Part 1

Bandung di pagi hari. Pagi hari yang ribet. Itulah yang dirasakan oleh Ibu Dewi. Karena subuh-subuh dia sudah harus beraktivitas mengatur bisnis toko bunganya dan mengurus persiapan kedua anaknya untuk berangkat sekolah dan kuliah. Beruntung, sebagai single parent, Ibu Dewi dibantu oleh sepasang suami istri yang bekerja sebagai asisten rumah tangga juga merangkap sebagai pegawai di toko bunga, yaitu Mang Adun dan Bibi Isah.

Toko Bunga Ibu Dewi. Mang Adun sedang mengelap papan nama berdiri itu untuk dipajang di depan nanti. Toko Bunga yang juga menjual tanaman hias ini tidak terlalu besar, tapi sejak suaminya meninggal, dari sinilah Ibu Dewi menghidupi diri dan keluarganya setiap bulan. Cukup untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya, Bastian, si sulung yang sedang mengambil kuliah teknik  dan sudah menginjak semester 6 dan Picadilly, si bungsu yang masih berseragam putih abu-abu di kelas X.

Bastian, pria berkacamata dengan lesung pipi ini mewarisi sifat Ibunya, ramah, humoris, menyenangkan, ambivert dan punya banyak teman. Sedangkan Picadilly alias Dilly, justru memiliki sifat yang berlawanan. Seperti almarhum Abah, Dilly adalah remaja yang tidak banyak omong, judes dan tertutup. Di sekolah, dia seringkali dianggap cewek yang aneh lantaran penampilan dia yang tidak biasa. Meski begitu guru-guru memakluminya, karena dia salah satu murid andalan, Dilly sangat pintar dan salah satu anggota OSIS. Namun di balik sikapnya itu, kalau sudah kenal dan dia merasa nyaman dengan orang, Dilly bisa berubah menjadi pribadi yang menyenangkan.

"Mang Adun, gimana pesanan Bapak David? Dia semalam sms saya lagi soalnya, mengingatkan kalau dia mau ambil pesanan bunganya pagi ini dan dia mau ambil sendiri," tanya Ibu Dewi.

"Oh iya, Ibu. Sudah saya siapkan semua. Ada di samping, tinggal angkut saja," jawab Mang Adun dengan logat sunda yang kental sekali.

"Ya udah, terima kasih ya, Mang," Ibu Dewi kembali mempersiapkan tokonya. Usai itu, dia masuk ke dalam rumah untuk memasak menyiapkan sarapan buat anak-anaknya.

"Bi, anak-anak udah pada bangun?" tanya Ibu Dewi pada Bi Isah.

"Udaah Ibuunn!" teriak Bastian dari kamarnya di lantai atas.

"Eeehh jangan bohong yah! Memangnya Ibun tidak tahu dari suara kamu kalau kamu masih meringkel di atas kasur!? Bangun, Bastian! Shalat subuh dulu!" Balas Ibun dengan teriakan juga. "Hih dasar barudak," gerutu Ibun sambil geleng-geleng kepala.

"Neng Dilly juga belum bangun, Bu,"

Ibun menghela napas. Sudah jam setengah 6 pagi dan anak itu belum bangun juga. "Bi, tolong ambil alih masak ya. Saya mau ke atas dulu,"

Ibun secepat kilat naik ke atas lalu membuka kamar Dilly. "DILLY! Ampun deh kamu, bangun atuh.., kamu teh masup sakolah jam setengah tujuh jam segini belum mandi,"

"Eeehhmm..," jawab Dilly malas-malasan.

Tak pakai pikir lama, Ibun pun sekuat tenaga menarik kaki Dilly hingga Dilly terjatuh.

"Aaooch!!"

"Bangun! Berapa kali Ibun musti bilang dari semenjak Abah tidak ada, bantu Ibun dengan hidup disiplin, jadi Ibun tidak perlu repot setiap hari beginiii terus. Ibun kan harus menyiapkan urusan rumah semua, hayo bangun!"

