Bab 20 Aneh
***Nathaniel mengerjapkan mata, menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Tidurnya terasa sangat nyenyak, walaupun nyeri masih terasa di sendi-sendi, tapi perasaanya terasa lebih baik dari sebelumnya. Hidungnya mengendus wangi segar familiar seseorang yang ia kenal dan juga ia rindukan, Nathaniel mendongakkan kepala dan melihat Eleanor tengah tertidur dengan tangan menyangga kepalanya.
Nathaniel tersenyum memandangi gadis di hadapannya, entah sejak kapan ia begitu menyukai melihat wajah tertidur Eleanor. Sepertinya ia akan betah memandangi wajah polos itu, menungguinya sampai Eleanor terbangun. Dulu saat masih kuliah di State, hampir setiap malam ia video call dengan Rebecca hanya untuk mengganggu tidur Eleanor, Nathaniel tersenyum mengingat masa-masa itu.
"Ayolah, Becca. Cepat pergi ke kamarnya El, liatin dia tidur dulu sebentar," rajuknya kala itu kepada Rebecca.
"Aku ngantuk, Nathan," ucap Becca sambil menguap menahan kantuk.
"Lima menit aja, pleaseee," mohon Nathaniel lagi, "Manatau dia ileran lagi kayak kemaren, biar bisa di rekam," tambahnya sambil terkekeh.
"Lagian lucu kan liat muka bantalnya gemesin kalo pas digangguin kita," tambah Nathaniel yang dibalas anggukan dan tawa Rebecca karena mengingat wajah kesal merajuk sepupunya itu.
Rebecca pun beranjak dari tempat tidur menuju kamar Eleanor berada, tepat di sebelah kamarnya, membuka pintu perlahan dan berjalan mendekati sepupunya yang tengah tertidur. Di sana Eleanor tampak tertidur dengan damai, tidak ada bunyi dengkuran halus ataupun bibirnya yang terbuka seperti biasa. Dia tertidur sangat cantik, wajahnya tersenyum seolah bermimpi indah juga menyenangkan, rambut pirang kecoklatan yang tergerai alami di bantal putihnya. Dari sanalah Nathaniel seperti melihat sosok lain Eleanor, dia sangat sangat cantik pada saat itu dan terpesona pada sang putri tidur. Tanpa Rebecca sadari, video call mereka saat mengganggu tidur Eleanor akan ia rekam dan simpan di ponsel atau laptopnya. Semuanya masih tersimpan rapi di sebuah file rahasia.
Nathaniel tersenyum mengingat masa-masa itu, kadang ia berkhayal bisa melihat wajah polos itu di sisinya saat pertama kali ia terbangun. Kini khayalannya menjadi nyata, gadis itu tengah tertidur lelap di sisinya, dan ia masih betah menatap lekat wajah Eleanor tanpa merasa bosan sama sekali. Ingin jemarinya menyentuh dan menghafal setiap lekuk wajah itu tapi ia urung lakukan karena tidak mau gadis itu terbangun dan membuatnya kehilangan pemandangan indah.
Sebulan jauh dari Eleanor, ia mendapati hatinya yang tersiksa dan gelisah karena ingin sekedar melihat wajahnya, menghirup wangi aroma tubuh gadis itu, mencium dan mengelus halusnya rambut itu. Ya, dia mengaku kalah.
Kalah oleh emosi yang selalu membara saat pria-pria tampan dekat dengan gadis kecilnya. Kalah oleh cemburu saat oranglain membuat dia tertawa bukan dirinya. Kalah oleh rasa penasaran yang menghampiri setiap hari, akan apa yang tengah dilakukan oleh gadis itu. Kalah oleh rasa bahagia yang ditularkan Eleanor tidak hanya untuk dirinya tapi juga orang-orang di sekitarnya. Kalah oleh rasa nyaman saat ia bisa memeluk tubuh mungil yang selalu pas berada dalam dekapannya, dan menghirup aroma khas yang mengalirkan rasa nyaman ke seluruh tubuhnya. Terakhir, kalah oleh rasa yang baru disadari bahwa ia ingin memiliki dia hanya untuk dirinya. Menjadikan Eleanor selalu di sisinya, tertawa dan tersenyum hanya untuk dirinya bukan untuk sementara tapi selamanya.
"Jika ini cinta, ya, aku mencintaimu Eleanor Kournikova," gumamnya.
