Part 2

Al melempar kasar tas sekolah ke atas sofa di ruang keluarga, kemudian menghempaskan pantatnya di atas sofa tersebut. Mukanya terlihat kesal dan kusut. Dia masih teringat kejadian tadi, dimana Dilly berhasil mempermalukan dia. Tidak ada yang pernah berani seperti itu sebelumnya, kalaupun memang ada kesalahan dari seorang Al. Orang-orang sekitarnya akan berkata sopan, hormat dan penuh kehati-hatian. 

"Brengsek!" 

"Siapa yang brengsek?" tanya Mema alias Ibu Ghea. Dengan pakaian swimsuit, Mema berjalan menuruni tangga untuk menghampiri anak tunggalnya. 

CUP. Sebuah kecupan mendarat di kening Al.

"Mema tadi dengar dari atas ada yang datang kayaknya sambil marah-marah, ada apa sih?"

"Nggak ada apa-apa," jawab Al singkat. 

"Beneran nih? Atau ada yang resein kamu? Siapa sini bilang sama Mema, biar Mema hajar!" seru Mema sambil mencontohkan sebuah tinju.

"Errhhh, Mema,"

"Gimana progress acara Prom Night kamu? Ada yang kurang?" Mema menuju ke halaman belakang, menuju kolam renang. Al pun mengikuti Mema tersayangnya itu.

"Sejauh ini sih masih baik-baik aja...," jawab Al. "Mema,"

"Apa sayang?"

"Hmm.. mau tanya aja, selama ini kan nggak pernah tanya. Menurut Mema, Al ini orangnya gimana?"

Mema tertawa. "Halaah kayak gitu kok ditanyain, ada apa tiba-tiba tanya begituan?"

"Ya pengen tahu aja,"

"Kamu itu anak Mema paling menggemaskan. Ya  iyalaah... kan cuma kamu anak Mema," Mema loncat ke kolam renang.

"Mema, Al lagi serius!"

"Kamu itu anak yang paling ngeselin, egois dan pemberontak. Paling susah diatur," Papap menjawab dari dalam rumah seraya berjalan menuju kolam renang. Masih berpakaian rapi dengan jasnya. Al menatap enggan pada ayahnya itu. Dia kemudian beranjak pergi, namun lengannya ditahan oleh Papap.

"Mau kemana kamu?"

"Keluar,"

"Mau ngapain lagi? Kelayapan nggak jelas?"

"Ngapain kek, asal nggak disini,"

Hubungan anak dan ayah itu memang tidak terlalu baik. Sejak dulu, Al tidak pernah merasa dekat dengan Papap. Papap sangat over protective dan ikut campur dalam kehidupan Al sehingga mereka akhirnya membentuk ikatan anak-ayah yang sangat kaku. 

"Tunggu dulu sebentar. Papap mau bicara,"

Mema yang sudah selesai berenang 1 putaran langsung memutuskan keluar dari kolam renang dan buru-buru mendekati mereka berdua.

"Ada apa ini? Jangan bilang kalian berantem lagi, Mema bosan ah, pusing dengarnya," ujar Mema sambil memakai handuk kimono.

"Nggak kok, Ma. Papap cuma mau bicara sebentar dengan Al,"

Mema menyentuh punggung Al meminta Al untuk mengalah. Al melirik Mema dan menurutinya. Hanya Mema alasan Al masih bisa lebih lembek dalam bersikap. Mereka semua duduk di tempat bersantai pinggir kolam.

"Tadi Papap dan Mema ketemu dengan klien yang paling berpengaruh untuk kita, Pak Felix,"

"Terus?"

"Papap ingin kamu yang menangani proyek ini selanjutnya,"

"Tapi Al kan masih sekolah. Al juga mau kuliah,"

"Papap tahu, Papap juga maunya kamu kuliah, tapi sekarang kamu belajar dulu, Papap akan dampingi kamu,"

"Ini pasti bukan sekedar minta tolong untuk meneruskan bisnis, tapi ada yang lainnya. Ya kan?"

Papap tidak menjawab.