Dilly mengucek-ucek matanya. "Iya..iyaa.. maaf atuh.. jangan galak-galak," Dilly berdiri, mengecup pipi Ibun kemudian masuk ke kamar mandi.

"Dilly, kamu beneran mandi ya di dalam, jangan tidur lagi!"

"Iyaaahhh,"

Kali ini Ibun masuk ke kamar Bastian. Bastian sedang duduk di atas kasur main hp.

"Kuliah jam berapa kamu?" tanya Ibun.

"Jam sepuluh," jawab Bastian tanpa menengok pada Ibun.

"Ya sudah, mandi sekarang aja. Nanti jangan lupa sarapan,"

Ibun pun kembali turun ke bawah dan menyiapkan sarapan. Waktu sudah berjalan 20 menit dan anak-anak Ibun, terutama Dilly belum turun juga untuk sarapan.

"DILLY!!"

"Iyaaa iyaa! Ini Dilly mau turuun!" seru Dilly. Tak lama sosoknya datang turun dari tangga. Anak remaja berumur 15 tahun itu sudah siap dengan pakaian putih abu-abunya yang seperti biasa.. agak sedikit nyentrik. Rok melebar di bawah lutut. Kaos kaki putih panjang, sepatu keds hitam tapi agak dibuat seperti ankle boot. Deretan gelang tali warna warni melingkar di pergelangannya. Sedangkan pergelangan yang satunya melingkar gelang-gelang tali bergambarkan tengkorak.

Ibun memutar bola mata. "Dilly.. berapa kali juga Ibun musti bilang itu aksesoris nggak usah semuanya dipake, memangnya kamu mau jualan?"

"Yaa kalau ada yang mau beli, bisa aja Dilly jual," jawabnya cuek.

"Sudah atuh Bun, Ibun ini yang justru tidak mengerti anak-anaknya. Ibun harus ikhlas punya dua orang anak yang seleranya berbeda, kan tiap anak tidak sama," bela Bastian yang menyusul turun untuk sarapan.

"Bukannya begitu, si Dilly ini teh perempuan, sudah remaja, maenya awewe jiga kitu? Kapan atuh berubah lebih feminin dan kemayu?"

"Nanti juga kalau sudah nikah dan punya anak dia akan berubah, Bun. Ya nggak?" Bastian mengedipkan satu mata pada adiknya itu.

"Bu Dewi, punten saya ganggu, itu.. Pak David sudah datang mau ambil pesanan," Mang Adun datang mengintervensi.

"Oh ya sebentar saya ke sana," Ibun menegak minuman sampai habis lalu mengelap mulut dengan tisu.

"Siapa Pak David?" tanya Dilly.

"Pembeli, dia itu udah langganan di kita juga. Ya sudah, kalian habiskan sarapan kalian. Terutama Dilly kalau sudah beres makan langsung berangkat, jangan lama-lama,"

Ibun lalu pergi meninggalkan anak-anaknya, menuju ke toko yang berada di depan. Toko dan rumah pribadi milik mereka tersebut saling terhubung, Ibun membuka usaha ini semenjak ditinggal Abah. Abah dulunya bekerja di salah satu perusahaan besar nasional sehingga peninggalan dari Abah bisa digunakan Ibun untuk membuka usaha demi kelangsungan hidup ke depan.

"Selamat pagi, Pak David, pesanannya sudah kami siapkan. Tumben ambil sendiri, Pak," sapa Ibun.

"Iya, klien saya yang ini spesial. Sangat spesial. Saya bayar pakai kartu debit, bisa kan?" jawab Pak David dengan suara beratnya. Pria berumur 40 tahun itu mengeluarkan dompet kecil dari kantong di dalam jas hitamnya.

"Oh, begitu..bisa atuh Pak, bisa pakai debit,"

Sambil merapikan dasi dan kacamata hitam yang nangkring di hidung mancungnya, dia lalu menyerahkan kartu debit miliknya. David Oktavian Natalegawa. Begitu nama yang tercantum di kartu.

"Saya baru pertama kali masuk ke dalam dan bertemu langsung dengan pemilik toko bunga ini," ujarnya seraya menatap sekeliling toko. "Sudah balik modal?"

