2. Dazai Osamu
disclaimer: secara tidak langsung ada spoiler yang terungkap bagi kalian yang tidak membaca komiknya (sebenarnya aku gak baca juga, sih).
cracks
"Mae-chan, gomen neee."
"Iya da."
Dazai merengut, berpindah posisi dari duduk di sampingku ke seberangku. Memegang kedua tanganku erat. Memaksaku mengalihkan pandangan dari kertas kerja.
"Mae-chan. Permintaanku sejak berkencan denganmu hanya satu."
Aku menatapnya dongkol.
"Ayo bunuh diri!"
Kutendang tulang kering Dazai sekuat mungkin yang kubisa. Kubiarkan dia mengerang kesakitan dan keluar dari kafe setelah mengatakan pembayaran makanan ditagih ke Dazai, dan pergi ke lantai 4, tempat kantor Agensi Detektif Bersenjata berada.
"Suzuyu-san, ohayou." Aku mengangkat kepala, mendapati Atsushi-kun beserta Kyouka-chan berdiri di depan pintu.
"Kenapa kalian belum masuk?" tanyaku, meletakkan kertas kerjaku di bahu.
"Apakah Dazai-san berbuat masalah lagi?"
Aku merasa takjub melihat bagaimana Atsushi-kun benar-benar memperhatikan orang sekitarnya.
Aku menghembuskan napas pelan. "Ya, begitulah."
Aku langsung membuka pintu dan mendapati Kunikida yang mengomel, mondar-mandir di koridor, sedangkan Ranpo-san duduk di meja paling ujung, memakan cemilannya.
"Suzuyu-san! Ke mana Dazai?! Sekarang dia telah mengacaukan jadwalku!" protes Kunikida, mengetuk meja dengan kuat.
"Mengajakku bunuh diri dan sekarang sedang kesakitan di kafe bawah," balasku dalam satu napas sambil berlalu ke meja kerjaku yang terletak di sebelah Tanizaki-kun.
"Berat yah, Suzuya-san?" dirinya tertawa renyah sambil berkata itu. Hatiku langsung melunak, ikut tertawa.
"Mae-chan! Kenapa kau tertawa dengan Tanizaki-kun?!"
"DAZAI KITA HARUS PERGI!"
Kunikida langsung melingkarkan tangannya ke leher Dazai dan menyeret Dazai pergi.
"MAE-CHAN! APAPUN YANG TERJADI TUNGGU AKU DI SINI MALAM INI!!!" teriakan Dazai menggema di koridor depan.
Aku mengusap wajahku, memukul kedua pipiku.
Saatnya kerja.
cracks
Namaku Suzuya Mae. Aku bergabung dengan ADB bersamaan dengan saat ADB dibuat, bersamaan masuk dengan Ranpo-san. Aku sudah melihat berbagai persitiwa yang terjadi. Terlalu banyak, sampai aku sudah merasa bosan berurusan dengan hal itu.
Kemampuan khususku juga bukan bisa dibilang hebat seperti yang lain. Justru rasanya kemampuanku terlalu lemah. Rasanya tidak pantas untuk bergabung dengan ADB.
Sudah delapan tahun aku berada di ADB dan aku selalu memikirkan hal itu. Selalu membuat kepalaku sakit. Padahal tidak ada yang berkomentar jelek mengenai kemampuanku. Aku sendirilah yang berpikiran seperti itu.
Aku menghembuskan napas pelan.
"Mae-chan, doushita no?" aku langsung menarik kepalaku ke belakang kala mendapati wajah Dazai yang begitu dekat denganku. Aku menggelengkan kepala.
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Apa aku terlihat seperti pasien?" tanyaku balik, merasa jengkel.
Berada di sisi Dazai rasanya memendekkan umurku karena selalu merasa jengkel.
Dazai tertawa renyah.
TAPI ITU.
Aku suka mendengar Dazai tertawa. Saat dia mengeluarkan suara seriusnya, suara bercandanya, semua nada suara yang dikeluarkannya.
Aku jatuh hati ke Dazai berkat suaranya.
"Jadi, ada apa?" tanya Dazai.
Aku tidak bisa mengelak. Dazai itu, berkat kepintarannya, dia terlalu peka dengan sekitarnya. Kalau aku tidak mau menjawab, dia akan menjadi dirinya yang dulu, anggota Port Mafia yang teknik interogasinya sangat ampuh.
