Part 8
Anak kecil itu sudah tertidur pulas dengan mainan mobil-mobilan di sampingnya. Dilly mengelus lembut rambut Abi kemudian menciumi kening dan pipi anaknya yang tembem, dia perhatikan wajah Abi yang tanpa dosa itu. Abi mewarisi hidung kedua orang tuanya yang sama-sama mancung, kulit putih kemerahan yang nyaris seperti orang bule, serta rambut berwarna coklat gelap.
"Anakku, Abimanyu. Kelak saat kamu tumbuh besar nanti, Mama mau kamu menjadi pribadi yang baik, yang menghormati wanita, yang menyayangi Mama tanpa batas.. yang akan selalu melindungi Mama dari orang-orang jahat...," ujar Dilly tak kuasa menahan tangis. "Abi... jangan pernah tinggalin Mama ya, sayaang...," Dilly kembali menciumi wajah Abi.
"Dil," panggil Ibun di depan pintu. Dilly buru-buru menghapus air matanya.
"Ya, Bun?"
"Ada tamu, dia nunggu di bawah,"
"Siapa?"
"Temui saja, dia bukan orang jahat kok," jawab Ibun yang lalu pergi menuju kamarnya.
'Bukan orang jahat? Siapa? Bani?' tanya Dilly dalam hati.
Dilly pun turun ke bawah untuk menemui tamu yang dimaksud.
"Kenes?"
Kenes berdiri dan tersenyum pada Dilly yang hanya berwajah datar.
"Saya tahu, kamu pasti sebenarnya nggak mau ketemu saya, selama ini saya selalu susah ketemu kamu seperti sekarang ini. Tapi kamu juga tahu kan setiap tahun saya nggak pernah melewatkan ulang tahunnya Abi?"
"Taro aja kadonya di atas meja. Saya capek, mau tidur. Mendingan kamu pulang,"
"Ly.. please? Ini sudah tahun ke sekian, apa kamu masih belum bisa memaafkan saya? Apa kamu masih marah? Apa kita tidak bisa lagi seperti dulu?"
"Saya bosan, Kenes. Bosan dengar itu. Itu semua masa lalu. Saya nggak perlu teman, apalagi teman macam kamu yang menjerumuskan saya, teman yang memaksa saya untuk pergi ke acara yang saya tidak suka, teman yang meninggalkan saya begitu saja di acara pesta yang saya tidak tahu dan membuat saya berakhir di situasi yang menyakitkan!!"
Kenes tersentak mendengar luapan amarah Dilly yang selama ini tertahan. Selama ini, meski Dilly tidak pernah mau menemui Kenes atau terpaksa harus bertemu Kenes, dia hanya mendiamkan Kenes atau bahkan menghindar, tidak seperti sekarang ini.
"Dilly..., saya...,"
"Terus dimana kamu, hah!? Dimana orang yang katanya ngaku sahabat saya!? Dia malah pergi nggak tahu kemana, nggak bilang, dia asyik sendiri dengan dunianya, sedangkan saya!? Dengan begonya masih peduli mencari kamu! Tapi yang saya temui adalah manusia dengan nafsu liar binatang yang memaksa saya memenuhi keinginan bejat dia! Apa kamu tahu rasanya menanggung semua beban ini!??" teriak Dilly.
Kenes hanya bisa menangis melihat kemarahan Dilly. Tubuh Dilly lalu bergetar dan dia terisak, tak kuasa berdiri, dia lunglai di atas kursi ruang tamu.
"Kamu berhak marah sama saya, Dilly... Saya akui saya salah...," ratap Kenes. "Saya begitu tersiksa kehilangan persahabatan saya dengan kamu. Saya kangen kamu, saya, dan Wisnu pergi sama-sama. Sekarang kamu bilang sama saya, apa yang harus saya lakukan agar kita bisa kembali seperti dulu?"
"Nggak ada,"
Mendengar jawaban singkat Dilly, Kenes pun kecewa.
"Maaf," ujar Dilly pelan. "Nggak seharusnya saya marah-marah sama kamu. Saya lagi capek dan banyak pikiran,"
"Harusnya saya yang minta maaf,"
"Dan saya butuh teman untuk menenangkan pikiran saya...," lanjut Dilly yang lalu menatap Kenes. "Teman saya yang bisa begitu cuma ada satu di dunia ini. Kamu, Nes." isaknya.