"Alhamdulillah sudah,"

"Keuntungannya bagaimana? Bagus?"

"Lumayan untuk menghidupi anak-anak, Pak David. Terutama untuk sekolah,"

"Oh, oke. Saya juga bisnis," kata Pak David menyombong. Ibun tersenyum mendengarnya.

"Paaaapaappp...!" panggil seorang wanita bertubuh seksi dengan pakaian mini dress selutut berwarna coklat, high heels warna gold dan scarf yang melilit di lehernya. Tidak lupa kacamata hitam yang hampir lebih mirip kacamuka. Dengan suara ketukan high heelsnya yang terdengar nyaring seruangan di toko, dia masuk menghampiri Pak David.

"Apa, Mem?" jawab Pak David.

"Kok lama siiihhh? Mema udah kelaparan nih, kita jadi sarapan dulu di cafe langganan kan ya, Pap?" rajuknya.

"Iya, sebentar lagi selesai. Papap lagi bayar,"

"Huh, Papap sih. Biasanya juga si Rozak yang ambil-ambil begini, ribet banget musti kita sendiri yang ambil,"

"Ya ini kan demi kelangsungan bisnis Papap juga, Mam.. Klien penting ini harus terlihat kita yang benar-benar peduli. Bukan sekedar mengirimkan bunganya saja, tapi juga mengantar langsung. Ya kan Bu?" tanya Pak David pada Ibun.

"Oh..i..iya.. Pak,"

Istri Pak David menurunkan sedikit kacamata hitamnya. "Pemiliknya ya?"

Ibun mengangguk.

"Oohh pas deh ketemu pemiliknya. Saya istri Pak David, Bu Ghea. Bunganya yang kualitas paling bagus kan? Kita ini sudah langganan lho, awas ya kalau sampai mengecewakan. Suami saya ini pebisnis handal dan sukses. Usaha kami banyak.. ada di bidang sumber daya alam, pakaian, travel dan wisata dan Ibu pasti tahu kan Supermarket Nepal di Bandung ini? Nah itu kami yang punya," congkak Ibu Ghea.

"Muhun, Bu," Ibun hanya menjawab dengan anggukan.

Obrolan mereka terganggu oleh kedatangan Kenes, sahabat karib Dilly. Yang datang untuk menjemput Dilly dan berangkat bersama ke sekolah.

"Punten Bun, Dilly udah siap?" tanya Kenes sembari melempar senyum hormat dan tersipu pada Bapak David dan istrinya.

"Sudah kayaknya, Nes. Tadi mah lagi makan.. sok aja masuk,"

Namun sebelum Kenes masuk, Dilly sudah keburu keluar dari dalam rumah. "Hai Nes!" Sapanya lugas. Dia berdiri tepat di depan pintu penghubung antara toko dan rumah. Melihat penampilan Dilly, tak urung membuat Pak David dan Ibu Ghea menatap heran. Sampai-sampai kali ini Pak David yang harus menurunkan kacamata hitamnya.

"Anaknya?" tanya Pak David pada Ibun.

"Iya, betul. Itu anak bungsu saya,"

"Sekolah dimana?" Ibu Ghea gantian bertanya.

"Di SMA Tunas Mekar," dalam hati Ibun dia agak sedikit merasa tak enak pada suami istri itu yang sedang menatap 'takjub' pada Dilly. "Ini Pak David, struk dan bukti pembayaran kartu debetnya. Bunga sudah kami masukkan ke dalam mobil Pak David, tadi Mang Adun yang bawa ke sana," lanjut Ibun.

"Dekat sekolah anak kami dong? Tahu kan sekolah elit dan unggulan yang dekat SMA Tunas Mekar? SMA Hope,"

"Iya, tahu..," jawab Ibu bijak.

"Nah disitu anak saya sekolah, dekat kok. Kadang-kadang mereka suka gabung juga tempat nongkrongnya. Untung gabung tempat nongkrongnya aja ya Pap? Bukan yang lain,"

'Siapa sih nih tante-tante? Bawel pisan jiga radio butut,' ucap Dilly dalam hati.