"Al.. Pak Felix punya seorang putri yang...,"

"Ya kan?? Ini tentang perjodohan kan? Perjodohan bisnis, nggak dimana-mana semua sama. Nggak di sinetron, opera sabun, ternyata di kehidupan nyata beneran terjadi. Sialnya, ke kehidupan Al! Al nggak mau. Al udah punya pacar, Alyssa. Papap dan Mema kan sudah tahu, sudah Al kenalkan!"

"Memang, tapi Alyssa tidak menjadi pilihan, dia nantinya hanya akan selewat saja!" bentak Papap.

"Dia nggak akan menjadi wanita yang selewat saja!!" Al balik menantang dengan berdiri. Papap spontan ikut berdiri. Mema yang melihat hal itu hanya bisa panik.

"Yang kayak begini ini nih yang sering bikin Al nggak bahagia dan jadi anak yang ngeselin. Semua Papap yang atur, dari kecil sampai Al mau lulus sekolah pun, Papap nggak pernah kasih pilihan untuk Al menjalani hidup. Semua ini, semua kehidupan Al yang Al jalani, ini semua kehidupan Papap, apa Papap pernah tanya apa maunya Al?"

"Kalau memang kamu tidak suka, silakan pergi dari rumah ini. Kalau kamu memang tidak sanggup lagi diatur Papap. Silakan. Silakan kalau kamu merasa bisa menghidupi diri kamu sendiri. Anak manja seperti kamu mana berani, dan asal kamu tahu, ini semua demi kamu!! Semua yang Papap lakukan adalah demi kamu!"

"Al tanya sekali lagi, apa Papap pernah tanya apa maunya Al??"

"Memangnya apa mau kamu!?"

Al tersenyum sinis. "Al mau kuliah di sini, Al nggak mau ke luar negeri. Al mau punya bisnis sendiri dan itu bukan bisnis milik Papap. Al mau punya kehidupan pribadi sendiri setiap weekend, bukan ikut kemanapun Papap pergi. Asal Papap tahu satu-satunya yang benar dalam hidup Al adalah kehadiran Mema dan klub sepakbola!"

Ayah dan anak itu saling menatap tajam. Al betul-betul meledak hari ini. 

"Al..Papap.. udah dong, Mema pusing lihatnya saban hari kayak begini, lama-lama Mema mending masuk rumah sakit jiwa aja deh ah kalau begini, biar kalian tuh akur!"

Al kemudian memilih pergi dari situ, mengambil tas sekolah dan meninggalkan rumah dengan mobil BMW X3 miliknya. Sambil mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi, Al menelepon Rio, sahabatnya. 

"Halo?"

"Dimana lo?"

"Di bengkel, kenapa?"

"Gue kesana sekarang,"

---

"Ini semua gara-gara si cewek yang tadi siang di sekolah, Picadilly Jasmine. Sialan. Dan tai banget, gue masih ingat nama lengkap dia," maki Al sambil merebahkan diri di sofa empuk milik Rio, sekaligus memegang sebotol bir. Bukan botol pertama yang dia minum.

"Kok lo jadi nyalahin tuh cewek?" tanya Rio. 

"Ya dia itu pemicu gue jadi sangat sangat sangaaaattt emosi, gue meledak hari ini, gue bentak bokap gue, tai!"

"Sabar, bro. Sekarang, apa yang gue bisa lakukan buat lo?" tanya Rio bijak. Kehadiran Rio seringkali membuat Al lebih rasional. Rio bisa dibilang satu-satunya orang yang tahan berteman dengan Al yang sangat emosional. Sebagai seorang pembalap sekaligus pemilik bengkel, sudah menjadi kebiasaan Rio untuk tampil lebih tenang.

"Gue butuh tempat tinggal sementara, gue nggak mau pulang ke rumah,"

"Oke, kalau itu gue bisa penuhin. Lo tinggal di apartemen gue aja untuk sementara. Sedangkan gue akan balik ke rumah nyokap," jawab Rio. "Ini kuncinya. Sementara itu, gue ambil dulu bir ini," Rio mengambil botol dari tangan Al. 