"Kamu maafin saya, Ly?" tanya Kenes tidak percaya, dia langsung duduk di samping Dilly.
Dilly mengangguk. "Saya sudah capek menahan semua perasaan ini, saya sudah capek membenci, mengutuk dan berburuk sangka..., maafin saya juga ya, Nes...,"
Tanpa menunggu lagi, Kenes memeluk erat sahabatnya itu. "Terima kasih, Dilly.., setelah selama ini kamu menolak bertemu dan bicara sama saya, ini keajaiban."
"Karena saya memang butuh teman, Nes. Sejak kemarin perasaan saya nggak enak..., saya merasa saya akan menghadapi sesuatu yang serius, sejak....,"
"Sejak apa?"
"Nes, Nepal sudah kembali dari Inggris. Dia sekarang ada di Bandung dan sudah dua hari ini saya bertemu dia terus, pertanda apa ini?"
Kenes hanya bisa menelan ludah dan mengusap-usap lengan sahabatnya itu.
***
"Jawaban Tante tetap sama, Al. Tante tidak tahu siapa ayah dari Abi. Tante tidak tahu apa Dilly sempat menikah atau tidak, walau Tante dekat dengan keluarga Dilly, untuk hal-hal seperti itu, keluarga Dilly sangat tertutup," ujar Maudy sambil berjalan masuk ke dalam rumahnya. "Lagipula, kenapa kamu begitu penasaran sih?"
"Aku..., aku merasa kalau Abi itu..,"
"Anak kamu?"
"I..iya,"
"Anggap aja bukan. Abi bukan anak kamu," Maudy berbicara di telepon sambil membuka kunci pintu rumah. "Kalau kamu hanya merasa-rasa saja, kamu akan begini terus. Baik Dilly atau kamu yang akan menikah sebentar lagi tidak akan pernah move on dari masa lalu. Tapi kalau kamu tidak merasa dan membiarkan semua ini, Tante yakin kalian berdua akan baik-baik saja."
"Iya sih..,"
"Anggap aja itu penebusan dosa kamu, yaitu tidak lagi mengganggu hidup Dilly, oke?"
"Hmm.. eh Tan, nanti aku telepon lagi ya, Mema nelepon aku nih,"
"Ya udah, sekali lagi, kamu jangan mikirin hal itu lagi ya. Dilly dan kamu sudah punya kehidupan masing-masing, lebih baik kamu hormati kehidupan dia,"
"Oke. Bye, Tan,"
"Bye,"
Maudy menaruh barang bawaannya di tempat biasa kemudian menyalakan lampu ruang tengah. Betapa kaget ia ketika sosok kakaknya sedang duduk manis di sofa kesayangannya.
"Ah, kamu sudah pulang," ujar Papap santai.
"Mas!? Mas masuk dari mana!?"
"Mas selalu tahu dimana kamu akan menyimpan kunci cadangan," ujar Papap seraya menunjukkan kunci rumah Maudy yang lain.
"Tapi ini namanya menyelinap masuk ke rumah orang seenaknya! Aku bisa laporin Mas ke polisi!"
"Silakan, Mas juga bisa melaporkan kamu,"
"Memangnya aku ngapain? Atas tuduhan apa!?"
"Karena kamu menyembunyikan sebuah kebenaran,"
"Kebenaran apa?"
"Ralat. Kamu menyembunyikan keberadaan cucu Mas selama ini,"
DEG.
"Kamu terlihat kaget.. atau mungkin saat ini kamu sedang bertanya-tanya darimana Mas tahu tentang ini? Ya kan?"
"Aku nggak ngerti apa yang Mas bicarakan. Mas ngawur!"
"Kamu tidak perlu berbohong lagi, Maudy. Mas sudah tahu semua kalau tidak lama setelah Dilly diperkosa Al, dia pun hamil. Lalu dia keluar dari sekolahnya dan keluarganya mengungsikan dia ke Yogyakarta sampai dia melahirkan seorang anak laki-laki yang juga merupakan cucu Mas, generasi penerus keluarga Natalegawa."
