Bab 19 Baper
Sambil play mulmednya ya, enak loh lagunya.
***
Tubuh Eleanor menegang saat ada seseorang memeluknya dari belakang, ia sangat mengenali siapa orang itu dari aroma yang menguar terhirup olehnya. Ia tak mengira akan bertemu Nathaniel, ini bahkan masih jam kerja. Kebetulan hari ini sekolah diliburkan karena ada rapat yayasan, kakeknya tengah berada di sana dan iapun memilih datang pagi ini agar tidak bertemu dengan pria itu.
Refleks tubuh Eleanor berontak dari pelukan Nathaniel, mencoba membuka tangan-tangan besar yang tengah membelit perutnya.
“Jangan, El. Biarkan seperti ini sebentar saja,”ucap pria itu lirih.
Eleanor kembali membeku mendengar permintaan Nathaniel, tak tahu apa yang harus dilakukannya. Sudah sebulan lebih mereka tidak bertemu karena sepakat untuk saling menjaga jarak, tapi kenapa ini terjadi lagi. Eleanor merasakan panas menguar dari balik punggungnya juga pelukan pria itu yang semakin erat melingkupinya, ia dapat merasakan deru napas Nathaniel di lehernya.
“Aku tidak bisa, El,” lirih Nathaniel lagi.
Eleanor merasakan sesak karena pelukan pria itu yang semakin erat. Apa yang sebenarnya terjadi? pikirnya.
“Nathan, kok kamu sudah pulang?!” Talita terkejut melihat putranya sudah berada di rumah.
“Kak, lepas,” ucap Eleanor, “Sesak, Kak.”
Tubuh Eleanor kembali meronta mencoba melepaskan diri, tapi pelukan Nathaniel semakin erat.
“Nathan, sudah cukup pelukannya. Lepasin El, kasian tuh,” perintah Talita tapi pria itu tetap bergeming.
Talita lalu mendekati Nathaniel mencoba membantu Eleanor melepaskan diri, ia hanya tersenyum melihat tingkah putranya itu. Wajah terkejut tampak di matanya saat ia menyentuh tangan Nathaniel, iapun meletakkan punggung tangan di dahi putranya.
“Nathan, kamu sakit, Nak,” ucap Talita cemas.
“Kak Iel sakit, Ma?” ulang Eleanor
“Badannya panas, El” balas Talita, “Sayang, kita istirahat ke kamar yuk. Lepasin Eleanor dulu, Nak,” ucapnya lagi. Talita dan Eleanor mencoba membuka belitan tangan Nathaniel pada tubuh mungil Eleanor.
“Jangan pergi, El,” gumam Nathaniel.
“Nggak, Kak. El di sini, nggak akan kemana-mana,”ucap Eleanor meyakinkan.
“Dia kayaknya ngigau, El. Nathan kalau demam suka aneh, ngigau gak jelas,” bisik Talita.
Eleanor tertawa terkekeh diikuti oleh Talita, “ Mama ih, anaknya lagi sakit malah becanda,” ucap Eleanor lagi.
“Seriusan, El. Mama gak bohong, biasanya sih klo dia sakit Mama yang suka ngelonin tapi semenjak dia dewasa biasanya di elus-elus kepalanya nanti dia tidur tenang lagi,” jelas Talita
Eleanor menolehkan kepala ke arah Nathaniel yang bersembunyi di ceruk lehernya, hembusan napas pria itu terasa panas saat mengenai kulit sensitifnya. Tampaknya dia benar-benar sakit, pikir Eleanor. Tangan Eleanor mengelus rambut Nathaniel dengan sayang, mencoba membujuk untuk melepaskan dirinya.
“Kak Iel, kita ke kamar yuk. Istirahat,” bujuk Eleanor.
“Jangan pergi, El. Biarkan seperti ini,” balas Nathaniel kembali menelusupkan kepalanya di leher Eleanor, seolah mencari posisi nyaman untuk bersandar.
“Aku gak akan pergi, Kak,” bujuk Eleanor sambil kembali mengelus rambut pria itu, ia memberanikan diri mengecup ujung hidung Nathaniel yang begitu dekat dengan wajahnya.
Kecupan itu membuat kelopak mata Nathaniel kembali terbuka sebentar, ia tersenyum lalu berkata, “Aku pengen tidur, El. badan sama kepalaku sakit,” ucapnya sambil kembali memejamkan mata.