"Eeeh, jangan,"

"Bro, lo udah terlalu banyak minum. Udah terlalu teler. Sekarang lo istirahat dulu di sini, kalau sudah enakan, lo gue antar ke apartemen. Gue cuma pesan satu, lo jangan bawa cewek ke dalam apartemen gue, oke?"

"Hmm..,"

"Al, gue serius."

"Oke.. iya, iya," jawab Al yang sudah teler, dia lalu rebahan di atas sofa dengan racauan yang tidak jelas. Rio hanya menghela napas melihat sahabatnya itu.

***
Hari Prom Night SMA Hope pun tiba dan euforia anak-anak muda di Bandung yang mengikuti acara itu sampai juga ke toko bunga milik Ibun. Banyak anak-anak cowok yang datang ke toko membeli setangkai atau sebuket bunga mawar untuk diberikan ke pasangannya.

"Diiillyyyy!" panggil Kenes dengan girang pada Dilly yang sedang melayani konsumen memilih bunga.

Kenes langsung menarik tangan Dilly. "Apaan sih kamu? Saya kan lagi ada pelanggan,"

"Sebentaaar aja kook. Jadi.. saya hari ini mau ke Prom Night dan saya mau kamu sekarang temani saya ke salon, bukan hanya ke salon tapi juga ke Prom Night-nya,"

"Hee? Nggak mau ah, saya sibuk,"

"Ih Dilly sibuk naon sih? Plis plis pliiiss temani saya doong,"

"Saya tidak punya tiket,"

Kenes mengeluarkan dua buah tiket dari dalam tasnya. "Taraaaa... saya sudah beli dua buah tiket. Sengaja.. buat kamu dan saya, yuk Diilll?"

"Nggak ah, saya tidak mau. Kamu kan tahu saya nggak suka acara begitu. Saya nggak suka pesta, gak suka keramaian, kamu aja. Ajak si Wisnu,"

"Wisnu diajak jadi panitia tambahan sama Aa Ale,"

"Nggak mau. Titik."

"Ada apa ini?" tanya Ibun tiba-tiba hadir di tengah mereka.

"Nggak ada apa-apa," jawab Dilly.

"Bun, Kenes mau minta izin yah, mau ajak Dilly ke acara Prom Night SMA Hope. Kenes udah beli tiketnya dua buat Kenes dan Dilly. Tapi masalahnya Dilly nggak mau diajakin. Padahal ini kan lumayan jadi ajang silaturahmi, bersosialisasi biar Dilly nggak kaku kaku amat, Bun. Boleh tidak?" tanya Kenes dengan logat sundanya.

Ibun melirik Dilly yang nampak tidak tertarik sama sekali. Tapi melihat hal itu, Ibun justru ingin melakukan hal yang berbeda.

"Ibun izinkan."

Dilly mendelik. "Nggak ah,"

"Sesekali Dilly.. kamu harus bersenang-senang. Acaranya dimana memang?"

"Di hotel Grand Exclusive, Bun, di ballroomnya. Kenes juga ajakin Dilly ke salon buat nemenin Kenes,"

"Oh nggak apa-apa itu. Jangan Kenes aja. Sekalian sama Dilly dan Ibun juga. Yuk Ibun antar kalian ke salon," Ibun begitu bersemangat mendengar kata salon.

'Ini kesempatan buat makeover Dilly,' batin Ibun.

"Bun? Dilly nggak mau,"

"Dilly, ini perintah. Sebentar Ibun ambil tas Ibun dulu ya!"

Kenes tersenyum penuh kemenangan. "Ini perintah. Alias kamu tidak mungkin bisa menolak,"

"Huh!!"

---

Mereka sudah menghabiskan waktu 2 jam di salon. Itu pun termasuk dengan lamanya membujuk Dilly agar mau didandani. Sempat terjadi perdebatan, tapi akhirnya Ibun yang menang. Sebenarnya Dilly kesal bukan main, dia tidak mau rambutnya diratakan, poninya dibuat poni lempar samping dan rambutnya diblow. Dia juga sempat menolak anjuran Ibun untuk melepas kacamata dan menggantinya dengan kontak lens. Namun apa daya, titah Ibu Dewi, juragan bunga, mampu mengalahkan semua penolakan itu. Tidak hanya itu, Ibu juga berhasil membuat Dilly memakai gaun berwarna kuning pastel dari bahan lace dengan lengan 3/4 dan panjang selutut serta sepatu warna putih dengan hiasan bunga setinggi 5 cm.

