03 ~ Terlalu Cepat

Tidak ada yang terlalu cepat, tidak ada juga terlalu lambat.
Semua sudah sesuai pada waktu yang berlaku.
Terlalu cepat karena kita merasa tidak mampu menghadapi kenyataan.
Tidak terlalu lambat sebab tidak ada persiapan yang benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi takdir.
Cepat atau lambat, semua akan sampai pada masanya.
Mampu atau tidak mampu, semua akan sampai pada ketetapan-Nya.
(Hanggara Syauqi)

🍂🍂🍂

Setelah kejadian tumbangnya kepala keluarga Syauqi, Angga nyaris tak beranjak dari sisi sang ayah. Selalu menemani dan membantu memenuhi segala kebutuhan ayahnya. Dia tidak sendiri, ibunya juga turut menemani.

Sesekali mereka bergantian dan mengurus usaha masing-masing. Angga berkunjung ke kantor pusat J.A Express untuk sekadar memantau pergerakan pekerja saat ibunya berjaga. Begitu juga dengan Ibu Ayu, dia akan mengunjungi butik saat putra semata wayangnya menunggui suaminya di rumah.

Hipertensi dan gejala stroke ringan yang diderita oleh Ahmad Syauqi membuat keluarganya menjaga dengan sungguh-sungguh. Angga yang biasanya lebih sering di luar rumah, mendadak menjadi anak rumahan karena sang ayah tidak bisa dibiarkan sendiri.

"Ayah cepat sehat. Nanti Mas bawakan calon menantu yang cantik dan baik untuk Ayah."

"Emangnya Mas Angga beneran punya pacar?" ledek Ayah Ahsya.

Angga mengangguk sembari mengeluarkan ponsel dan menunjukkan sebuah foto yang menjadi wallpaper ponselnya, "Cantik 'kan? Namanya Andhira Farras Gistara, tapi panggilannya Agis. Anak PGSD, calon ibu,  menantu idaman yang telaten dan super kalem."

"Memangnya dia mau dijadikan istri? Lah wong Mas aja pecicilan, ceroboh, kadang juga sering lupa."

"Ayah mulai banyak ngomong. Sudah baikan,  nih?"

"Besok juga sudah sembuh, sudah nggak sakit lagi, Mas!"

"Yakin? Kalau emang iya, besok Mas bawa Agis ke sini."

"Jangankan Agis, teman-teman Mas Angga, pekerja Ayah, teman Ibu Ayu, semua bakal datang. Jangan takut sendirian, Mas. Ayah akan selalu ada sama Mas dan Ibu."

"Hish, mana bisa begitu? Mereka kan kerja, yah?"

Ayah Ahsya hanya tersenyum dan membalik tubuhnya. Seminggu tiga hari tinggal di rumah sakit dan menghabiskan empat hari di rumah sudah membuatnya sedikit bosan. Sikap dingin dan pendiamnya berubah menjadi sosok yang ramah dan ramai.

Selama tinggal di rumah, saat duduk berdua bersama Angga, Ayah Ahsya selalu saja banyak berbicara. Menitipkan perusahaan yang dirintisnya dari nol pada putra tunggalnya. Tidak lupa menitipkan sang istri supaya tidak kesepian, dan juga kedua orang tuanya yang sudah renta.

"Mas Angga anak baik, Insyaallah akan jadi anak saleh. Maafkan Ayah kalau semisal nanti tidak bisa menemani Mas Angga sampai dewasa. Yakinkan bahwa semua ini sudah diatur."

"Ayah pasti bisa nemani Mas sampai nanti, sampai berkeluarga dan ngasih cucu yan lucu-lucu untuk Ayah Ahsya dan Ibu Ayu. Jangan bilang seolah Ayah sudah nggak sanggup nemani Mas dan Ibu."

Sang ayah mengusap kepala putranya dan kembali tertidur. Angga merasa sedikit lega saat melihat mata sendu ayahnya itu mulai menutup dan dengkuran halus mulai terdengar. Sebuah tepukan di bahu lelaki itu membuatnya menoleh.

"Ada Satya, Rafka, Raden dan Hisyam di bawah. Temui mereka dulu."

Angga mengangguk sambil beranjak meninggalkan kamar orang tuanya. Dia melangkah gontai menuruni tangga dan membalas sapaan teman-temannya dengan melambaikan tangan.

"Gimana Om Ahsya, Ga?" Rafka membuka suara saat Angga sudah duduk di sofa ruang tengah tempat mereka menunggu.

"Sudah mendingan, Raf. Maaf gue nggak bisa lama-lama ninggalin Ayah. Lo tahu sendiri Ayah kalau udah sakit itu nggak mau ditinggal sendiri. Apalagi sakitnya kali ini bisa dikatakan paling parah."

