Part 7

Haay semuaa. Sebelum masuk membaca part 7 ini akiks mau curcol dikiit.

Mohon maaf kalau agak kura2 ngerjain cerita ini. Ngebuka wattpad juga sekarang jarang2 pdhl kemaren seneng banget jd wattpad walker. Hehe.

Pertama.. i've just lost one of my bestfriend waktu di kantor jakarta. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. She was a great office mate.
Kabarnya mengagetkan. Begitu cepat sampai gak percaya klo dia udh nggak ada. Udah 2 hari nangis author nangis terus.. tapi author dan teman2 ikhlas insyaa Allah krna Allah lebih sayang dia.

Kedua. Author lagi patah hati nih.

Kenapa??

Karena Papap Davik Oktavian alias babang fedi nuriill mau nikah minggu ini sodarah2. Aku terhempaass manjiaaahhh.

Iyaa siih akika udah pnya buntut tapi rasanya ngalah2in sakit hati putus sama pachaar. Sedih siisst! Eaaakkk. Huahahaha.

Huhuuu pokoknya nggak mau liat infotainmeentt 2 mgg ke depan pasti isinya pernikahan fedi nuriil semuaaa.

Jadi maafkan untuk slow motion writing ini ya.. tapi hari ini terbayarkaan.. silakan membacaa mau komen boleeh vote boleeh jingkrak2an jg boleee

Ciaao!

_______________________________________

Pagi ini tidak seperti biasanya bagi Al, setelah shalat subuh, Al tidak langsung tidur. Dia sibuk mantengin laptopnya di kamar. Membuka Google dan mengetik nama Picadilly Jasmine, tidak banyak hal yang keluar dari layar itu. Sepertinya Dilly tidak mempunyai akun di media sosial mana pun. Semalaman, tidur Al tidak nyenyak, bagaimana pun dia masih terbayang-bayang wajah Abi yang sekilas mirip Papap, dia juga masih menelaah kehidupan yang Dilly jalani setelah kejadian itu, walau Al tidak tahu apa-apa, dia hanya mencoba menjadi detektif sendiri.

"Halo?" jawab suara Rio di seberang sana. Masih serak baru bangun.

"Eh, bro. Baru bangun lo?"

"Masih tidur kali gueee,"

"Hehe. Sorry ganggu," Al bicara sambil berbisik.

"Al, ini masih terlalu pagi buat lo nelepon gue, ada apa sih?"

"Gimana sih lo? Lo lupa ya gue semalam minta tolong apa? Udah ada info belum?"

"Ckckck, lo itu pulang dari London aja belum nemuin gue secara langsung, terus semalam lo udah kasih tugas ke gue, nah sekarang pagi-pagi begini lo udah nanyain lagi, tengok dulu ke temen lo ini, minimal main ke bengkel. Kenalin calon isteri lo kek,"

"Yee ini anak ceritanya baru bangun tapi udah semangat ngocehin gue,"

"Hhh," Rio mengacak-acak rambutnya. "Oke, demi elo. Tapi sebelum gue kasih info, sekarang giliran elo dulu yang cerita, kenapa lo penasaran banget pengen tahu tentang Dilly?"

"Kesepakatannya kan lo kasih tau gue dulu, baru nanti gue cerita."

"Kesepakatannya udah berubah. Kenapa, Al? Lo mau nebus dosa?"

"Hmm.. mungkin. Yaa... gue sempat kepikiran itu, tapi belum jadi rencana gue dalam waktu dekat ini untuk mencari tahu tentang dia, sampaai...," Al tidak meneruskan kalimatnya.

"Sampai apa?"

"Nggak tahu kenapa ya, dari mulai gue menginjakkan kaki di Bandung ini, seharian kemarin gue dua kali ketemu sama dia,"

"Lo ketemu Dilly!?"

"Iya, Dilly."

"Terus? Dia ngeludahin elo nggak?"

"Gue pikir dia bakal nonjok gue malah, tapi nggak. Cuma memang dia nggak mau ngelihat muka gue dan gue paham itu,"

"Iya lah, wajar banget. Terus, lo nanyain dia kenapa? Lo jadi naksir dia gitu sekarang?"

