Masuk dulu yuk?" ajak Al. Dilly menggeleng.

"Nggak usah, kami cuma sebentar aja, cuma mengantar Abi."

Bastian memberikan 1 buah koper kepada Al sementara Dilly mengambil selembar kertas dari dalam tasnya.

"Ini catatan untuk kamu, isinya kebutuhan dan kebiasaan-kebiasaan Abi sehari-hari. Termasuk kegiatan dia, teman-teman sekolahnya dan nomor telepon guru di sekolahnya. Di situ juga ada nomor saya, Ibun dan Aa Bastian, juga Mang Adun dan Bi Isah, kalau-kalau ada yang mau kamu tanyain atau kalau ada keadaan mendesak, tinggal telepon aja. Semua baju, buku-buku dan peralatan Abi lainnya sudah di dalam koper. Semua ada di situ,"

Al membaca catatan panjang itu dengan seksama.

"Dibacanya nanti saja, kami mau pamit pulang dulu."

"Oh, oke...,"

"Abi...," panggil Dilly. "Mama tinggal dulu ya sayang, baik-baik tinggal sama.. sama.." Dilly agak sulit mengucapkan kata-kata selanjutnya. Ibun mencengkeram pelan bahu Dilly. "Sama... Sama... Papa Nepal," akhirnya kata-kata itu keluar juga.

"Kok Mama nggak ikut tinggal di sini? Kan kita sudah ketemu Papa, harusnya kita sama-sama kan?"

Dilly dan Al jadi salah tingkah sendiri mendengar ucapan Abi. "Hmm..., hmm...," Dilly tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat untuk menjawabnya.

"Mama belum bisa ikut menginap, Dilly. Karena Mama kan harus bekerja lagi." jawab Bastian.

"Tapi nanti Mama ke sini kan habis pulang kerja?"

"Nggak sayang, selama seminggu Abi tinggalnya sama Papa dan Mema," ujar Dilly.

"Terus kalau Abi kangen Mama, Nini dan Uwa gimana?"

"Kan Abi bisa telepon atau Abi bisa minta tolong sama Papa untuk antar Abi ketemu Mama, ya?" Dilly tersenyum simpul.

"Repot dong, kan enaknya kalau bisa ketemu Mama dan Papa setiap saat di rumah tidak perlu antar-antar segala?"

Skak Mat.

"Abi...," akhirnya Ibun turun tangan menjelaskan. "Mama dan Papa Abi sudah lama tidak bertemu. Mereka tidak bisa tiba-tiba berada dalam satu rumah. Kenapa? Nanti mereka tidak saling bicara, kalau sudah begitu, nanti Abi yang kaget dan sedih melihat mereka tidak ngobrol. Jadi saat ini, giliran Abi dulu yang ngobrol sama Papa, Abi juga kan udah lama nggak ketemu Papa, ya nggak?"

"Begitu ya, Ni?"

Ibun mengangguk. "Nah, sekarang Nini, Uwa sama Mama pulang dulu ya..., Abi nggak boleh nakal di sini, Abi harus sayang sama Papa, Mema dan kakek Abi. Karena mereka keluarga Abi juga,"

Abi mengangguk.

"Ya sudah kami pulang dulu, tolong jaga dan rawat Abi dengan baik dan penuh kasih sayang... ada kalanya Abi suka bikin kesal, tapi mohon mengerti bahwa dia hanya seorang anak kecil," pesan Ibun pada Mema.

Bastian pun pamit duluan masuk mobil.

"Bu Dewi, Dilly," panggil Mema.

"Ya?"

Mereka berdua menoleh.

"Terima kasih banyak karena sudah memberikan kesempatan pada kami untuk mengenal Abi. Kami janji akan menjaga dan merawat Abi selama seminggu ke depan," tutur Mema yang langsung memeluk Dilly dan Ibun secara bergantian.

"Iya, terima kasih...," ujar Al.

Sebelum benar-benar pergi dari rumah Nepal, Dilly menyempatkan melambai pada Abi. Sambil menahan tangis, dia lemparkan senyuman pada putranya itu, mencoba menunjukkan bahwa Mama-nya tidak apa-apa, bahwa Mama-nya tidak bersedih meninggalkan putranya pada Nepal, pria yang telah menodainya 6 tahun yang lalu.

