16 ~ Fighting!

Kau ingin aku berjuang seperti apa?
Sampai semua tercapai? Hingga semua sampai pada batas?
Kau saja sudah bosan menanyai bagaimana hidupku.
Bagaimana dengan aku yang selalu kau tanyai?
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Lengang di jalan tidak menjamin perjalananmu akan berlangsung lancar. Cerahnya cuaca juga tidak menjamin harimu akan indah. Sebab semua sudah ada ketentuannya.

Seringkali pemikiran manusia itu berbanding terbalik dengan hasil yang dia dapat. Tidak jarang juga apa yang diusahakan tidak seperti apa yang diraih. Semua masih dalam batas kewajaran karena adanya kendala satu dan yang lainnya.

J.A Express di bawah kepemimpinan Hanggara Syauqi diharapkan lebih berkembang dari masa kejayaan ayahnya. Sehingga dia mencari cara baru untuk mengenalkan perusahaannya melalui tim khusus yang akan menjadi pengawal ambulans terutama di jam-jam macet.

Tentunya untuk melalui tahap ini tidak serta merta langsung terjun. Angga juga melibatkan beberapa pihak terkait untuk memberikan edukasi dan bekal pada timnya.

Paling pertama kami dapat pelatihan bantuan hidup dasar, untuk pertolongan pertama bagi yang kecelakaan. Tiap anggota juga wajib memiliki P3K. Selain itu juga kerja sama dengan yayasan yang bisa mengeluarkan sertifikasi untuk hal tersebut.

Meraka juga mendapat pelatihan berkendara dan teknik untuk buka jalan. Untuk konvoi misalnya, kami maksimal 4 motor, 2 di depan untuk buka jalan, 2 di belakang untuk menjaga supaya tidak ada yang mengikuti.

Salah satu hal yang perlu diingat tim adalah dilarang untuk menyentuh kendaraan lain, misalnya sampai ngetuk-ngetuk kaca mobil untuk buka jalan. Kegiatan ini sangatlah bermanfaat jika didasarkan pada rasa kemanusiaan.

Namun, pengawalan atau escorting itu hanya legal ketika mereka mempunyai keahlian dalam hal itu dan memiliki diskresi. Oleh karena itu, pendampingan dari beberapa pihak sangat dibutuhkan.
"Mungkin nanti setelah pembekalan ini selesai, kita bisa langsung uji coba. Seminggu atau dua minggu lagi. Kita tidak bisa langsung terjun karena terkain dengan legalitas." Angga memberikan tambahan setelah turut serta dalam pembekalan mengenai keselamatan kerja.

"Siap, Pak."

Sesi pembekalan diakhiri. Mereka kembali ke tempat kerja masing-masing. Rafka mengekor saat Angga menuju ruang kerjanya sendiri. Dia melihat si bos langsung menghempas tubuhnya ke kursi.

"Raf, minta tolong pesenin kopi, ya? Iced Espresso sama makan siang. Sekalian buat lo juga."

"Lo sejak kapan ngopi, Ga? Bukannya biasanya nolak kalau dikasih kopi?"

"Gue butuh. Nggak tahan ngantuk. Maunya tidur, tapi bentar lagi mau ada tamu 'kan?"

"Gue bisa mundurin jadwal biar lo bisa istirahat bentar," ujar Rafka.

"Nggak usah, mereka tamu jauh. Nggak enak kalau dibuat nunggu lagi. Gue bisa tiduran sebentar selama pesanan belum sampai dan jam makan siang berlangsung."

"Okay, gue dah go-food sesuai pesanan."

Rafka berpindah ke mejanya dan menata beberapa berkas yang akan digunakan untuk pertemuan berikutnya. Sambil menata, ekor matanya sesekali mencuri pandang pada sahabatnya.

Dilihatnya sang sahabat yang menengadahkan kepala. Pandangannya lurus menatap langit-langit. Padahal dia bilang ingin beristirahat, tetapi dari caranya berdiam diri justru pikirannya sedang penuh sesak.

"Ibu nyuruh gue balikan sama Agis. Menurut lo gimana, Raf."

"Bagus, dong!"

"Gue nggak tega, Raf."

"Agis itu satu-satunya pawang yang bisa jinakin lo pas buas."

"Kan ada lo, Raf!"

"Gue? Ogah! Mending naklukkan Nindy daripada lo, Ga!"

Angga terkekeh mendengar pernyataan sahabatnya. Semerepotkan itukah dirinya sampai Rafka enggan menaklukkannya? Lelaki itu terdiam kembali. Matanya memejam sembari menikmati sensasi perih dan panas menahan kantuk.

