Bab 14 Egoisku
***
Eleanor melangkahkan kakinya menuruni tangga dengan tidak bersemangat, semalaman ia kesulitan tidur karena terus teringat dengan apa yang Nathaniel lakukan padanya saat ia tertidur di mobil, dalam pelukan pria itu. Berbagai perasaan berkecamuk di hati dan pikirannya, bingung bagaimana harus menghadapi pria itu ke depannya. Dan laki-laki sumber kegalauan hatinya ini, kini sedang duduk bersama keluarganya di ruang makan.
“Selamat pagi …,” sapa Eleanor lesu.
“Selamat pagi!” jawab Julian, Mariana dan Nathaniel serempak, kali ini Roberto tengah ada di Singapura meninjau perusahaan miliknya.
Nathaniel beranjak dari kursinya lalu menarik kursi di sebelahnya untuk Eleanor duduki.
“Kamu sakit, El?” tanya Nathaniel sambil meraba kening Eleanor, hal itu membuat Julian dan Mariana tersenyum tipis melihat mereka berdua. Eleanor dengan cepat melepaskan tangan besar Nathaniel dari keningnya.
“Ng-nggak apa-apa, Kak,” elaknya.
“Tapi kok wajahnya muram gitu? Ada kantung matanya juga. Kamu kenapa?” tanya Nathaniel, kali ini ia menggenggam sebelah tangan Eleanor, tampak sekali gurat kecemasan di wajah pria itu.
“Enggak apa-apa, Kak. Semalem gak bisa lanjut tidur, keingetan ada tugas yang harus dikumpul hari ini belum selesai, jadi malem-malem kebangun ngerjain tugas,” bohong Eleanor. Ia menggigit pipi dalamnya pelan, menundukkan wajahnya untuk menutupi kebohongannya. Tak mungkin kan ia katakan bahwa dirinya terbayang terus wajah Nathaniel saat mencium dirinya. Pipi Eleanor memerah mengingat kembali peristiwa itu.
“Kamu yakin? Itu pipinya merah gitu, gak demam kan?” tanya Mariana sambil menyendokkan nasi goreng ke piring Julian.
“Kalau sakit lebih baik tidak udah sekolah, El. Nanti Kakek yang hubungi principal kamu.” Julian kini ikut bersuara.
“Enggak apa-apa, Kakek. Sudah mau dekat ujian semester, El harus masuk sekolah.” Eleanor menolak saran kakeknya.
“Mami Mariana, Kakek Julian, maafkan saya. Mungkin El kelelahan karena kemarin diajak berpergian sampai malam.” Nathaniel merasa bersalah atas keadaan gadis itu, ia mengira Eleanor kelelahan dan kurang fit karena harus menemani mamanya sampai malam, ditambah ia mengenakan baju terbuka saat berjalan-jalan dengannya, walaupun ia menutupinya dengan jas miliknya.
Eleanor balas menggenggam tangan Nathaniel, “Bukan karena itu, Kak Iel. Ini memang murni karena salah El, lupa mengerjakan tugas.”
“Ya sudah, kita sarapan dulu, jangan pegangan tangan terus. Kapan makannya?” tegur Julian.
Nathaniel dan Eleanor sontak melepas genggaman tangan mereka, mereka tak menyadari bahwa interaksi mereka berdua terus diperhatikan oleh Julian juga Mariana. Nathaniel mengambil nasi goreng yang tersedia dan terlebih dulu menaruhnya di piring Eleanor.
“Te-terimakasih, Kak Iel,” ucap Elanor gugup atas perhatian pria itu.
“Kamu mau susu putih atau teh hangat, El?” tanya Nathaniel
“Enggak usah, Kak. El minum ini aja, air putih.”
“Baiklah, makan yang banyak ya,” ucap Nathaniel tulus sambil mengelus rambut gadis itu sebentar.
Eleanor menyendokkan nasi goreng ke dalam mulutnya dengan cepat, menutupi rona kemerahan yang kembali menghinggapi pipinya. Wanita mana yang tidak senang hatinya diperlakukan sedemikian rupa oleh pria yang dicintainya, apalagi sejak peristiwa semalam, menguatkan dugaan Eleanor kemungkinan bahwa pria itu mulai menaruh hati padanya.
“Bolehkah aku berharap?” tanyanya dalam hati.
