Part 3

Suara handphone milik Bani berdering ke sekian kali. Memaksa Bani untuk membuka mata dan mengangkatnya.

"Halo?"

"Halo, Nak Bani? Ini Ibun,"

Bani mengecek jam dinding. Pukul 1 pagi. Bani langsung mengganti posisi tidur menjadi duduk.

"Ada apa, Bun?" tanya Bani sedikit khawatir.

"Itu.. Nak Bani, Ibun mau minta tolong kalau boleh itu juga..,"

"Insya Allah boleh, Bun. Ada apa? Ibun nggak kenapa-kenapa kan?"

"Bukan Ibun.., tapi.., begini..ini sudah jam satu, tapi Dilly belum pulang juga dari acara Prom Night SMA Hope. Kalau Ale sudah pulang belum ya?"

"Mmm kalau Ale memang minta izin untuk nggak pulang, Bun. Dia menginap di rumah temannya, Ibun sudah hubungi Dilly?"

"Sudah daritadi tapi handphonenya gak aktif. Ibun juga sudah telepon Kenes karena tadi perginya sama dia, tapi hpnya Kenes juga gak aktif. Ibun nggak tahu nomor hp supirnya Kenes.. Ibun khawatir soalnya tadi Ibun minta Dilly jam sebelas sudah di rumah, ini sudah lewat dua jam...," jelas Ibu dengan nada panik.

"Bani bisa bantu apa, Bun?"

"Ibun mau minta tolong sama Bani.. punteenn pisan jadi ganggu tidur Bani.. Ibun minta tolong diantar untuk jemput Dilly di tempat acara. Ibun tidak bisa nyetir mobil, sedangkan Bastian tadi pagi  berangkat ke Sukabumi buat kuliah kerja nyata, boleh ya?"

"Boleh banget, Bun. Ibun tunggu sebentar ya, nanti Bani ke sana,"

Begitu telepon diputus. Tanpa pikir panjang, Bani langsung ganti baju dan keluar dengan VWnya lalu menyebrang ke arah rumah Dilly. Ibun sudah menunggu di depan rumah, memakai long cardigan dan jilbab abu-abu. Udara di Bandung seperti biasa begitu menusuk tubuh apalagi ini sudah dini hari.

Begitu Ibun bersiap masuk ke dalam mobil, handphone miliknya berbunyi. Nomor tidak dikenal.

"Siapa ya ini? Nelepon jam segini tidak ada namanya juga. Astagfirullah.. Ibun kenapa gak enak hati begini ya, Nak Bani?"

"Tenangin diri dulu, Bun. Kita khusnuzon, mungkin memang penting.. diangkat dulu aja," jawab Bani 'sok' tenang, padahal dalam hati dia pun ikut khawatir.

"Bismillah..., Halo? Assalamualaikum?" Ibun menjawab panggilan telepon itu.

"Waalaikumsalam," suara seorang wanita di seberang sana.

"Iya, ini dengan siapa ya?"

"Maaf saya ganggu Ibu telepon jam segini. Apa betul ini Ibunya Dilly?" tanya wanita itu.

"I..iya.. ada apa ya?" Ibun melirik Bani dengan tampang yang semakin panik. Bani menunggu setiap kata yang diucapkan Ibun.

"Oh, syukurlah.. Mm.. kenalkan saya Maudy, saya... saya guru di sekolahnya Dilly,"

"Ada apa ya, Bu Maudy? Apa Dilly kena masalah? Saya sedang menunggu dia pulang dari acara Prom Night SMA Hope, ini saya mau menyusulnya ke tempat acara." ucap Ibun bernada cepat.

"Nggak kok, Bu. Saya justru mau mengabari kalau Dilly dan beberapa temannya ada di rumah saya sekarang. Rumah saya di Setiabudi. Saya minta maaf saya telat mengabari Ibu, saya mau minta izin agar Dilly bisa ikut menginap di sini bersama teman-temannya. Saya yang mengajak dia,"

"Alhamdulillaaahh...Bu.., saya daritadi nyariin dia..., hp nya saya telepon tidak aktif,"

"Iya, betul. Banyak hp anak-anak yang pada low bat, termasuk hp Dilly. Mereka sedang mengcharge hp sekarang, saya dapat nomor Ibu dari hp Dilly yang baru saja saya nyalakan," jawab Maudy.