Kini Dilly berdiri sangat malas depan Ibun dan Kenes. Tanpa ekspresi. Dilly sangat beda. Kecantikannya kini terlihat. Tidak ada lagi rambut zig-zag ala Jeng Kelin, yang ada kini rambut sebahu yang sudah rata dan di blow ala oldies. Tidak ada lagi kacamata Betty La Fea. Tidak ada lagi gelang-gelang milik Dilly di pergelangan tangannya. Semua berhasil dimusnahkan oleh Ibun.

"Alhamdulillaaahh, setelah sekian lama memaksa anak ini. Akhirnya cita-cita Ibun kesampaian juga bikin Dilly jadi sefeminin ini. Gak ada lagi itu rambut jabrik tidak jelas. Senang banget Ibun lihatnya, coba dari dulu begini ya, langsung Ibun bawa ke salon. Peduli pisan orang-orang tadi lihat kita berantem sampe bentak-bentakan. Pokokna Ibun puaass. Terima kasih, Dilly sayang..."

Jelas Ibun berhasil. Ibun memakai senjata terakhir dengan membawa kenangan bersama Abah yang selalu membuat Dilly sedih. Dilly tidak sanggup lagi mendengarnya, akhirnya dia memutuskan berkata YA pada semua permintaan Ibun.

"Hhhhh,"

"Eh anak gadis tidak boleh cemberut. Nanti tidak dapat pasangan buat berdansa di pesta,"

"Nggak tertarik juga cari pasangan," 

Kenes yang -tidak usah ditanya- pastinya tampil jelita, berlonjak kegirangan. "Kamu geuliiiss, pasti Aa Arbani makin naksir kamu, Ly!" bisik Kenes. Kenes malam ini memutuskan memakai dress tanpa lengan berwarna ungu yang panjangnya diatas lutut.

"Ya sudah kalau begitu, kalian berangkat aja sekarang, acara mulai sebentar lagi kan?"

Kenes mengangguk cepat. Lain hal dengan Dilly yang ogah menggontaikan tubuh.

"Jaga diri baik-baik. Jangan minum-minuman. Daan paling telat jam sebelas malam sudah sampai di rumah. Oke??"

"Siap, Bun!"

"Ibun masih di sini, nunggu Mang Adun jemput. Kenes tolong pesan juga sama supir Kenes jangan ngebut ya?"

"Iya, Ibun.. yuk ah kita berangkat, Ly!" Kenes menarik tangan Dilly, yang wajahnya masih seperti kertas kusut.

"Dilly," panggil Ibun. Kenes melipir sebentar meninggalkan Ibun dan Dilly berduaan. "Maafin Ibun ya maksa kamu. Nanti kalau kamu sudah punya anak, pasti akan mengerti," ujar Ibun seraya mengelus pipi Dilly.

Perlahan muka kertas kusut itu mengembang.

"Hati-hati ya, sayang."

Dilly pun berjalan mundur pergi meninggalkan Ibun yang masih betah di salon.

---

Lampu-lampu gemerlap menguasai ballroom itu. Begitu juga musik disco yang membuat jantung ikut dipukul-pukul kencang. Obrolan para tamu yang hadir menambah bising suasana.

"Hey!! Kalian datang juga akhirnya!" ujar Wisnu sambil berteriak lantaran berisik. "Mana Dilly!?"

Kenes terkekeh karena Wisnu sampai tidak mentadari kehadiran Dilly di sampingnya. Kenes menunjuk. Wisnu langsung menyidik dengan matanya.

"Ini Dilly!?" tanyanya tak percaya. Kenes mengangguk. Dilly hanya melengos. "Serius!? Dilly??"