“El anterin ke kamar ya,” bujuk Elanor lagi sambil terus mengelus rambut Nathaniel. Berhasil. Nathaniel mengendurkan pelukannya, Eleanor pun dengan cepat menopang Nathaniel yang tampak limbung, begitupun dengan Talita yang menopang di sisi lain.
“Ke kamar bawah situ aja, El. Kita gak akan bisa naik ke atas bawa Nathan,” perintah Talita yang kemudian diangguki Eleanor.
Mereka pun membawa Nathaniel ke kamar tamu yang tidak jauh dari ruang makan, masih cukup nyaman dan besar untuk ditempati.
“Mama telpon dokter dulu ya, El. Sekalian suruh Bibi buatin bubur, kamu tolong bukakan pakaian Nathan ya.”
Belum sempat Eleanor menjawab, Talita sudah melesat pergi. Mau tak mau gadis itupun membantu melepas sepatu, kaos kaki, dan melonggarkan ikat pinggang yang masih dikenakan Nathaniel. Membuka jas juga dasi yang masih menggantung lalu membuka tiga kancing teratas juga kancing di pergelangan tangannya. Nathaniel sesekali merintih dan menggumam tidak jelas dalam tidurnya, Eleanor meletakkan punggung tangannya di dahi Nathaniel, wajahnya berubah khawatir saat merasakan bahwa pria itu demam tinggi, butiran keringat muncul di pelipis dan wajah yang kian memucat.
Talita tergopoh-gopoh masuk diikuti oleh pembantunya yang membawa air kompres, Eleanor pun langsung mengambil alih mengompres dahi Nathaniel. Talita membuka kemeja yang telah basah oleh keringat dan juga celana panjang Nathaniel, menyisakan kaos singlet putih dan celana boxer.
“Seka ketiak dan lehernya dengan waslap satu lagi,” perintah Talita yang diangguki Eleanor, “Mama mau nungguin dokternya dulu, katanya sebentar lagi dia datang kebetulan sedang berada di daerah sini.”
“Iya, Ma. Biar El yang jaga Kak Iel, Mama makan aja dulu.”
“Tiba-tiba nafsu makan Mama hilang, El.”
“Mama harus makan, biar kita bisa gantian jaga Kak Iel, ya,” bujuk Eleanor
“Baiklah. Tolong jaga anak Mama ya, El.” Akhirnya Talita mengalah dan menyerahkan Nathaniel kepada calon menantunya itu.
Eleanor meletakkan kain waslap di kening Nathaniel lalu kembali mengusap area ketiak dan leher Nathaniel. Ia menatap pria itu yang tengah tertidur tapi tampak gelisah, sebulan tidak bertemu ia melihat wajah Nathaniel yang sedikit tirus membuat struktur wajahnya makin terlihat tajam, cekungan hitam di bawah mata. Mata Eleanor menyisir ke tubuh Nathaniel, ia baru menyadari bahwa tubuh pria itu juga mengurus.
“El … El,” gumam Nathaniel. Eleanor menggenggam tangan Nathaniel dan mengelus punggung tangannya lembut. Mata pria itu membuka sedikit lalu tersenyum.
“El, kamu di sini? Sudah lama?” tanyanya
Eleanor hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu, mengira sepertinya Nathaniel kini tengah mengigau. “Iya, aku sudah di sini sejak tadi pagi. Bawain oleh-oleh buat Mama dan kamu,” jawab Eleanor, ia tak yakin Nathaniel menyerap perkataanya.
“Ohhh … aku senang kamu ada di sini. Aku kangen ….”
Nathaniel membawa gengaman tangan mereka ke atas lalu mengecup tangan Eleanor dan menggengamnya erat di atas dada Nathaniel dengan mata yang masih terpejam. “Jangan tinggalkan aku lagi, El. Bertahanlah di sini,” lirihnya.
Eleanor tidak membalas berkata apapun dan tidak mengindahkan semua perkataan Nathaniel, pria itu sedang sakit dan dia tidak menyadari apa yang dikatakannya barusan. Jadi Eleanor pun memilih tidak memikirkan apa-apa karena ia tidak mau sakit untuk ke sekian kalinya.
