Bab 26_ Paris, am i in love? (part 2)
Nathaniel duduk bersandar pada kepala ranjang, mendesah lega karena akhirnya tubuhnya mendapatkan sesuatu yang diinginkannya semenjak tadi.
Dia hanya sempat berbincang tak lebih dari 30 menit dengan Rebecca. Perbincangan ringan mengenai karir yang sedang mereka tekuni. Tak lama kemudian, Ardi menghubungi meminta dia agar secepatnya kembali ke hotel, karena ada beberapa kolega penting yang ingin bertemu dengannya. Belum sempat dia membersihkan diri dan berganti pakaian layak, teman-teman seprofesinya yang sudah menunggu di lobi hotel mengajaknya minum kopi sambil mengobrol santai di lounge. Jadilah pria itu terjebak selama beberapa jam kemudian, sampai akhirnya ia pamit untuk beristirahat terlebih dahulu dengan alasan masih jetlag.
Kini di tangannya terdapat ponsel pintar yang tengah ia genggam sambil menggulirkan layar dengan jarinya. Membaca pesan-pesan dari seseorang yang sudah ia rindukan sejak menjejakkan kaki di kota ini. Terlihat wajah pria itu yang tersenyum senang dan mata antusias, membaca setiap kalimat yang dikirimkan kepadanya.
(Akhirnyaa … bodyguard tampanku pergi. I’m free!!)
(Di SMU Pelita Harapan banyak cogan, Kak. Hehehe )
(El mau bobok. Abis bakar jagung sama temen-temen asrama.)
“Gadis nakal itu hanya tiga kali mengirimkan pesan dalam dua hari ini. Ciih! Mana janji yang katanya mau ngabarin 3x sehari,” gerutu Nathaniel.
Seketika tangannya langsung menekan ikon video yang ada di sudut kanan ruang chat, mendengarkan nada sambung yang belum diangkat oleh pemiliknya. Nathaniel melihat ke arah jam dinding yang berada di tepat di hadapannya. Jika saat ini tengah malam di Paris, kemungkinan di Jakarta sana waktu sudah pagi.
'Pasti gadis itu sedang bersiap ke sekolah,’ pikir Nathaniel.
Ia tersenyum membayangkan dirinya sedang berada duduk di ruang makan keluarga Kournikov, menunggu Eleanor turun dari tangga rumah, lalu melihat wajah segar dan cantik gadis itu untuk pertama kali di setiap harinya. Jika sedang tergesa-gesa, sering pula gadis itu muncul dengan wajah tergesa-gesa dan panik. Langsung menyambar bekal makanan untuk di makan di perjalanan dan juga menarik tangannya agar cepat menjalankan mobilnya.
Pria itu benar-benar merindukan tunangannya, sampai tak menyadari bahwa panggilan videonya telah tersambung.
“KAKKK IELL !” teriak suara seorang wanita dari seberang sana, terlihat wajah ketus terpampang di layar ponsel.
Nathaniel tersadar dari lamunannya, lalu tertawa terkekeh mendengar teriakan ketus khas seorang Eleanor ditambah wajah gadis itu yang menahan kesal.
“Ishh … malah senyum-senyum gak jelas lagi. Cepetan dong, bentar lagi bel bunyi.”
“Loh kamu lagi di mana memangnya?” tanya Nathaniel saat tidak mengenali ruangan di belakang Eleanor.
“Lagi di toilet sekolah. Tadi malam El nginap di asrama, udah dibangunin tapi El tidur lagi sampe kebablasan hehehe,” celoteh gadis itu riang.
“Tumben Kakek kasih kamu ijin nginap, El?”
“El lupa ngabarin klo Kakek pergi sama Mami ke Singapur. Mas Oky masuk rumah sakit, tipes.”
“Oh ya? Gimana keadaanya?”
“Baru masuk RS dua hari yang lalu, katanya sih udah mendingan.”
“Kok kamu nggak ngabarin sih, EL? Malah kasih kabar gak jelas tentang cowok-cowok jelek itu.”
Eleanor tertawa mendengar perkataan Nathaniel yang terselip nada tidak suka di dalamnya. “Kamu juga gak ketularan tipes aku, El? Padahal aku udah ngebayangin gantian ngerawat kamu yang sakit loh.”
“Ishhh … jahat banget ngedoain El sakit,” gerutu Eleanor.