"Nggak usah dipikirin, Ga, kita juga ngerti. Fokus sama kesehatan Om Ahsya dulu, dah." Bang Satya berusaha untuk menenangkan Angga

"Bro, lo nggak tidur berapa hari?" Hisyam yang sedari tadi mengamati wajah lelah sahabatnya itu memberanikan diri untuk bertanya.

"Keliatan banget?" ujar Angga sambil meraba wajahnya.

"Lingkar mata hitam selebar itu lo masih mau ngelak? Kagak bisa, Bro!" Raden menimpali sambil mengambil air mineral gelas yang disediakan di meja ruang tengah.

"Gue gantiin kerjaan Ayah. Jujur aja, gue sama sekali nggak paham. Sekadar datang ngecek, abis itu minggat dah. Apalagi Ayah Ahsya mulai ngelantur ngomongnya. Gue nggak sanggup ngadepin."

"Ngelantur gimana, Ga?" Bang Satya berusaha memenuhi rasa penasarannya.

"Dari saking banyaknya gue sampe lupa apa aja yang diomongin Ayah, Bang!"

"Boleh gue lihat Om Ahsya, Ga?"

"Boleh, Bang."

Angga dan keempat kawannya berjalan menuju kamar orang tuanya. Begitu dilihat, sang ayah duduk bersandar di kepala ranjang dengan bahu yang merosot dan tidak bisa tegak. Ibu Ayu mendekat dan berusaha mengganjal punggung suaminya supaya lebih tegak.

"Sehat, Om?" tanya Bang Satya sambil meraih tangan lemah milih Ayah Ahsya.

"Alhamdulillah, sudah lebih baik. Maaf sudah merepotkan kalian waktu itu. Ibu Ayu sudah cerita kalau Angga ngerepotin kalian pas Om masuk UGD seminggu yang lalu."

"Nggak apa-apa, Om. Toh kita juga nggak banyak kerjaan." Rafka menimpali.

"Angga beruntung punya saudara seperti kalian. Dia nggak akan kesepian. Untuk malam ini, bisa kalian tidur di sini saja? Angga pasti butuh bantuan kalian besok."

"Untuk apa, Om?" tanya Rafka yang langsung mendapat sikutan dari Bang Satya.

"Kami bersedia, Om." Bang Satya memutuskannya secara sepihak.

"Terima kasih, Nak." Ayah Ahsya menoleh pada Angga di sisi kirinya dan berucap, "Mas istirahat saja, malam ini biar Ibu yang nemani Ayah."

Angga hanya mengangguk dan mengajak keempat temannya itu untuk menuju kamarnya di ujung lorong, tidak jauh dari kamar orang tuanya. Setelah mempersilakan teman-temannya berlaku sesuka hati, Angga memilih untuk mandi dan berganti pakaian.

Letak kamar mandi yang terpisah membuat keempat temannya itu bebas untuk bercengkrama. Sedikit gaduh kemudian sunyi seketika.

"Kalau bisa jangan tidur semua, kita gantian tidurnya. Kasian Angga sudah beberapa malam nggak tidur," ujar Bang Satya, lelaki tertua diantara keempat pemuda itu.

"Kenapa langsung memutuskan nginep, Bang? Gue belum izin!" Hisyam yang memang jarang tidur di tempat lain menginterupsi pertanda tidak setuju.

"Gue nggak mau ngedahuluin takdir atau gimana, kayaknya Om Ahsya nggak lama lagi, dah!" Ucapan Bang Satya membuat Raden yang duduknya paling jauh memilih untuk mendekat.

"Lo kagak usah belagak macem cenayang, Bang! Maksudnya umur ayahnya Angga nggak lama lagi? Ngaco aja, lah wong tadi sudah cerah ceria begitu."

"Ho'oh, bener kata Raden, Bang. Jangan bikin pikiran kita traveling ke mana-mana, dong!" timpal Rafka.

"Heh! Lo pikir gue yang punya takdir? Gue juga nggak sembarangan ngomong. Dari beberapa yang gue amati begitu. Kata guru ngaji gue, orang yang mau meninggal itu memang biasanya udah ada tanda-tandanya."

"Seriusan, Bang?" Rafka mendekatkan tubuhnya dan menatap wajah Bang Satya dalam-dalam.

"Gue nggak tau pasti, tapi dari kejadian meninggalnya kakek, bapak, dan bibi di kampung emang begitu. Ada bagian-bagian tubuh mereka yang seperti kehilangan penopangnya. Ibaratnya kek longsor dari tempat biasanya. Misalnya telinga, pipi, hidung lebih kendor, bahu yang merosot, kuku yang menghitam, dan masih banyak lagi lainnya yang gue nggak tahu. Makanya mending jaga-jaga, kasian Angga kalau sendirian. Semoga aja yang gue perkirakan salah."

