Bab 17


Nathaniel menatap layar laptopnya sendu, di sana terpampang foto-foto selama berlibur ke Puncak beberapa hari yang lalu. Gambar dari kamera yang dipindahkan ke laptop pribadinya agar lebih leluasa memandangi satu persatu gambar yang ia abadikan,

Ekspresi lucu Princessa dengan wajah kesal dan menggemaskan karena dijahili Eleanor tampak memenuhi memori kameranya. Berbanding terbalik dengan gambar Eleanor yang tertawa lepas saat ia berhasil menjahili Princessa, senyuman gadis itu membuat Nathaniel ikut tersenyum. Namun, senyuman itu tak lama menghilang berganti tatapan sendu. Tangannya terulur menyentuh layar laptop yang menunjukkan gambar Eleanor, menyentuh tepat di wajahnya. Itu adalah foto Eleanor saat sedang membeli balon untuk Princessa dan gadis itu tersenyum sangat cantik di sana.

Aku merindukanmu, El.

Nathaniel sudah berbaikan dengan Princessa, ia meminta maaf kepada gadis kecil itu karena telah membentaknya dengan kasar. Walaupun Princessa masih ketakutan untuk mendekatinya, setidaknya gadis kecil itu mau memaafkan dan tersenyum kepadanya saat dia kembali ke Singapur.

Hanya kepada Eleanor dia belum berkata apapun sejak kejadian itu, keduanya memang tidak pernah bertemu kembali ataupun bertegur sapa melalui pesan. Bukannya ia tidak mau meminta maaf, tapi ia butuh menenangkan diri untuk sementara waktu. Perkataan terakhir gadis itu terus mengusik dan membuat perasaannya semakin tak keruan.

"Setelah sandiwara ini berakhir, aku bebas memilih siapapun pendamping hidupku. Kakak tidak berhak melarang kepada siapa hatiku akan berlabuh, termasuk pada Paman Diego."

Tidak ada yang salah dengan perkataan Elanor, yang salah adalah dirinya yang tidak terima dengan perkataan itu, membuat emosinya semakin tersulut.

Ceklek ...

Nathaniel mengalihkan pandangan dari laptop saat seseorang masuk ke ruangan tanpa mengetuk terlebih dahulu, kemarahannya menyurut saat melihat siapa yang berjalan masuk ke ruangannya itu. Kedua orangtuanya.

"Pergi ke sekolah Eleanor, bawakan ini untuknya. Minta maaf dan berbaikanlah dengannya," ucap Talita cepat sambil menaruh kotak kue favorit Eleanor di meja kerja putranya.

Nathaniel mendesah lelah mengetahui sang mama kembali mencampuri urusannya.

"Kamu bukan remaja lagi, Nathaniel. Jangan perbesar rasa cemburu tak beralasanmu itu," ketus Talita.

"Cemburu?" tanya Nathaniel lirih, lebih kepada dirinya sendiri. Bahkan orang di sekitarnyapun dapat dengan cepat mengenali penyebab emosinya tersulut, pikir Nathaniel.

"Ini bukan pengalaman pertama kamu punya kekasih, kan? Papa heran kamu bisa bertingkah kekanakan seperti itu. Gimana nasib pacar-pacar kamu yang dulu sebelum Eleanor? Atau dia memang cinta pertama kamu?" tanya Yusuf Akbar.

Nathaniel terhenyak dengan pertanyaan dari papanya. Eleanor bukan kekasihnya, Rebecca juga bukan pacar pertamanya dan ia memang belum pernah merasakan emosi sebesar ini. Apakah ini sebenarnya yang dinamakan cemburu? Dulu ia tidak mempermasalahkan kedekatan kekasihnya dengan pria lain, cemburu hanya sebatas tidak suka jika kemesraanya diganggu. Namun, saat dengan Eleanor ia merasakan amarah menggelegak saat bukan dirinya yang menjadi pusat perhatian gadis itu, merasakan perasaan gelisah melihat dia akrab dengan teman-teman prianya, sedangkan ia tidak bisa mencegah apa-apa.

Cemburu.

Akhirnya hati Nathaniel mengakui bahwa ia tidak menyukai kedekatan Eleanor dengan pamannya, rasa yang sama saat gadis itu dekat dengan sahabat prianya, Putra. Cemburu inilah emosi yang tidak ia kenali setiap melihat gadis itu berdekatan akrab dengan lawan jenisnya, siapapun itu. Puncaknya saat bersama paman Diego, ia merasa kalah telak jika dibandingkan pamannya itu. Kini ia menyesal sempat berkata kasar kepada Eleanor.