"Oh gitu... maaf Bu Maudy apa sebaiknya saya jemput Dilly saja sekarang ke rumah Bu Maudy?"

"Hmm..Saya bukannya melarang, Bu. Tapi Dilly sedang tidur sekarang. Rencananya besok pagi-pagi saya antar pulang semua murid yang menginap di rumah saya. Gimana?"

"Oh gitu..., boleh saja kalau begitu. Tapi saya benar-benar titip Dilly ya, Bu Maudy. Dilly baik-baik saja kan?"

Maudy yang sedang memperhatikan Dilly tidur dari pintu kamar tidak langsung menjawab. "..... Dilly baik-baik saja, Bu. Sekali lagi mohon maaf saya baru ngabarin dan terima kasih sudah memberi izin Dilly menginap di rumah saya,"

"I..iya, saya juga terima kasih Bu Maudy sudah menjaga anak saya,"

"Sampai ketemu besok, Bu. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam...,"

"Gimana, Bun?" tanya Bani begitu Ibun menutup saluran telepon.

"Dilly ada di rumah gurunya, menginap dengan teman-temannya. Hp dia low bat jadi tidak bisa mengabari Ibun,"

"Oh gitu.. syukurlah.., jadi gimana? Kita jadi jemput Dilly?"

Ibun tersenyum. "Tidak jadi, Nak Bani. Besok Ibu gurunya akan mengantar Dilly pulang. Maaf ya Ibun sudah merepotkan kamu,"

"Nggak merepotkan kok, Bun. Insyaa Allah selama Bani bisa, apapun Bunda kalau butuh bantuan Bani, Bani siap."

"Terima kasih ya, kamu benar-benar anak baik. Kalau begitu Ibun masuk ke rumah lagi ya, salam buat mama kamu sampaikan maaf kalau dia sampai terganggu,"

"Ibun ini kayak orang lain aja, kita kan udah lama kenal. Sudah biasa," jawab Bani dengan senyum manisnya.

"Assalamualaikum, Nak Bani,"

"Waalaikumsalam, Ibun...,"

Ibun kembali masuk ke dalam rumah. Sembari mengunci pintu, dia kembali memikirkan Dilly. Walau Ibu Maudy sudah memberi kabar keberadaan Dilly, sebagai seorang Ibu, hati Ibun masih belum tenang sepenuhnya, ada rasa yang mengganjal tidak enak tentang anak gadisnya itu.

---
Wanita bernama Maudy itu duduk di tempat tidur, tepat di samping Dilly yang sedang tertidur. Barusan dia terpaksa berbohong pada Ibun, tidak ada anak-anak yang menginap di rumahnya, hanya Dilly saja.

Di meja dekat tempat tidur terdapat baskom berisikan air keruh bekas membersihkan darah. Ya. Maudy baru saja mengelap darah yang menempel di sekujur kaki Dilly. Awalnya Maudy berpikir kalau kaki Dilly terluka, tapi alangkah perih hatinya tatkala dia melihat darah itu keluar dari vagina Dilly.

Tanpa disadari, Maudy meneteskan air mata melihat kondisi Dilly. Dia lalu menggenggam tangan Dilly. Dilly perlahan tersadar akan genggaman itu, kemudian melonjak dari tidurnya. Ketakutan dan histeris.

"Ssshh.. jangan takut!" pinta Maudy.

"Siapa kamu!?" Dilly mengambil gelas yang ada di meja samping, air berceceran tumpah dari gelas itu. Ia lalu menggunakannya sebagai senjata agar Maudy tidak mendekat.

"Saya Maudy.. kamu bisa panggil saya Maudy, Tante, Mba, Kakak atau apapun terserah kamu. Saya yang menemukan kamu di kamar hotel dan membawa kamu ke sini,"

Dilly menangis. Maudy kembali memberanikan diri mendekatinya. "Jangan mendekat! Kenapa kamu bisa ke kamar itu!? Kamu siapa!? Kamu siapanya Nepal!?"

"Saya.. hmm.. saya.. Tantenya Nepal,"

Dilly langsung melempar gelas ke arah Maudy yang sigap menangkis.

PRAANG!

Dilly langsung mengambil seribu langkah.

"Tunggu!" pinta Maudy sambil merentangkan 10 jarinya. "Dilly kan? Kamu Dilly?"

Dilly tidak menjawab.

