Bab 27 The Storm
Terimakasih teman-teman pembaca yang setia menunggu Eleanor. Love u so much 😘😘
***
“Kamu tampak sangat cantik sekali, El,” puji Nathan saat sudah berada di luar kediaman keluarga Kournikov.
Malam ini mereka akan menghadiri Gala Dinner ulang tahun perusahaan Akbar Group milik keluarga Nathaniel. Pria itu pun khusus mengundang keluarga Kournikov selain sebagai calon keluarga mertuanya, juga sebagai salah satu mitra kerja perusahaan.
“Dari dulu kaleee. Udeh cakep dari lahir,” balas Eleanor sekenanya.
Gadis cantik bertubuh tinggi ramping itu, memang terlihat lebih dewasa jika sudah didandani dan memakai gaun indah yang jarang dikenakannya. Ia merasa lebih nyaman memakai pakaian kasual seperti kaos, kemeja, dan celana jeans seperti remaja umumnya.
Nathaniel menatap terpesona, menyadari bahwa dirinya selalu dibuat ‘mabuk’ akan kecantikan Eleanor, persis seperti saat pesta pertunangan mereka dan saat mamanya mengajak Eleanor ke kelab malam waktu itu.
“Ckckck … kamu ini kok nggak kayak perempuan lainnya sih, El. Dipuji tuh malu-malu, merona gitu,” decak Nathaniel.
“Hihihi … kan memang aslinya cantik, jadi mau malu-malu meong pun gak pantes, Kak. Kenyataan!” balas Eleanor lagi sambil bercanda, menutupi perasaan yang sebenarnya tengah melayang karena pujian itu.
Pria yang sebentar lagi akan diangkat resmi menjadi seorang Direktur itu hanya tertawa terkekeh, sambil membukakan pintu sport car Lamborghini Black Huracan-nya. Mobil sport yang disebut Eleanor sebagai toothless, karena penampakan depannya yang mengingatkan ia kepada tokoh kartun di film animasi How To Train Dragon.
“Tumben pake si Toothless,” celetuk Eleanor saat sudah duduk di dalam Lambo hitam itu.
“Ckk … kenapa sih mobil keren begini malah kamu sebut toothless, bikin turun pasaran aja,” balas Nathaniel. “Lagian aku pengen sesuatu yang spesial untuk membawa sang Princess ke pesta raya sang Pangeran,” tambah Nathaniel sambil mengedipkan sebelah matanya lalu mengecup punggung tangan Eleanor dengan tatapan mata seduktif.
Gadis itu merasakan degupan jantungnya berdetak tak beraturan, pipi yang saat ini kemungkinan sudah memerah. Beruntungnya, pencahayaan minim di dalam mobil membuat ia terselamatkan dari tatapan membakar pria di sebelahnya.
“Kenapa sejak kembali dari Paris, Kak Iel jadi makin sering ngegombal?”
“Hmmm … masa sih?” Nathaniel mulai melajukan pelan mobilnya, dengan tangan kanan yang masih menggenggam erat tangan Eleanor.
“Iya! Mana suka nempel-nempel, nyuri-nyuri cium lagi. Eh-”
Eleanor mengalihkan pandangan, saat bibirnya tak sengaja menyebut kelakuan absurd tunangan sandiwaranya itu. Perlakuan berbeda Nathaniel selama beberapa hari terakhir, memang sering membuatnya melambung dan salah tingkah.
Nathaniel tertawa terkekeh sambil mencium kembali punggung tangan wanita yang ia cintai itu. “Bener kata orang, perpisahan dan jarak akan membuat kita menyadari arti seseorang dalam hidup kita. Seminggu berpisah sama kamu benar-benar menyiksa, El.”
Genggaman tangan Nathaniel makin erat pada tangan Eleanor. “Rasanya aku ingin cepat-cepat pulang. Aku nggak mau kita pisah lagi, El. Aku bener-bener butuh kamu,” lirihnya.
Kalimat terakhir itu diucapkan sangat pelan, tapi masih dapat tertangkap dengan baik oleh telinga Eleanor. Ada nada lain yang tertafsir dalam kepalanya, tapi ia enggan untuk menanyakan.