Tidak lama kemudian, tibalah dokter keluarga Yusuf Akbar. Ia segera memeriksakan keadaan Nathaniel dan mengambil sampel darah untuk di bawa ke rumah sakit. Dia menyerahkan sebuah resep kepada Talita.
“Sementara saya resepkan pereda nyeri dan penurun demamnya dulu. Saya akan segera melakukan cek darah di lab dan hasilnya akan saya hubungi via telpon,” ucap dokter itu.
“Baiklah, saya menunggu kabar dari Anda secepatnya,” balas Talita.
Selang beberapa jam kemudian datanglah seorang perawat utusan dokter keluarga mereka datang membawa obat-obatan juga memasang infus di tangan Nathaniel.
“Entah kenapa sebulan terakhir ini Nathaniel terlihat memaksakan diri bekerja, El. Tidak kenal waktu, sering pulang malam, jarang makan di rumah, dan sering pergi dinas keluar walaupun tidak penting,” ucap Talita sendu. “Mama sering nelpon dia supaya tidak telat makan dan jaga kesehatannya, tapi akhirnya dia tumbang juga.”
Talita merasa bersalah melihat kondisi putranya seperti ini, hasil labnya menyatakan bahwa anak lelaki tampannya itu menunjukkan gejala tipes. Dia berpikir bahwa Nathaniel terlalu bekerja keras demi pembuktian kepada papanya juga para dewan direksi lain bahwa ia mampu.
“Kadang Mama berpikir dia terlalu memforsir tenaga dan pikirannya untuk menyenangkan hati Papanya juga para pemegang saham. Persis seperti Papanya dulu, tapi sejatinya mereka berbeda. Ini bukan passionnya Nathan, tidak seperti Papa kamu yang memang mencintai pekerjaanya,”keluhnya lagi.
“El! KAMU DI MANA, EL?!”
Eleanor yang tengah makan ditemani Talita mengerjap kaget mendengar suara teriakan Nathaniel.
“EEL!” pekiknya lagi.
Talita segera berlari, Eleanor pun segera mencuci tangannya. Dia memang tidak nafsu makan sejak tadi tapi Talita memaksanya untuk makan, mumpung ada perawat mengurusi Nathaniel yang hanya ingin di rawat di rumah.
“APA YANG KAMU LAKUKAN, NATHAN?” pekik Talita, membuat Eleanor segera mempercepat langkahnya. Ia terkejut melihat ceceran darah dari tangan Nathaniel, sepertinya ia mencabut paksa infus di tangannya.
“El di mana, Ma? Dia janji mau temani Nathan,” tanya Nathaniel cemas, ia tidak memedulikan tangannya yang terus mengalir darah walaupun tidak deras.
“Maaf Bu, tadi saya sedang memasang infus lalu tiba-tiba dia terbangun dan menanyakan nama Eleanor. Jarumnya ditarik begitu saja dari tangannya,” ringis perawat itu.
“Aku di sini, Kak. Gak kemana-mana.” Eleanor merangsek maju dan mengalihkan perhatian pria yang tampak kacau di hadapannya. Wajah pucat itu kini berubah penuh kelegaan saat melihat wajahnya.
Kedua tangan Nathaniel merangkum wajah Eleanor dan langsung mencium bibir Eleanor, merasai bibir itu kembali. Talita dan perawat itu memalingkan wajah melihat adegan itu, sementara Eleanor hanya membelalakan mata terkejut karena tindakan agresif pria itu. Ia dapat merasakan panasnya bibir Nathaniel di atas bibirnya dan juga panas di area wajahnya karena malu. Nathaniel menyatukan dahinya yang panas dengan dahi Eleanor.
“Tadi kamu sudah janji tidak akan pergi kemana-mana, El. Jadi saat kamu tidak ada di sana, aku panik takut kamu pergi lagi. Kamu nggak boleh jauh-jauh dari aku ya, El,” mohon Nathaniel, ia lalu memeluk erat gadis di hadapannya. Seolah tidak mengijinkannya pergi.
“Iya, aku gak akan kemana-mana,” balas Eleanor sambil menghembuskan napas lelah. Gadis itu mengingat kembali semua perkataan Nathaniel sebelum ini, ia mengira bahwa semua itu hanyalah igauan semata, tapi ternyata Nathaniel mengingat semua perkataanya. Eleanor memejamkan mata berharap agar tidak ada masalah lain timbull setelah ini.