---

"Nah, Abi... ini rumah Abi juga. Di sini yang tinggal Papa, Mema dan kakeknya Abi," ujar Mema sambil merangkul lembut Abi untuk masuk ke dalam. Abi terkesima melihat rumah yang besar itu, sofa-sofa besar yang empuk berwarna krem menghiasi ruang keluarga. Layaknya anak kecil dia pun tersenyum lebar dan melonjak girang.


"Abi boleh berenang sepuasnya, Mema?"

"Boleeh dong, ini semua yang ada di rumah ini juga milik Abi,"

"Kakek Abi mana?"

Panjang umur, yang ditanya Abi muncul dari ruangan kerjanya. Dengan memakai kacamata baca, kemeja biru, pria bertubuh tinggi itu tersenyum dingin. Dia lalu mengulurkan tangannya dengan kaku.

"Halo. Saya kakek kamu, David Oktavian."

Abi hanya melongo melihat pria dengan tahi lalat di bawah matanya itu. Sedangkan Mema hanya geleng-geleng kepala melihat Papap yang sangat kaku menghadapi cucunya sendiri.

"Salim, Abi." perintah Al.

"Abi panggil kakek apa, Mema?"

"Pakong, Opa Engkong," jawab Mema asal hingga membuat Al mengulum senyumnya.

"Engkong?"

"Enak aja, panggil Opa," Papap menolak.

"Abi belum pernah punya kakek, Papa," ujar Abi.

"Nah, sekarang Abi punya kakek, ini satu-satunya kakek Abi," ujar Al.

"Langka dan musti dilestarikan," timpal Mema.

Papap hanya melirik galak pada Mema, tapi sebagai istri yang sudah biasa menghadapi suaminya yang dingin dan sombong itu, Mema cuek saja.

"Opa, nanti mau ikut main sama Abi dan Papa juga nggak?"

"Nggak bisa. Opa sibuk. Kamu main aja sendiri," ujar Papap datar. Abi terlihat sedikit kecewa.

"Al, bawa Abi ke kamar dulu," pinta Mema.

"Ayo, Abi. Papa tunjukkan kamar kamu,"

Begitu Abi dan Al tidak lagi terlihat, Mema langsung protes. "Papap ini, Papap yang punya ide untuk menjemput cucu kita, keluarga Dilly sudah begitu baik mengizinkan Abi tinggal di sini. Papap jangan hanya maunya aja dapatkan Abi, dia itu cucu kita. Bersikap lembut sedikit bisa kan?"

"Ya.. tapi Mema sendiri kan tahu Papap seperti apa, sejak dulu juga Papap nggak bisa seperti yang Mema mau ke Al waktu kecil juga begitu kan,"

"Oke lah, tapi ini kan Abi. Cucu kita. Jangan terlalu keras, kalau Abi tidak mau mengakui kita, bagaimana coba?" dumel Mema. "Heran Mema, kenapa dulu bisa jatuh cinta sama Papap, nggak ada lho cewek kayak Mema yang mau menerima sifat nyebelinnya Papap,"

"Ya makanya Papap pilih Mema juga kan karena itu,"

"Hiiih! Mema sebel ah!"

Sedangkan di lain ruangan, Abi begitu girang berjalan menuju kamarnya.

"Waaahhhh besar sekaliii, Pa!" seru Abi sambil menyisir seluruh ruangan.

"Abi suka?"

"Suka!" Abi langsung naik ke atas kasur dan melompat-lompat.

"Hati-hati.. nanti Abi jatuh, ngomong-ngomong, Abi tidur sendiri? Kalau Abi mau, nanti tidur sendiri. Abi biasanya tidur sama siapa?"

"Sendiri, tapi kamar Abi kan nggak besar kayak gini, Pa. Nanti Abi tidur bareng Papa aja, ya?"

"Boleh, nanti Papa tidur di sini bareng Abi. Sekarang Papa musti pelajari dulu catatan dari Mama yang banyak ini. Abi suka ngompol nggak?"

"Nggak, Pa."

"Oke, bagus. Kalau gitu sekarang kita turun lagi ke bawah buat makan, baru nanti kita main dan tidur ya,"

***

"Abi sekarang bobok ya, Papa kan sudah mendongeng dua kali, haus juga nih jadinya...,"

"Tapi Abi belum ngantuk, Pa.."