"Bukan itu permasalahannya, Bro. Gue nggak ketemu Dilly doang, tapi juga anaknya."

"Anak!?"

"Yoi, anaknya. Umurnya, lo tahu berapa? Lima tahun! Lo kepikiran sesuatu nggak sih setelah gue kasih tahu ini?"

"Kejadian itu kan enam tahunan yang lalu, anaknya lima tahun..., jangan-jangan...,"

"Nah, makanya gue sibuk cari tahu tentang dia setelah kejadian itu ke elo. Apa dia hamil?? Apa anak dia itu adalah anak gue juga??"

"Gila..gila. Gue sama sekali nggak kepikiran hal itu, karena memang gue nggak pernah tahu lagi soal dia setelah lo berangkat ke London. Semua orang terutama dari keluarga lo, semua berusaha melupakan hal itu. Bahkan kemungkinan Dilly hamil pun semua nggak ada yang aware,"

"Udah buruan, jadi.. informasi apa yang lo dapat?"

"Oke.. Kata adek gue sih, setelah kejadian itu, Dilly sempat nggak masuk sekolah selama seminggu. Kayaknya nggak ada yang tahu tragedi itu sama sekali. Bahkan sekolah sekalipun. Soalnya adek gue nggak bilang soal tragedi atau apa lah. Tapi... ada gosip lain yang beredar setelahnya. Memang bukan tentang pemerkosaan, tapi tentang Dilly yang digosipkan menjual diri sampai hamil, karena setelah Dilly sempat sekolah selama dua bulan, Dilly nggak masuk lagi dan mengundurkan diri dari sekolah. Hal itu membuat anak-anak di sekolahnya Dilly berspekulasi macam-macam. Udah deh, setelah itu tidak ada yang pernah melihat Dilly lagi sampaaii.. tiga tahun kemudian setelah itu, ada yang melihat Dilly memakai seragam SMA. Katanya dia melanjutkan sekolahnya. Gara-gara itu juga, Dilly sempat jadi bahan pembicaraan teman-teman seangkatannya lagi, kemana Dilly selama ini? At the end, omongan orang berhenti dengan sendirinya, mereka berasumsi masing-masing dan keluarga Dilly tidak memberikan reaksi apapun. That's all."

"Hmm..."

"Kenapa lo nggak tanya Ale? Dia kan seangkatan sama lo dan sekolah deketan sama Tunas Mekar?"

"Negatif. Dia adiknya Bani. Dia bakalan tutup mulut,"

"Umm.., atau nggak ke pacarnya Ale. Si Kenes. Dia kan dulu sahabatan sama Dilly,"

"Dulu?"

"Kata adek gue sih, semenjak Dilly nggak sekolah lagi. Hubungan Kenes dan Dilly gak bagus, nggak tau kenapa?"

"Lo ada nomor kontaknya Kenes?"

"Mana gue tauuu,"

"Adek lo punya nggak?"

"Kagak, bro. Lo googling aja deh, begitu lo dapat akun medsosnya lo japri aja ajak ketemuan,"

"Hhh..oke lah kalau gitu. By the way nanti sore gue diundang ke acara ulang tahun anaknya Dilly, di rumah Dilly. Hebat banget kan gue?"

"HAH!? Kok bisa!?"

"Panjang ceritanya. Anaknya yang minta gue datang karena gue udah nolongin dia,"

"Kok semua serba kebetulan ya. Kayaknya dia beneran anak lo deh!" ledek Rio.

"Nggak lucu.. Huh. Ya udah deh kalau gitu, thanks banget, bro. See ya!"

Usai itu, Al menghempaskan dirinya di atas kasur. Dia harus cari tahu. Namun bukan hanya Al yang merasa harus mencari tahu. Di luar kamar, Papap yang baru saja mencuri dengar percakapan Al dan Rio pun mempunyai misi yang sama.

***

"Terima kasih, Mema dan Papap atas jamuan makan siangnya," ujar Elle.

Mereka saat ini sedang duduk di area kolam renang usai menyantap makan siang bersama.