Maudy memilih untuk tidak menjawab dan berdebat dengan kakaknya itu. "Terserah Mas David saja mau mikir kayak bagaimana. Aku nggak tahu apa-apa,"
"Jangan bohong, Maudy. Kamu membantu keluarga mereka menyembunyikan cucu Mas."
"Kenapa sih, Mas?? Kalau memang itu cucu Mas, apa iya Mas mau mengakuinya? Dan kalau dulu mereka bilang Dilly hamil, apa Mas mau Al bertanggung jawab dengan meminta Al kembali ke Indonesia??"
Kali ini Papap yang kehabisan kata. Maudy menyeringai.
"Nggak kan?? Orang seperti Mas mana mungkin melakukan itu, yang ada di otak Mas hanya kehormatan dan nama baik tapi tanpa kemanusiaan dan rasa peduli."
"Baiklah kalau begitu, kalau kamu tidak mau mengatakan yang sebenarnya, hanya ada satu cara yang harus dilakukan," Papap merapikan kacamatanya dan bersiap pergi.
"Maksud Mas?"
"Mas akan ke rumah Dilly untuk memastikan. Mas akan mengajukan surat permohonan tes DNA,"
Maudy mendelik mendengar pernyataan kakaknya itu.
"Mas! Udah lah, Mas! Jangan ganggu mereka lagi, apa nggak cukup buat Mas dengan mereka tidak menuntut Al enam tahun yang lalu!? Mereka tidak pernah mengganggu ranah hidup Mas, Mas juga bisa kan melakukan itu ke mereka??"
"Tapi ada darah daging Mas di keluarga mereka!"
"Mereka sudah hidup tenang dan bahagia tanpa Mas ganggu!"
"Kita lihat nanti." jawab Papap dingin. Dia lalu berjalan menuju pintu keluar.
"Maas!!" Seru Maudy yang mencoba menahan Papap. "Kenapa Mas begitu keras kepala sih!?"
"Kita ini memiliki gen yang sama, Maudy. Keras kepala ada di dalam darah kita," Papap pun masuk ke dalam mobil BMW hitam yang segera melaju pergi dari rumah Maudy.
"Shit!" maki Maudy memukul pintu rumah.
***
Sudah dua hari berlalu. Elle sudah kembali ke Jakarta, Al pun kembali beraktivitas menjalani bisnis travel miliknya. Al masih belum tahu niatan Papap pada keluarga Dilly, sama halnya dengan dia pun tidak tahu menahu mengenai informasi yang Papap punya tentang Abi.
Saat ini Al berusaha melupakan semua spekulasi bahwa Abi adalah anaknya. Dia lebih memilih untuk konsentrasi pada hubungannya dengan Elle.
Sembari menguap, Al menepikan mobil dan segera menempati parkir pararel tepat di depan sebuah cafe. Dia merasa matanya tidak bisa kompromi lagi untuk diajak melihat jalanan, maka dia butuh asupan kopi demi mengganjal rasa kantuk.
Dengan sedikit lunglai, Al masuk ke dalam disambut oleh bunyi krincing-krincing dari atas pintu. Dia kemudian pesan 1 gelas frapuccino dan duduk di bar.
Di tempat yang sama, Dilly yang bekerja sebagai pramusaji di cafe itu sedang sibuk membereskan meja bekas tamu. Begitu dia melihat sosok yang sepertinya dia kenal itu, buru-buru dia berbalik badan agar Al tidak melihatnya.
'Aduuh si kutu kupret kampret itu ngapain disini??' Batin Dilly.
Akhirnya sambil membawa nampan, Dilly berjalan menyamping agar mukanya tidak terlihat oleh Al.
"Psssttt," panggil Dilly pada rekan kerjanya.
"Kenapa, Mba?"
"Bisa tolong gantiin gue beresin ini nggak?" Dilly menyerahkan nampan berisi gelas dan piring kotor.
"Emang lo udah beres, Mba?"
Dilly mengangguk. "Itu meja terakhir. Shift gue udah beres. Gue mau balik."