Plakk
Suara kulit beradu membuyarkan lamunan Eleanor, apalagi Nathaniel yang seketika mengaduh dan melepaskan pelukan mereka.
“Sakit, Mama!” pekik Nathaniel.
“Sudah tau sakit, terus ngapain kamu cium-cium El segala? Kamu tuh sakit Tipes Nathan, menular. Ini malah bertukar saliva segala,” omel Talita.
Eleanor menunduk malu mendengar perkataan mama Talita, perawat di dekat mereka pun tengah menahan senyum, sedangkan objek yang tengah dimarahi hanya meringis tak bersalah.
“Kamu tau gak Mama tuh panik liatin tangan kamu berdarah-darah gitu, taunya ngedrama aja ini bocah,” omel Talita lagi.
“Pokoknya gak mau tau, El gak boleh pulang harus nemenin Nathan sampe sembuh. Nanti kalau El sakit, biar gantian Nathan yang rawat calon istri Nathan,” titah Nathan.
Calon istri ‘ndasmu, dengkus Eleanor dalam hati.
“Ayo kita ke kamar, pasang lagi infusnya. Biar Mama nanti yang telepon keluarganya El,” ajak Talita.
Eleanor menghela napas lagi karena sadar sudah terjebak kembali dengan pria yang ingin dihindarinya itu. Lagi-lagi Nathaniel membuatnya tak berkutik saat dia menarik tangannya membawa kembali ke kamar pria itu untuk menemani. Jarum infus kembali di pasang di sebelah tangan yang tidak terluka, setelah terlebih dulu di obati.
“Kamu duduk di sini, El,” ucap Nathaniel sambil menepuk posisi kosong di sebelahnya.
Eleanor sempat melirik ke arah Talita, “Turutin aja, El. biar dia tidur dan bangunnya waras lagi,” bisik Talita.
Eleanor pun merangkak naik ke kasur lalu duduk di tengah, bersandar pada kepala ranjang. Nathaniel yang berada di sisi kiri Eleanor pun merapatkan tubuh mendekat ke gadis itu. Dia mengambil tangan Eleanor lalu meletakkan di atas kepalanya, mengisyaratkan agar mengelus kepalanya yang kemudian di turuti Eleanor. Sebelah tangan Nathaniel memeluk perut Eleanor dan menyandarkan kepalanya di pinggang gadis itu.
Setelah beberapa kali elusan, napasnya semakin teratur menandakan pria itu tertidur kembali.
“Dasar manja!” desis Talita jengah melihat kelakuan putranya yang memang sangat manja saat sakit.
“Mama gak akan tutup pintunya kok, El. Biar si bayi besar itu gak ngapa-ngapain kamu,” ucap Talita menenangkan, “Kalau sudah tidur pulas, kamu boleh pulang kok.”
“Tapi Ma, tadi ….” Eleanor ragu untuk pulang. Lihat saja tingkah Nathaniel saat dirinya tidak ada dalam pandangan pria itu. Ia takut nanti Nathaniel mengamuk lagi kalau dia pulang dan mendapati dirinya pergi.
“Baiklah, Mama akan menghubungi Mami kamu.”
Talita pun keluar, meninggalkan Nathaniel yang masih tertidur dengan memeluk erat perutnya. Eleanor tersenyum melihat tingkah Nathaniel hari ini yang sangat menjengkelkan juga menggemaskan di matanya. Dulu, dia memang pernah sakit dan menyaksikan sendiri bagaimana pria itu manja kepada mama dan juga kakak perempuannya. Rebecca dan Nathaniel sejak dulu memang tidak pernah menunjukkan kemesraan di depan keluarganya, dan ia tidak tahu kenapa. Akan tetapi, sekarang dadanya menghangat menerima perlakuan Nathaniel yang sangat manja kepadanya.
“El, aku sayang kamu. Jangan pergi,” gumam Nathaniel pelan.
“Aku juga sayang, Kakak. Sangat,” balas Eleanor sambil tersenyum hangat.
tbc.
eeakkk ... ada yang baper gak? klo El bilang, boro-boro baper yang ada tambah puyeng kepalanya wkwkwkkw.
see u soon 😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top