"Sama-sama sayang... kita benar-benar senang kok kamu bisa ada di sini. Senang Al bisa mengenalkan pilihan hatinya," jawab Mema seraya tersenyum lebar. "Soalnya ya, selama ini Al jarang mengenalkan pacarnya yang diseriusin. Dulu sih ada, tapi Mema nggak suka, kebanyakan sih Mema dan Papap kurang setuju," lanjut Mema.

"Masa sih?"

"Tuh lihat si Papap, adem ayem aja kan. Biasanya lagi nih, kalau Papap nggak sreg. Mereka bisa banget lho berantem sekarang juga."

Elle memberikan mimik 'yang bener??' pasca Mema cerita.

"Beneran," Mema seakan mengerti. "Tapi tenang aja. Papap itu memang kelihatannya aja orangnya galak, sok, sombong, ngeselin dan egois. Tapi sebenarnya sih dia punya hati yang lumayan lembut. Mungkin dia pengen kelihatan tegas aja siiih," Mema mendadak berbisik sampai membuat Elle tergelak.

"Oh ya, Mema.. Mema suka bunganya.. gak?" tanya Elle ragu-ragu.

"Sukaaa, Elle! Suka banget! Terima kasih ya, kok kamu bisa tahu Mema suka sama mawar?"

"Pada ngobrolin apa sih? Kok kayaknya serius banget?" suara Al dari belakang menghentikan obrolan mereka.

"Ada deeeh... kamu kepo deeeh, Al." guyon Mema. "Ya udah kalau begitu, kalian ngobrol-ngobrol dulu aja di sini. Mema masuk dulu ke dalam ya,"

"Oke." jawab Al.

"Jadi...?" Al bertanya begitu Mema sudah benar-benar masuk ke rumah.

"Jadi apaan?"

"Aman kan nggak ada masalah? Sudah hilang satu kekhawatiran kan?"

"Hehe. Iya.. terima kasih ya, Mas.."

"Tinggal pertemuan kedua keluarga kita deh. Tapi tunggu Bapak dan Ibu kamu pulang. Ckckck.. tapi masih lama juga,"

"Sabaar doong... kaciaan," Elle menjulurkan lidahnya meledek Al. "Eh, kita mau berangkat jam berapa ke ulang tahunnya Abi? Kita belum beli kado lho,"

Al mengecek jam tangannya. "Sebentar lagi deh ya. Aku kan masih nikmatin waktu sama kamu. Besok kan kamu balik ke Jakarta lagi..,"

"Nggak usah manjaaa," Elle mencolek gemas hidung mancung bertahi lalat itu.

Sedangkan di dalam rumah, Mema yang merasa bahagia hari ini, bersenandung sambil merapikan kembali alat-alat makan ke dalam lemari kitchen set. Termasuk menyiapkan vas bunga untuk diisi dengan bunga yang dikasih Elle siang ini.

Papap sedang serius menelepon di ruang tengah sambil sesekali melongok pada istrinya di dapur. Gumaman suara Papap terdengar sayup-sayup oleh Mema. Mema pun sedikit-sedikit mencuri dengar dan menangkap kata-kata "tolong cari tahu," dari Papap, hal itu membuat Mema sedikit merungutkan dahinya. Pun begitu dia tetap melanjutkan kegiatannya, namun begitu selesai memasukkan seluruh bunga ke dalam vas, ada sebuah tulisan dari bunga itu yang langsung menarik mata Meme.

"Toko Bunga Ibu Dewi?" gumam Mema. "Lho, ini kan...,"

"Ada apa, Ma?" tanya Papap tiba-tiba. Mema memberikan kartu yang ada di buket bunga itu.

"Ini kan Ibu Dewi yang dulu langganan kita bukan sih, Pap? Kalau iya, ngapain si Al beli bunga di toko itu cari gara-gara aja,"

"Mungkin Al tidak tahu karena yang memilih toko bunganya pasti Elle. Tapi ini menjawab pertanyaan Papap tadi pagi, bagaimana Al bisa bertemu Dilly kemarin? Pasti karena mereka ke toko bunga ini,"

"Apa?? Al bertemu Dilly? Papap tahu dari mana?"