"Lo kenapa jalannya miring-miring gitu sih?"
"Ini.. pinggang gue lagi sakit. Ya udah ya gue mau ke belakang ganti baju."
"Oh oke."
"Thanks," Dilly pun kembali berjalan dengan cepat dan menunduk.
Tiba-tiba suara manager Dilly memanggil. "Dilly!"
Dilly berhenti dan mematung.
'Aduuuh ngapain lagi si kutu kupret jilid dua manggil gue?'
"Ya, Pak?" Dilly menjawab tanpa menoleh.
Managernya malah merasa aneh dengan sikap Dilly.
"Kamu itu," tepukan pada bahu Dilly kontan membuat dia terlonjak. Ternyata si manager sudah ada di belakang dia.
"Dipanggil bukannya nengok atau nyamperin saya." Tegur manager.
"Eh iya maaf, Pak. Lagi nanggung tadi,"
"Tadi ada telepon. Dari Ibu kamu, dia tanya apa kamu sudah menjemput anak kamu?"
"Astagfirullah!" Dilly melihat jam tangannya. Dia lupa kalau hari ini Abi harus dijemput di Tempat Pendidikan Al Quran dan itu harusnya dia lakukan setengah jam yang lalu.
Dengan cepat dia memberikan kain lap pada managernya. "Pak, saya titip tas saya dulu di belakang ya, Pak. Nanti saya balik lagi!"
Masih dengan pakaian seragam kerjanya, Dilly bergegas pergi dengan naik ojek.
---
"Abii.. maafin mama ya sayang, tadi lagi banyak tamu di cafe, saking sibuknya mama sampe nggak lihat jam kalau mama harus jemput kamu. Maaf ya naaakkk...,"
Abi sedikit merengut.
"Abi maafin Mama nggak? Nanti Mama kasih kamu es krim di cafe, itu kan kesukaan kamu. Boleh rasa apaaa aja. Gimana?" Bujuk Dilly.
"Iya deh, Abi maafin Mama. Tapi Mama nggak boleh telat lagi jemput Abi ya?"
"Janji." Dilly memberikan jari kelingkingnya yang langsung disambut Abi.
"Abi?" Panggil seseorang.
"Om Nepal!?"
'Whaat? Ngapain sih ni orang ada di sini?' teriak Dilly dalam hati.
Dilly berdiri memberikan ekspresi tidak suka.
"Kok Om Nepal ada di sini?"
"Tadi Om Nepal ada di cafe tempat Mamanya Abi kerja, terus Om lihat Mama Abi pergi terburu-buru, Om gak sengaja dengar kalau Abi telat dijemput. Jadi Om ikuti aja, siapa tahu kalian butuh bantuan,"
Abi tersenyum. Al sedikit menaikkan alisnya kala melihat senyuman itu, seperti sedang berkaca.
"Yuk, Abi. Kita pulang." ajak Dilly.
"Katanya mau makan es krim dulu, Ma?"
"Iya maksud Mama kita berangkat sekarang, ayo." Dilly menggandeng tangan Abi.
"Sebentar. Kalau boleh, saya antar kalian gimana?"
"Mau!" Jawab Abi.
"Nggak usah." Jawaban berbeda dilontarkan Dilly.
"Tapi ini sepertinya mau hujan. Kalau kalian naik angkot kasihan Abi." ujar Al.
TIN TIN.
Suara klakson dari mobil VW Combi kesayangan Bani terdengar persis di depan mereka. Bani membuka jendela mobil. "Haloo Abi..!"
"Om Bani!!" Seru Abi.
"A Bani kok bisa ada di sini?"
"Tadi Ibun bilang kalau kamu kayaknya lupa jemput Abi, Aa menawarkan diri untuk jemput kalian. Yuk masuk mobil?" Ajak Bani tanpa mengindahkan kehadiran Al.
'Hedeeeuuuh. Kok akhir-akhir ini mereka kayak hantu gentayangan ya di hidup gue?'
"Tapi..." ujar Abi ragu.
"Begini aja," Dilly menunduk menatap Abi.
"Abi pulang duluan sama Om Bani ya?"
"Tapi Mama kan janji ajak makan eskrim."