Percayalah, kalian jangan membuat Dazai seperti itu.
Aku pernah menjadi korban interogasinya.
"Bukankah kamu berpikir bahwa kemampuanku paling lemah di antara kita semua?" tanyaku, menatap Dazai yang berjalan di sebelahku.
"Benarkah? Aku rasa kemampuanmu lebih hebat dariku."
"Oh, apa kau menghinaku sekarang?" tanyaku.
Dazai menggeleng. "Aku hanya menetralkan kemampuan."
"Justru karena menetralkan itu!" seruku, menatap Dazai. Dazai terlihat sedikit terkejut, menatapku.
"Karena itu kamu selalu berhasil menjinakkan Chuuya, Atsushi-kun, Akutagawa, Kyouka-chan, bahkan Fyodor sekali pun."
"Tapi memanipulasi suara sekitar, mengubahnya menjadi ultrasonik atau sebaliknya itu keren, tahu?" balas Dazai.
"Bahkan itu bisa membuat gendang telinga orang pecah." Dazai tiba-tiba memegang kedua lengan atasnya.
Aku mengangkat alisku. "Ada apa?"
"Aku mengingat bagaimana kamu tidak sengaja menggunakan kemampuan itu padaku karena kamu marah dan gara-gara itu aku kesusahan untuk mendekat ke arahmu karena telingaku terlalu sakit padahal itu sebenarnya hanyalah suara angin berhembus dan itu sungguh menyakitkan ketimbang mengambang di air dan bergelantungan di atap," jawab Dazai tanpa ada henti.
Pipiku memanas, malu. Aku mengalihkan pandanganku.
"Aku kan sudah minta maaf."
Dazai kembali tertawa, lebih renyah. Aku merengut.
Usai jam kerja selesai dan yang lain telah pulang, aku tetap menunggu Dazai datang, seperti yang dimintanya, dengan konsekuensi akulah yang harus mengunci pintu, dan akulah hari esok yang harus datang pertama.
Dazai datang satu jam kemudian dengan keadaan muka diplester. Dia bilang dia bertemu dengan kucing liar. Awalnya dia sangat bersemangat untuk berkomunikasi dengan kucing itu namun diakhiri dengan kucing tersebut mencakar-cakar wajah Dazai.
Aku pun merasa berutang terhadap kucing liar itu karena telah melaksanakan keinginanku.
Lalu keluar dari gedung, kami berjalan menikmati pemandangan malam kota Yokohama, kota kelahiranku dan saksi aku tumbuh sampai saat ini.
Menghabiskan waktu sampai larut malam dengan hanya berkeliling Yokohama, itulah kebiasaan kami. Berbicara banyak hal.
"Ano sa, Mae-chan," sahut Dazai, memegang tangan kananku.
"Apa?"
"Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu, tapi aku ingin Mae-chan menutup mata dulu."
Rasanya mukaku pucat pias mendengar kalimat itu, dan Dazai sadar.
"Tidak. Tidak. Aku tidak bakal menakutimu." Dieratkannya pegangan tangannya, menenangkanku.
Aku terdiam, menatap mata Dazai yang sangat yakin kemudian mengangguk pelan. Menutup mata. Membiarkan diriku dituntun Dazai.
Aku punya trauma akan hal itu. Dan Dazai tahu.
Maksudku, dia yang menyelamatkanku saat itu.
Sebenarnya trauma itu sudah ada sejak kecil, dan semakin bertambah saat itu.
Saat itu, aku masih ingat, orang tuaku mengajakku untuk bermain dengan aku menjadi penjaganya. Aku pun menutup mata dan menghitung mundur. Perlahan aku mencari orang tuaku ke seluruh titik di apartemen kami, namun kunjung tak kudapatkan.
Biasanya kalau kita tidak menemukan juga, yang dijaga akan memberikan suara-suara, kan? Namun orang tuaku tak melalukannya.
Aku hapal dengan seluk-beluk apartemen. Sebenarnya aku tidak tahu kenapa aku tidak membuka mataku. Begitu aku mendengar suara pintu dibuka, aku bergegas ke sana, memegangnya, dan berseru riang, membuka mata.
Tapi, dia bukan orang tuaku.
Dia hanyalah ... seorang pedofil.
"Mae-chan, aku masih di sini. Sebentar lagi sampai," sahut Dazai karena aku meringsut mendekat ke arahnya. Aku hanya mengangguk pelan.