"Nanti Papap jelaskan, pokoknya nanti Mema harus ikut,"

"Ikut kemana?"

Bukannya menjawab, suami Mema malah pergi meninggalkan Mema dengan kebingungannya.

"Eeehh si Papap, ditanya malahan pergiii!"

***

Para tamu undangan ulang tahun Abimanyu mulai berdatangan ke rumah Dilly, sebenarnya ulang tahun ini tidak dirayakan besar-besaran, hanya teman-teman dekat Abi di sekolah dan kumpul keluarga saja, termasuk Maudy yang sudah dianggap keluarga oleh keluarga Dilly, selain itu Maudy juga sedang dekat dengan Bastian, walau hubungan mereka masih belum mengarah kemana-mana. Dekorasi balon-balon berwarna biru dan putih, serta bunga segar menghiasi ruang tengah rumah Dilly. Sekumpulan bocah sedang asyik becanda dengan topi pesta berbentuk kerucut menghiasi kepala mereka. Ibun sedang sibuk mengatur bingkisan yang akan dibawa pulang oleh tamu nantinya.

Setelah semua lengkap berkumpul, acara pun dimulai dengan bernyanyi lagu selamat ulang tahun, di tengah-tengah teriakan anak-anak yang sedang bernyanyi, konsentrasi Dilly sedikit terganggu oleh kedatangan Al dan Elle yang hadir dengan pakaian berwarna senada dengan ulang tahun Abi, yaitu biru. Padahal Dilly tidak memberi tahu tema warna ulang tahun Abi. Konsentrasi Dilly lagi-lagi terganggu saat melihat Bastian yang sepertinya terkejut melihat kedatangan Al.

Setelah selesai meniup lilin, Dilly langsung meminta kepada Ibun untuk mengambil alih posisi menemani Abi memotong kue. Dia langsung mendekati Bastian yang bersiap menghampiri Al.

TAP.

Dilly mencengkeram lengan Bastian. "Jangan, A." kata Dilly. "Dilly tahu Aa mau ngapain,"

"Tapi dia ngapain di sini?? Kok bisa??"

Maudy yang mendengar argumen mereka langsung sadar. Dia juga kaget melihat kehadiran Al dan Elle.

'Kenapa mereka bisa ada di sini?' tanya Maudy dalam hati.

"Dilly yang undang mereka untuk datang, lebih tepatnya Abi yang mengundang,"

"Kok bisa Abi mengundang mereka?"

"Nanti Dilly jelaskan, A. Sekarang, kita selesaikan dulu acaranya, kasihan Abi, dia nggak tahu apa-apa," pinta Dilly.

"Ya udah, tapi nanti si brengsek itu harus segera pulang, jangan lama-lama di sini," tegas Bastian.

Semua tamu bertepuk tangan usai Abi memotong kue. "Nah, Abi kan sudah potong kue, kuenya mau dikasih siapa, Abi?" tanya Ibun.

"Mama!" jawab Abi girang.

"Kok nggak kasih Nini?"

"Soalnya Mama udah mengurus Abi dari Abi masih bayi. Mama kan juga Ibu Abi yang sudah melahirkan Abi ke dunia," jawab Abi dengan sangat lugu.

Dilly sangat terharu mendengarnya, dia lalu menerima potongan kue pertama dan mencium kening Abi. "Terima kasih, sayang..."

"Abi mau motong kue lagi boleh nggak, Ma?"

"Boleh..."

"Dua kali lagi ya?"

"Kok banyak banget?"

"Kue yang satu buat Nini, yang satu lagi buat Om Nepal," ujar Abi, hal itu membuat kaget Maudy dan Bastian, yang memang tidak tahu menahu.

Dilly tersenyum simpul yang penuh paksaan. "Buat apa Om Nepal dikasih?" bisik Dilly di telinga anaknya.

"Karena Om Nepal baik, Abi mau kasih hadiah buat dia," jawab Abi dengan bisikan juga.

