Bab 7 Kepergian Rebecca

Coba dengerin deh mulmed lagu dari Yura Yunita dan Glenn Fredly yang judulnya, Cinta dan Rahasia. Syahdu banget dahhh, tapi bikin Elle nangis berdarah-darah hihihihi...

Jangan lupa vote dan komennya ya say, happy reading

***

Kucinta padamu, namun kau milik sahabatku.

Dilema, hatiku.

Andai kubisa berkata sejujurnya.

(Cinta dan Rahasia, Glen Fredly-Yura)

***

Orang pendiam itu, saat marah maka akan berubah menyeramkan dan sekalinya berbicara, perkataannya kadang menusuk ke hati, nyelekit kalau kata orang Sunda. Nah, itu yang dialami Eleanor sekarang, sahabatnya yang pendiam juga tampan, Putra, mengeluarkan pernyataan yang membuat Eleanor menekuk wajah dan memajukan bibirnya tak suka. Dia mengaitkan leher pria itu disela ketiaknya dan menjitak kepalanya gemas.

"Jahat, punya temen jahat banget. Itu mulut gak bisa di saring apa?!" Eleanor masih asyik menjitak kepala sang kapten basket idola sekolah ini yang tersiksa dalam apitan lengan gadis itu.

Sahabatnya, Putra Purwanto, yang dikenalnya sejak pindah sekolah sekolah kini bertransformasi menjadi pria gagah nan tampan dan menjadi idola di Royale School. Sifat pendiam dan tak banyak bicara masih melekat pada dirinya, ia terkenal cool dan cuek. Hanya pada Eleanor, Syah dan Yaya ia akan tersenyum dan tertawa, menimpali perkataan mereka sesekali saja, lebih banyak menjadi pendengar dan pemberi saran.

"Duhh, sakit tau El. Nanti kalau aku jadi bego karena kebanyakan dijitak gimana, tanggung jawab loh kamu," ucapnya sambil menutupi kepalanya dengan kedua tangannya.

"Abisnya kamu ngomong jleb banget sih."

"Lah, berarti betul dong yang aku omongin. Mau-maunya disuruh jagain jodohnya orang."

PLAKK

Tangan Eleanor kini menepuk bahu Putra dengan kuat karena mengulangi kata yang tidak mau ia dengar, seolah mengejek keputusan yang telah diambil untuk menjadi tunangan Nathaniel.

"Sudah El, kasian Putra. Bentar lagi dia mau latihan buat turnamen, jangan di pukulin terus," cegah Yaya.

"Terimakasih, Yayang." Putra melebarkan senyumnya mengetahui gadis yang disukainya membelanya.

PLAKK.

Gantian kini lengan Putra yang dipukul oleh Yaya,

"Jaga mulutnya!" ketus Yaya.

"Tapi sukakan," goda Putra kepada Yaya sambil menggerakkan kedua alisnya.

"El, mendingan kayak aku. Jagain jodoh sendiri, walaupun Yaya belum mau nerima aku tapi aku mau menunggu, karena dia memang mau sama aku. Hanya tinggal masalah waktu," lanjutnya.

"Terserah mau ngomong apa. Niatku cuma bantu untuk mengulur waktu, itu saja."

"Mereka bukan sepasang kekasih lagi sekarang El, berusahalah dapatkan perhatiannya. Buatlah dia memandangmu sebagai 'wanita' bukan adik seperti sekarang ini." Putra mengacak rambut Eleanor yang masih menekuk wajahnya, "He's single, make it yours."

"Tetap saja itu artinya mengkhianati Kak Becca karena aku sudah berjanji akan menjaga Nathaniel untuknya. Mereka cuma break sebentar, masih saling mencintai dan aku tidak mau jadi orang ketiga. Aku tidak mau suatu hari aku merasakan posisi seperti Kak Rebecca, dikhianati."

Putra dan Yaya saling berpandangan pasrah tak tahu apalagi yang harus dibicarakan, suasana mencair saat Syah membawakan minuman dingin untuk mereka.

"Minum sikit, biar cooling down isi kepala kau tuh."

Syah menyodorkan jus melon dingin kesukaan Eleanor, yang langsung diterima gadis itu dengan senang hati lalu menyeruputnya sampai habis.

"Kau janjian kah sama Kak Nathan? Dia ada disana," tambah Syah.

"Oh, udah datang ya. Kami mau mengantar Rebecca ke bandara, aku pulang ya."