Akhirnya, sisa perjalanan itu berubah menjadi keheningan, hanya suara musik dari pemutar lagu yang terdengar mengalun menemani kesunyian mereka berdua. Tangan Nathaniel masih tak jua lepas dari tangan lembut Eleanor, hanya sesekali terlepas lalu kembali menggenggam tangan gadis yang dicintainya. Pria itu seolah membuktikan ucapannya yang tidak ingin berjauhan dari Eleanor. Di dalam kepalanya saat ini memang tersimpan banyak jalinan benang yang harus ia urai secepatnya, tak ada yang ia inginkan selain memastikan Eleanor tetap berada di sampingnya.
***
Black Huracan seharga hampir sepuluh milyar itu berhenti di sebuah hotel berbintang lima, di mana antrian mobil-mobil mewah terlihat memadati lobi hotel tersebut. Petugas Vallet Parking membukakan pintu mobil Nathaniel, yang langsung menyerahkan kunci mobilnya ke petugas tersebut. Ia melangkah membukakan pintu penumpang Eleanor, mengulurkan tangan, dan menggandeng tangan mungil itu di sela lekukan lengan atasnya.
Beberapa pencari berita tampak berkumpul di sisi lobi yang telah diberi garis pembatas oleh petugas keamanan. Mereka berdua berjalan menuju ballroom terbesar di hotel itu, tampak beberapa kolega menyapa dan tersenyum kepada pasangan muda tersebut, yang juga kemudian dibalas senyuman dan anggukan kecil oleh keduanya.
Saat tiba di pintu ballroom sudah ada Talita, Daniela, dan Caroline, kedua kakak perempuan Nathaniel, menunggu di depan pintu. Eleanor baru pertama kali bertemu dengan Daniela, yang tampak anggun dengan rambut panjang hitam legam, begitu cantik dengan ujung rambut yang bergelombang. Ia sempat berkenalan dengan Caroline, saat diajak Talita menjenguk bayi kecil mereka yang baru lahir itu.
Saat keduanya mendekat, tak sabar Talita memeluk erat Eleanor. Membuat gadis itu terkejut, ditambah ekspresi kedua kakak perempuan Nathaniel yang menurutnya tidak biasa.
“Mantu cantik Mama tersayang,” ucap Talita sambil merengkuh kuat Eleanor, seakan gadis itu akan pergi jika tidak dipeluk dengan erat. Wanita paruh baya itu merangkum wajah mungil Eleanor dan menatapnya dengan tatapan sendu. “Apapun yang terjadi, kamu adalah mantu Mama. Selamanya menjadi putri kesayangan Mama,” tambahnya lagi.
Membuat Eleanor mengernyitkan dahi, mencoba mencari makna ucapan Talita
“Mama kenapa, sih?” tanya Nathanie heran. “Kan memang Eleanor yang bakalan jadi menantu Mama.”
Talita menoleh, lalu menatap tajam ke arah putra satu-satunya itu. Terlihat rahang wajah cantiknya itu mengeras, seolah menahan emosi yang berusaha ia pendam. Kata-kata yang hendak meluncur dari bibirnya tertelan kembali saat melihat sesosok wanita lain mendekat ke mereka berkumpul.
“Selamat malam.”
Kelima orang itu menoleh dan menatap ke arah si pemilik suara, berbagai ekspresi berbeda tampak pada wajah mereka. Namun, ekspresi terkejut dimiliki oleh kelimanya.
“Kak Becca?”
“Rebecca ….”
“Selamat malam El, Tante Talita, Kak Caroline, dan Kak Daniela,” sapa Rebecca. Ia pun menoleh ke arah Nathaniel, dan menyerahkan sebuket bunga pada pria itu, yang masih tampak tak percaya melihat kedatangan tiba-tiba dirinya.
“Selamat ya, Nathan. Aku turut senang atas pencapaian kamu, dan terus berdoa untuk kesuksesanmu di masa depan,” ucap Rebecca tulus.
Nathaniel tampak gugup saat menerima buket bunga itu dari tangan Rebecca, terlebih saat wanita itu mengecup kedua pipinya.
Mungkin bagi perempuan yang masih berwajah lelah itu, ciuman di pipi Nathaniel dianggap sebagai ungkapan selamat biasa, tapi tidak dengan ketiga wanita keluarga Yusuf Akbar yang seketika membelalakan mata. Talita dengan cepat menarik tangan Nathaniel menjauh dari Rebecca.