"Tapi kan Abi udah kasih dia hadiah, Abi udah mengundang Om Nepal ke acara ini. Itu juga hadiah lho, jadi kuenya nggak usah kasih lagi ke dia. Kalau mau kasih ke Uwa Bastian aja, kan Uwa lebih penting daripada Om yang baru Abi kenal,"

Abi cemberut dan menunduk. Tanda dia sedang merajuk dan membujuk agar Mama-nya berkata iya pada permintaannya. Dilly menghela napas, dia melirik Ibun kemudian bergantian melirik Bastian, lalu Maudy. Ibun memberi anggukan kecil agar Dilly mengalah. Lagi.

"Oke, boleh." jawab Dilly. Abi kembali tersenyum ceria. Dia memanggil Al untuk maju ke depan. Dengan sangat malas, Dilly melipat kedua tangannya di depan lalu mundur ke belakang agar tidak berdekatan dengan Al.

"Terima kasih, Abi. Selamat ulang tahun, semoga kamu selalu sehat dan jadi anak pintar, serta membanggakan kedua orang tua kamu, ya?"

"Abi udah nggak punya Papa, Om. Papanya Abi udah meninggal karena kecelakaan,"

"Abi, sudah ya," Dilly buru-buru menarik tubuh Abi menjauh dari Al.

"Kamu sudah bisa kembali lagi ke belakang," ujar Dilly dingin.

Begitu acara potong kue selesai, pembacaan doa pun dilakukan dan dipimpin oleh Mang Adun. Setelahnya tamu-tamu kembali pulang dengan membawa bingkisan snack dan nasi kuning yang dibagikan oleh Ibun dan Bi Isah. Sedangkan Dilly bersama Bastian sedang berbicara di dapur, menjelaskan kenapa Abi begitu ingin mengundang Al untuk datang ke acara ulang tahunnya. Menjelaskan dari awal tentang pertemuan mereka yang tidak sengaja di sebuah mall.

Begitu juga dengan Al yang sedang diinterogasi oleh Maudy, Al memberikan jawaban yang sama.

"Udah itu aja, Al nggak pernah dengan sengaja mencari tahu tentang Dilly, sama sekali. Justru setelah kejadian ini, Al punya banyak pertanyaan untuk Tante. Siapa ayahnya Abi?"

Tidak langsung menjawab, Maudy hanya berkacak pinggang sambil terus menatap mata coklat keponakannya itu. "Tante nggak tahu, kalaupun Tante tahu, itu bukan hak Tante untuk memberi tahu kamu. Itu semua privasi keluarga mereka."

"Oke, kalau gitu Al mau tanya hal yang lain. Apa setelah kejadian enam tahun lalu, Dilly sempat menikah dengan orang lain?"

"Mungkin, Tante juga tidak tahu soal itu, karena Dilly tidak tinggal di Bandung, dua bulan setelah itu dia pergi dan tinggal di rumah saudaranya di Yogyakarta. Cuma itu yang Tante tahu," ujar Maudy dengan nada suara sepelan mungkin.

"Haloo.., maaf aku ganggu obrolan kalian, tapi... si anak kecil menggemaskan ini mengajak ke sini," ujar Elle dengan tangan yang menggandeng Abi.

"Hai, Abi. Banyak ya kadonya?" tanya Al.

"Banyaaakk termasuk dari Om Nepal. Terima kasiihh,"

"Mudah-mudahan Abi suka ya," ujar Al sambil mengusap-usap rambut Abi. "Eh, Om boleh gendong Abi nggak?"

"Tapi.. Abi udah gede, Om."

"Beluum dong.. Abi kan masih anak kecil. Boleh nggak?"

Abi mengangguk. Al pun kemudian menggendong Abi dan mengajak Abi keluar rumah ke arah toko. "Kok Om Bani nggak datang, Abi?"

"Om Bani datangnya nanti katanya lagi kerja dulu,"

Dilly yang melihat Al menggendong Abi langsung buru-buru menyusul mereka. "Abi!" Panggil Dilly.

Al yang sedang menggendong Abi ditemani Elle langsung berhenti berjalan.

"Mau kemana?"

"Cuma ke depan aja kok," jawab Al.

"Saya nggak tanya kamu. Saya tanya anak saya," jawab Dilly ketus. Hal itu membuat Elle bertanya-tanya kenapa Dilly kelihatan tidak suka dengan kehadiran mereka.