Sebelum sempat berbalik menjauh, Putra mencekal tangan Eleanor menarik lalu memeluknya. Membuat Yaya dan Syah membulatkan mata tak percaya, begitupun gadis yang berada dalam pelukan itu. Sahabatnya itu memeluknya di depan umum, menepuk pelan punggung Elanor lalu berkata,

"Apapun keputusan kamu, kami bertiga tetap akan mendukungmu dan menyediakan bahu untuk kamu menangis saat sakit itu datang."

Mata Eleanor memanas, pria dihadapannya begitu tahu akan apa yang ia rasakan. Ia jadi merindukan kedua kakak lelakinya. Eleanor menyandarkan dahinya di dada bidang Putra, menunduk meneteskan airmatanya, beberapa saat kemudian ia mengangkat wajahnya dan tersenyum.

"Aku pegang janjinya, kalian harus siapkan telinga dan bahu untuk mendengarkan keluh kesahku selama beberapa bulan ke depan ya." Eleanor tersenyum kepada ketiga sahabatnya, Yaya menghapus sisa airmata yang ada di sudut matanya.

"Kamu punya kami disini, El." Yaya dan Syah ikut tersenyum menenangkan sahabatnya.

Eleanor menarik nafas dan mengembuskannya pelan, memasang senyum ceria seperti biasa lalu berbalik arah menuju Nathaniel yang tengah menunggunya di sana.

***

"Duuhh... enaknya di peluk sama cowok paling ganteng di sekolah kita."

"Iyaaa... cuma sama Kak El, Kak Putra mau tersenyum dan tertawa seperti itu. Dia terlihat sangat tampan jika sedang tersenyum."

"Lebih cakep kalau lagi diem ah, cool dan dingin-dingin gimanaaa gitu."

"Mereka pacaran bukan sih?"

"Enggak tau. Katanya Kak Putra dulu pernah nembak Kak Kanaya, gak diterima tapi hubungan mereka masih baik-baik aja sih walaupun Kak Putra sekarang lebih dekat dengan Kak El."

"Susah ya kalau pacaran di area friendzone, gak enakan jadinya. Gak bisa jadian walaupun saling suka, gak enak sama pihak ketiga yang suka juga sama mereka."

Nathaniel mendengar kasak kusuk anak-anak perempuan di belakangnya yang juga melihat peristiwa menarik di tepi lapangan basket bekas sekolahnya dulu. Ia tidak berani mendekati Eleanor setelah mendengar pembicaraan gadis-gadis di belakangnya, takut akan semakin membatasi Eleanor dengan status mereka sekarang, jadi ia memilih menatap dari kejauhan interaksi gadis kecilnya dengan seorang pria. Interaksi yang cukup membuat banyak spekulasi orang-orang disekitarnya, termasuk dirinya. Tak lama Eleanor berjalan ke arahnya sambil tersenyum lebar,

"Yuk pergi !!"

Gadis itu tanpa basa-basi langsung berjalan di depannya, berjalan menuju parkiran sekolah. Tak sedikit teman pria yang menyapanya dan ia akan membalas sapaan mereka dengan sopan disertai senyuman manis.

Gadis kecilnya tidak berubah sejak dulu, selalu ramah pada setiap orang tanpa memandang siapapun itu. Nathaniel tersenyum mengingat kembali awal pertemuan mereka, wajah polos khas anak-anak yang ceria, mata bulat yang berbinar gembira, pipi putih yang selalu merona malu jika melihat pria tampan di sekelilingnya. Dia benar-benar seperti jelmaan putri dalam animasi dengan rambutnya dulu yang coklat kepirangan, princess adalah panggilan dirinya khusus untuk Eleanor.

Tak sadar ia pun tersenyum mengingat semua tingkah laku gadis dihadapannya itu selama mereka bersahabat, yang kemudian berganti senyuman miris mengingat apa yang terjadi baru-baru ini. Ia sebenarnya masih merasa bersalah karena ikut menarik Eleanor, terjebak ke dalam masalahnya, gadis itu hatinya terlalu baik sehingga tidak bisa menolak permintaan Mamanya. Padahal sebelumnya Eleanor telah menolak hal yang sama diajukan Rebecca, sampai gadis itu marah besar. Nathaniel berjanji dalam hatinya akan memperlakukan gadis itu sebaik mungkin selama berperan menjadi tunangannya nanti setahun ke depan.