"Dia posesif seperti kamu, Sayang," ucap Talita sambil bergelayut manja di tangan Yusuf Akbar.

"Ya tapikan beda, Ma. Tidak perlu sampai seperti itu, kalau Papa cukup kasih hukuman buat Mama," balas Yusuf Akbar sambil tersenyum miring pada Talita, yang kemudian dibalas senyuman malu-malu wanita paruh baya itu.

Talita menarik tangan suaminya meninggalkan Nathaniel kembali sendirian di ruangannya, mereka berdua tersenyum terkekeh melihat ekpresi putranya saat ini. Hal baru dan yang pertama mereka lihat dari putranya, emosi bernama cemburu seorang Nathaniel. Yusuf Akbar mengetahui penyebabnya setelah Talita menceritakan kejadiaan saat berlibur di Puncak, dan dia ikut tertawa menertawakan kecemburuan Nathaniel yang berlebihan kepada adik iparnya, Diego. Hilang sudah wajah ramah penuh senyum putra mereka, hanya ada wajah datar dan tatapan menusuk.

***

Dengan membawa kotak kue di tangannya, Nathaniel melangkah menuju almamater sekolahnya dahulu. Mencari sosok gadis yang beberapa hari ini melumpuhkan hati dan pikirannya. Setelah bertanya pada salah satu murid yang dilewatinya, akhirnya ia mengetahui dimana keberadaan gadis itu. Langkahnya tertahan saat mendengar suara yang ia kenal sedang berbincang di balik dinding dengan seorang pria. Eleanor dan Putra.

"Cemburu kali dia, El," ucap Putra.

"MUSTAHIL, PUTRA!" pekik Eleanor, "jangan ngarang deh! Udah cukup kebodohan aku kemarin yang menganggap dia menyukaiku, nyatanya cuma akting."

"Akting kok malah marah-marah gak jelas ada cowok yang deketin kamu sampai berkata kasar seperti itu? Terus mana ada akting cium perempuan diem-diem di mobil. Siapa yang mau liat akting dia?" cerocos Putra.

Eleanor tertawa lepas melihat ekpresi kesal sahabat prianya itu, "Kalo orangnya ada di sini, udah kukasih bogem mentah habis-habisan di mukanya yang sok ganteng itu. Enak aja dia menang banyak grepe-grepein cewek, mencari kesempatan dalam kesempitan," tambah Putra

Nathaniel yang mendengar penuturan Putra terkejut saat mengetahui bahwa ternyata Eleanor menyadari apa yang dia lakukan malam itu di mobilnya. Ia akui, saat itu benar-benar tergoda mencium gadis itu yang tengah tertidur apalagi bibirnya setengah terbuka seolah mengundangnya untuk menuntaskan rasa penasarannya. Setelah bibirnya menyentuh lembut bibir Elanor, hilang sudah penasaran dalam dirinya berganti dengan keinginan untuk tidak melepaskan bibir itu dengan mudah. Ciuman yang tidak pernah ingin ia akhiri. Wajahnya memanas mengingat kejadian malam itu, ia mengakui bahwa itu hal paling gila yang pernah ia lakukan tapi ia tidak pernah menyesalinya.

"Kucing walaupun kenyang, kalo dikasih ikan asin mah tetep diembat juga. Pokoknya aku gak mau mikirin itu lagi, udah cukup aku kege-eran karena kesimpulan semdiri, nyatanya ...."

"Kamu harus bertahan beberapa bulan lagi, El. Jangan sampai terulang kesalahan yang sama dan makin jatuh cinta sama dia," saran Putra yang kemudian diangguki Eleanor.

"Makanya aku seneng-seneng aja dia beberapa hari ini ngejauhin aku, bisa bebas nggak perlu pura-pura dan ngehindarin dia kayak kemaren-kemaren."

"Nasibmu ngenes banget sih, El. Jatuh cinta sama kekasih sepupu sendiri," ejek Putra.

Plakk ... Eleanor memukul bahu Putra dengan kencang. "Sialan!!"

"Hahahah ... Ntar kalo udah lulus pergi jauh-jauh dari dia, El"

"Rencananya sih begitu. Aku rencananya memang mau kuliah ke luar negeri, memulai petualangan baru dan mencari cinta yang baru."

Eleanor, menyukaiku?