"Please, biarkan saya membantu kamu. Saya janji. Saya akan bantu kamu. Tapi kamu harus tenang dulu. Kita bicara, ya?" Pelan-pelan Maudy menghampiri Dilly yang masih ketakutan dan kebingungan. "Dilly?"

Di tengah keputusasaannya, akhirnya Dilly menyerah dan membiarkan Maudy membantunya. Maudy pun merangkul Dilly untuk kembali rebahan di kasur.

"Saya ambilkan minum dulu ya, kamu mau minum apa?"

Dilly tidak menjawab. Dia sedang merasakan perih pada bagian kewanitaanya. Tanpa bertanya lagi, Maudy pun mengambilkan segelas air putih. Dilly meneguknya hingga habis.

"Dilly? Apa saya sudah bisa bertanya sama kamu?"

Dilly mengangguk pelan.

"Saya akan bantu kamu tapi saya perlu tahu...," Maudy menatap bercak darah di bagian bawah dress kuning Dilly.

"Saya.. menemukan kamu pingsan di kamar itu. Saya datang untuk menyusul keponakan saya... Nepal...," ujar Maudy penuh kehati-hatian dalam berbicara. Dilly kembali terisak.

"Kamar itu memang dibooking oleh dia. Maaf.. kalau boleh saya bertanya.. apakah kamu...," Maudy menyentuh bahu Dilly. Dilly kembali mengangguk.

Hati Maudy langsung terasa sakit melihat anggukan Dilly. Manusia berhati setan mana yang tega menodai gadis manis ini??

"Dilly.. ada satu pertanyaan lagi..,"

Air mata tak berhentinya keluar dari mata Dilly. Dia menghapus rutin dengan kedua tangannya.

"Apakah Ne..," Maudy berhenti sesaat. Dia berat untuk menanyakan hal ini. Apalagi jika jawabannya iya. "Apakah.. Nepal.. yang melakukan ini pada... kamu...?"

Dilly kembali menangis histeris lalu mengangguk.

Hancur hati Maudy saat itu juga. Nepal. Keponakannya sendiri yang telah melakukan hal hina itu pada Dilly! Apa yang ada di pikiran Nepal!? Aku tidak percaya!! Teriak Maudy dalam hati.

Tiba-tiba Dilly memukul-mukul dirinya dan menjambak rambutnya. Maudy langsung mendekap Dilly.

"Ssshh... kamu tenang ya.. tenang, Dilly. Saya janji.. saya janji akan bantu kamu...," Maudy menitikkan air mata. Dilly berhenti memukul dirinya dan membalas pelukan Maudy, dia lepaskan seluruh tangisannya di pundak Maudy malam itu.

***
Mobil Mini Cooper warna biru itu berhenti tepat di depan toko bunga milik Ibun. Tak lama Maudy turun dari mobil kemudian disusul oleh Dilly. Dengan sabar, Maudy memapah jalan Dilly menuju ke dalam rumah.

"Neng Dilly? Kunaon Neng Dilly sakit??" tanya Mang Adun yang seperti biasa sedang menyiapkan pembukaan toko. Dilly hanya melempar senyum tanpa jawaban.

"Maaf, Pak. Ibunya Dilly ada?"

"Ada..ada.. silakan masuk,"

Maudy memperhatikan sekelilingnya, rumah ini begitu asri dengan gaya rumah jaman dahulu yang terawat rapi. Jendela-jendela ukuran khas jaman Belanda nyata menunjukkannya. Namun tidak dengan furniturenya, desaign interior rumah Dilly sudah berganti dengan barang-barang modern dan minimalis, akan tetapi suasana asri tetap tidak hilang dari rumah itu.

"Dilly!? Alhamdulillaah... kamu baik-baik aja," Ibun langsung menciumi anaknya itu. Walau begitu Ibun sedikit heran dengan tampang lesu dan acak-acakan Dilly. Ditambah lagi Dilly tidak berganti baju, hanya jaket kulit milik Maudy yang dia tambahkan untuk melindungi diri dari udara dingin. Ibun memegang bahu Dilly dan menelisik putrinya itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Betapa kagetnya Ibun saat melihat bercak darah yang menempel di dress bagian bawah.

"Dilly, ini kenapa ada darah?"

Alih-alih menjawab, Dilly malah menangis tersedu lalu menepis tangan Ibun. Dia berlari menuju ke atas, ke kamarnya.

"DILLY!" panggil Ibun yang ingin mengejar, tapi ditahan oleh Maudy.