Dia hanyalah pedofil yang ingin memuaskan hasratnya. Saat itu aku benar-benar panik dan saat itulah, kemampuanku muncul. Kemampuan untuk memanipulasi suara sekitar.
Berhasil membuat pedofil itu pingsan, aku bergegas ke satpam dan meminta satpam menelepon polisi. Aku akrab dengan satpam itu, sehingga beliau langsung percaya dan datanglah polisi, mengamankan pedofil itu.
Rupanya orang tuaku memutuskan untuk menjualku karena mereka terlilit hutang. Itu yang polisi katakan padaku. Satpam yang baik hati itu mengantarkanku ke panti asuhan dan aku tinggal di sana.
Tapi di sana pun aku tidak menemukan kedamaian. Kemampuanku tidak bisa dikendalikan, semuanya menjauhiku.
Rasanya aku ingin mati.
Tepat keesokan harinya Fukuzawa Kancho mengajakku berbicara. Beliau yang mau bertemu denganku. Awalnya aku takut, matanya begitu tajam.
Lalu beliau menjelaskan semuanya perlahan. Aku yang saat itu masih berumur 12 tahun masih belum terlalu paham, tapi entah kenapa aku mempercayai Fukuzawa Kancho.
Empat tahun kemudian, ADB didirikan, dan aku bertemu dengan Ranpo-san. Lalu bertemu dengan yang lainnya.
Jadi yang menyelamatkanku pertama itu Fukuzawa Kancho. Dan Ranpo-san pun begitu.
Rasanya aku rela mati demi melindungi Fukuzawa Kancho.
"Maaf ya Mae-chan, harusnya baru di sini aku menyuruhmu menutup mata. Tapi nanti ketahuan aku membawamu ke mana kalau kamu baru menutup mata di sini," sahut Dazai. Aku hanya menganggukkan kepala.
Saat itu, umurku 20 tahun, aku sedang menjalankan misi.
Tapi tiba-tiba saat aku membuka mata semua gelap. Setelah kuperhatikan, kedua tangan dan kakiku diikat kuat, mulutku ditutup dengan kain, begitu juga mataku.
Aku pun semakin panik kala seseorang tiba-tiba mencekikku.
Aku tidak bisa menggunakan kemampuanku. Kemampuanku hanya bisa digunakan jika salah satu panca inderaku bersentuhan dengan udara (berkat kemampuan Fukuzawa Kancho, kemampuanku bisa dikendalikan). Sedangkan saat itu semuanya tidak bersentuhan dengan udara.
Seperti rasanya orang yang mencekikku mengetahui hal itu.
Aku yang saat itu sudah pasrah karena rasanya bakal mati, tiba-tiba rasanya badanku menjadi lebih ringan dan aku langsung menghirup udara banyak-banyak. Terdengar suara gedebak-gedebuk dan itu langsung terhenti.
"Ojou-chan, apa kau tidak apa-apa?!" seseorang bertanya dengan nada khawatir, membuka semua ikatan yang ada.
Traumaku kambuh dan seharusnya kemampuanku keluar karena panikku setelah itu.
Namun kemampuanku tidak keluar.
Karena aku bersentuhan dengan orang itu, Dazai.
Saat aku membuka mata, aku mendapati diriku duduk bersandar di dinding depan pintu ADB, tidak mengingat apa yang terjadi setelah itu.
Melanjutkan kehidupanku dengan bertanya-tanya kira-kira orang itu berada di mana.
Dua tahun kemudian, aku bertemu dengan Dazai. Fukuzawa Kancho sendiri yang meresmikan dirinya menjadi anggota ADB.
Aku terkejut melihat Dazai, Dazai hanya tersenyum.
Kalimat yang diberikannya pertama kali setelah dua tahun itu adalah:
"Bagaimana traumamu?"
Tiba-tiba Dazai berhenti, aku menabrak lengannya, mengusap mukaku.
Dazai berjalan ke belakangku.
"Kubuka ya." Aku mengangguk. "Satu, dua, tiga!"
Banyaknya cahaya membuatku masih menutup mata sebentar. Kemudian aku perlahan membukanya.
"Otanjoubi omedetou, Suzuya Mae-chan!" seru Dazai semangat.
Aku melihat sekitar. Kami berada di taman dekat apartemenku saat kecil. Terletak kue dengan lilin berangka '24' di meja taman dengan hiasan di sekitarnya.