"Mama janji akan bawakan eskrim nanti buat Abi di rumah,"
"Mama bohong!"
"Iya kan Mama tetap bawain eskrim buat Abi, sayang..."
"Abi maunya makan eskrim di tempat Mama kerja!" Rajuk Abi.
"Makan eskrim sama Om Nepal aja yuk?" Ajak Al.
Abi melirik ragu pada Al. Sedangkan Dilly melotot.
"Sudah cukup! Mama ini capek dan masih harus kerja! Abi nurut dong sama Mama! Abi ikut Om Bani pulang nggak usah ikut Om Nepal!" Dilly akhirnya sedikit emosi. Melihat hal itu, Bani langsung turun dari mobil dan menggendong Bani.
"Dilly...,"
Abi memeluk Bani sambil menangis.
"Nepal. Kamu sebaiknya pulang jangan tawari Abi pilihan. Kamu harusnya sadar dengan tidak mengganggu kehidupan Dilly lagi itu sudah membantu meringankan beban mereka dan dosa kamu," ujar Bani.
"A, titip Abi ya. Dilly mau balik ke cafe lagi,"
"Iya. Kamu mau Aa jemput nggak nanti?"
"Nggak usah, A. Makasih,"
Dilly pun pergi naik angkot. Bani dan Abi naik ke mobil. Sedangkan Al, hanya bisa melambai pada Abi yang sedang murung. Entah apa yang membuat Al tadi ingin mengikuti Dilly menemui Abi, padahal dia sudah mulai melupakan tapi kenapa sulit?
Bunyi handphone milik Al membuat dia langsung mengeceknya. SMS dari Papap.
***
"Abi sudah tidur, Bun?"
"Sudah. Kamu tadi habis marahin dia ya?"
"Sudah lah Bun, Dilly capek nggak mau bahas. Dilly juga menyesal.. Tapi Ibun kan nggak tau alasan Dilly marah sama Abi kenapa."
"Sebenarnya Ibun tahu. Dua hal. Kamu ingkar janji dan kamu melarang dia diantar Nepal."
"Wajar kan Dilly larang dia sama Nepal?"
"Tanpa memberitahukan alasannya apa," lanjut Ibun.
Dilly menghela napas. "Abi masih terlalu kecil untuk Dilly jelaskan duduk perkaranya."
"Kamu kan bisa bilang kalau kalian belum terlalu kenal si Nepal itu. Kasih pengertian ke Abi pelan-pelan. Abi itu anak yang pintar, dia pasti paham. Asal kamunya sabar aja,"
"Okee.. oke, Dilly minta maaf dan Dilly juga akan minta maaf nanti ke Abi. Sekarang Dilly mau mandi dulu, capek, gerah naik angkot," keluh Dilly. Dia baru saja pulang dari kerjanya di tempat lain, yaitu di toko kue sebagai kasir. Dilly memang bekerja di 3 tempat dan itu dia lakukan secara ganti shift. Beruntung, jam kerja di toko Ibun sangat sangat flexible, sehingga dia masih bisa mengatur jadwal dan kegiatan dia.
"Kayaknya kamu itu harus berhenti bekerja di salah satu pekerjaan kamu, Dil. Ibun lihat kamu jadi kasihan, kamu itu kecapekan, Ibun kan masih bisa biayain kamu dan Abi."
"Ya nanti aja, Dilly masih ngumpulin uang untuk biaya Dilly kuliah nanti. Dilly juga lakukan ini untuk nambahin biaya Ibun biar nggak kerasa berat banget nafkahin Dilly dan juga Abi."
Ibun hanya bisa melempar senyum.
"Dilly janji, Bun. Kalau nanti Dilly sudah lulus kuliah dan bekerja, Dilly akan bawa Ibun jalan-jalan keliling Indonesia, malah kalau bisa keliling dunia," ujar Dilly. "Maafin Dilly ya, selalu merepotkan Ibun,"
"Ibun nggak pernah merasa direpotkan, bagaimana pun Abi adalah darah daging Ibun, Ibun sayang sama Dilly dan Abi," Ibun mengusap rambut Dilly.
"Bu, punten," panggil Mang Adun di tengah-tengah obrolan mereka.