"Maaf Bu, tapi biarkan Dilly sendiri dulu,"

Ibu menatap Maudy penuh rasa penasaran.

"Ada apa ini? Tolong Ibu Maudy jelaskan pada saya!?"

Maudy mengangguk dengan kedipan. "Saya akan jelaskan semua, tapi Ibu harus tenang dulu,"

"Astagfirullah.. saya dari semalam kepikiran Dilly terus, Bu Maudy.. maaf kalau saya sampai membentak Ibu tadi,"

"Tidak apa-apa, Bu. Saya paham,"

"Mari silakan duduk,"

Sambil memainkan jari-jarinya tanda gugup, Ibun menatap harap pada penjelasan Maudy.

"Hmm.. Saya akan menjelaskan dari diri saya dulu. Sebelumnya saya minta maaf, saya sebetulnya bukan gurunya Dilly. Saya seorang pengacara, daaan.. saya hanya seorang wanita yang mencoba membantu Dilly...," Maudy tak melanjutkan.

"Membantu Dilly apa??"

"Begini Bu... Dilly...,"

Dengan berat hati Maudy menjelaskan dari awal bagaimana dia menemukan Dilly di dalam kamar, kondisi dan pengakuan Dilly atas apa yang terjadi pada diri Dilly dan siapa Nepal. "Ironisnya saya adalah seorang tante dari pria yang telah menyakiti putri Ibu...,"

Setelah mendengar seluruh rentetan kata dari Maudy, napas Ibu menderu kencang. Seluruh tubuhnya dipenuhi rasa emosi, menghangat hingga membuat tubuhnya gemetar dan lemas.

"Astagfirullah...astagfirullah.. ARRRGHH!!" Ibun berdiri lalu menghempaskan semua barang yang ada di depannya. Suara barang-barang pecah menghiasi seisi rumah. Mang Adun dan Bi Isah langsung datang menghampiri ke ruang tamu.

"Bu???" tanya Bi Isah khawatir.

"Kamu!" Ibun menunjuk keras muka Maudy. "Keluarga kamu semua laknat!"

"Bu..., saya janji akan membantu Ibu, walaupun Nepal keponakan saya, saya tidak akan membela dia atas apa yang sudah dia lakukan pada Dilly. Hati saya juga hancur, Bu... saya mohon..izinkan saya membantu Dilly..,"

"Lebih baik Anda keluar dari rumah saya sekarang! Saya tidak butuh bantuan apapun dari Anda!! Saya tidak butuh!!"

"Tapi...,"

"Pergi!!!! Pergiiiiii saya bilang!!!!" teriak Ibun histeris. Bi Isah menahan tubuh Ibun.

Maudy menatap nanar pada Ibun. "Baik..baik..saya pergi." Maudy mengambil sesuatu dari dalam tasnya. "Ini kartu nama saya, kalau Ibu butuh apapun...,"

"Saya nggak butuh apapun dari kamu!! Sekali lagi saya minta kamu pergi!!" teriak Ibun.

Maudy pun pasrah, dia berjalan menuju keluar. Tapi ternyata langkahnya disusul oleh Mang Adun.

"Punten Bu, sini biar kartu namanya kasih ke Mamang aja. Siapa tahu memang butuh. Sekarang ini..Ibu Dewi sedang emosi soalnya," jelas Mang Adun.

"Oh gitu. Iya boleh sekali, Mang. Ini kartu nama saya.. Mang, tolong titip Dilly ya.. kabari saya lewat sms,"

"Iya, Bu. Siap.."

"Terima kasih, Mang. Saya pamit pulang. Assalamualaikum,"

"Waalaikumsalam,"

Dengan perasaan tidak karuan, Maudy masuk ke dalam mobil. Di dalam dia berpikir apa yang harus dia lakukan sekarang. Tangannya menuju pada tombol handphone memutuskan menelepon Rio.

"Halo?" jawab suara Rio.

"Rio, ini Tante Maudy,"

"Oh iya, Tante. Apa kabar?"

"Baik.. Rio lagi dimana sekarang?"

"Lagi..di rumah mama. Ada apa Tan?"

"Rio tahu nggak dimana Al?"

"Hmm...,"

"Rio, tolong bantu Tante. Ada masalah besar, darurat."

"Masalah apa?"

"Kalau Rio kasih tahu dimana Al sekarang, Tante akan ceritakan semua. Tapi Tante juga minta Rio ikut sama Tante buat ketemu Al,"

Rio sesaat tidak menjawab.