"Iyaaa ini sayaa, Dilly!" seru Dilly seraya mengerucutkan bibir.

"Allahuakbar! Cakep bener. Hahahahha. Nah kayak gini kek penampilan lo, gue seneng lihat rambut lo tuh gak jigrak ala zig-zag teu puguh!" Wisnu tertawa puas. "Siapa yang dandanin!?"

"Ibun!" jawab Kenes. "Tapi dia masih bete. Soalnya kita paksa dia!"

"Tenang, Dil. Lo nggak akan nyesel, karena pada akhirnya beginilah seharusnya cewek itu, hahahha,"

"Reseeee,"

"Ayo, kita keliling-keliling, kalian udah makan?" tanya Wisnu.

"Belum, tapi saya mau keliling dulu aja," ujar Kenes.

"Saya nggak ikut, saya mau makan aja," timpal Dilly.

"Diiill, udah di sini mah harus santai, kamu malah mikirin makanan,"

"Eh, saya ini rasional, mendingan saya pikirkan kelangsungan hidup perut saya, dari pada keliling, saya tidak kenal mereka. Sudah, kalian jug sana pergi, saya mau makan," kali ini Dilly bersikeras. 

"Ya udah deh," Kenes mengalah. Bersama Wisnu, akhirnya dia pergi meninggalkan Dilly sendirian. 

'BETEEEE! Gue terjebak begini..., kesel!' teriak Dilly dalam hati. 

Dia lalu mengambil semangkuk baso dari food stall, kemudian mengambil duduk di pojokan. Sambil menyuap, dia iseng melihat ke sekeliling. Dari semua orang-orang yang hadir, ada lumayan banyak wajah yang Dilly kenal, itu juga karena satu sekolah. Selebihnya? Jangan tanya. Dilly tidak tahu dan tidak mau tahu. Begitu matanya menatap ke bar yang ada di seberang mata, dia melihat sosok Nepal, bersama dengan seorang wanita yang sepertinya adalah pacarnya. Karena bahasa tubuh mereka berbeda sendiri. Penuh kemesraan, dunia milik berdua, yang lainnya ngontrak, termasuk Dilly.

Sambil tertawa-tawa, mereka berdua memegang gelas yang isinya tidak mungkin hanya minuman soda. "Aneh, kok sekolah ngasih izin sih ada minuman beralkohol di acara begini?" gumam Dilly bergidik. 

Sisa-sisa jam berikutnya masih sama, Dilly memilih untuk duduk di tempat yang sama, makan, makan dan makan lagi. Hanya sebentar Dilly ikut berdiri bersama Kenes dan Wisnu, mengikuti pengumuman pemenang Prom King and Queen. Alyssa sebagai Queen dan sayangnya si pacar tidak dipanggil sebagai King. 

Hal itu sempat membuat geger dan keheranan para siswa SMA Hope, termasuk siswa sekolah lain yang mengenal sosok Nepal. Memang sih, pemenangnya tidak kalah ganteng. Tapi, fenomena seorang Nepal itu layaknya seorang Justin Bieber di jagat per-SMA-an di Bandung. Hampir semua orang berpikir dia akan mendapatkan gelar Prom King, tapi nyatanya tidak.

"Dilly," panggil Kenes. 

"Hmm?"

"Kamu mau ikut nggak? Teman sekelas saya, si Hesti, buka kamar di hotel ini. Saya mau ke kamarnya dia. Ikut yuk?"

Dilly mengerutkan kening. "Mau ngapain, Nes? Ini sudah jam setengah sebelas, kita kan sudah harus sampai di rumah jam sebelas, mendingan kita siap-siap pulang aja yuk?"

"Sebentaaaarr aja,"

Dilly berpikir sebentar, tapi lalu dia tetap menolak. "Nggak deh, saya tunggu di sini aja,"

"Ayolaah.."

"Nggak, Nes. Saya tunggu kamu di sini aja. Nanti kamu telepon saya kalau udah beres,"

"Atau kamu yang telepon saya ya, ataaauu kalau kamu mau cari saya, kamarnya si Hesti di lantai tiga, nanti nomor kamarnya saya kasih tahu lewat SMS ya!" 