“Papa mencarimu sedari tadi, pergilah bersama Ardi,” titah Talita sambil menatap tajam ke arah Rebecca.
Nathaniel belum sempat membalas ucapan selamat Rebecca saat tiba-tiba Ardi sudah berada di sampingnya dan membisikkan sesuatu, yang membuatnya mau tak mau mengikuti langkah asistennya.
“Aku tinggal dulu ya, El,” pamit Nathaniel sambil melangkah menjauh, Eleanor hanya menganggukkan kepalanya , tak mengerti dengan apa yang tengah terjadi.
Suasana seketika canggung diantara kelima wanita itu, Eleanor merasakan aura tak biasa yang ditunjukkan para wanita keluarga Yusuf Akbar. Ia pun berusaha mencairkan suasana.
“Kakak kok pulang nggak ngasih tau?”
“Mau bikin kejutan, El,” jawab Rebecca sambil tersenyum manis.
“Dan Kakak benar-benar berhasil membuatku terkejut! Belum lagi kalo Kakek liat, pasti seneng banget,” balas Eleanor girang.
“Mereka belum datang?”
“Belum. Tadi El duluan sama Nathan, takut telat. Kan malam ini dia yang jadi bintangnya.”
Suara dehaman terdengar dari arah ketiga wanita keluarga Akbar, walaupun mata mereka tidak tertuju pada dua gadis itu, tapi Eleanor dapat merasakan bahwa mereka mendengar apa yang dikatakan kakak sepupunya barusan.
Rebecca tiba-tiba mendekat ke arah telinga Eleanor dan membisikkan sesuatu, “Bisakah kamu mengantarku ke toilet. Aku ingin berganti pakaian juga membetulkan riasanku.”
Eleanor mengangguk mengerti permintaan kakak sepupunya itu, ia yakin pasti Rebecca tetap ingin tampil memukau di hadapan Nathaniel juga keluarganya. Maka ia pun berpamitan kepada Talita, Daniela, dan Caroline lalu melangkah bersama Rebecca menuju toilet wanita.
Kedua gadis itu berjalan membelah lorong hotel menuju toilet wanita yang mereka cari. Eleanor membantu memegangi tas tangan sang kakak sepupu, saat Rebecca membuka blazernya.
“Wow!”
Eleanor terpukau saat melihat dress hitam yang menampilkan bahu mulus Rebecca, membuatnya tampak anggun juga seksi dengan rambut panjang hitam tergerai indah di kulit putihnya.
“Niat bener, Kak,” ledek Eleanor.
“Iya, dong! Hari ini kan cukup bersejarah buat Nathan, harus tampil spesial dong,” balas Rebecca sambil menepuk-nepuk keningnya yang menampilkan titik-titik keringat. Mengeringkan dan memulas kembali make up-nya. “Aku tidak memperpanjang kontrak magangku, El. Ini waktunya aku menunjukkan cinta, perhatian, dan dukungan untuk Nathan. Sudah cukup aku pergi karena keegoisanku, kehilangan dia bukanlah hal yang aku inginkan.”
Eleanor hanya mampu mendengarkan sambil menelan air liurnya kasar, tangannya meremas kuat tas tangan milik Rebecca. Hatinya bergemuruh saat menyadari perannya sudah berakhir, sang pemilik hati sebenarnya telah kembali.
Tugasnya usai. Pertunjukkan sandiwara ini akan berakhir.
Harusnya ia merasa senang karena siksaan hatinya akan segera berakhir, tapi ia belum yakin berapa lama mampu menyembuhkan hati dan menghilangkan semua kenangan tentang pria itu. Pikirannya berkelana kembali ke masa-masa dirinya saat menjalani status sebagai tunangan seorang Nathaniel Adlian Akbar, terasa sangat singkat, padahal sudah hampir setahun semua telah terjadi. Walaupun ia telah menyusun rencana manis di kepalanya, tetap saja di sudut hatinya bertolak belakang. Tak ingin semua kenangan indah itu berakhir. Namun, ia tak memiliki alasan kuat untuk menahan pria itu di sisinya.
“El! Kok malah ngelamun. Ayo, acara mungkin sudah akan dimulai,” tegur Rebecca, membuyarkan semua lamunan Eleanor.
Gadis itu hanya terdiam saat Rebbecca kembali menarik tangannya, keluar dari toilet menuju ballroom hotel. Langkah keduanya terhenti saat mereka melihat Ardi keluar dari suatu ruangan, lalu membuang buket bunga yang tadi dibawa oleh Rebecca.