"Ya, Mang?"
"Ada tamu,"
"Siapa? Malam-malam begini bertamu," jawab Ibun seraya melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam,"
"Hmm...," Mang Adun terlihat ragu-ragu menjawabnya.
Deheman keras datang dari arah ruang tamu. Ibun dan Dilly datang menghampiri si empunya suara.
"Selamat malam," sapa Papap alias Pak David yang datang bersama Mema dan Nepal. Persis seperti kejadian 6 tahun yang lalu.
"Bu, maafin Mamang, tadi saya sudah melarang, tapi mereka memaksa,"
"Nggak apa-apa, Mang. Tolong sediakan minum untuk tamu kita ini," jawab Ibun hingga membuat Dilly keheranan. Ibun menjawab dengan nada yang tenang, berbeda dengan pertama kali keluarga itu datang ke sini untuk memberikan cek tanda perdamaian.
"Bun?" bisik Dilly.
"Silakan duduk. Bagaimana, Pak David? Ada yang bisa kami bantu? Sepertinya sangat mendesak sampai harus bertamu malam-malam begini?" tanya Ibun yang berusaha mengontrol nada bicaranya. Ibun menatap Dilly yang sedang menatap keheranan Ibun dengan berdiri.
"Duduk sini samping Ibun, Nak." pinta Ibun. Sedikit ragu-ragu namun akhirnya Dilly duduk. Tepat di depannya adalah Nepal dan Mema yang terlihat sedikit gusar. Sepertinya Nepal belum sempat pulang ke rumah, karena dia masih memakai pakaian yang tadi dia kenakan waktu ke TPA-nya Abi.
"Saya senang dan sangat berterima kasih kedatangan kami ke rumah Ibu Dewi malam ini disambut baik tanpa keributan," ujar Papap melempar senyum. Ibun hanya mengangguk kecil.
"Kalau begitu kami langsung saja. Begini Bu Dewi, maksud kedatangan kami sekeluarga ke sini adalah untuk menyerahkan surat ini," lanjut Papap,
Seraya merapikan jilbabnya, Ibun pun menerima surat itu. Bersama Dilly, mereka berdua membaca dengan seksama isi surat tersebut. Spontan Dilly langsung berdiri usai membacanya.
"Kalian semua itu kurang ajar! Tidak tahu diri! Tidak tahu terima kasih! Harusnya kalian itu bersyukur saya tidak menuntut pria brengsek ini dan menyeretnya ke penjara! Selama ini kami tidak pernah mengganggu kalian! Kalian ini gila! Sebaiknya kalian pergi sekarang juga sebelum saya berteriak minta bantuan!!"
"Kami datang baik-baik, Dilly!" Al berdiri dan saling berhadapan dengan Dilly.
"Peduli setan kalian datang baik-baik!"
"Ada apa ini!?" Bastian yang baru saja pulang kerja kaget begitu masuk rumah mendengar keributan. "Mau apa mereka ke sini?"
Tanpa berbicara, Ibun hanya memberikan secarik kertas itu pada Bastian. Bastian kemudian merobeknya berkali-kali hingga hanya berupa serpihan usai membacanya.
"Keluar kalian! Keluar sekarang juga!"
"Saya berhak tahu! Kami semua berhak tahu! Abi anak saya, kan!?"
"Bukan! Abi bukan anak kamu!" teriak Bastian.
"Sebentar, saya ingin meluruskan sedikit. Surat permohonan tes DNA itu kami ajukan karena kami mengetahui kalau kalian selama ini telah membohongi kami. Bahwa ternyata Dilly mengandung anaknya Al dan kalian tidak pernah memberitahu kami mengenai hal tersebut," ujar Papap,
"Tanpa mengurangi rasa hormat kepada Pak David. Enam tahun yang lalu, kami minta pertanggung jawaban kepada putra Bapak pun, Bapak memilih untuk menyelesaikannya dengan uang."
"Pertanggungjawaban apa?? Al menikahi Dilly? Tidak mungkin."
"Saya belum selesai bicara, Pak David. Kalau waktu itu kami kabari bahwa putri kami sedang mengandung anak dari putra Bapak, apa Bapak akan mengakuinya? Atau malah Bapak David akan minta putri saya untuk menggugurkannya?"