Awalnya ia coba mengingkari, menjaga perasaan yang ingin membuncah keluar karena pengakuan Eleanor hanya karena ingin setia kepada Rebecca. Nyatanya, saat Rebecca tidak pernah absen menghubungi dan berbincang dengannya setiap malam tetap saja ada sesuatu yang kurang di sana. Ia telah berusaha menjaga jarak dengan Eleanor, menghindar dan menyibukkan diri untuk melupakannya, tapi hati tidak dapat di bohongi. Hatinya terus memanggil berharap Eleanor ada di hadapan lalu memeluk dan memberikan usapan menenangkan pada punggungnya, berbincang, dan mendengarkan keluh kesahnya lalu dihibur dengan kecerewetan juga kekonyolan gadis itu.
Ia akui ia menyukai Rebecca dengan kecantikan, kemandirian, dan kerja kerasnya, tapi ia lebih menyukai Eleanor yang bisa menjadi seseorang tempat berbagi resah juga lelah, selalu bisa menghibur hatinya, membuat harinya terasa lebih ceria juga bahagia jika bersamanya. its feel like home.
Entah kenapa saat bersama dengan gadis itu, sisi kekanakan dan manjanya ikut muncul, hanya ingin diperhatikan dan disayangi oleh dia seorang. Aahhh ... ia baru menyadari pengaruh gadis itu ternyata sangat besar dalam kehidupannya.
Nathaniel beranjak dari tidur lalu duduk bersandar pada kepala ranjang, mengganti tangan Eleanor yang menyangga kepala dengan mendekatkan kepala gadis itu bersandar kepadanya. Ia tak tahan untuk mengecup dan mengelus rambut halus yang jarang ia sentuh sebulan ini.
"Anak orang jangan diapa-apain, Nathan."Nathaniel menoleh saat Talita masuk ke kamarnya di ikuti salah satu ART membawakan nampan berisi makanan, Yusuf Akbar juga mengikuti di belakang. Pintu kamarnya memang terbuka lebar sejak ia terbangun tadi.
"Kayaknya kamu bisa cepat sembuh kalau di rawat sama Eleanor," ledek Yusuf kepada putranya.
"Ah, Papa kayak gak pernah muda aja," balas Nathaniel pelan, tidak mau membangunkan Eleanor.
"Masih pusing kepalanya?" tanya Talita sambil meletakkan thermometer di ketiak putranya, dan meraba dahinya.
"Masih, badan Nathan juga sakit semua. Perutnya gak enak,"
"Kamu sembelit ya? Udh brp hari?" tanya Talita, "Kamu ini kok ya kerja sampe gak merhatiin makanan yang masuk sih, Nak. Sampe tipes segala. Masalah di kantor cabang juga nggak berat-berat banget kata Papa, kok bisa bikin kamu stress sampe sakit sih?" lanjutnya lagi.
Nathaniel hanya diam dan menampakkan barisan giginya yang putih. Tak mungkin dia ceritakan bahwa masalah hati yang tengah dialaminya, menjadi sumber keresahan selama sebulan terakhir.
"Yang bikin stress itu bukan kerjaan, tapi calon menantu kesayangan yang lagi tidur itu, Ma," celetuk Yusuf Akbar.
"Oalahhh, kangen jadi ceritanya? Gara-gara ditinggal hampir sebulan?" ledek Talita lagi yang disambut tawa kekehan Yusuf, Talita, juga ART mereka yang tengah menaruh nampan makanan di meja.
"Nanti El lulus sekolah, kayaknya nanti anak kita langsung minta nikah deh, pa," ucap Talita lagi.
"Emang boleh, Mam, Pap?" tanya Nathaniel dengan nada tak percaya, suara kerasnya membangunkan gadis yang tengah berada dalam pelukannya.
"Bisa diaturlah itu. Bisa saja kalian menikah dulu, tunda punya anak sampai El selesai kuliah,"jawab Talita.
"Hoaaammm ... siapa yang punya anak, Ma?" tanya Eleanor dengan mata mengerjap-ngerjap, ia tidak menyadari bahwa ia tertidur di pelukan Nathaniel.
"Eh, mantu cantik Mama udah bangun," ucap Talita senang, "Iniloh Nathan katanya kalau kamu sudah lulus nanti, dia mau langsung nikahin kamu."