"Berangkat dulu, Bun. Assalamualaikum," Dilly pamitan seraya mencium tangan Ibun. Begitu juga dengan Kenes, hanya saja dia menambahkan pamitan pada Bapak David dan istrinya.

"Diiilll," Kenes berucap seperti cacing kepanasan. Dilly sampai harus berhenti berjalan sebentar untuk melihat ekspresi Kenes.

"Kenapa kamu? Girang banget kayaknya,"

"Emang! Udah mah saya teh lagi happy ya karena seseorang, eh ketemu dua orang tadi makin senang pisan saya!"

"Dua orang tadi yang di toko?"

Kenes mengangguk semangat.

"Si tante bawel tea sama si bapak nu sombong?"

"Ih ulah kitu atuh, Ly. Siapa tahu mereka itu bisa jadi calon mertua saya,"

Dilly tertawa mendengar jawaban Kenes. Sambil tetap memperhatikan jalan untuk menyebrang, mereka terbiasa berangkat ke sekolah berjalan kaki.

"Kok calon mertua?"

"Ih kamu tuh ya, pinter tapi kuper. Memangnya kamu tidak kenal dengan mereka?"

Dilly menggeleng. "Siapa emang?"

"Please atuh Ly, si Ibun teh beruntung punya langganan orang kaya seperti mereka. Mereka itu kan yang punya travel wisata, haji dan umroh terkenal di Bandung ini. Mereka juga yang punya Supermarket Nepal. Mereka itu orangtuanya Nepal!"

"Nepal itu siapa?"

"Dilly ih!"

"Serius, saya tidak tahu siapa itu Nepal. Sama halnya saya tidak tahu kenapa hari ini kamu kelihatan beda? Geulis pisan, kamu dandan?"

"Iyah, sedikit.." jawab Kenes tersipu.

"Rek aya naon kamu dandan?"

"Aduh kamu teh kumaha sih, kamu kan anggota OSIS masa kamu tidak tahu kalau hari ini ada agenda? Hari ini kita akan kedatangan tamu dari SMA Hope, mereka mau promo acara Prom Night mereka, katanya terbuka untuk umum. Jadi kita yang sekolah lain bisa ikut menikmati. Mereka datang mau promo sekalian jualan tiketnya. Masa kamu tidak tahu?"

"Oh itu.. itu mah saya tahu. Tapi saya masih belum paham kenapa hal itu bisa membuat kamu sampai dandan?" Dilly masih belum mengerti.

"Karena ada Nepal," timbrung Wisnu, sahabat lain Dilly yang datang dari belokan rumahnya. Tempat mereka biasa saling bertemu jika berangkat ke sekolah.

"Nepal lagi..Nepal lagi. Saha sih Nepal teh?"

"Nepal itu...," Wisnu merangkul pundak Dilly. "Idolanya para cewek dari SMA Hope. Ganteng. Pintar. Kapten tim sepakbola. Cool. Hmm.. apalagi ya?"

"Matanya coklat!" Seru Kenes. "Saya baru ngeh matanya indah banget. Jadi ya kemaren teh saya lagi makan mie ayam di tempat biasa. Eh dia dan teman-temannya datang pada makan juga di situ. Dia duduk persis di depan saya, eh dia menyapa saya dong? Aduuuhhh saya jiga roket nu siap-siap terbang teaaa,"

"Dia sapa lo gimana?" tanya Wisnu.

"Hai.. pesan mie ayam juga?" ucap Kenes menirukan.

Dilly dan Wisnu menatap datar pada Kenes. "Udah gitu doang?"

"Iya. Tapi kan jarang jarang seorang Nepal nyapa kayak begitu. Ke saya lagi,"

Hal itu sebenarnya sangat wajar. Kenes adalah cewek yang sangat cantik. Wajahnya yang setengah bule, rambut panjangnya yang berwarna coklat, tinggi semampai dan langsing bak model, bisa membuat pria-pria menoleh padanya. Tapi Kenes sendiri bukan cewek yang gampang didekati. Dia sedikit pemalu dan lugu. Pun begitu dia cewek dengan selera fashion yang bagus.