Gadis itu terlihat melepaskan ponsel dan meletakkannya bersandar pada suatu tempat, lalu mencari sesuatu dalam tasnya. Ternyata yang diambilnya adalah benda yang kemudian membuat Nathaniel meneguk ludah sendiri, melihat gerakan lihai tangan lentik Eleanor memoleskan lipbalm ke bibirnya yang merah muda pucat. Kemudian bibir atas dan bawah gadis itu saling menempel, melekatkan lipbalm agar lebih merata. Nathaniel menyadari bahwa gadis itu sedikit berdandan dari biasanya.
“Kamu dandan ya, El? Mau sekolah atau mau apa?” tanya Nathaniel dengan nada meninggi.
“El sama Putra dan temen-temen basket lainnya diajak Pak Robby ke acara penutupan turnamen basket. Kan kita jadi juaranya, jadi bedandan dikit tak apalah ya, Kak,” jelas Eleanor.
Wajah Nathaniel langsung berkerut tidak suka, ia hanya mendengkus sambil berkata, “tapi kan gak perlu dandan juga, El. Seperti biasa aja. Baby cream sama bedak tabur.”
Eleanor memutar bola matanya jengah, pria yang menjadi tunangannya itu terlalu hapal apa yang dipakai di tubuhnya.
“Ishh … acara special loh ini. Tenang aja, walaupun banyak cogan di sana tapi El inget kok klo udah punya tunangan. Palingan tepe-tepe doang.”
“Apa itu tepe-tepe?”
“Tebar pesona.”
“Ckkck … kamu ini bener-bener kesenengan klo aku jauh ya. Padahal aku di sini udah kangen berat sama kamu, El,” gerutu Nathaniel dengan wajah memelas. “Aku pengen cepet pulang kalo kamu kayak gini terus, El. Gak tenang ninggalin kamu sendirian di sana. Bisa-bisa di gaet cowok lain kamu,” tambahnya.
“Jangan!” pekik Eleanor. “El janji gak akan macem-macem kok. Yang tenang kerjanya di sana ya, Kak Iel tampan,” bujuknya lagi.
“Tapi kamu harus tepati janji. Jangan membuatku khawatir, El,” pinta Nathaniel.
“Iya, Kak. El janji! Selesaikan urusan Kakak di sana. Semuanya,” jawab Eleanor penuh keyakinan.
Nathaniel merasakan matanya yang mulai memberat. “Aku tidur dulu ya, El. Ingat … jangan kecentilan,” ucapnya sambil menguap panjang.
“Iyaaaa,” jawab Eleanor.
“I Love you, Princess eh Gadis Nakal,” ucap Nathaniel yang kemudian dihadiahi wajah merajuk wanita yang di cintainya.
Eleanor tidak membalas apa-apa perkataan pria itu, dia hanya tersenyum lalu memberikan kecupan jauh disertai ucapan selamat malam untuk Nathaniel yang terlihat sangat lelah dan mengantuk.
***
Pagi itu, Nathaniel terkejut saat seorang wanita duduk di hadapannya. Dia membawa gelas berisi susu dan sereal yang menjadi menu sarapannya. Seketika ia menyesali penolakannya atas ajakan sarapan bersama dengan Ardi satu jam yang lalu.
“Lohh, kamu nginap di sini juga, Becca?” tanya Nathaniel dengan ekspresi wajah terkejut yang tidak dapat disembunyikannya.
“Iya, aku menginap di sini. Aku juga kaget pas liat kamu masuk di pintu restoran tadi. Kita memang berjodoh ya, Nath,” balas Rebecca.
Yang hanya dihadiahi Nathaniel senyuman sambil mempersilahkan wanita di hadapannya untuk melanjutkan sarapan mereka kembali.
Pria itu terlalu syok dengan kebetulan-kebetulan yang mempertemukan dirinya dengan ‘mantan’ kekasihnya itu. Tak menyangka akan bertemu lagi dengan Rebecca secepat ini, dengan keadaan hati yang sangat jauh berbeda dibandingkan pertemuan terakhir mereka. Melihat wanita itu juga membuatnya teringat kembali akan komitmen yang telah ia pilih untuk mempersunting Eleanor, dan kini ia sedang bingung memikirkan dan menyusun kata yang tepat untuk menyampaikan perasaannya. Walaupun sebenarnya ia lebih ingin membicarakan hal itu nanti di saat ia tidak mempunyai beban pekerjaan menanti seperti saat ini.