Langkah Eleanor terhenti saat melihat kaca penumpang depan diturunkan dan wajah Rebecca berada di balik kaca itu,

"Eh, Kakak ikut jemput juga, kelamaan ya?" tegur Eleanor, ia mengira Rebecca akan pergi bersama-sama kakek, mami dan papi.

"Enggak kok, El. Ayo masuk, yang lain udah pada duluan ke bandara kita nyusul kesana."

Nathaniel membukakan pintu penumpang belakang dengan tubuh setengah membungkuk,

"Silakan my princess," godanya.

"Thank you my handsome butler," balas Eleanor sambil tersenyum mengejek.

"Haaiishhh, masa ganteng gini disamain sama kepala pelayan," gerutu Nathaniel.

"Jadi pamrih nih ceritanya, iya?! Pengen dipanggil pangeran, My prince gitu?" ejek Eleanor yang disambut kekehan Nathaniel dan mengacak pelan rambutnya.

"Cepat masuk sana, kita berangkat."

Nathaniel pun menutup pintu penumpang lalu berjalan memutar menuju tempat kemudi mobilnya, bergegas menuju bandara. Rebecca sengaja memilih penerbangan sore agar ia bisa tidur dengan tenang selama 8 jam transit menuju Dubai, dilanjutkan 5 jam berikutnya menuju Milan.

Perjalanan mereka lebih didominasi percakapan Rebecca dan Nathaniel, bahkan tangan sepupunya kini berada dalam genggaman tangan kiri Nathaniel yang bebas tidak memegang kemudi. Eleanor menyibukan diri dengan gadgetnya mengalihkan perhatiannya dengan game ditangannya,ia sudah terbiasa dengan pemandangan itu dan perasaan familiar di hatinya seperti saat ini.

"Kak, nanti kalau ada SPBU mampir bentar ya."

Nathaniel menoleh melalui kaca spionnya, "Kenapa El?"

"Mau ke toilet."

Eleanor membalas tanpa mengangkat wajahnya, Nathaniel melirik kembali kaca spion yang sedari tadi menampilkan wajah Eleanor yang menunduk memperhatikan ponselnya. Mobil Range Rover putih itu kemudian memutuskan berbelok ke sebuah SPBU sebelum memasuki tol menuju bandara. Eleanor mengerti apa yang dirasakan kedua insan itu yang sebentar lagi akan berpisah, ia ingin memberikan waktu lebih lama untuk mereka berduaan saja.

Setelah kurang lebih 10 menit di dalam toilet, Eleanor kembali mengintip dari pintu apakah Nathaniel dan Rebecca masih berciuman atau tidak. Ya, tadi saat ia selesai membuang hajat, terkejut saat melihat kedua orang tersebut tengah berciuman dibangku depan, buru-buru ia menutup pintunya kembali. Memegangi dadanya yang kembali merasakan iri dan sakit hati, nyatanya walaupun status mereka bukan lagi kekasih tapi mereka masih kekasih dalam artian sebenarnya.

Eleanor menarik nafas dan menghelanya ,

"Semua akan baik-baik saja, setelah ini kamu tidak akan melihat pemandangan seperti itu lagi. Sabar..sabar..," gumamnya.

Ia pun keluar dari toilet dengan wajah menunduk lalu kembali masuk ke kursi belakang.

"Lama banget, El"

"Hehehe..mules kak Becca. Maaf ya."

Eleanor tersenyum kepada keduanya lalu kembali menekuri ponselnya, menjawab seperlunya pertanyaan kedua orang di depannya. Seketika moodnya anjlok, tidak berminat untuk berpura-pura dan ceria seperti biasanya. Nathaniel melirik kembali gadis kecilnya yang duduk di belakang sambil memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Ia tahu suasana hati gadis itu sedang tidak baik, sejak terakhir melihatnya bersama teman prianya itu. Ia tahu Eleanor menangis disitu.

"Apakah pria itu yang dimaksud Mami Mariana? Seseorang yang dicintai oleh Eleanor tapi tidak bisa bersatu karena dia sudah memiliki wanita lain di hatinya?" tanya Nathaniel dalam hati.

Suasana hati Eleanor tetap tidak membaik juga, dia menangis sesenggukan saat berpelukan dengan Rebecca di gate keberangkatan.

"Kamu memang adikku yang terbaik El, terima kasih atas semuanya. Aku berjanji akan cepat menyelesaikan semua dan kembali untuk kalian."