"Okee,"

Dilly pun akhirnya sendirian lagi. Mau pulang, tapi harus nunggu Kenes dulu, lagipula Dilly sedikit khawatir pada euforia Kenes malam ini yang bisa saja membawa dia pada kenekatan yang lain.

Sudah sejam Dilly menunggu, tapi Kenes tak kunjung datang, bahkan mengirimkan SMS pun tidak. Dilly kembali mencoba menelepon Kenes. Masih juga tidak diangkat. Dilly sudah sejak tadi menelepon Kenes sampai handphone Dilly low bat. Itu juga karena sedari tadi dipakai Dilly untuk mengisi kebosanan. 

Suasana ballroom masih agak ramai, sepertinya pesta akan terus berlanjut dengan penampilan DJ. Dilly mengurungkan niat untuk menghubungi Wisnu. Anak itu pasti lagi sibuk. Akhirnya Dilly memutuskan mencari Kenes sendirian, dia keluar dari ballroom dan mencari lift. 

Begitu sampai di lantai 3, naasnya Dilly bingung karena dia tidak tahu Kenes ada di lantai berapa. 

"Bego, harusnya tadi nanya dulu sama resepsioniiis," bisik Dilly. Pun begitu, Dilly tetap menelusuri lorong hotel, celingak celinguk kanan kiri menatap setiap kamar. Berharap mendengar suara Kenes dari dalam. Sayup-sayup Dilly mendengar suara percakapan para wanita yang diselingin canda tawa dan seruan-seruan. Tapi tetap saja Dilly tidak bisa tahu dimana Kenes. 

Sampai akhirnya dia melihat ada sebuah kamar dengan pintu terbuka sedikit. Entah apa yang membawa Dilly akhirnya nekat untuk mengecek ke dalam kamar, siapa tahu itu kamar Hesti. Dilly membuka pintu kamar itu, lalu menongolkan kepalanya sedikit.

"Halo? Kenes? Hesti?" panggil Dilly pelan.

Tidak ada yang menjawab. Dilly yang masih penasaran, memberanikan diri masuk ke dalam, diam-diam menelisik isi kamar. 

"Kenes?" panggilnya lagi. Dia masuk ke dalam dan tidak melihat ada siapa-siapa. Hanya kasur yang sepertinya sudah sempat ditiduri dan sebuah jas. Lampu kamar sedikit redup, TV menyala dengan volume yang tinggi.

"Alyssa?" ujar suara seseorang dengan nada parau dari dalam kamar mandi. Dilly spontan berjengit.

Dilly bergegas berniat keluar. Tapi..

BAM. Suara pintu kamar ditutup. Kunci grendel dipautkan. CKLEK. dan suara pintu dikunci terdengar jelas.

Dilly spontan menoleh ke belakang. Nepal. 

"Alyssa? Kemana aja sayang?" ujar Al dengan langkah sempoyongan mendekati Dilly. 

"Saya bukan Alyssa," Dilly menghindar, tapi tangannya langsung dicengkeram. 

"Aku kangen..," ujar Al. Bau alkohol yang sangat menyengat keluar dari mulut Al hingga membuat Dilly ingin muntah. 

"Saya bukan Alyssa!"

Al mencengkeram Dilly semakin kuat, kali ini kedua tangan Dilly dikunci. 

"Jangan begitu sayang... biasanya kamu mau aku apain juga...," Al mulai menciumi leher Dilly. Dilly terus menghindar. Dia mulai takut.

"Nepal, kamu mabok! Lepasin saya!!"

Al menghempaskan tubuh Dilly ke atas kasur dengan sangat kencang, lalu segera menindih Dilly.

"Tolooong!" teriak Dilly.

"SSSTT" Al membungkam mulut Dilly sangat kencang. HIngga teriakan Dilly tidak lagi terdengar. Sedangkan satu tangan Al yang lain menahan tubuh Dilly. 