Mereka kini berada di atas kasur, Al sudah menyiapkan segala yang ditulis Dilly menjelang Abi tidur. Susu hangat sudah, pipis, cuci kaki, cuci muka dan cuci tangan sudah. Abi pun sudah berganti baju dengan baju piyama, bahkan Al sudah mendongeng, tapi Abi masih belum mau tidur juga.

"Kalau begitu kita nonton TV aja gimana?"

Abi mengangguk kecil. "Pa,"

"Ya?"

"Kenapa sebelumnya Mama bilang Papa Abi udah meninggal?"

"Hmm...," Al mengerenyitkan keningnya, mencoba mencari jawaban yang tepat. "Karena Papa tidak kasih kabar ke Mama,"

"Kenapa nggak kasih kabar?"

"Papa nggak tahu kalau Mama lagi hamil Abi,"

"Kenapa Papa nggak tahu?"

"Mama nggak kasih tau Papa,"

"Mama benci Papa?" tanya Abi menatap dalam pada mata Al.

"Mungkin. Abi sudah tanya ke Mama belum?"

Abi menggeleng. "Papa sama Mama nikah?"

'Aduuhh, susah amaat pertanyaannya,' batin Al. Al menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.

"Belum.., eh maksud Papa, nggak."

"Kenapa nggak?"

"Karena Papa sama Mama tidak terlalu mengenal,"

"Terus kenapa bisa ada Abi? Kata bu guru Abi, kita ada di dunia karena orang tua kita saling sayang. Kalau mama papa tidak kenal, berarti tidak sayang, tapi kok Abi ada di dunia ini?"

"Abi..., nanti kalau Abi sudah besar, Papa akan ceriiittaa semua sama Abi, tapi Abi harus siap. Dan Abi harus tetap sayang sama Papa, janji?"

"Ceritanya serem nggak?"

Al tersenyum. "Abi janji dulu?"

"Janji," Abi memberikan kelingkingnya.

"Tapi nanti ya. Sekarang Abi tidur dulu, sudah malam kan besok sekolah,"

"Peluk dong, Pa. Di ketek Papa,"

Al pun merubah posisinya menjadi lebih tiduran dan meletakkan kepala Abi di atas lengan kirinya, kini kepala Abi berada tepat di atas ketiak Al. "Tidurnya begini juga kalau sama Mama?"

"Iya, tapi kalau Abi sudah tidur, Mama lepasin,"

"Terus Abi nangis nggak?"

"Nggak, kan cuma buat mau tidur,"

"Abi... Papa mau tanya-tanya boleh?"

Abi mengangguk sambil matanya tetap melihat ke arah TV.

"Mama Abi sekarang lagi sibuk apa?"

"Mama kerja di dua tempat, Pa. Di kafe sama toko kue, setiap hari begitu. Tapi kalau hari Sabtu dan Minggu nggak, Mama bantu Nini di toko bunga,"

"Wah Mama sibuk banget? Abi suka kangen sama Mama dong ya?"

"Biasa ajaa..., karena Mama selalu ada buat Abi. Yang mandiin Abi, masakin buat Abi, antar Abi ke sekolah dan jemput Abi lagi semua sama Mama. Mama wanita hebat, Abi sayang Mama."

Pikiran Al jadi melayang kemana-mana memikirkan kehidupan Dilly.

"Mama galak nggak?"

"Nggak, kalau Mama marah berarti Abi yang nakal."

"Abi, kalau Papa boleh tahu, kok Mama kerja? Kan ada Nini sama Wa Bastian bisa bantu Mama,"

"Kata Mama, Mama mau bantuin Nini untuk biayain Abi sekolah, Mama juga kan kemarin sekolah lagi, Pa. Pulang sekolah, Mama kerja. Sekarang Mama kerjanya di dua tempat, buat Mama mau kuliah lagi katanya."

"Oh ya? Dimana?"

"Lagi daftar di Jakarta sama di sini, tapi Abi nggak tahu dimana kalau di Jakarta,"

Al semakin merasa tidak enak dan menyesal mendengar semua cerita Abi. Ternyata Dilly adalah sosok wanita yang sangat luar biasa. Sedangkan dia malah menjadi seorang pengecut dengan melarikan diri ke London. Dia baru sadar bahwa keluarga Dilly adalah keluarga baik-baik, salah satu buktinya adalah dengan tidak melaporkan dia ke polisi saat itu, kedua adalah saat ini dimana Al bisa berkumpul lagi dengan anaknya.