Keduanya saling menatap tanpa suara, terdiam mematung di tempat mereka. Setelah punggung asisten Nathaniel itu menghilang dari pandangan, keduanya melangkah pelan lalu menatap buket bunga yang teronggok di tempat sampah, belum hilang pertanyaan di benak mereka, terdengar suara bentakan keras dari dalam ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat. Dan Eleanor sangat mengenali suara itu, matanya membelalak saat melihat kejadian yang tidak ia kira akan ia lihat. Rebecca yang ikut mengintip dari balik bahu sepupunya ikut terkejut dan menutup mulutnya saat melihat tangan besar Yusuf Akbar, meninju wajah tampan Nathaniel.
“APA YANG SEBENARNYA ADA DI KEPALAMU ITU?!” Suara Yusuf Akbar terdengar menggelegar di ruangan kecil, yang sepertinya tempat karyawan hotel berkumpul. Namun, hanya kedua orang itu yang berada dalam ruangannya. “Bagaimana kau bisa berselingkuh dengan saudara tunanganmu sendiri, HAH?!” lanjutnya lagi.
“Aku tidak berselingkuh!” sanggah Nathaniel
“Tidak berselingkuh katamu!” pekik Yusuf Akbar lagi, dia terlihat melemparkan sesuatu ke wajah putranya itu. “Jadi, menurutmu Mr. Piere sengaja menjebakmu? Sengaja membuat skandal ini? Dia bahkan tidak tahu wanita itu siapa, jika saja kamu tidak mengenalkannya pagi itu kepada mereka.”
Yusuf Akbar meremas rambut tebalnya lalu mengusap wajahnya kasar.
“Kau tak hanya mempermalukanku, tapi juga mencoreng keluarga Kournikov. Kau memainkan kedua cucu perempuan Kournikov! Dan kau kira mereka mau menerima maafmu begitu saja setelah kejadian ini.”
“Aku tidak melakukan apapun, Pa,” lirih Nathaniel, meringis menahan denyutan di pelipisnya juga hatinya yang tengah kalut.
“Penjelasanmu tidak berguna! Apa yang akan orang lain pikir saat melihat sepasang manusia asyik berciuman di depan kamar hotel, lalu tak lama kemudian keduanya masuk ke dalam. Dan baru keluar keesokan harinya. Sore hari! Menurutmu apa yang orang pikirkan dan apa yang terjadi di dalam sana? HAH!!” sembur Yusuf dengan wajah yang memerah sempurna.
Suara benda terjatuh menyela pertengkaran mereka, lalu menoleh ke arah pintu. Kini bergantian kedua orang di dalam ruangan itu yang terkejut melihat siapa yang tengah menonton pertengkaran mereka.
Eleanor dengan wajah tak percaya berjalan mendekati keduanya, lalu memungut sesuatu yang tadi papanya Nathaniel lemparkan. Airmatanya menetes saat melihat bahwa itu adalah foto sepasang manusia yang tengah dibicarakan oleh kedua pria itu, tangannya meremas kuat hingga fotonya tak berbentuk. Meskipun pandangannya mengabur karena genangan airmata, tapi ia mampu melihat dengan jelas pose dalam setiap foto yang bertebaran diantara kakinya.
“El … Sayang, ini tidak seperti yang kamu pikirkan,” bujuk Nathaniel saat melihat bahu gadis itu bergetar terisak, tangannya hendak menyentuh bahu itu tapi ditepis kuat oleh Eleanor.
“Maafkan, Papa, El,” ucap Yusuf Akbar pelan lalu menarik gadis itu ke dalam pelukannya. Tak lama isakan keras terdengar dari bibir gadis itu, tangis penuh kepiluan. Karena pengkhianatan.
Nathaniel mencoba mendekati Eleanor untuk menenangkan dan menjelaskan semuanya, tapi tangan Yusuf Akbar terulur menahannya. “Jangan coba mendekatinya lagi, Nathan. Jangan kau tambah sakiti dia, tenangkan saja wanitamu itu. Biar Papa mengantar Eleanor pulang.”
Rebecca menunduk saat Yusuf Akbar menatap tajam dan sinis ke arahnya, airmatanya menetes menerima tatapan meremehkan dari orangtua pria yang dicintainya.