"Atuh laah, kalau begitu doang mah bisa ke semua orang kali, Nes,"

"Ih Wisnu, kamu jangan mematahkan semangat saya dong, sebel ah,"

"Yaa lagipula ya dia itu sudah punya pacar,"

"Sama si Alyssa bule? Masih rumor itu, masih belum jelas. Itu sih kata teman-teman saya di Hope,"

"Rumor kumaha? Kemana-mana selalu berdua begitu. Dimana ada Nepal ada si Alyssa. Eta mah udah pasti bobogohan,"

"Eiits sudah sudah. Kalian berdua ini asyik pisan ngomongin si Nepal. Saya mah roaming, nggak kenal sama si Nepal," potong Dilly.

"Panggilannya Al, kece ya? Asa kumaha kitu manggilna.. Al..," puji Kenes lagi dengan mata berbinar.

Dilly geleng-geleng kepala melihat kelakuan Kenes yang sedang dirudung asmara.

"Setidaknya biarkan atuh saya ngefans sama Nepal,"

"Tapi kamu meni niat kitu dandan,"

"Ini kan juga tipis tipis dandannya. Emangnya kamu coba tah tingali? Rambut jiga cleopatra kitu bedana kamu mah jadi seperti Jeng Kelin. Jabrik. Lurus keras begini ini rambut," Kenes menyentuh rambut sebahu milik Dilly. "Kacamata besar seperti Betty La Fea. Asli nyak, Ly. Mun kamu pake lipstick di tengah bibir. Kamu persis pisan Jeng Kelin," lanjut Kenes. Wisnu tertawa kecil.

"Ah terserah kalian mau meledek seperti apa, saya sudah tidak peduli. Sudah biasa di bully,"

"Iya sih tapi kamu kan cantik. Kalau diperbaiki stylenya, Kim Kardashian juga kalah kali. Soal bully, kamu mah akan selalu aman karena kamu kesayangan guru-guru,"

Dilly mencibir.

TIN TIN!!

Suara klakson mobil mengagetkan mereka bertiga. Mereka spontan menoleh kompak.

"Hay," sapa dua orang pria yang ada di dalam mobil VW Combi itu. Si supir tersenyum khusus pada Dilly. Dilly membalas senyumannya dengan kaku. Kenes menggoda momen tersebut dengan menyenggol lengan Dilly.

"Naon sih??" Bisik Dilly memprotes.

"Eh Aa Bani dan Aa Ale.., hay juga," Kenes membalas sapaan.

"Mau ke sekolah?" tanya Bani.

"Iya, A." jawab Wisnu.

"Barengan aja kalau begitu, yuk diantar," ujar Ale.

"Nggak usah, A. Sebentar lagi juga kami sampai," jawab Dilly menolak.

"Tapi kalau pakai mobil kan lebih cepat. Ini sudah mau jam setengah tujuh lho," bujuk Bani.

"Eeng...," Dilly berpikir ulang.

"Ayok atuh,"

Sebelum Dilly sempat menjawab, Kenes dan Wisnu sudah lebih dulu setuju dengan tawaran Bani. Mereka pun masuk ke dalam mobil. Mendadak Ale yang tadinya duduk di sebelah bangku supir langsung pindah ke belakang duduk bersama Wisnu dan Kenes.

"Dil? Nggak masuk?" tanya Wisnu.

Sambil melengos, Dilly pun akhirnya masuk mobil dan duduk berdampingan dengan Arbani, si supir yang menaruh perasaan pada Dilly.