Mungkin jika orang lain, akan tetap melayangkan gugatan pada Al. Tapi mereka memilih untuk mencari jalan lain yang membuat mereka bahagia, dengan tidak mengganggu kehidupan orang. Namun kini keluarga Natalegawa kembali menganggunya. Meski bagaimanapun ini merupakan hal yang cukup wajar bagi Al, karena Abi merupakan darah dagingnya. Hal ini membuat Al bertekad agar keluarga Dilly tidak lagi diganggu oleh Papap, cukup sampai kesepakatan merawat Abi secara bergantian tidak meminta lebih, itu sudah lebih dari cukup bagi Al.

Kasihan Dilly, dia pasti menanggung seluruh beban di hidupnya selama ini. Dicerca, digosipkan yang tidak-tidak. Astagfirullah.... maafin aku Dilly.. maafin aku....

"Pa, kok Papa nangis?"

"Nggak kok nggak nangis, mata Papa cuma perih aja. Ayo Abi tidur, besok kesiangan lho,"

Abi pun memeluk perut Al dan memejamkan matanya.

***

Jam 11 malam, Dilly belum bisa tidur. Ini adalah malam pertama tanpa ada Abi di rumah. Dia masih terjaga dengan segelas wedang jahe di atas meja makan. Ibun dan Bastian sudah tidur, begitu juga Mang Adun dan Bi Isah. Terdengar suara mobil berhenti di depan rumah Dilly, tapi setelah itu tidak ada suara lagi, Dilly mendengarkan dengan seksama, tanpa sadar dia mulai bergidik.

Sayup-sayup langkah kaki terdengar dengan sangat pelan. Dilly pun mengeceknya dengan bergegas ke arah toko dan mengintip dari jendela. Sepasang kaki dengan betis kekar terlihat dari sudut jendela, berdiri tepat di depan pintu toko.

'Siapa malam-malam datang begini?'

Menemukan sebuah sekop di ujung, Dilly pun langsung mengambilnya dan keluar dari pintu samping. Pelan-pelan Dilly menghampiri sosok yang memakai jaket capuchon berwarna hitam dan celana pendek hitam itu. BUGH! Dilly memukulnya dengan sekop.

"AAOOCHH!" rintih orang itu.

"Rasain!" bisik Dilly tertahan, tapi dia begitu kaget pas melihat mobil Nepal terparkir di halaman.

"Lho? Nepal?" Dilly membalikkan badan Nepal. "Aduuh,, kamu ngapain ke sini malam-malam?? Abi nggak kenapa-kenapa kan??" Dilly malah berbalik khawatir.

Al meringis kesakitan sambil memegang kepala. Dia pun duduk dan berusaha menstabilkan pandangannya.

"Al?? Kamu baik-baik aja kan? Maaf, saya tidak tahu kalau kamu yang datang. Kamu kenapa datang malam-malam? Kan kamu bisa telepon saya kalau mengenai Abi. Atau Abi sakit? Atau apa?"

Bukannya menjawab, Al malah meraih kedua kaki Dilly dan membungkuk di depannya. Al menangis hingga tubuhnya gemetar, Dilly berjengit sedikit mundur.

"Kamu apa-apaan sih, Al?"

"Aku minta maaf, Dilly.... aku minta maaf atas semua perbuatan aku ke kamu.... maafin aku Dilly.... aku bodoh..aku nista, aku hina, aku penjahat, aku udah buat dosa sama kamu... aku pengecut lari dari kesalahan aku.. aku minta maaf... maafin aku, Picadilly...," lirih Al bersujud tepat di kaki Dilly yang hanya bisa terdiam dan tak kuasa menahan tangis karena gambaran-gambaran masa lalu kembali hadir sekelibat.

***

Haaaayyyy mohon maaf yang sebesar2nya karena kecerobohan diri sendiri yang didukung oleh keeroran wattpad, part ini yang kemarin sudah beres mendadak harus berantakan lagi.

Sekarang sudah rapi... monggo dibaca

semoga suka.. enjoy readiing *kecup satu2*

ciaaoo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top