"Mama, Abi cuma ke digendong sama Om Nepal mau lihat bunga,"

"Ayo, Abi turun. Kasihan Om keberatan. Ayo turun." Pinta Dilly.

Tidak mau berdebat, Al memilih menurunkan Abi.

"Om, Tante. Ikut makan bareng yuk di dalam,"

"Abi.. Om sama Tante ini sepertinya sibuk."

"Nggak sibuk kok," ujar Al.

"Asyiikk kalau gitu kita makan bareng! Kan Tante Kenes sama Om Ale nggak bisa datang,"

"Abi...,"

Terlambat, Abi sudah menarik paksa tangan Al untuk masuk ke dalam rumah lagi.

Tanpa suara sedikitpun, Dilly mengeluarkan perasaan geregetannya dengan mengangkat kedua tangan yang mengepal sambil menghentakkan kaki. Dia lalu mengatur napasnya beberapa kali mencoba tenang dan cooling down setelah itu dia mengikuti mereka dari belakang.

Tak heran, semua keluarga yang sudah duduk siap menyanrap makanan terbengong-bengong begitu melihat Abi datang bersama Al dan Elle. Tak hanya itu, anak kecil imut dengan mata coklat bernama Abi tersebut memaksa Nini menahan emosinya tatkala meminta bangku tambahan untuk pasangan itu.

Sedikit mengumpat dan menahan emosi. Mau tak mau, Ibun pun menyuruh Mang Adun untuk mengambil kursi. Bastian melotot pada Dilly penuh isyarat : kenapa mereka ada di sini!?

Dan Dilly hanya bisa menjawab dengan angkatan bahu. Kesal bukan main, tapi siapa yang sanggup menyalahkan Abi atau memarahi anak kecil akan permintaannya? Bagi Abi, Nepal adalah seorang pahlawan tanpa topeng yang sudah menyelamatkan hidupnya kemarin.

Suasana sangat kaku dan sunyi meski semua sudah duduk manis di kursi makan.

'Kesenangan ini gak boleh hancur cuma gara-gara si Nepal dodol ini!' Tekad Dilly dalam hati.

"Okeehh.. mari makaaann.. Abi mau nasi kuningnya pake lauk apa, sayang?" tanya Dilly memecah keheningan.

"Ayaam!!" Abi berseru girang. Sukses, gara-gara itu semua mulai mengambil lauk dan berbincang.

"Aku gak sangka kalau Tante Maudy ada di sini, ternyata Dilly adiknya Bastian...," ujar Elle. Maudy hanya tersenyum kikuk.

"Tahu dari mana soal saya?" Tanya Bastian.

"Oh..maaf, saya tahu dari Al,"

"Oh iya ya, sampai lupa kalau Al ini adalah keponakan kesayangan Maudy," celetuk Bastian.

Tanpa sengaja, Elle memergoki Al sedang memperhatikan Dilly yang menyuapi Abi. "Sst.. serius amat merhatiinnya.. keingat Nada ya?"

"Eh.. i..iya sedikit..," jawab Al.

"Ngomong-ngomong Dilly, kamu kelihatannya masih muda banget. Kalau boleh tahu umur kamu berapa ya?" tanya Elle.

"Dua enam,"

"Dua satu,"

Bastian dan Dilly menjawab bersamaan dengan jawaban yang berbeda. Mereka lalu saling melirik. Ibun lagi lagi hanya bisa geleng-geleng kepala.

"Aku dua satu. Aa Bastian yang dua enam." jawab Dilly memastikan. Padahal niat Bastian berbohong agar Elle tidak lagi bertanya-tanya.

"Woow.. tapi Abi sudah unur lima tahun ya? Berarti kamu nikah muda?"

"Iya." jawab Dilly singkat.

"Terus, Papanya Abi kemana?" Kali ini Al yang bertanya.

Semua berhenti mengunyah tiba-tiba. Mang Adun langsung keselek dan buru-buru menegak minuman.

"Papa Abi sudah meninggal, Om." Jawab Abi. "Kan tadi Abi udah jawaab...,"

"Oh.. maaf..," ujar Elle.

"Elle jadi pulang besok?" tanya Maudy.

