Senior Populer
Teman-temanku di kelas X IPA 4 ini sangat beragam. Ada yang menyukai konser, maksudku bukan menonton konser, melainkan mereka yang beraksi heboh di depan kelas, entah menyanyi ataupun dance ala artis Korea. Ada pula anak-anak lelaki yang gemar bermain bola di kelas, saling melambungkan bola satu sama lain, bahkan tak jarang membentur kaca jendela—untung tidak pecah. Dan sisanya lebih minat menggibah, membicarakan segala hal terkini di sekolah. Hemat tenaga iya, tambah informasi iya.
“Senja, lo yang bener aja,” desah Sasa rada sebal.
“Iya, masak nggak tau Kak Rizal, sih?” Yvone memandangku tak percaya.
“Gue lupa sama mukanya.” Aku meringis tanpa dosa.
Sasa menghembuskan napas panjang, mencabut ponselnya dari saku kemeja. Jempolnya yang kurus menggeser-geser layar, lalu ditampilkan padaku. Ada sebuah foto laki-laki berkacamata bulat dengan setelan serba pastel yang estetik kekinian. Mukanya berjerawat tipis di pipi kanan dan kiri, hidungnya mancung, serta rambutnya dipotong rapi. Remaja putra ini adalah definisi penampilan anak sekolah yang sesungguhnya.
“Ini Kak Rizal?” tanyaku kikuk.
“Heem. Ganteng, kan?” Teman sebangkuku ini sumringah.
“Ganteng, kok.” Aku mengangguk kecil.
“Gue mau ikut OSIS karena buat deketin dia,” lanjutnya jujur.
“Alah, ketua OSIS lo nggak ada apa-apanya sama gebetan gue,” sanggah Yvone enteng.
“Mana coba tunjukin,” tantang Sasa tidak terima.
Gadis yang duduk di bangku depan kami ini—tapi tubuhnya menghadap belakang supaya bisa berbincang santai—mengibaskan tangannya. Dia meraih ponsel yang disimpan dalam laci, membuka sosial media, dan mengunjungi akun pribadi seorang laki-laki yang rupanya sangat elok. Bibir tipisnya merah natural, hidungnya mancung, matanya belok berwarna rada abu-abu. Foto-foto yang diunggah hanya seputar lapangan basket dan permainannya. Namun, dia terlihat lebih keren dengan jersey kebanggaan sekolah.
“Gimana?” Yvone menyunggingkan sebelah bibir.
“Ganteng juga, kok,” aku sependapat.
“Tapi bagi gue, Kak Rizal lebih cakep.” Sasa melengos tak acuh.
“Harusnya kalian ikut klub basket biar bisa panen cogan,” dalil Yvone tanpa sungkan.
“Enggak, ah. Gue nggak bisa basket.” Aku melambaikan tangan.
“Emang banyak cogan?” Sasa kepo.
“Banyak, sih. Contohnya Kak Robin yang gue tunjukin tadi,” jawab Yvone.
Sasa dan Yvone adalah sahabatku sejak kami disatukan di kelas ini. Mereka layaknya remaja putri pada umumnya, suka menggosipkan senior tampan, menonton drama series, dan mengecat kuku tangan. Sementara aku lebih pantas dicap sebagai siswi culun karena sulit bersosialisasi dengan orang lain, kecuali mereka berdua. Jadi, jangan heran kalau topik yang mereka bicarakan selalu susah masuk di otakku. Mereka update, aku kudet (kurang update).
“Kalau lo kenapa ngikut klub sepeda?” Sasa memandangku penasaran.
“Padahal cowoknya jelek-jelek,” ceplos Yvone.
“Karena gue emang suka naik dan modifikasi sepeda,” akuku lirih.
“Lo bisa modifikasi sepeda?” tanya mereka berduanya nyaris kompak.
“Sedikit.” Hobiku yang satu ini memang terdengar aneh bagi kalangan gadis.
“Baru tau gue ada cewek suka modifikasi.” Yvone menepuk keningnya.
Kata perempuan berambut keriting itu memang benar. Dari desas-desus yang beredar, klub sepeda adalah klub yang tidak memiliki banyak anggota murid perempuan plus tergolong klub yang disepelekan. Tapi tak tahu kenapa, aku justru merasa tertarik pada hal yang antimainstream digemari remaja putri kebanyakan. Bukan berarti aku tomboi, aku hanya merasa sesuatu yang jarang dilirik lebih seru sebab … entahlah. Menyukai sesuatu tidak perlu beralasan menurutku.
“Lo udah sering berhasil modifikasi?” tebak Sasa.