Nathaniel tak sadar menghela napasnya di depan Rebecca. Ia masih berpikir kenapa dari puluhan hotel berkelas di sekitaran Champ Elysees Avenue, bagaimana bisa dia satu hotel dengan Rebecca? Apalagi hotel ini mungkin bukan hotel yang tepat untuk ditempati oleh karyawan fashion biasa seperti teman-teman Rebecca lainnya yang ia lihat di bandara.
“Kamu menginap bersama teman-teman kamu yang kemarin?” tanya Nathaniel.
“Tidak. Beberapa dari mereka ada yang menginap di studio yang ada di butik cabang kami, dan juga ada yang menginap di sekitaran tempat perhelatan itu.”
“Oohh … Lalu kenapa kamu tidak bergabung dengan rekan se-tim lainnya?”
“Kenapa? Apakah kamu terlalu terkejut atau tidak suka bertemu denganku di sini?” tanya Rebeecca kembali.
“Bukan … bukan itu maksudku!” elak Nathaniel, ia tidak enak hati wanita di hadapannya dapat meraba pikirannya dengan tepat.
“Hahaha … tenang saja, Tuan Nathaniel Adlian Akbar Yang Terhormat. Aku bukan penguntit. Aku hanya ingin menikmati kemewahan dan keindahan Paris dari hotel ini. Paris Marriot tentu pilihan yang tepat, bukan?”
Nathaniel hanya mengangguk menandakan persetujuannya atas pendapat Rebecca, ia tidak mampu mengatakan keganjilan lain yang ia rasakan.
“Selamat pagi, Mr. Akbar.”
Sebuah suara menghentikan kecanggungan antara mereka berdua, beberapa pria yang tampak lebih tua menghampiri mejanya dan berhenti untuk menyapa. Nathaniel langsung berdiri untuk menghormati teman-teman sprofesinya itu.
“Oh … Good Morning Mr. Pierre, Mr. Ronald, and Mr. Wijaya,” balasnya tak kalah ramah.
“Kami tadi menunggu untuk sarapan bersama, tapi asisten Anda mengatakan bahwa Anda akan terlambat untuk sarapan karena masih kelelahan. Are you feeling better?”
“Pardon, Me. Maafkan jika tindakan saya menyinggung Anda. Dan ya, saya sudah lebih baik sekarang.”
“Glad to hear that.”
Melihat rekan seprofesinya itu melirik Rebecca, mau tak mau ia pun mengenalkannya untuk menghindari kesalahpahaman.
“Here is, Ann Rebecca Kournikova. Sepupu tunangan saya, yang sedang ada pekerjaan di kota ini juga.”
Rebecca tersenyum dan mengenalkan diri pada semua teman-teman Nathaniel yang di balas tatapan terpesona para pria tua itu.
“What a beautiful,” puji salah satu pria itu.
“Klan Kournikov memang tidak diragukan lagi kesohorannya baik dari bisnis bahkan keturunannya.”
“Baiklah. Silahkan lanjutkan sarapannya. Pertemuan kita dengan para investor mungkin sekitar satu jam lagi.”
Nathaniel mengangguk dan kemudian duduk kembali saat ketiga orang itu berlalu dari hadapannya.
“Suatu saat kamu akan mengenalkanku berbeda seperti saat ini kan, Nath?” ucap Rebecca tiba-tiba.
“Maksud kamu?” Nathaniel tidak mengerti dengan pertanyaan yang dilontarkan Rebecca, apalagi saat tangan wanita itu berada di atas punggung tangannya.
“Aku menunggu suatu hari kamu mengenalkanku sebagai milikmu, yours. Not somebody, bukan seseorang yang hanya kamu kenal saja.”
Nathaniel semakin syok mendengar pernyataan wanita di depannya, tak siap dengan apa yang kini di hadapinya. Tekadnya untuk menjelaskan dan menyatakan perasaan yang sebenarnya kepada Rebecca seketika menciut melihat binar penuh harap di mata wanita itu. Tatapan penuh cinta orang yang pernah menjadi kekasihnya selama bertahun-tahun itu masih tetap sama, penuh ketulusan dan rasa sayang yang tercurah hanya untuknya.