"Jadi kayaknya, Tante,"

"Sayang banget ya..kita belum jalan-jalan,"

"Kecelakaan karena apa, Abi?" Al kembali bertanya.

"Kata Mama, kecelakaan mobil. Abi belum ada tapinya,"

"Jadi, Abi belum pernah lihat wajah Papa sama sekali?" tanya Al.

Abi menggeleng. "Mama gak pernah foto-foto sama Papa katanya. Ya kan, Ma?"

Bastian sedikit menggebrakan meja dengan sengaja. "Mohon maaf, kita semua kan lagi makan. Ada baiknya pertanyaan-pertanyaan seperti itu ditahan dulu. Bisa kan?"

"Sudah..sudah jangan ribut. Pusing Ibun. Sekarang pada makan jangan pada ngobrol. Hayu.. dimakan," Ibun mencoba menengahi.

"Maaf," kata Al pelan. Elle mengusap punggung Al tanda meminta dia untuk sabar.

Usai menyantap makan siang bersama. Ibun meminta Bi Isah untuk merapikan meja makan, Ibun juga mohon izin untuk tidur siang karena kepalanya mendadak pusing gara-gara kejadian tadi, ditambah lagi dia harus melihat Nepal dalam waktu yang cukup lama di depan matanya, membuat dia semakin mual.

"Dilly, terima kasih atas jamuannya ya. Tolong sampaikan pada Ibu Dewi ya, masakannya enak banget," ujar Elle. "Kami pamit pulang ya. Dah Abi... sampai ketemu lagi,"

"Tante, nanti aku telepon ya?" tanya Al.

"Iya boleh kapan aja. Tante sebentar lagi juga mau pulang, nanti Tante kabari kalau sudah di rumah," ujar Maudy.

Al berjongkok mensejajarkan mukanya dengan Abi. "Abi, Om Nepal pulang dulu ya. Kapan-kapan kita ketemu lagi,"

Abi mengangguk. Al mencoba mengecup kening Abi, tapi Dilly langsung menarik mundur putranya itu. "Abi masuk ke dalam ya sama uwa Bas," perintah Dilly yang lalu dituruti langsung oleh Abi.

"Hhmm. Ya udah. Kalau gitu kami pamit pulang."

"Tunggu," Dilly memberi isyarat agar Al menyuruh Elle ke mobil duluan.

"Kamu ke mobil duluan aja, Elle. Nanti aku nyusul," pinta Al pada tunangannya.

Al kembali menatap mata hazel Dilly.
"Saya cuma mau kamu tahu, bahwa hari ini adalah hari terakhir kamu ketemu keluarga saya, termasuk anak saya. Tolong jangan ganggu kami lagi,"

"Kenapa, Dil? Kenapa kamu begitu ketakutan saya berinteraksi sama Abi?"

"Saya nggak suka. Dan saya nggak pernah suka sama kamu. Mudah-mudahan kamu nggak pernah lupa alasannya apa."

"Saya nggak akan pernah lupa dosa itu," Al bernada menyesal.

"Ah, bullshit."

"Dil, saya butuh tahu satu hal. Dari kemarin ini mengganggu pikiran saha. Apa... Apakah Abi.. darah daging saya?"

"Papa Abi sudah meninggal. Titik." Dilly lalu pergi meninggalkan Al.

"Dil..., arrgh!" Al menghempaskan napasnya dengan kasar.

"Sayang?? Kamu masih lama!?" Elle berseru dari dalam kaca mobil. Al pun segera berjalan dan masuk ke dalam mobil.

"Ada masalah ya? Aku dari tadi ngerasa mereka kayak yang nggak suka dengan kehadiran kita deh, Mas.."

"Wajar. Kita kan baru kenal. Ya udah. Kamu mau kemana lagi sekarang?"

"Bebas aja,"

Mobil Jeep itu pun melaju pelan meninggalkan rumah Dilly, tanpa sadar di luar pagar ada mobil sedan mewah berwarna hitam yang sudah lama bertengger di depan rumah Dilly, memperhatikan setiap aktivitas penghuni rumah dan tamu yang datang pergi terutama Nepal.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top