"Mae-chan! Ayo tiup lilinnya!" seru Dazai semangat, membawakan kue tersebut.
Aku meniupnya usai mengucapkan keinginanku dalam hati.
"Tapi Dazai," kutatap Dazai, "emangnya hari ini aku ulang tahun?"
Dazai merengutkan bibirnya. "Karena Mae-chan tipe yang jarang bermain dengan Hp-nya, jarang mengingat hari dan tanggal, suka lembur, aku menggunakan kesempatan itu. Lagi pula ini sudah 3 Mei, lho! Tengah malam!" seru Dazai, menunjukkan layar Hp-nya.
"Ah ... benar juga."
"Deshou?!" seru Dazai bersemangat.
Aku mendengus geli, tertawa puas.
"Baiklah, hari ini milikmu." Kutatap dia dengan perasaan puas. "Kau mau apa?"
"Futatsu!" seru Dazai, menunjukkan angka 2 di jarinya.
"Apa itu?"
"Tapi sebelum itu ...." Dazai kembali meletakkan kue tersebut kemudian berjalan ke arahku.
Kali ini dia benar-benar cemberut.
"Bagaimana. Bisa. Kau. Memanggil. Chuuya. Dengan. Nama. Depannya. Sedangkan. Kekasihmu. Sendiri. Masih. Kau. Panggil. Dengan. Nama. Keluarganya. Hah?!" ucap Dazai penuh penekanan, menunjuk-nunjuk bahu kananku.
Aku mengalihkan pandangan.
"Karena aku dan Chuuya berbagi idealisme yang sama?" Aku menatapnya.
"Idealisme apa, huh?" Dazai berkacak pinggang.
"Idealisme hidup kami sekarang adalah bagaimana seorang Dazai Osamu tidak menganggu kehidupan kami," balasku.
"Aku mengenal Chuuya sebelum aku mengenalmu, kau tahu?" tanyaku, mengangkat sebelah alis.
"APA?!" Mulut Dazai menganga. Tampangnya terlalu shock.
"Aku sudah mengenalnya sebelum dia bergabung dengan Port Mafia, Tuan Dazai. Jadi jika bukan karena profesi kami, aku dan Chuuya adalah partner yang hebat."
"Karena kami tidak ingin membocorkan pekerjaan satu sama lain, karena kita bermusuhan dengan mereka, tentu saja aku tidak mengetahui dirimu dan yang lainnya. Selama ADB berseteru dengan Port Mafia sampai kau bergabung dengan kami, aku tidak pernah berurusan dengan Port Mafia, kau tahu?"
Mata Dazai membesar. Digerakkannya kepalanya patah-patah, menatapku tidak percaya.
"Part. Ner?!"
"Oh, apakah kau tidak diberi tahu Chuuya?" Aku merogoh Hp-ku, menunjukkan sesuatu.
"Kesampingkan profesi kami, Chuuya benar-benar seru di game center. Lihat betapa baiknya dia mau memberiku sebuah boneka!" seruku menunjukkan foto Chuuya yang sedang berjuang di mesin capit.
"Oh. Kau. Selingkuh?!" seru Dazai.
"Kalau aku bisa selingkuh, sudah kulakukan dari dulu," ucapku dengan nada sarkas, memasukkan Hp kembali ke dalam tas.
"Bagus! Lakukanlah sekarang!" seru Dazai, ngambek.
Aku tertawa.
"Mana bisa aku selingkuh darimu, wahai Tuanku, Osamu?"
Dazai terdiam. Pria yang masih berumur 23 tahun itu (dia berulang tahun bulan depan, 19), menatapku dengan tatapan tidak percaya.
"Barusan, kau memanggil namaku, kan?" tanyanya, memastikan.
"Tidak tahu," balasku.
Senyum Dazai merekah. "Iya! Kau menyebut namaku!"
Dipeluknya aku kuat-kuat. Kutepuk punggungnya kuat-kuat, merasa sesak.
"Permintaan pertamamu sudah kupenuhi. Jadi yang kedua apa?" tanyaku. Dazai masih melingkarkan lengannya di pinggangku.
Dazai tersenyum lebar.
"Bunuh diri bersama, yuk!"
Aku menutup mataku, menahan rasa jengkel. Kufokuskan semua tenaga yang ingin kusampaikan kepada Dazai ke ujung sepatu kaki kananku.
"I-YA-DA!"
"AWW!!"
fin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top