***
“El, bangun. Sudah sampai di sekolah, Princess,” Nathaniel menepuk pipi Eleanor pelan, mencoba membangunkannya. Sejak memasuki mobilnya, ia sudah melihat gadis itu menahan kantuk lalu tertidur bersandar diantara jok mobil dan kaca mobilnya.
“Hmmm …. “Eleanor menggumam karena tidurnya terganggu.
“Sudah sampe, El. Nanti kamu telat.”
Eleanor mengerjapkan matanya, melihat wajah tersenyum Nathaniel dihadapannya. Ia pun tersadar bahwa ia tertidur selama perjalanan, aroma khas Nathaniel dalam mobil itu membuai indera penciumannya, membuatnya nyaman dan terserang kantuk seketika. Rasanya seperti tertidur dalam pelukan pria itu, seperti semalam.
“Nih, minum air putih dulu supaya segar,” ucap Nathaniel sambil menyerahkan sebotol air mineral kepada Eleanor yang langsung diteguknya cepat.
‘Terima kasih, Kak.”
Eleanor mengeluarkan ponselnya lalu berkaca melalui layar kameranya, merapikan rambutnya, “Tadi sudah pake lipbalm belum ya? Kayaknya udah deh, tapi kok keliatan pucat ya?” gumamnya pelan. Ia mengambil lipbalm dari tas lalu memulaskannya di bibir tipisnya, tidak menyadari Nathaniel yang mendengar gumamannya dan langsung salah tingkah seketika.
“Ehem … nanti siang aku jemput ya, El. Jangan nongkrong di lapangan dulu, langsung pulang ke rumah. Istirahat,” ucap Nathaniel.
“Tapi aku mau nemenin Putra latihan buat turnamen.”
“Tidak ! minggu depan kamu UAS, El. Kamu harus fit untuk ujian nanti.”
Eleanor mengerucutkan bibirnya kesal, walaupun ia mengakui bahwa yang dikatakan oleh Nathaniel itu benar adanya.
“Baiklah, jangan telat jemput ya.”
Langkah Eleanor yang hendak melangkah keluar mobil tertahan saat lengannya dipegangi erat oleh Nathaniel. Pria itu mendekatkan wajahnya lalu mengecup keningnya lembut,
“Semoga tubuh kamu cepat pulih lagi, pusingnya juga hilang.”
Pipi Eleanor bersemu, ia menganggukkan kepalanya pelan lalu terburu-buru keluar dari mobil Nathaniel. Sementara pria itu menatap kepergian Eleanor sambil tersenyum penuh arti.
***
“El, senyam-senyum terus dari tadi. Seneng banget kayaknya,” tegur Putra yang kini mendekati Eleanor yang tengah bercanda dengan Syah dan Yaya.
“Sibuklah kau, Put. Tak boleh ke, El senyum dan tertawa dengan kite orang,” sela Syah
“Eh, PMS kau ya Syah? Cakap awak macam orang ngajak kelahi je,” sambar Putra, “Aku tanya El, kenapa kau pula yang sewot,” balas Putra.
“Bilang aja gak terima klo El gak bisa nemenin latihan basket,” sela Yaya yang kemudian dihadiahi cubitan gemas di hidung gadis itu.
“Ishh, beda ya kalo pacar sendiri, ngertiin banget sih,” goda Putra kepada Yaya
Plakkk
“Geli banget sih denger kamu ngomong kayak gitu, Put. Jauh-jauh sono !” usir Eleanor.
“Kenapa sih sensi banget sama aku, El? tumben-tumbenan gak mau nemenin latihan, nanya doang aja kena semprot,” tanya Putra.
“Dia sudah punya pria hensem di sisinya, awak sudah tak dibutuhkannya lah tuh,” jawab Syah, “ and there’s the prince with a white horse.”
Ketiga orang itu menoleh ke arah dimana mata Aisyah tertuju, dan Nathaniel berjalan melenggang ke arah mereka berempat.
“Hai!” sapa Nathaniel
“Hai, Kak Nathan!” balas Yaya dan Syah, Putra hanya diam memandangi Nathaniel tidak membalas sapaannya.
“Feeling better, Princess? Masih pusing?” tanya Nathaniel sambil meletakkan punggung tangannya di kening Eleanor.
“Eh, udah baikan kok. Enggak pusing lagi,” jawab Eleanor gugup, ia menoleh ke arah para sahabatnya yang menatapnya seolah bertanya, -sakit huh?-.