Baik Angga maupun Rafka akhirnya berkutat dengan isi kepalanya masing-masing. Rafka memeriksa beberapa jadwal ditangannya. Dia menemukan beberapa coretan dan diganti dengan tulisan tangan milik Angga.

"Lo ganti jadwal yang dah gue susun?"

"Hm. Jadwal lo ada yang kurang. Kurang padat, Ga!"

"Lo gila? Kalau kayak gini gimana lo bisa istirahat?"

"Kalau ngikutin jadwal lo, kapan gue bisa sukses?"

"Kalau lo kayak gini, lo bakal sukses, Ga. Sukses mati dengan cepat."

Rafka mendengkus kesal. Lelaki itu heran, dari mana keras kepala sahabatnya itu datang? Karena sepengetahuannya, ayah dan ibu Angga sama sekali bukan orang yang keras kepala.

Keduanya menoleh saat ketukan pintu terdengar. Rafka beranjak dan membuka pintu. Seorang OB masuk dan membawakan makanan yang dipesan oleh Rafka.

Mereka larut dalam suasana hening. Menikmati makan siang dan satu cup besar iced espresso untuk Angga dan es jeruk mandarin untuk Rafka.

Setelah selesai, sosok Ardi Rusman hadir bersama tamu yang ditunggu-tunggu. Mereka adalah perwakilan dari kantor cabang yang beberapa waktu lalu mengalami kebakaran.

Ada dua orang yang masuk dengan malu-malu. Mereka membawa beberapa berkas di tangan. Kelimanya duduk di sofa. Dua tamu tersebut tampak canggung dan gugup.

Itu terlihat dari cara duduknya yang tegak dan tangan yang saling meremat. Angga paham akan situasi canggung ini. Lantas dia meminta pada Rafka supaya menyediakan kopi panas untuk mereka.

Rafka yang memang tidak suka kopi memilih teh panas sama seperti Ardi Rusman. Sedangkan Angga, dia kembali memilih kopi untuk teman bersantainya sama seperti dua tamunya.

"Tidak usah terlalu tegang, Pak. Kami bersedia untuk menerima semua laporan yang dibawa," ujar Angga.

"Mohon maaf, Pak. Kami datang ke sini hanya membawa permasalahan. Jujur saja, kami sudah tidak menerima gaji selama enam bulan. Kata pimpinan cabang, itu kebijakan dari pusat," balas satu tamu yang lebih muda.

"Kenapa harus menunggu sekian lama baru melapor pada kami?" Ardi Rusman tampak kesal karena ada anak buahnya yang bertindak tidak baik pada bawahannya.

"Sejujurnya kami ingin berbicara, hanya saja pimpinan cabang selalu menemukan cara untuk membungkam kami. Hingga setelah terbakarnya kantor, pimpinan cabang turut menghilang, kami baru sadar bahwa kami dikelabui."

Angga meraih beberapa berkas dan memeriksa dengan perlahan. Dia melihat jumlah data karyawan dan juga melihat besaran nominal gaji karyawan yang belum dibayarkan.

Ardi Rusman juga turut memeriksa beberapa bukti slip gaji terakhir dari perusahaan. Beberapa transaksi besar yang keluar dan masuk ke rekening pribadi pimpinan cabang. Angga dan Ardi saling bertukar laporan.

Begitu juga dengan Rafka. Beberapa komplen dari customer karena keterlambatan pengiriman, sampai berkurangnya jumlah barang yang dikirim padahal saat pengiriman paket terbungkus rapi, tetapi saat sampai paket sudah berantakan.

"Ini nggak sehat, Kak. Ini parah! Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Angga.

"Kita kumpulkan bukti sambil mencari keberadaan si pimcab, setelah itu baru kita proses. Untuk sementara, kita penuhi dulu kewajiban kita mengenai honor karyawan," balas Ardi Rusman.

"Nominalnya lumayan, Kak."

"Nggak apa-apa, kita pasti bisa. Gimanapun, keringat mereka sudah lama mengering. Ibaratnya, kita sudah lalai memenuhi hak mereka. Kita juga bersalah."

Angga mengangguk setuju. Dia teringat pada pesan sang ayah bahwasanya seorang pemimpin yang baik adalah dia yang membayar upah sebelum keringat pekerjanya kering. Kalau seperti ini, keringat mereka bahkan sudah berganti dengan keringat yang baru.

Dalam diamnya sambil berpikir, Angga melihat sosok ayahnya dalam diri Ardi Rusman. Sosok yang bijak, berperangai santun dan juga tidak mudah panik dalam menghadapi situasi apa pun.



🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 16

Bondowoso, 19 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top