Eleanor melotot dan langsung menoleh ke arah Nathaniel yang hanya tersenyum dengan wajah polos. Ia mendaratkan punggung tangannya di kening pria itu yang ternyata masih agak panas walaupun tidak sepanas sebelumnya.
"Anak Mama ini kalau sakit beneran aneh ya? Super manja, tukang ngigau, dan ngomongnya aneh. Mendingan Mama gak usah dengerin ocehannya. Nanti kalo sudah sembuh, lupa dia sama apa yang di omongin," cerocos Eleanor.
Talita dan Yusuf tertawa melihat kekesalan Eleanor, mereka tidak tahu apa yang melatari gadis itu berkata demikian. Namun, itulah ungkapan hati sebenarnya gadis itu yang merasa Nathaniel terlalu banyak berkata manis malam ini, seolah bukan dia.
"El kok jahat sih? Tunangan sendiri dibilang aneh," keluh Nathaniel memasang wajah muram.
"Ishhh, plis deh mukanya biasa aja, Kak," elak Eleanor. "Gimana gak aneh, tadi siang jelas-jelas Kak Iel meluk El di ruang makan, eh pas di kamar nanya lagi 'kok kamu di sini'. Nahh, berarti Kakak itu aneh, antara sadar sama enggak."
"Emang tadi gitu ya? Aku rasa mimpi liat kamu ada di sini, El. Kangen," ucap Nathaniel polos.
Eleanor langsung terdiam dengan wajah dihiasi semburat kemerahan, tak mampu lagi membalas perkataan Nathaniel. Sementara Yusuf dan Talita tersenyum lalu berdeham, mengakhiri aksi saling tatap antara Eleanor dan Nathaniel.
"Sudah .. sudah ... Nathan, waktunya kamu minum obat. Makan dulu, Mama yang suapin," ucap Talita.
"Kenapa gak El aja yang nyuapin, Ma?" tanya Nathaniel.
"Aku mau mandi, panas," balas Eleanor cepat dengan kata yang memiliki arti ambigu di dalamnya.
"Itu baju ganti kamu ada di paperbag, El. Mami Mariana kirim supir ke sini mengantar baju buat kamu, mandi aja di kamar mandi Nathan. Bawa bajunya," titah Talita sambil menunjuk ke arah paperbag juga kamar mandi.
Eleanor mengangguk lalu bergegas masuk ke kamar mandi, tak lupa membawa serta baju gantinya. Ia berpikir untuk mendinginkan kepala sejenak dari 'godaan-godaan' Nathaniel yang sungguh mampu membuat pertahanannya melemah.
***Saat Eleanor keluar dari kamar mandi, Nathaniel sudah menyelesaikan makannya dan sedang meminum obat-obatan dibantu oleh Talita. Yusuf Akbar masih duduk di sofa sudut ruangan sambil mengganti-ganti chanel TV yang ada di kamar itu.
"Seger banget mantu Mama, Cantik," ucap Talita saat melihat Eleanor telah keluar dari kamar mandi dengan wajah lebih segar, rambutnya masih terikat tinggi-tinggi di atas kepala, ikat cepol. Kaus tangan panjang dan celana tidur longgar membuatnya tampak lebih santai. Nathaniel tak berhenti memperhatikan gadis itu sedangkan Eleanor menahan diri untuk tidak menoleh ke arah pria itu.
"Itu makanan kamu, El. Makanlah," perintah Talita, "Ada vitamin juga di situ yang diresepkan dokter buat kamu. Mama takut Nathan nularin kamu gara-gara ciuman tadi,"
"Mamaaa ...." Eleanor merengek meminta Talita memberhentikan perkataanya saat Yusuf Akbar menoleh dengan wajah terkejut.
"Yang bener, Ma?" tanya Yusuf Akbar, "Nanti kalau Eleanor sakit terus keluarganya tahu itu gara-gara kamu. Awas kamu ya," ancam Yusuf Akbar.
"Kangen ... Papa," balas Nathaniel manja.
Bruk.
Bantal sofa kecil dilempar oleh Yusuf pelan mengenai dada Nathaniel, "Bocah manja!" desisnya.
"Manja sama calon istri aja kok. Nanti kalau El sakit, Nathan tanggung jawab," balasnya sambil meringis saat menagkap bantal itu.
"Papa, ih. Anaknya lagi sakit di ajakin berantem," sela Talita,
"El, makan ya. Mama sama Papa tadi sudah makan duluan sebelum ke sini."