“Kita harus berhati-hati, Becca. Rekan-rekanku di sini kebanyakan mengenal keluargaku dan juga keluargamu, kita harus menjaga jarak,” ucap Nathaniel sambil menarik tangannya dari genggaman tangan Rebecca. Ia dapat melihat raut kecewa dari wajah di depannya, dan mendengar helaan napas Rebecca.
“I knew it. Tapi aku tidak bisa membohongi hatiku kalau aku benar-benar sangat bahagia melihatmu nyata berada di depanku. Bukan hanya memandangi lewat layar ponsel,” lirihnya sedih. Namun, kemudian wajah itu berubah cepat menjadi berbinar.”Aku bahkan sekarang ingin sekali memelukmu, Nath. Meyakinkanku kalau kamu memang nyata di sini bersamaku, di kota romantis ini. Kita akan mencari cara agar dapat bertemu lagi di sela kesibukan kita. Bagaimana? Kamu setuju?”
Nathaniel rasanya tak sanggup melihat kekecewaan lainnya di wajah Rebecca, dan ia pun hanya menganggukkan kepala.
Sungguh tak mudah mengatakan kebenaran, apalagi jika menyangkut orang yang terdekat dan menjadi bagian hidup kita selama ini. Inginnya hanya menyembunyikan kebenaran itu, karena tak sanggup melihat reaksi yang ditimbulkan akan kejujuran yang disampaikan. Begitulah yang Nathaniel rasakan sekarang.
Selama seminggu urusannya di Paris, sedapat mungkin ia menghindar dan menyibukkan diri bersama kolega-koleganya. Tak membiarkan dirinya beristirahat dan memiliki waktu luang, tak lain hanya untuk menyakinkan Rebecca bahwa ia memang benar-benar sibuk. Ia menyadari bahwa tindakannya ini memang pengecut, tapi pekerjaannya dan juga pekerjaan Rebecca menjadi prioritasnya saat ini. Ia yakin jika mengatakan kebenarannya sekarang, wanita itu pasti akan mengalami masalah ke depannya. Watak ‘mantan’ kekasihnya itu sudah sangat ia hapal, dia tidak akan berkonsentrasi bekerja dan berpikir jernih jika ada sesuatu mengganggu pikirannya.
Sedapat mungkin ia sarapan di kamar hotelnya, tidak turun ke restoran agar tidak bertemu dengan Rebecca. Jika wanita itu menghubungi dan bertanya, ia hanya menjawab bangun kesiangan karena kelelahan. Minum-minum ataupun hang out bersama-sama koleganya ke hiburan malam pun ia lakoni demi menghindar dari wanita itu. Sampai-sampai tubuhnya sendiri mulai merasakan lelah karena aksi menghindar yang ia lakukan. Namun, semua itu berakhir saat Rebecca memohon untuk bertemu di malam terakhir keberadaan Nathaniel di Paris.
Rebecca memintanya makan malam bersama sebelum dirinya bertolak kembali ke Jakarta, yang mau tak mau di iyakan oleh Nathaniel.
Setelah makan malam, mereka menikmati pemandangan Menara Eifel malam hari dan berjalan di pinggiran Sungai Seine. Rebecca tak malu menggenggam tangan Nathaniel lebih dulu, ia bertindak lebih agresif dari biasanya dibandingkan Nathaniel yang lebih banyak diam mendengarkan semua cerita yang keluar dari bibir wanita itu.
“Aku tidak memperpanjang kontrak magangku, Nath,” ucap Rebecca tiba-tiba.”Aku akan pulang ke Jakarta beberapa bulan lagi.”
Nathaniel menghentikan langkahnya, dan matanya yang sejak tadi memandangi pemandangan Sungai Seine yang indah di malam hari kini mentap wanita yang berada di sampingnya.
“Benarkah?”
“Ya. Bahkan aku yang meminta kepada kepala desainer agar mengikutkanku pada acara Paris Summer Fashion Week ini. Aku memohon supaya bisa diikutkan ke acara bergengsi ini sebagai proyek terakhir yang kuikuti.”
“Kenapa kamu mengakhiri kontraknya lebih cepat?” tanya Nathaniel heran.
“Karena kamu, Nath.”
“Aku?” Mata Nathaniel membelalak kaget, terlebih saat alasan lainnya yang dikemukakan Rebecca.