Arbani dan Ale merupakan kakak beradik tinggal di seberang rumah Dilly. Arbani adalah teman Bastian, mereka satu angkatan dan sekarang kuliah di satu kampus. Hanya beda ambil jurusan, Arbani adalah mahasiswa hukum. Sedangkan Bastian teknik. Lalu si adik, Ale, dia masih sekolah di kelas akhir, kelas XII, di SMA Hope. Mereka berdua berparas ganteng, bukan hanya ganteng, mereka ini gentleman. Bani sudah lama menaruh rasa pada Dilly, adik temannya itu, setiap hari Bani sempatkan mengintip dari balik jendela kamarnya untuk sekedar nelihat Dilly berangkat ke sekolah, atau pas lagi membantu Ibun menjaga toko. Mungkin Bani satu-satunya pria yang naksir Dilly dengan penampilannya yang nyentrik itu, tapi bukan penampilan yang Bani lihat. Selama ini dia kenal Dilly lebih dari itu, dari berteman dengan Bastian, dia mengenal sosok Dilly yang sesungguhnya.

"Aa Bani mau kuliah atau ada acara pagi-pagi?" tanya Kenes.

"Ada kuliah, Nes." Bani menjawab sambil melirik melalui kaca spion.

"Ngomong-ngomong, nanti kami mau ke sekolah kalian. Promo acara Prom Night, soalnya kita ngundang bintang tamu juga," ujar Ale.

"Aa Ale juga ke sana?" Kenes bertanya.

Ale mengangguk.

"Kalau Aa Nepal?"

"Heemm, yang ditanya pasti Nepal. Kalau Aa Ale nggak ditanya,"

"Kan tadi Kenes udah nanya Aa Ale..,"

"Nepal ketua panitia. Dia pasti datang," jawab Ale ogah-ogahan.

Kenes tersenyum girang.

Mereka pun akhirnya sampai di SMA Tunas Mekar, semua turun dari mobil tak terkecuali Ale. Yang memutuskan ke sekolah dengan berjalan kaki karena jaraknya berdekatan.

"Terimakasih ya A Bani," ujar Wisnu. Bani melambaikan tangan.

"Dilly," panggil Bani.

"Ya A?"

"Pulangnya mau dijemput gak? Kayaknya aa nggak sampe sore kuliahnya,"

"Err..gak usah A, takutnya Dilly malah ada acara nanti,"

"Oh gitu.."

"Ya udah atuh ya A. Nuhun udah diantar," Dilly buru-buru kabur dari hadapan Bani dan bergabung dengan teman-temannya.

"Kenapa A Bani mukanya kecewa gitu?" tanya Kenes.

"Dia mau jemput saya, tapi saya nggak mau,"

"Ulah kitu atuh Ly, A Bani pan bageur. Kenapa sih kamu tidak mau sama dia? Kamu mah judes pisan sama dia,"

"Saya nggak judes, cuma jaga jarak aja,"

"Padahal impian hampir semua cewek-cewek SMA itu kan salah satunya bisa pacaran sama anak kuliahan. Lo udah bisa itu menuju ke sana," celetuk Wisnu.

Dilly menggeleng cepat. "Udah yuk buruan masuk,"

---

Di tengah jam pelajaran usai jam istirahat, Dilly dan anggota OSIS lainnya dipanggil oleh Guru BP. Ternyata mereka kedatangan tamu, para siswa SMA Hope tingkat akhir yang akan melaksanakan Prom Night. Ada 10 orang siswa dengan seragam abu-abu itu. Para pria memakai blazer abu-abu dengan risleting di bagian depan yang jika ditutup semua akan menjadi blazer dengan leher turtle neck. Seragam itu Dilly akui, sukses menambah kegantengan seorang pria meski parasnya seperti Andhika Kangen Band.

Sedangkan yang wanita memakai sack dress abu-abu tanpa lengan sepanjang lutut, namun di dalamnya mereka memakai kemeja warna putih. Dari 10 orang itu, terdiri dari 4 wanita dan 6 pria.

"Para anggota OSIS SMA Tunas Mekar, hari ini kita kedatangan tamu dari SMA Hope, tujuan mereka datang ke sini adalah dalam rangka mempromosikan acara Prom Night mereka. Mereka sudah mendapatkan izin dari kepala sekolah untuk masuk ke tiap-tiap kelas mempromosikan acara mereka. Saya sengaja memanggil kalian ke sini agar dapat menemani setiap siswa SMA Hope," jelas Guru BP, Pak Rozan.