"Rio...?" Maudy setengah memohon.

"Oke.. Al ada di apartemen Rio. Kita ketemuan langsung aja di sana,"

"Oke. Sekarang ya."

---

"Maudy, ada apa ini kita semua berkumpul di sini?" tanya Papap yang datang bersama Mema. Mereka semua saat ini sudah berada di apartemen milik Rio, diminta hadir oleh Maudy.

"Mana Nepal?" tanya Mema.

"Nepal ada di apartemen Rio. Selama ini dia tinggal di sini," jelas Maudy menekan tombol lift.

Mema mengelus dada tanda lega. Semenjak kepergian Al dari rumah gara-gara berdebat dengan Papap 5 hari yang lalu, keluarga Al tidak ada yang tahu Al tinggal dimana, hanya SMS dari Nepal memberi kabar saja yang selalu diterima oleh Mema setiap hari.

"Maudy, kamu belum jawab pertanyaan Mas, ada masalah apa ini?"

"Aku jelaskan begitu kita sudah ketemu Al,"

"Rio minta maaf Tante Ghea dan Om David, Rio.. Rio hanya mencoba setia kawan aja," Rio memberi alasan.

"Ya sudah.. yang penting sekarang Tante tahu Al selama ini tinggal dimana. Tante tenang ternyata Al tinggal di apartemen kamu," jawab Mema.

Begitu sampai di kamar apartemen, Rio langsung membuka dengan kunci miliknya. Apartemen milik Rio terdiri dari 2 kamar, 2 kamar mandi, ruang tamu kecil, ruang tengah dan dapur. Maudy berjalan pasti menuju kamar tidur utama.

"Well, coba lihat ada siapa di sini!" Seru Maudy. Dia menyingkap selimut yang menutupi tubuh dua remaja itu. "Bangun!" perintah Maudy.

Al tidur dengan posisi memeluk Alyssa yang memakai celana jeans super pendek di bawah pantat dan tank top dengan perut yang terlihat. Meski masih berpakaian, Maudy benar-benar ilfeel melihat kelakuan keponakannya itu.

"Bangun, Al! Kamu juga! Bangun!" Maudy mengguncangkan tubuh Alyssa.

Mendengar itu, Mema, Papap dan Rio datang menghampiri Maudy.

"Lihat ini!" Seru Maudy.

Mulut Mema menganga. Rahang Papap mengeras kencang. Tak terkecuali Rio, dia kecewa Al telah melanggar janji untuk tidak membawa cewek ke apartemennya.

Alyssa terbangun dan kaget melihat banyak orang di sekelilingnya. "Om.. Tante.." dia lalu turun dari tempat tidur, merapikan rambutnya.

"Kamu siapa?" tanya Maudy.

"Aku..aku,"

"Dia Alyssa, pacar Al." jawab Papap.

Maudy melempar sebuah cardigan panjang yang ada di atas kursi di kamar itu.

"Pakai cardigan itu dan cepat pergi dari sini, di lobby ada supir Al. Minta dia antar kamu pulang, sekarang juga." tegas Maudy.

Tanpa membantah dan pamitan pada kedua orang tua Al, Alyssa segera pergi dari situ.

"Kenapa kamu begitu emosi, Maudy? Mba jadi bingung sekaligus khawatir. Ada apa sih?" tanya Mema.

"Tanyakan sama anak ini. Bangun, Al!" Maudy mencubit lengan Al dengan sangat keras.

"Aaaaoowww!!!"

Matanya yang terbuka perlahan melihat jelas kehadiran keluarga dan sahabatnya. "Mema??"

Al mengucek-ngucek mata. "Tante Maudy?"

Maudy menyeringai pada keponakannya itu.

"Al, kenapa ada Alyssa di sini?" tanya Mema.

"Oh iya! Alyssa mana!?"

"Tante suruh dia pulang,"

"What!? Tante usir dia??"

"Ada hal yang lebih penting yang harus kamu jawab, Al." ujar Maudy.

"Sayang.. kenapa kamu bawa Alyssa ke sini? Apa kalian....?"