"Cepatlah pulang ya, Kak. Supaya El bisa cepet cari pacar lagi."

Eleanor dan Rebecca pun tertawa kecil sambil mengusap airmata mereka, Nathaniel merangkul bahu Eleanor, mengusap dan menenangkannya. Ia tak mau bertingkah bodoh ikut memeluk Rebecca juga.

"Tolong jaga El ya Nathan, jangan sakiti dia."

"Tenang aja Becca." Nathaniel memberikan senyumnya yang paling manis kepada Rebecca, senyum menenangkan tanda perpisahan mereka. Rebecca pun berjalan kembali memeluk Julian Kournikov, orang yang selalu mengerti dan menyayangi dirinya seperti cucu kandungnya sendiri, kembali menangis dipelukan kakeknya,

"Kakek sudah siapkan apartemen dan pengurus ART disana untuk kamu, jangan sampai kamu terlambat makan dan keseringan pulang malam ya."

"Baik Kakek, Becca akan sering menghubungimu."

Julian lalu mengecup kening Rebecca dengan sayang, Mariana dan Roberto ikut memeluknya untuk terakhir kalinya. Rebecca pun tersenyum, melihat kembali ke belakang orang-orang yang selalu menyayangi, mendukungnya tanpa cela walaupun tidak ada hubungan darah dalam diri mereka. Ia bertekad untuk berusaha sebaik-baiknya menggapai impiannya demi mereka semua, melangkah ringan demi masa depannya.

"Nathaniel, aku tunggu keluargamu nanti malam ya." Julian mengingatkan kembali Nathaniel mengenai pertemuan keluarga mereka yang telah dibahas dengan Yusuf Akbar.

"Baik, Kek."

Julian, Mariana dan Roberto kembali ke mansion Kournikov diikuti mobil Nathaniel juga Eleanor. Nathaniel kembali bersikap manis pada Eleanor, ia memasangkan seatbelt pada gadis itu.

"Nanti malam ada apa Kak?"

"Oh, keluarga ku akan datang melamar kamu."

"HAAAHHHH !!"

"Kok kamu kaget sih? Kalau mau tunangan kan memang harus lamaran dulu, minta ijin ke keluarga kamu untuk menjadikan kamu milik aku. Melamar kan nggak harus langsung nikah, apalagi Papimu bilang untuk berikan kamu waktu sampe lulus sekolah dan kuliah jika ingin menikah."

"Kapan Kakak ngomong sama Papi?"

"Tadi pagi aku dan Papa pergi ke kantor Kakek kamu, kebetulan disana juga ada Papi kamu. Kami membahas sedikit tentang hubungan kita. Dan nanti malam perbincangan selanjutnya."

"Ooohhh.."

Eleanor tidak tahu harus berkata apa lagi, menyadari bahwa hal yang disebutkan Nathaniel tadi hanyalah pertanda bahwa sandiwara itu akan segera dimulai. Mendengar kata 'lamaran', 'meminta dirimu kepada keluarga', 'milikku' seharusnya menjadi kata-kata indah bagi setiap wanita yang akan dilamar, tapi itu terdengar sangat menyeramkan bagi Eleanor.

"Kira-kira diumurku yang keberapa akan ada pria yang mencintaiku tulus dan melamarku kepada Mami dan Papi?" gumam Eleanor sambil melihat ke luar jendela.

Nathaniel menoleh ke arah Eleanor, walaupun pelan ia dapat mendengar jelas perkataan gadis itu, kalimat pertanyaan penuh pengharapan juga putus asa.

bersambung

Tbc

Ciee cieee... ada yang seneng bisa tunangan sama Elle, apapun niat mu bang. Ku sumpahin tambah ganteng klo beneran cinta sama Elle😅😅😘😘

Klo Elle antara senang dan tidak, diamah galau dan bimbang terus. Antara cinta Dan saudara judul kegalauannya 😅😅😅😅

Hari ini dream cast Nathaniel ku update IG, dan eng ing eng... Ternyata insta story' mereka lagi-lagi bersebelahan. Sering loh insta story' mereka bersebelahan terus, mereka memang cukup aktif di IG. Berharap mereka benerannn bisa jadi pasangan dalam kehidupan nyata 😅😅

Aku kenalin ah, Angelina sama Abang Matheus. 😝😝😝😝😝

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top