“Aku tidak mau larut dalam keegoisan mengejar impianku dan melepaskan kamu, Nathan. Aku ingin berada di sana, dekat denganmu di setiap pencapaian yang kamu lakukan. Aku ingin menjalankan tugasku sebagai kekasih yang sebenarnya, tugas yang selama ini diambil alih sepupuku. Aku takut semakin lama dan semakin jauh aku darimu, maka perasaan kamu akan semakin menjauh dariku.”
Seketika pasokan udara di sekitarnya terasa menipis dan menyesakkan dadanya, kepala yang sedari tadi berdenyut dan tubuh yang meronta ingin beristirahat mulai menampakkan taringnya. Isi kepalanya semakin rumit dan bercampur aduk, membuat rasa mual terasa di perutnya. Ia mengurut pangkal hidungnya pelan.
“Kamu lelah, Nathan? Tanganmu terasa hangat, cenderung panas menurutku,” ucap Rebecca khawatir. “Harusnya aku tidak memaksamu keluar malam ini setelah seharian bekerja, tapi aku tak sabar menyampaikan kabar ini kepada kamu.”
“Tidak apa-apa, Rebecca. Lagipula besok kita akan berpisah lagi, jadi aku tak menyalahkan kamu yang memang ingin bertemu denganku untuk terakhir kalinya,” balas Nathaniel berusaha menyembunyikan rasa tak nyaman menghinggapinya.
“Kita kembali saja ke hotel, ya. Aku takut kamu kembali sakit, tipes kamu bisa kambuh lagi nanti,” ucap Rebecca dengan nada penuh kekhawatiran.
Nathaniel hanya diam saat wanita itu menarik tangannya untuk pulang kembali ke hotel tempat mereka menginap.
Rasa lelah di jiwa dan raganya membuat dia tak bisa berpikir jernih, di kepalanya terus terngiang perkataan Rebecca, tentang isi hatinya yang menginginkan kembali kepadanya. Bahkan ia tak sadar bahwa mereka berdua telah sampai di hotel tepat berada di depan kamar Rebecca.
“Terimakasih atas makan malamnya dan menemaniku menghabiskan malam yang indah. Berjalan berdua di malam hari di bawah lampu menara Eifel dan menyusuri Sungai Seine bersama orang yang kucintai adalah impian yang sering aku bayangkan sedari dulu. Dan aku senang bisa mewujudkannya bersamamu, Nathan.”
Perkataan Rebecca menyadarkan pria itu dari lamunannya. Nathaniel tampak linglung tak mampu berkata apa-apa, ia memang sudah tak mampu berpikir lagi dan juga rasanya tak mampu menopang tubuhnya dengan segala beban yang menghimpit.
“Aku mencintaimu, Nathan. Tunggu aku kembali,” bisik Rebecca tepat di depan bibir Nathaniel dan langsung menyergap bibir itu dengan panas.
Hal yang wanita itu tahan sejak awal mereka bertemu di bandara. Kekecewaan menghampiri saat pria yang menjadi sasaranya itu tak membalas ciumannya, ia pun merangkulkan lengannya di leher pria itu dan menciumnya lebih dalam. Pintu kamar yang sudah ia buka kini di dorong dengan kakinya dan menarik tubuh pria itu masuk ke dalam bersamanya, lalu menutupnya.
***
Di belahan benua lain, seorang gadis menatap pesan yang masuk ke ponselnya semenjak beberapa hari lalu.
(Hari pertama di Paris kami bertemu di bandara dan mengobrol sebentar di coffee shop. Kini dia di hadapanku, El. Kami sedang sarapan bersama. Aku tak sabar menjalani hari-hari selanjutnya bersama dia. Thanks, El.)
Eleanor menatap nanar pesan pertama dan terakhir dari Rebecca. Memaksakan diri tersenyum karena sudah berhasil menepati janji.
TBC.
Halo ... long time no see. Sekalinya update kayaknya bikin misuh-misuh hati yak wkwkwkk.
Maafkan jadwal update yang kini terbengkalai karena urusan di dunia nyata. yang berteman dengan saya pasti tau sebabnya, dan saya sempatkan mencuri waktu sedikit untuk menulis bagian ini.
Saya pasti akan menamatkan cerita ini, jangan khawatir tapi jadwalnya kapan biarlah jadi kejutan. Terimakasih buat semua pembaca setia, kalian memang 'jodoh' Eleanor. Kalian TERBAIK!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top