"Nggak! Kita nggak ngapa-ngapain. Al nggak ML sama Alyssa,"

"Kamu mungkin tidak ML sama Alyssa. Tapi semalam kamu ML dengan cewek lain!" bentak Maudy sehingga membuat Mema, Papap dan Rio menoleh cepat dengan penuh tanda tanya pada Maudy. "RALAT. Kamu memaksa cewek itu untuk ML sama kamu. Kamu paksa dia untuk penuhi nafsu biadab kamu!!" Maudy menunjuk Al penuh emosi.

"Apa maksudnya!?" tanya Papap.

Al hanya menunduk. Antara iya dan tidak. Pikirannya masih berusaha mengingat kejadian semalam. Dia terlalu mabuk, yang dia sadar hanya dia memang memuaskan nafsunya.

"Mas tanya saja sama anak kesayangan Mas,"

"Al?"

"Sayang?" tanya Mema menghampiri Al.

"Nggak tahu," jawab Al singkat. Nafas Al membuat Mema memundurkan wajahnya. Bau alkohol begitu menyengat hidung.

"Kamu mabuk!?" tanya Papap.

"Kalau iya, kenapa??" Al menantang Papap.

"Semalam aku ke hotel tempat dia menginap, Al minta aku untuk datang menjemput karena dia malas nyetir. Tapi begitu aku datang dan masuk ke kamar dia, aku malah lihat seorang gadis, pingsan di atas kasur Al dengan darah di sekujur kakinya,"

Mema menutup mulut dengan kedua tangannya tanda tidak percaya dengan apa yang barusan Maudy katakan.

"Itu bisa saja bukan perbuatan Al. Mungkin saja dia memang cewek nggak bener," bela Papap.

"Demi Tuhan, Mas! Dia pingsan!!"

"Al tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Al punya masa depan yang baik. Reputasi keluarga yang baik. Kamu jangan mengada-ada, Maudy!"

"Picadilly Jasmine. Aku yang bawa gadis itu keluar dari kamar itu. Aku papah dia. Aku dengar rintihan dia menahan sakit pada kemaluannya. Aku lihat dia menangis histeris dan aku peluk dia yang dipenuhi rasa ketakutan, frustasi dan putus asa yang disebabkan oleh nafsu bejat keponakan aku ini!! Apa yang anak Mas pikirkan saat itu!? Kenapa dia bisa setega itu menyakiti seorang gadis yang tidak bersalah!? Andai kalian bisa lihat betapa sengsaranya Dilly! Kalau Mas mempermasalahkan masa depan Al, lalu bagaimana dengan masa depan gadis itu!??"

"Aku dibawah pengaruh alkohol, oke!!?" Al membela diri. Tapi ucapan itu secara tidak langsung merupakan sebuah pengakuan.

"Jadi kamu mengakui? Kamu ingat kejadian semalam kan!?" tanya Maudy.

"IYA! AKU PAKSA DIA MEMENUHI KEINGINAN BIOLOGISKU!"

Mema menangis mendengarnya. Rio menghela napas frustasi kemudian pergi dari kamar itu.

Papap mendekati Al kemudian..

PLAK!

Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Al.

"Bodoh!! Dasar anak bodoh tidak tahu diri!!!"

Pepap kembali menampar Al. Lagi dan lagi hingga Al harus melindungi diri dengan kedua tanganya.

"Papap! Sudaaah!" Mema menarik tubuh Al dan memeluk anak tunggalnya itu. Mema terisak. "Jangan pukul anak kita lagi!"

"Dia pantas Papap pukul! Mempermalukan keluarga! Apa yang kamu pikirkan!? Kamu punya masa depan yang cerah! Kamu itu akan kuliah, Al!! Kamu itu pewaris bisnis Papap. Apa kata orang-orang kalau satu-satunya putra Papap adalah seorang pemerkosa!?"

"Jangan ngomong seperti itu!" Mema tak sanggup mendengar kata 'pemerkosa' yang dilabelkan pada Al. "Anak Mema bukan orang seperti itu...,"

"Tapi kenyataannya seperti itu, Mba!" timpal Maudy.

"Sudah cukup!!" pekik Mema. "Sekarang apa yang harus kita lakukan, Paap?" tanya Mema. Sementara itu, Al yang sudah hilang pengaruh alkoholnya tiba-tiba menangis. Dia mendadak sadar apa yang akan terjadi pada dia jika Dilly melaporkannya. Dia akan berakhir di penjara. Gagal melanjutkan kuliah dan karier di klub sepakbola akan musnah. Ketakutan langsung menjalar ke seluruh tubuh Al.

"Mema.. Al salah..tolongin Al..."