“Beri waktu untuk kami bicara bertiga, Pa,” ucap Eleanor kepada Yusuf.
“Tapi, Papa-“
“’Percaya sama El, Pa. Akan kami selesaikan semua secara baik-baik,” lirih Eleanor lagi.
Yusuf Akbar dengan berat melepaskan pelukannya, dia mencium kening Eleanor lama.”Maafkan Papa dan Mama, El.”
Eleanor hanya bergeming di tempatnya walaupun Yusuf Akbar kini telah meninggalkanya bersama Nathaniel juga Rebecca. Ia mencoba menenangkan gemuruh amarah yang bersarang di dalam dada, mendinginkan panas dalam isi kepalanya, menyumbat sementara luka berdarah di hatinya.
“Aku sudah meminta kalian untuk menahan diri sampai sandiwara ini berakhir.” Perkataan Eleanor memecah keheningan diantara mereka bertiga yang berdiri saling berjauhan.
“Aku sudah mengorbankan hati dan hidupku selama setahun ini demi kalian, dan yang kuminta hanyalah agar kalian bersabar, tidak melakukan apapun di belakangku. Tidak mengkhianatiku. Kepercayaanku. Dan tidak mempermalukan keluargaku.”
Eleanor menoleh ke arah Rebecca yang menunduk sambil terisak, tak mampu memandanginya. Kemudian beralih ke pria di hadapannya yang menatap dengan tatapan sama. Hancur, terluka, dan kecewa.
“Kurang apalagi kalian memanfaatkan aku. Menghancurkan hati dan hidupku. Kalian tidak tau kesakitan apa yang kualami selama sandiwara ini berlangsung, tapi aku menguatkan diri sampai hari itu tiba. Hari dimana Rebecca kembali dan aku mengembalikan semua seperti semula. Tingal sedikiiiit lagi ….”
Eleanor tak mampu menyelesaikan perkataanya, suaranya tercekat, napas gadis itu memendek dan buliran itu pun kembali mengalir. Ia kembali terisak sambil berkata lirih, “Harusnya semua ini bisa berakhir dengan baik-baik seperti yang kita rencanakan. “ Eleanor menarik napas, meredakan isakannya. “Sekarang kamu sudah kembali, Kak Becca. Dan harusnya aku tinggal menyerahkan kembali Nathaniel kepadamu.”
“Apa yang kamu katakan, El? Aku bukan barang yang bisa kamu oper begitu saja. Aku mencintaimu, El. Sudah berulangkali kukatakan kepadamu, kenapa kamu tidak pernah mau mempercayaiku?” tanya Nathaniel frustrasi.
Tubuh Rebecca limbung mendengar perkataan Nathaniel, apa yang dia takutkan, dan ia perkirakan ternyata benar adanya. Prasangka yang mengganggu tidur dan pekerjaanya, sampai dia berani meninggalkan impiannya demi pria yang ia cintai. Demi memusnahkan prasangka yang terpelihara di kepalanya. Namun kini, ia menemukan jawabannya.
“Kamu tidak mencintaiku, Kak. Kamu tidak serius mencintaiku. Aku hanya pengalihan sesaat karena tidak ada Rebecca di sampingmu. Buktinya saat kalian bertemu, rasa itu kembali kan?” balas Eleanor.
Nathaniel maju, memegang kedua pipi Eleanor lalu mencium bibir merah itu dengan kasar dan cepat. Melampiaskan rasa kecewa hatinya. Rebecca membelalak dan memekik melihat pria yang dicintainya mencium wanita lain di depan matanya. Sementara Eleanor hanya terdiam, mengatupkan bibirnya walaupun bibir Nathaniel terus bergerak kasar dan … putus asa.
Saat amarahnya mengendur, Nathaniel melepaskan bibir itu dan menempelkan keningnya dengan kening Eleanor.
“Begitulah cara aku mencium dan memberi hukuman pada wanita yang aku cintai. Aku tidak membalas ciumannya, El. Percayalah” lirih Nathaniel tepat di atas bibir Eleanor.
Setetes airmata kembali terjatuh di sudut matanya, hati ingin percaya tapi isi kepalanya kini telah merekam skandal yang kemungkinan telah menyebar.