Jantung Nathaniel berdetak cepat mendengar penuturan Eleanor. Entah apa yang dirasakannya saat ini, kakinya seperti tidak berpijak lagi ke bumi. Melayang tak tau arah, bingung akan perasaanya dan apa yang akan dilakukannya ke depan. Terkejut sudah pasti, ada rasa senang menyelinap kedalam hatinya tapi gelisahlah yang mendominasi perasaanya saat ini.

Bagaimana dengan Rebecca?

"Loh, Kak Nathan ngapain di sini? Nyari El ya?" sapa Syah bersama dengan Yaya, yang tiba-tiba kini ada dihadapan Nathaniel, membuat pria itu berjengit kaget.

Tak hanya Nathaniel, Putra dan Eleanor yang juga mendengar suara nyaring Syah ikut berdiri dan melihat ke arah yang ditunjuk Yaya dan Syah. Eleanor membulatkan mata saat matanya bertemu dengan pemilik mata coklat keemasan itu.

Apakah dia mendengar semuanya? tanya Eleanor dalam hati.

"Dilihat dari raut wajah Anda, sepertinya perbincangan kami berdua telah Anda dengarkan. Benar?! tanya Putra dengan raut wajah menantang. Yaya dan Syah yang tidak tahu menahu apapun hanya saling memandang keheranan. Sementara Eleanor langsung mengelus bahu sahabatnya, ia tahu Putra sangat tidak menyukai Nathaniel.

"Putra, biar aku bicara empat mata sama Kak Iel. Sepertinya ini sudah waktunya," ucap Eleanor.

Putra mendesah pelan, ia menyadari bahwa satu-satunya cara mengakhiri polemik ini adalah dengan jujur akan perasaan Eleanor, agar pria dihadapannya itu dapat membatasi diri dan tidak memberi harapan palsu kepada sahabatnya yang berakhir dengan kesakitan.

"Baiklah. Kamu tahu kan kalau kami akan selalu ada di samping kamu?" tanya Putra yang kini mengelus lembut rambut sahabatnya, Eleanor hanya menganggukkan wajah. "Selesaikan semua sampai di sini saja. Ingat pesanku," tegas Putra. Putra tak ingin sahabatnya kembali luluh dan sakit hati jika terus mencintai Nathaniel, ia mencium puncak kepala Eleanor lama. Lalu matanya menatap tajam Nathaniel yang tampak kaget melihat dirinya berani mencium Eleanor, dan berlalu pergi bersama Yaya dan Syah.

"Apa-apaan dia, El? Tahukah dia bahwa yang diciumnya itu adalah tunangan seseorang? Bukankah kita sudah berjanji tidak melakukan apapun yang menimbulkan kecurigaan? Kenapa kamu biarkan dia mencium kamu?" Nathaniel tak sadar dirinya kembali diliputi emosi yang sama seperti kejadian terakhir mereka bertengkar.

"Apakah Kakak kesini cuma mau bertengkar dan menuduhku lagi?" tanya Eleanor telak, membuat pria dihadapannya langsung terdiam.

Nathaniel mengusap kasar wajahnya, merutuk dalam hati karena tidak bisa menahan emosi dan melupakan niatnya semula yang ingin berbaikan dengan Eleanor. Namun, apa yang dilakukan Putra barusan benar-benar membuat panas hatinya, menyulut kembali emosi itu.

Cemburu.

Nathaniel menarik nafas dan membuangnya perlahan, ia harus dalam kondisi tenang kali ini karena banyak hal yang ingin ia tanyakan termasuk apa yang ia curi dengar barusan.

"Kita perlu bicara, El," ucap Nathaniel. "Banyak yang harus dibicarakan," tekannya lagi.

"Baiklah. Ada yang ingin El bicarakan juga sama Kakak. Ikut aku," ajak Eleanor. Dia melangkahkan kakinya menuju gedung aula sekolah. Mereka butuh tempat sepi dan tenang untuk membicarakan hal penting yang akan berpengaruh ke hubungannya di masa depan.

Putra, Yaya dan Syah melihat dari kejauhan sahabat mereka tengah berjalan menjauh lalu menghilang dari pandangan.

"Apakah El akan baik-baik saja?" lirih Syah yang dibalas elusan bahu oleh Yaya

"Kita akan selalu disampingnya apapun yang terjadi," balas Yaya

"Nathaniel sepertinya tadi mendengar obrolan kita, aku yakin dia tahu tentang perasaan El yang menyukai dirinya. Semoga hari ini semuanya selesai sampai disini," harap Putra.