"Sadar kamu sekarang!? Sadar kamu kalau cuma kami satu-satunya penolong hidup kamu!?" Bentak Pepap seraya kembali menggeplak kepala Al.

"Paapp sudaah... cukuup... sekarang kita harus bagaimana?"

"Kita harus temui orang tua gadis itu. Kita minta agar mereka bungkam. Ini demi masa depan anak kita. Papap akan segera menyiapkan uang untuk mereka,"

"Tunggu. Apa Mas bilang!?" Maudy menyanggah.

"Iya dan kamu sebagai adik Mas, Tante dari Al, serta sebagai seorang pengacara harus membantu kami membereskan ini semua,"

"Nggak. Aku nggak mau. Al harus mengakui kesalahannya dan menerima akibat atas kelakuan dia. Kita ke polisi sekarang,"

"Jangan!" teriak Mema.

"Polisi!? Polisi kamu bilang!? Dengar Maudy, kita akan menyelesaikan semua hal ini tanpa polisi. Camkan itu!"

"Aku nggak mau, Mas. Mau Mas paksa aku kayak gimana juga, aku nggak mau. Aku lebih memilih melaporkan Al biar dia belajar untuk tidak lagi menjadi anak yang manja!"

"Jangan... Maudy.. Mba nggak mau dan nggak sanggup lihat Al masuk penjara," Mema memohon.

"Tapi itu kesalahan dia sendiri!"

"Dia keponakan kamu, Maudy!! Kamu harus bantu keluarga kamu!"

"Walaupun Al keponakan aku tapi aku nggak bisa mentolerir apa yang dia lakukan sama Dilly. Dia memperkosa Dilly, Mas!! Itu sebuah kejahatan! Dan aku nggak mau diam aja melihat Mas mau menyelesaikannya dengan uang!"

"Suka nggak suka, kamu tetap harus bantu kami!!" Papap bersikeras. Begitu juga dengan pendirian Maudy.

"Nggak!"

Maudy keluar kamar dan beranjak pergi.

"Maudy! Kamu mau kemana!?"

"Ke rumah Dilly. Aku menyatakan dengan tegas kepada kalian bahwa resmi hari ini aku akan menjadi pengacara gadis itu. Sampai ketemu di polisi atau bahkan di pengadilan." jawab Maudy yang langsung pergi keluar kamar apartemen.

"Brengsek!!!" Maki Papap.

---

Di bawah air yang mengalir dari pancuran, masih berpakaian lengkap, Dilly duduk menangis. Menggosok-gosok tubuhnya dengan penuh rasa jijik pada dirinya sendiri. Meratap tanpa asa akan hidupnya. Bagaimana pun dia berusaha membersihkan diri, rasa kotor itu semakin melekat.

TOK TOK.

"Dilly?" panggil Ibun pelan.

"...."

"Sayang.. apa Ibun boleh masuk, Nak? Izinkan Ibun masuk...,"

"Ibun pergi aja... Dilly maluu! Dilly udah bikin malu keluarga ini!"

Ibun tersengut, air mata mengalir hangat dari kedua sudut mata. "Dilly... izinkan Ibun bantu kamu.. Ibun nggak malu. Ibun sayang sama Dilly.. Ibun mau ada di dalam bersama Dilly.. Ibun ingin menolong kamu meski itu hanya sekedar menemani.. memeluk Dilly... Tolong buka pintunya, sayang...,"

CKLEK.

Perlahan Ibun membuka pintu. Dia melihat anak bungsunya itu basah kuyup dengan mata yang sembab karena menangis tiada henti.

"Dilly....," Ibun memeluk Dilly. "Maafin Ibun... maafin Ibun sayang.. Ibun harusnya nggak dukung kamu untuk pergi ke acara itu.. kamu tidak akan mengalami hal ini...," isak Ibun.

"Bu.. Dilly udah hina.., kotooor Bu... Dilly...," ratap Dilly.

"Nggak. Nggak ada kata hina buat kamu. Orang bejat yang melakukan hal ini pada kamu yang hina," Ibun menciumi anaknya itu.  "Kamu harus ingat itu. Kamu akan selalu menjadi wanita yang paling berharga buat Ibun. Paling berharga. Ya??"

Dilly mengangguk lemas. "Maafin Dilly..., Bun...,"

"Kamu nggak salah sayang... gak salah... Ibun yang salah........,"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top