“Kau tidak mungkin mengkhianatiku, Nathan. Kamu tidak mencintainya, kamu hanya bingung karena aku tidak ada di dekatmu. Iya kan?” tanya Rebecca yang masih syok atas kenyataan yang ia lihat dan juga ia dengar. “Kamu tidak akan merebutnya dariku kan, El?”
Eleanor terhenyak atas pertanyaan kakak sepupunya itu, ia mendorong tubuh Nathaniel menjauh.
“Jika aku ingin merebut Nathan darimu, untuk apa aku memberikan jalan itu. Aku memberitahu semua informasi dan jadwal mengenai Nathan selama di Paris, tak lain agar kekhawatiranmu itu menghilang, Kak. Memberikanmu celah untuk memperbaiki hubungan kalian. Tapi apa yang kamu lakukan ini tidak pernah terpikirkan olehku,” geram Eleanor sambil melemparkan foto yang sedari tadi berada dalam genggamannya. “Bukankah selalu kukatakan kepadamu untuk menjaga nama keluargaku?!”
“Jadi, Rebecca mengetahui keberadaanku di sana itu dari kamu? Kamu yang merencanakan ini semua? Kenapa, El?” Pertanyaan Nathaniel menambah koyakan luka di hati keduanya. “Bukankah kamu mengakui bahwa kamu mencintaiku? Jadi, semua itu bohong? Hahh … pantas saja kalian dengan mudah bertransaksi dengan hatiku,” sinis Nathaniel.
Rebecca kembali terkejut dengan kenyataan lain yang ia dengar, bahwa sepupu cantiknya itu mencintai Nathaniel. Kekasih hatinya. Seketika berbagai pertanyaan berkumpul di kepalanya.
“Sejak kapan, El,?” tanya Rebecca.
“Tidak penting dengan apa yang aku rasakan. Sejak awal aku sudah berjanji untuk membantu kalian bersatu, dan aku tidak pernah mengingkarinya!” pekik Eleanor.
Gadis itu melangkah keluar ruangan, meninggalkan Rebecca yang masih syok dengan masalah yang ia timbulkan, juga Nathaniel yang sedang diselimuti amarah, kekecewaan mendalam atas pengakuan gadis yang ia cintai.
.
Eleanor terus melangkah keluar dari hotel,menunduk sepanjang jalan mencoba menghindari tatapan orang lain sebelum menyadari bahwa ia masih menangis. Ia memasuki taksi yang baru saja ditinggalkan oleh penumpangnya.
.
Sang supir taksi tak berani menanyakan tujuan mereka saat mendengar tangisan pilu langsung keluar dari penumpang cantiknya itu, sesaat setelah gadis itu menutup pintu. Tangannya terulur memberikan tisu kepada Eleanor, lalu supir tua itu melajukan kendaraanya pelan, berputar-putar di jalanan sambil menunggu penumpangnya lebih tenang. Bukan sekali dia mendapatkan penumpang seperti ini, dan biasanya ia akan berjalan pelan atau menepi terlebih dahulu. Dan akhirnya ia berani bertanya setelah satu jam penumpangnya menangis, yang kini hanya terisak pelan.
“Kita akan pergi kemana, Nona?” tanyanya.
Eleanor tidak bisa menjawab pertanyaan itu, tak mungkin ia akan pulang dengan keadaan seperti ini, dan membiarkan keluarganya tahu mengenai skandal itu. Namun, ia pun ragu untuk datang ke asrama. Ia tak siap bertemu dengan keluarganya terutama dengan Rebecca, yang pasti mencarinya.
Wajah Eleanor berubah panik saat menyadari bahwa ia tidak membawa clutch-nya, tak ada uang dan tak ada ponsel di tangannya. Ia melupakan tas tangannya yang tertinggal di ruangan itu.
“Bisakah saya meminjam ponselnya, Pak? Saya akan menyuruh seseorang untuk menjemput saya di sini. Di mana kita, Pak?” tanya Eleanor.
Pria tua itu menyebutkan nama sebuah jalan sambil memberikan ponselnya kepada Eleanor. Tangan lentik yang masih gemetaran itu menekan setiap tombol nomor yang ia ingat di luar kepala, menunggu panggilannya tersambung. Tak lama kemudian senyuman tampak di wajah sembabnya saat mengembalikan ponsel milik si supir taksi.