Kaki Dilly meronta-ronta. Al yang dengan keadaan teler hanya tersenyum melihat gadis malang di depannya. Dilly tidak bisa bangun karena Al menindih tubuhnya dengan sepenuh tenaga. Begitu Al melepaskan tangan Dilly, Dilly langsung memukul tubuh Al sekuat yang dia bisa. Tapi Al tidak bergeming. 

Al mulai membuka celananya dengan satu tangan. Mulut Dilly masih terbungkam oleh tangan kekar Al yang satu lagi. 

"HMMPPHH!!!" teriak Dilly tertahan begitu melihat Al melucuti celananya. Al kemudian membuka bungkaman mulut Dilly, menahan kembali kedua tangan Dilly, lalu penuh nafsu langsung menyerang bibir Dilly, Dilly meronta menggelengkan kepalanya dengan cepat, menghindari dengan jijik  apa yang Al lakukan padanya.

"Nepaal.. lepasin! Saya bukan Alyssa, saya Dilly!"

Al langsung berhenti menciuminya. "Dilly? Picadilly Jasmine? Si perempuan sok tahu itu?"

Dilly menatap mata coklat Al yang membara dengan penuh ketakutan. Dia mulai menangis. 

"Lepasiin... Al...," Dilly memohon. Tapi Al melakukan hal sebaliknya. Dia kembali membungkam Dilly dan tangan yang satu mulai menggerayangi bagian bawah Dilly. Dress Dilly terangkat hingga celana dalamnya terlihat. Al membuka paksa celana dalam itu.

Gadis remaja itu terisak, tersedu, meronta-ronta, memohon agar Al melepaskan dia. Meminta tolong, berharap ada yang mendengar rintihan dia. Tapi suara TV mengalahkan usahanya.

Al kembali menciumi Dilly, menggigiti bibir Dily penuh nafsu buta dan kesetanan.

"Ja..ngan.. toloong...," rintih Dilly.

Dan Dilly semakin menangis, meringis kesakitan luar biasa saat dia merasakan sesuatu yang keras dan panjang memaksa masuk ke dalam vaginanya. Dilly mengerang menahan rasa sakit itu. Dia merasakan miliknya sakit, seperti tulang yang bergeser. Dia menangis hebat dan seketika bayangan wajah Ibun, Almarhum Abah, Bastian, Wisnu, Kenes dan orang-orang yang dia kenal hadir dalam pikirannya. Bahu dan tubuh Dilly bergoyang dahsyat karena tangisan dan juga aksi menarik dan mendorong dari Al. 

Dilly tak bisa lagi melawan apa yang sedang dilakukan Al padanya. Semua sudah terlambat. Al sudah diliputi nafsu setan dan jahara di dalam dirinya. Dilly sangat lemas meronta hingga akhirnya dia membiarkan Al memenuhi keinginan biologisnya. Tetes demi tetes air mata keluar dari mata Dilly begitu dia merasakan cairan kental dan hangat mengisi rahimnya. Dilly memejamkan mata. Tak sudi menatap wajah Al yang sekelibat dia lihat begitu puas telah melakukan itu. Al pun melepaskan miliknya dari dalam vagina Dilly. 

Pria remaja itu langsung membersihkan dirinya di dalam kamar mandi, meninggalkan Dilly yang masih terkulai lemas kehabisan tenaga di atas kasur. Dilly masih menangis. Jijik. Dia melihat bayangan Al yang sedang berpakaian kembali.  Dia lihat Al kembali meneguk habis segelas wine.

Tanpa sepatah kata apapun. Masih dengan langkah sempoyongan. Al pergi meninggalkan Dilly sendirian di kamar hotel itu.

***

Haaayy hellooo.. ketemu lagii.. Akika nggak bisa banyak berkomentar di sini, akika lagi potek hati liat foto Al sama Alyssa terus *siapa guee?* :))

Nah selamat membaca part 2 ini ya..
please buat yang merasa ini terlalu kasar atau inappropriate bisa bijak untuk tidak membaca lagi. Ini hanya guratan tangan, imajinasi, cerita.

Jadi... please be wise ya and please do share your thought.. comment n vote tentang cerita ini.

To all open minded people..Enjoy read all, ciao!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top