“Lain kali ngerjain tugas tuh pulang sekolah biar nggak kelupaaan kayak semalem, sampe begadang kurang tidur. Sudah dikumpul tugasnya?” tanya Nathaniel lagi.
Kali ini Eleanor menoleh ke arah Putra yang tengah bersedekap, menarik satu alisnya dan salah satu bibirnya terangkat seolah berkata, -apa yang kamu sembunyikan, El-.
“Ss-sudah, Kak.” Hanya kata itu yang mampu terlontar dari bibir Eleanor, ia menoleh takut-takut kepada teman-temannya yang sudah pasti menyadari kebohongannya. Setali tiga uang dengan Putra, Yaya dan Syah ikut tersenyum asimetris menatapnya curiga.
“Kita pulang sekarang yuk, Kak,” ajak Eleanor sambil merangkul lengan Nathaniel dan menariknya untuk segera pergi dari tempat itu, tepatnya ingin menghindar secepatnya dari ketiga sahabatnya.
Ya, dia memang tidak menceritakan kejadian semalam dan perlakuan-perlakuan Nathaniel yang semakin hari semakin manis kepadanya. Ia ingin egois sebentar saja, merasakan perlakuan pria itu sebagai pria yang mencintainya, walaupun ia tahu hal itu tidak mungkin terjadi. Eleanor sadar, ia akan semakin terpojok jika menceritakan semuanya kepada sahabat-sahabatnya karena mereka pasti akan menyuruhnya agar tetap ‘waras’ dan tidak terlena oleh perlakuan manis Nathaniel.
Kali ini saja, ia ingin egois, memanjakan hatinya sekaligus membohongi dirinya sendiri.
***
Seperti biasa, Nathaniel membukakan pintu depan penumpang untuk Eleanor, setelah itu ia bergegas menuju kursi pengemudi di sebelah Eleanor dan memakaikan seatbelt pada gadis itu.
“Yakin kamu sudah sembuh?” tanya Nathaniel lagi sambil menyentuh kembali kening Eleanor.
Pria itu tak mengerti dengan yang dirasakannya, tapi saat melihat gurat keceriaan menghilang di wajah Eleanor tadi pagi membuatnya khawatir. Suasananya jauh berbeda saat gadis itu sakit dan sehat, terasa sangat berbeda. Merutuki mamanya juga dirinya yang membuat gadis itu kelelahan. Meetingnya sengaja ia tunda karena ingin menjemput Eleanor dan mengantarnya pulang dengan selamat, untungnya papanya memaklumi dan mau membantunya mengundur meeting sampai menunggu kedatangannya.
Ia lalu mengeluarkan sebuah mini cooler box dari jok belakang dan mengambil minuman yang berada di dalamnya, lalu menyodorkannya kepada Eleanor.
“Ini jus melon kesukaan kamu, esnya sedikit aja kok. Aku sengaja simpan di cooler supaya tetep seger pas kamu minum. Juga ada puding karamel dan silky puding buat kamu di dalam cooler,” jelas Nathaniel.
“Benarkah ?! Terimakasih, Kakak. Kalau begini terus setiap hari, gak apa-apa deh El sakit terus,” ucap Elanor.
“Hushhh … orang pengen sehat kok kamu malah mau sakit sih,”tegur Nathaniel.
“Abisnya enak sih dimanjain, diperhatiin sama Kakak. Bisa-bisa El tambah gendut ini kalau di kasih makanan enak terus.”
“Kakak kan sudah janji sama kamu juga Rebecca, akan menjaga dan memperlakukan kamu sebaik mungkin. Kamu prioritas Kakak saat ini.”
Rasanya seperti darah dalam tubuhmu berhenti mengalir seketika, tertusuk oleh ribuan jarum menusuk kedalam jantungmu. Kali ini ‘tamparan’ yang diterima Eleanor telak di wajahnya, ia tersenyum miris mendengar pernyataan Nathaniel yang membuat kedua kakinya kembali menapak ke bumi. Ia terdiam sambil menyedot minuman ditangannya.
“Kau memang bodoh, El. Masih saja berharap lelaki itu akan memandangmu secara berbeda, ternyata dia melakukan itu hanya karena tanggung jawab saja. Kamu salah mengartikan perhatiannya,” geram Eleanor dalam hati.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top