"Yaya, Sayang! Jangan marah, jangan cemburu tadi aku cium El, ya," ucap Putra sambil mengerlingkan mata kepada Yaya, dibalas tatapan tajam gadis itu.

"Ishhh ... Geer," balas Yaya.

"Aku cuma pengen manas-manasin si kunyuk satu itu, kok. Sepertinya dia memang mulai menyukai Eleanor, tapi aku gak rela kalo El cuma di-PHP doang. Dia harus menentukan sikap, siapa hati yang dipilihnya," tegas Putra.

***

"Sejak kapan, El?"

"Apanya?"

"Sejak kapan kamu menyukaiku?"

Eleanor kembali menghembuskan nafas pelan, perkiraanya benar bahwa Nathaniel mendengar semua percakapannya dengan Putra.

"Aku nggak tahu, Kak. Dari dulu aku memang menyukai kebersamaan dengan kalian tanpa ada rasa apa-apa. Entah kenapa sejak melihat kalian bermesraan dan berciuman di depanku, hati ini merasakan nyeri. Bukan tidak nyaman atau risih tapi karena aku tidak suka, cemburu," jelas Eleanor, "Walaupun begitu aku tahu diri, kok. Aku menyayangi kakak sepupuku dengan sepenuh hati dan tidak ingin berbuat jahat pada hubungan kalian. Bahkan aku senang Kak Iel membuat hidup Kak Becca menjadi lebih bahagia."

"Sudah selama itu, El?"

"Iya. Jangan pernah mengasihaniku dengan perasaanku ini, Kak. Aku sudah berusaha menghilangkannya sejak Kakak kuliah, menata kembali perasaanku. Tapi Kakak tidak pernah berhenti mengangguku."

"Itulah sebabnya kamu menolak usulan Rebecca waktu itu?"

"Ya. Susah payah aku menata hatiku dan membukanya untuk orang lain malah sekarang seenaknya Kak Nathan masuk kembali ke kehidupanku sebagai tunanganku. Walaupun hanya sandiwara."

"Lalu kenapa kamu menerimanya kembali?"

"Salahkan hatiku yang terlalu merasa bersalah karena melihat kalian bersedih dan juga berakhirnya hubungan kalian. Ternyata saat aku menolak rencana itu, Kak Becca sangat terluka begitupun dengan Kakak. Dua orang yang kusayangi terluka karena keputusanku. Ternyata kesempatan itu datang lagi melalui Mama Talita. Pikiranku pun berubah, setidaknya jika aku menerima rencana itu, hanya satu orang yang akan terluka. Aku hanya perlu membangun tembok pertahananku agar tidak semakin jatuh hati kepada Kakak."

" El ... aku ...." Nathaniel tidak tahu apa yang harus dikatakannya sekarang, pengakuan Eleanor benar-benar membutakan hati dan pikirannya. Ia tidak bisa berpikir jernih. Mendengar Eleanor berbicara seformal ini dengannya pun membuat dirinya tak nyaman. Ia menginginkan Eleanor sebagai gadis kecilnya yang selalu bisa mengubah moodnya dan membuat harinya semakin berwarna. Ia masih ingin menikmati kemanjaan, cerewet dan usilnya gadis itu hanya untuk dirinya sendiri tapi iapun tidak bisa memberikan harapan palsu kepada Eleanor. Itu akan semakin menyakitinya.

"Kak Iel, aku katakan ini bukan dengan maksud apa-apa. Aku tidak pernah berusaha untuk Kakak melihat ke arahku karena memang aku tak ingin. Aku ingin Kakak tetap menunggu Kak Becca," jelas Eleanor. "Hanya saja kumohon supaya Kakak menjauhiku sampai beberapa bulan lagi masa sekolahku berakhir. Aku perlu ketenangan untuk mengakhiri ujian akhirku, setelah itu aku akan menjauh. Nanti aku akan pikirkan alasan untuk membatalkan pertunangan kita."

Tapi kini aku melihatmu, El, ucap Nathaniel dalam hati.

"Biarkan saja sekarang orangtua kita berpikir kita masih bertengkar. Tolong sampaikan terimakasihku kepada Mama atas kuenya. El, pamit. Selamat tinggal."

Eleanor berjalan keluar dari Aula sambil membawa kotak kue di tangannya. Airmatanya menetes saat pintu dibelakangnya menutup, meninggalkan Nathaniel sendiri dan meninggalkan perasaannya yang tidak akan pernah berbalas.

Selamat tinggal, Cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top