"Iya, Ma." Eleanor lalu mengambil piring yang telah diisi lauk pauk lalu duduk di sebelah Yusuf Akbar yang tadi menepuk tempat kosong di sebelahnya.
"El, sudah makannya?" tanya Nathaniel saat melihat Eleanor tengah membereskan peralatan makannya lalu menenggak dua pil ke dalam mulutnya.
"Aku ngantuk, temani aku," ucapnya lagi sambil menepuk bagian ranjang tempat yang tadi Eleanor duduki. Eleanor lalu memandangi Talita yang tersenyum tidak enak ke arahnya. Ia pun kembali naik ke ranjang mengambil posisi di sebelah Nathaniel yang langsung menyandarkan kepala di bahunya. Eleanor dapat merasakan suhu tubuh pria itu kembali tinggi, mungkin karena obatnya belum bereaksi.
"Sakit kepalanya?" tanya Eleanor lembut.
"Hmmm," gumam Nathaniel sambil memejamkan mata, merasakan kembali nyeri-nyeri di badannya yang belum berkurang, perut terasa begah, dan rasa berat di kepala.
"Tidurnya yang betul, berbaring aja, Kak. Jangan nyender, nanti pegel."Gumaman kembali dilontarkan Nathaniel, ia malah makin merapatkan tubuh ke Eleanor dan menggenggam tangan gadis itu.
Suara deringan ponsel bergema, Talita mengambil ponsel Nathaniel di atas nakas. "Kamu kasih tau Rebecca kalau Nathanie sakit ya?" tanya Talita.
"Eh ...." Belum sempat Eleanor menjawab, Talita sudah menggeser icon hijau dan menerima panggilan video dari Rebecca.
"Hai Sa-...."
Eleanor memejamkan mata saat Rebecca hampir saja menyebutkan 'sayang' pada Talita, suara loudspeaker ponsel Nathan dapat di dengar olehnya apalagi suara TV sudah dikecilkan oleh om Yusuf.
"Oh, Tante, maaf. Saya kira tadi Nathan,"
"Kamu diberitahu El ya kalau Nathan sakit?"
"E- eh ... itu ... i-iya, Tante."
Gugup yang dirasakan Rebecca saat menjawab pertanyaan itu, juga dirasakan oleh Eleanor, khawatir akan terbongkarnya rahasia mereka.
"Itu Nathan baru minum obat, minta tidur di temenin, El."
Mampusss!! maki Eleanor dalam hati. Kata-kata kasar dan gerutuan bergantian diucapkan dalam hatinya.
"Ti .. tidur bareng, Tante?!"
"Hahahha ... bukan seperti yang kamu pikirkan Becca. El cuma bantu Tante rawat Nathaniel saja, anak itu manja sekali kalau sakit, dia meminta Eleanor menemaninya," jelas Talita.
"Ooh ...."
"Nathan ... ini ada Becca nanyain kamu." Talita lalu mengarahkan kamera ke arah Nathaniel yang tengah bersandar pada bahu Eleanor. Gadis itu tampak tersenyum yang tentu saja dipaksakannya. "Kak, ada Becca tuh," bisik Eleanor.
Nathaniel membuka mata lalu mengambil ponsel yang di ulurkan oleh mamanya,
"Hai ..." ucapnya dengan suara serak dan berat.
"Kamu sakit apa? Diinfus ya?"tanya Rebecca.
Eleanor menggeser tubuhnya beranjak dari tempat tidur, hendak menyusul Talita dan membiarkan Nathaniel berbicara berdua dengan Rebecca. Enggan mendengar pembicaraan keduanya. Namun, belum sempat ia menjejakkan kaki ke lantai, tangan Nathaniel menarik dan menahan tangannya.
"Tetaplah bersamaku," bisik Nathaniel, sementara ponsel itu masih terhubung dengan kamera yang mengarah ke arah lain. Tangan pria itu menggenggam erat tangannya, tidak mengijinkan ia pergi. Eleanor kembali memejamkan mata kesal sekaligus sesak dalam hati, Nathaniel selalu membuatnya dalam posisi sulit.
"Kenapa jadi begini?"tbc.
El dengan baju kebesarannya heheh, cantik yaa
babang Nathan seneng banget sakit ada yg ngelonin wkwkwkk, bikin el tambah galau
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top