“Belom.” Aku jengah.
“Lah. Terus?” Yvone menatapku seolah menagih jawaban.
“Gue kemarin coba ganti gir sepeda, tapi malah rantainya putus.” Konyol sekali memang.
“Astaga, Senja-Senja ….”
Mereka menertawakanku hingga berlinang air mata. Sejujurnya, aku agak sungkan mengaku hobi modifikasi sepeda karena sampai sekarang, belum ada satu pun percobaanku yang berhasil. Contohnya beberapa bulan lalu, aku ingin mengganti ban sepeda dengan ukuran yang lebih besar. Tapi realitanya, aku tersungkur waktu mengendarai sepeda itu akibat bannya copot di tengah jalan. Ujung-ujungnya sepedaku menyambangi bengkel lagi.
Ayah dan ibuku tidak keberatan dengan segala tingkahku yang mengotak-atik sepeda. Paling, diujung kegagalanku mereka sekadar menggelengkan kepala sembari menasehati supaya lebih berhati-hati. Lagi pula, kami berasal dari keluarga yang sederhana, membeli barang baru adalah sesuatu yang sangat wah bagi kami. Mending memodifikasi dan terlihat mirip barang baru atau terlihat seperti barang mahal. Padahal, semuanya itu kubeli dari pasar loak.
“Siang ini bakal ada pertemuan nggak?” Yvone bertanya padaku.
“Ada dong, kan semua klub akan mulai pertemuan pertama siang ini,” sahut Sasa cepat.
“Iya, ada, kok.” Aku mengangguk.
“Nggak sabar gue ketemu banyak cogan,” desis teman di depanku itu.
“Gue juga,” sambung Sasa girang.
Aku hanya diam dan tersenyum dalam hati. Alasanku mengikuti klub sepeda murni karena ketulusan dan minatku terhadap sepeda. Pasti akan banyak ilmu yang bisa kuperoleh di sana, bukan hanya mengincar senior yang tampan dan populer. Aku pun tidak terlalu memikirkan soal laki-laki. Semua telah berjalan sesuai porsinya masing-masing, jika memang ditakdirkan, tidak perlu dikejar pasti datang sendiri.
Bel masuk berbunyi, tanda perbincangan selesai.
Matahari bersinar terik. Semua anak berhamburan keluar kelas, berlarian ke arah yang dituju masing-masing. Sasa berjalan ke ruang OSIS di lorong utama, Yvone ke lapangan basket yang tidak jauh dari taman belakang sekolah, dan di taman itulah aku akan berkumpul dengan murid yang tergabung dalam klub sepeda. Kami duduk di atas bangku panjang dari semen, menunggu semuanya hadir lengkap. Sepuluh menit aku di sini, hanya terlihat satu gadis berperawakan sangar dengan lengan kekar berotot padat.
“Nama lo siapa?” Gadis itu menyapaku.
“Gue Senja, kelas X IPA 4,” jawabku ngeri.
“Kenalin, gue Dewi, kelas XI IPS 2.” Dia menyodorkan tangannya, aku menerima.
Penampilan tomboi dan suara beratnya membuatku sedikit ragu kalau kami akan akrab, apalagi dia senior. Biasanya, aku bergaul dengan Sasa dan Yvone yang notabene adalah gadis centil dan feminim. Meskipun aku suka memodifikasi sepeda dan jarang menggunakan kosmetik, aku enggan untuk terlihat tomboi. Rambut panjangku kuurai lepas di punggung dan mengenakan bando warna merah jambu agar memberi kesan girly. Aku tetap bangga menjadi kaum hawa.
“Lo ngapain di sini?”
Aku menoleh, seorang laki-laki berkulit putih berdiri di sebelahku. Fokusku otomatis tertuju ke pipi kanannya yang lebam biru, pelipisnya robek ringan. Mata hitamnya yang gelap mengingatkanku pada seseorang, kuyakin aku tidak salah karena kejadiannya baru pagi tadi. Dia adalah lelaki yang menolongku, melawan kedua preman yang hampir mencelakaiku. Luka-luka itu pasti diperoleh dari pertarungannya.
“Lo kan, yang tadi,” desisku.
“Iya, kenapa?” Dia mengangkat dagu, sok.
“Makasih udah selamatin gue.”
.
.
Akhirnya bisa update
Minggu kemarin terpaksa banget absen
Malah, hari ini juga mau absen
Tapi aku nggak mau nganggurin naskah ini lama2
Buat kalian yang udah mampir
MAKASIH BANGET
SABAR NUNGGU UPDATE YAA
See u again❤️❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top