Dilly memperhatikan setiap siswa SMA Hope. Sedikit penasaran dengan cerita Kenes tadi pagi, mana sih yang namanya Nepal? Tanya Dilly dalam hati. Dari 6 cowok yang ada dilihat Dilly, termasuk Ale, memang ada 1 orang yang paling menarik perhatian, cowok itu seperti yang dideskripsikan oleh Kenes. Bermata coklat.

Bahasa tubuhnya pun memperlihatkan dia yang memiliki kuasa. Dagunya seperti sudah biasa terangkat ke atas, menunjukkan sifat angkuhnya. Hidungnya mancung, bibirnya mungil dan pink. Bibir bawah yang lebih tebal itu apalagi, pink banget. Kulitnya putih seperti orang keturunan asing. Yang pasti, dia benar-benar mewarisi yang bagus-bagus dari kedua orang tuanya.

Sekilas, dia memang lebih mirip dengan Bapak David, ayahnya. Iya, Bapak David kan ganteng. Pikir Dilly.

Di saat yang bersamaan, Nepal mengerenyitkan kening tatkala pandangannya mengarah pada Dilly. Dengan rambut sebahu berponi yang potongannya abstrak itu, baginya Dilly seperti Jeng Kelin, hanya saja lebih halus dan rapi. Belum lagi stylenya.

"Kacau amat selera ini cewek," gumam Nepal.

"Sebelum masuk ke tiap kelas, kami akan memasangkan satu orang dari SMA Hope dan satu lagi dari Tunas Mekar," ujar Pak Rozan. Beliau pun mulai menyebutkan tiap nama yang dipasangkan. Dilly berharap dia akan dipasangkan dengan Ale, agar lebih santai. Tapi sayang, semua itu tidak terjadi saat Pak Rozan berseru, "Picadilly dengan Nepal,"

Dilly mengerucutkan bibirnya. Mau tidak mau dia menghampiri pria terakhir itu.

"Nepal ya?"

Nepal menengok. 'Ya elah ternyata sama dia,' keluh Nepal dalam hati.

"Iya,"

"Saya Picadilly, panggil aja Dilly,"

"Gue Nepal. Nepal Abimanyu Natalegawa," jawabnya dengan suara bass. "Panggil aja Al,"

"Oke, Al."

"Gelangnya rame banget, jualan?" Al berkomentar saat melihat pergelangan tangan Dilly. Dilly tidak menjawab.

"Rambutnya gak ada model lain?" Al masih berkomentar. Lagi-lagi Dilly tidak menggubris.

'Eh udah gila kali ya ini cewek, bisa-bisanya dia nyuekkin gue,' gerutu Al dalam batin.

"Lo kelas sepuluh?" Al masih bertanya. Dilly malah beranjak pergi berjalan meninggalkan Al. "Hey!" panggil Al.

"Oh, sudah bicaranya ya? Sekarang kamu mau ikut saya ke kelas buat promo atau kamu akan mematung di situ aja dengan risleting celana yang kebuka itu?" timpal Dilly lugas seraya menyeringai. Al spontan melihat ke arah celananya yang ternyata memang lupa ia risleting. Dia langsung berbalik badan dan menutup celananya dengan cepat sambil memaki. Siswa-siswa yang ada di situ tersenyum geli melihat Al.

"Kalau udah, ikuti saya," seru Dilly memerintah Al.

Al memicingkan mata menatap tubuh Dilly yang berada di depannya. Itulah pertama kali mereka bertemu dan berkenalan. Dilly, yang tidak tahu siapa itu Nepal sebelumnya, akhirnya kualat. Dia harus mengenal Nepal.

***

Haaaayyy haayy haayyyy
I'm back with my new story. Ini baru awal awal ajaa masih perkenalan sedikit.

Intinya sih drama romance. Hehe. Selamat menikmati yam sila vote dan comment utk tahu kurang dan lebihnya dimana. Kalo ada typo jg bs dikasih tauu.

Enjoy reading guys!

Ciao ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top