Keempatnya mendadak terdiam. Mereka bergumul dengan pemikirannya masing-masing. Hingga suara derit pintu terbuka membuat empat pemuda itu menoleh bersamaan. Si pemilik kamar sudah kembali dengan rambut basah dan handuk yang melingkar di leher.

Angga hendak meletakkan handuk dan bergabung dengan teman-temannya saat dia mendengar Ibu Ayu meneriakkan namanya. Suasana mencekam seketika. Kelima pemuda itu berlari menuju kamar orang tua Angga.

Ibu Ayu menangis memeluk suaminya yang tampak kesulitan bernapas. Hanya istigfar yang dia ucapkan untuk mengurai sakit yang dirasa sang suami. Angga hanya membeku di ambang pintu, hingga Bang Satya mendorongnya dan mendekati ranjang.

Lelaki yang berusia dua tahun lebih tua dari Angga itu berusaha menyadarkan Ayah Ahsya. Namun, hanya tatapan kosong yang didapat. Lelaki itu bangkit dan meminta Angga untuk menelepon keluarga lainnya.

Ibu Ayu berusaha meraih ponsel di nakas sebelah kiri, dia menekan tombol dan menghubungi ayah mertuanya dan berlanjut menghubungi ayah kandungnya. Angga masih saja terdiam, dengan cepat dia berlari ke kamar dan mencari ponselnya.

Si putra tunggal itu melakukan panggilan pada rumah sakit tempat ayahnya dirawat dulu. Dia memanggil ambulans untuk membawa ayahnya kembali ke UGD. Namun, begitu sampai di depan pintu kamar, suara tangis tertahan dari sang ibu membuatnya berhenti dan menurunkan ponsel dari telinganya.

"Ga, Om Ahsya sudah pergi!" ujar Rafka sambil merengkuh sahabatnya.

Angga mengamati sang ayah. Dada yang beberapa saat lalu masih kembang-kempis tiba-tiba saja tenang tanpa pergerakan. Suara deru napas yang tadinya memburu dan menyiksa kini tiba-tiba saja hening.

"Ayah barusan masih napas, Raf. Kenapa sekarang udah nggak napas? Ayah tadi masih ngobrol sama gue, kenapa sekarang sudah nggak?" Angga menatap tubuh ayahnya dengan tatapan penuh kesedihan.

Bang Satya menarik Angga mendekati ranjang setelah melipat tangan Ayah Ahsya di depan dada. "Om Ahsya sudah tenang, Ga. Dua kalimat syahadat menjadi pengantar terakhirnya. Ini sangat menyakitkan, tapi satu yang pasti, lo bisa melihat kedamaian dari wajah Om Ahsya."

"Kenapa gue nggak bisa nganterin Ayah, Bang?" lirih Angga.

"Karena Om Ahsya nggak mau lo ngeliat gimana sakaratul maut itu memisahkan kalian. Jangan lupa ada wanita yang masih butuh dukungan," ujar Bang Satya sambil menunjuk Ibu Ayu yang menangis tanpa suara di sisi tubuh ayahnya.

Malam masih panjang, berita wafatnya pemilik perusahaan J.A Express menyebar dengan cepat. Beberapa karangan bunga sudah menyebar di halaman rumah keluarga Syauqi. Beberapa kerabat juga mulai berdatangan.

Si putra tunggal duduk dengan tegap di sisi sang ayah dan terus saja melantunkan ayat suci Al-Quran. Beberapa kenangan di minggu terakhir berjalan seperti fim yang tidak terjeda. Potonga-potongan kenang terbingkai apik di dalam ingatan Angga.

Bahkan hingga beberapa jam sebelum kepergian sang ayah, Angga baru paham pada semua ucapan yang dilontarkannya. Semua itu berubah menjadi pertanda yang ingin disampaikan. Hingga detik di mana sang ayah menitipkan sang ibu padanya, di situ air matanya mulai deras menetes.

"Ayah meninggalkan Ibu pada Mas. Ayah menitipkan kakek dan nenek pada Mas. Ayah menitipkan perusahaan pada Mas. Sebegitu percayanya Ayah sama Mas. Padahal belum tentu Mas bisa amanah!"

Lelaki 21 tahun itu menghela napas. Dibukanya penutup wajah sang ayah, dia mengecup dan mengusap wajah damai dengan senyum khasnya.

"Bismillah, Insya Allah Mas siap dengan semua yang Ayah amanahkan. Tidak ada yang terlalu cepat pun terlalu lambat. Karena kesiapan memang harus dipaksa. Terima kasih untuk waktu selama ini, terima kasih untuk kasih sayang Ayah selama ini. Selamat jalan, Ayah!"

🍂🍂🍂

ANFIGHT BATCH 8
#DAY 3

Bondowoso, 06 April 2021
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top