Papap hanya menarik satu sudut bibirnya. "Huh,"
"Nampaknya Pak David sendiri tidak bisa menjawab. Lalu sekarang? Setelah anak itu sudah besar, Anda meminta tes DNA karena Anda menduga bahwa itu adalah cucu Anda??"
"Kalau memang dia bukan cucu saya, mana suami Dilly sekarang? Atau kalau memang suami Dilly sudah meninggal, tak satu pun saya melihat foto mendiang ada di rumah ini,"
"Itu bukan urusan Anda. Sekali lagi kami minta kalian semua pergi dari rumah ini, jangan pernah menginjakkan kaki lagi di sini!" timpal Bastian.
"Baiklah jika memang begitu. Besok kami akan menjemput paksa Abi untuk melakukan tes DNA," ancam Papap.
"SUDAH CUKUP! TIDAK PERLU TES DNA! ABI MEMANG ANAK KAMU!! ABI ANAK NEPAL!!" jerit Dilly. Semua terlihat kaget, terutama Al yang selain terkejut dia tak kuasa menahan rasa haru dan bahagia begitu mengetahui dia mempunyai seorang anak laki-laki.
"Kalian sudah puas kan sekarang?? Sekarang kalian bisa pergi!" teriak Dilly.
"Kalau begitu.. boleh saya ketemu cucu saya? Boleh kami ikut merawatnya?" tanya Mema yang sedari tadi diam, namun dia begitu bahagia mengetahui hal ini.
"Apa?? Ikut merawatnya? Kemana saja kalian selama ini? Nepal begitu pengecut, kalian semua sebenarnya pengecut! Begitu tahu saya hamil, meski bukan dari pria baik, saya memilih mempertahankan kandungan saya! Saya ikhlas mengandungnya selama sembilan bulan! Merelakan kehidupan remaja saya yang harus hilang begitu saja, pendidikan SMA yang terbengkalai! Saya terima semua kicauan negatif orang-orang di luar sana! Saya yang banting tulang untuk kehidupan anak saya! Sayaa yang harus menanggung semuaaa! Dan sekarang kalian minta Abi untuk bisa ikut kalian!? Kalian semua udah gila!!" Dilly menunjuk-nunjuk dirinya dan semua keluarga Natalegawa.
Bastian menahan amarah Dilly dengan menarik dan memeluknya.
"Sebaiknya kalian pergi,"
"Oke. Kami pergi sekarang. Terima kasih sudah memberitahu kami mengenai keberadaan generasi penerus Natalegawa. Tapi, kami tidak akan berhenti sampai sini. Kami punya hak untuk bisa merawat cucu kami," ujar Papap. Ibun hanya memejamkan mata dan menghela napas.
"Mama...," panggil Abi yang ternyata sudah berada di balik tembok ruang tengah.
Semua menoleh. Abi pasti terbangun mendengar keributan di bawah. Pikir Dilly.
"Abi? Kok kamu bangun?" Dilly menghampiri Abi, namun Abi mundur menghindar dari Mamanya.
"Mama bohong! Nini dan Uwa Bastian juga bohong!"
"Bohong apa sayang?" tanya Ibun.
"Katanya Papa Abi sudah meninggal, sudah di surga. Tapi tadi Abi dengar kalau Papa Abi itu Om Nepal!"
Dilly benar-benar kehabisan kata mendengar ucapan Abi.
"Halo Abi...," sapa Al yang juga mendekati Abi. Tapi Abi malah berlari menuju ke atas, ke kamarnya dan terdengar bantingan pintu diiringi dengan suara kunci. Abi mengurung diri.
"Abi!!" panggil Dilly dan Al bersamaan.
Dilly menangis. Kemudian dia menampar Al dengan sangat keras.
"Puas kalian!? Kalian semua brengsek!!"
***
Akhirnya chapter ini beres juga *kedip-kedip*
Sila membaca yaa... semoga sukaa dan ditunggu feedbacknya. Terima kasih banyaaakk
*ceritanya masih berduka gara2 fedi nuril* LOL
ciaaaooo
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top