“Terima kasih ya, Pak. Saya bayar dengan ini aja ya, dompet saya ketinggalan,” ucap Eleanor sambil melepaskan sebuah cincin yang selalu bertengger manis di jarinya sejak setaun lalu. Cincin pertunangan sandiwaranya bersama Nathaniel.
“Duuh, ini kayaknya mahal banget, Non. Gak berani ambil saya,” tolak supir tua itu.
“Gak apa-apa, Pak. Saya memang ingin membuang cincin itu. Buang sial, Pak,” balas Eleanor sambil tersenyum. “Daripada dibuang mendingan diambil aja, Pak.”
Dengan ragu, supir tua menerima pemberian Eleanor dan memasukkan ke sakunya. Tak hentinya ia berterimakasih kepada Eleanor, mengingat perhiasan itu bukanlah sembarangan. Eleanor hanya tersenyum, lalu mengobrol sejenak sambil menunggu seseorang menjemputnya.
“El!”
Pintu taksi terbuka dan menampilkan wajah seorang pria dengan raut wajah khawatir setengah mati, Eleanor tersenyum tapi sudut matanya kembali berair. Ia keluar dari taksi dan menghambur ke pelukan Putra, kembali terisak saat hangat tubuh sahabat sekaligus kakaknya itu kini mendekap tubuhnya. Hal yang paling ia butuhkan sedari tadi, pelukan, dukungan, dan bahu untuk bersandar.
“Sedikiit lagi padahal, Put. Harusnya semua ini bisa berakhir dengan indah dan baik-baik saja,” lirih Eleanor sambil terisak.
Putra mendekap erat tubuh mungil Eleanor, hatinya diliputi kecemasan luar biasa saat Yaya dan Syah mengabarkan bahwa gadis yang tengah berada dalam pelukannya itu menghilang di tengah pesta. Tanpa membawa tas tangannya yang berisi uang juga ponsel, membuat maminya khawatir lalu menelpon ke asrama, mengira Eleanor di sana.
“Semuanya akan baik-baik saja, El. Ada aku di sini,” ucap Putra menenangkan sambil mengecup puncak kepala sahabatnya itu. “Aku meminjam motor penjaga asrama untuk mencarimu, El. Syukurlah kamu menghubungiku. Yaya terus menangis memintaku untuk mencari kamu. Dia tidak membolehkanku pulang tanpa membawamu, El.”
Eleanor tertawa pelan mendengar perkataan Putra, “Selalu saja dia mengancamu, Put. Heran deh,” balasnya.
“Abis gimana lagi, cinta sih,” jawab Putra. Ia membuka jaketnya dan mengenakan ke tubuh mungil Eleanor yang masih berbalut gaun pesta itu. Memakaikan helm yang ia bawa ke kepala Eleanor.
“Aku tidak siap pulang ke asrama. A-aku ….”
“Sssst … Jika kamu tidak ingin bertemu mereka, maka mereka pun tidak bisa menemuimu, El.”
Putra mengerti suasana hati sahabat, yang sudah ia anggap seperti adiknya itu, seperti apa. Eleanor butuh sendiri, butuh menenangkan pikiran, dan memperbaiki masalahnya. Dan ia berjanji untuk menjaganya dari gangguan apapun itu, termasuk dari orang yang sudah pasti menjadi sumber masalah kali ini. ia yakin Nathaniel ada di balik ini semua.
Eleanor memeluk pinggang Putra saat motor itu mulai melaju, ia melambaikan tangan pada supir tua baik hati yang menemaninya sedari tadi.
“ASTAGA!!”
Supir tua itu menjerit kuat saat tak lama kemudian mendengar suara benturan keras di ujung jalan, dan melihat gadis cantik yang tadi ia temani kini terkapar di tengah jalan. Begitupun dengan pria yang menjemputnya. Tangan tua itu gemetaran menekan tombol ponselnya mencari pertolongan, berharap secepatnya bisa menolong gadis cantik itu.
tbc.
Halooo, long time no see.
Ada yang nyesel gak aku update tapi dikasih part beginian? hihihihi.
Sebulan lebih gak update, sampe lupa gimana alurnya. feel-nya kurang maksimal ini. maafkan yaa.
Kapan aku update lagi? Belum tahu. Beneran sibuk di warung belum lagi kerjaan sampingan di salah satu penerbitan. Tapi aku janji buat namatin ini. Bocoran, sad ending sepertinya.
Kabuurrr😁😁
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top