Bab 12 Calon Mertua
Haiiii ..... sorry ya kelamaan updatenya, sibuk sama pekerjaan baru jadi gak sempet ngetik ini. insya allah kedepannya makin lancar kerjaan sama nulisnya, doain ya.
jangan lupa vote dan komennya
***
Eleanor, Syah, Yaya dan Putra tengah menikmati jajanan yang kebetulan melintas di depan sekolah mereka. Potongan batagor dengan saus kacang, dibungkus plastik, diikat lalu cara memakannya melalui ujung plastik yang sudah dilubangi dengan cara digigit.
Cara makan baru yang Eleanor ketahui sejak dirinya pindah ke Jakarta, dan memang terasa lebih nikmat seperti kata Syah. Namun, untuk mendapatkannya mereka harus menunggu si penjual lewat depan sekolah mereka dengan gerobak yang didorongnya. Dan biasanya mereka menunggu bersama-sama sambil menemani Eleanor yang juga menunggu dijemput supirnya. Jajanan di kantin mereka semua adalah makanan sehat dan tidak mungkin diijinkan untuk memakan makanan langsung bersamaan dengan plastiknya ke dalam mulut mereka.
Eleanor dan Syah tertawa terkekeh, saat melihat Yaya yang gugup dan malu karena ibu jari Putra yang menyentuh bibirnya, menghapus sedikit saus kacang yang menempel di sudut bibirnya.
"Ehmmm ... mau juga digituin doooonngggg," ledek Eleanor sambil mengoleskan sedikit saus kacang ke sudut bibirnya dan pipinya.
"Oggaahhh ...." tolak Putra sambil melengos memandangi kembali Yaya yang kini menunduk malu.
"Ishh ... pilih kasih dia mah. Aku kan mau juga di romantisin kayak gitu."
"Mang, ada elap gak? Itu El minta lap buat ngelap mukanya," seru Putra pada penjual batagor.
"Adanya lap ini Neng, kasian atuh muka mulus begitu pake lapnya Mamang," balas si penjual sambil memperlihatkan sebuah lap motif garis-garis dengan ceceran minyak di sekelilingnya.
"Sialan, muka gue disamain sama pantry, lapnya pake bekasan lap minyak," ucap Eleanor sebal yang disambut kekehan Yaya, dan Syah.
"Huss ... Eleanor Kournikova ketauan ngomong lo-gue sama Kanjeng Mami, entar dipecat jadi anak loh," tambah Yaya, yang makin di sambut gelak tawa Putra dan Sayah.
Ya, mereka berempat memang tidak pernah berbicara dengan menggunakan bahasa yang umumnya anak muda pakai. Selain karena Eleanor yang tidak terbiasa, _ia lahir dan besar di Singapura_ Maminya juga memang melarangnya.
Syah mengeluarkan tisu dari tasnya lalu memberikannya pada Eleanor, "Terimakasih Syah cantik, besok awak boleh beli apapun makanan di kantin yang awak mau, saye traktir ," ucap Eleanor
"Iye keh?" pekik Syah girang.
"Iye lahhh, awak teman cantik, comelku yang baaaiikkk hati, tak macam dia orang. Biar dia orang esok gigit jari je lah," lirik Eleanor, pada Putra dan Yaya yang terkekeh geli mendengar percakapan bahasa Melayu dua sahabatnya.
Bahasa Melayu tak asing lagi untuk Eleanor, ia menggunakannya sebagai bahasa kedua saat masih tinggal di Singapur selain bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Jadi saat ia bertemu Syah, si gadis Melayu, ia seolah kembali ke masa dimana ia masih tinggal dan berkumpul dengan keluarganya di sana.
"El, calon mertua datang tuh," tegur Yaya.
"Eh ... kok?" Eleanor langsung menoleh ke arah yang ditunjuk Yaya, ia sedang menunggu supir Nathaniel yang akan mengantarnya pulang karena pria itu sedang sibuk dengan pekerjaannya. Hal yang disyukurinya karena intensitas pertemuanyya jadi berkurang dan jantungnya dapat berdetak dengan normal kembali.
Sejak kejadian di mobil beberapa hari lalu, ia memang belum bertemu lagi dengan Nathaniel karena pria itu yang mendadak pergi keluar kota, tapi mereka masih saling bertukar pesan juga video call setiap malam seperti sebelumnya. Siang ini ia tiba dari Surabaya, dan langsung ke kantornya karena ada meeting penting katanya.
"Mama ...," sapa Eleanor yang berjalan mendekati dan mencium punggung tangan Talita yang kini resmi dipanggilnya Mama karena permintaan wanita itu sendiri.
"Selamat siang, Tante." Ketiga sahabat Elanor dengan kompak ikut menyapa dan menyalami Talita.
"Selamat siang anak-anak cantik dan ganteng," balas Talita ramah.
"Kok Mama ada di sini? Ada apa, Ma?" tanya Eleanor heran.
"Gak apa-apa, Mama kangen aja sama kamu. Tadi Nathan suruh supir Mama untuk mengantarmu pulang, kebetulan Mama abis ketemu teman-teman, jadi sekalian aja ikut ketemu sama kamu."
"Ohh, maaf El jadi ngerepotin Mama jemputin ke sini. Padahal klo supirnya memang sibuk, biar aja El pulang sama supir rumah."
"Engga ngerepotin kok, Sayang. Mama memang pengen jalan-jalan sama kamu, tadi sudah telpon ke Mami kamu kalau kamu akan bersama Mama sampai nanti malam."
"Eh, memangnya mau kemana kita, Ma?"
"Udah, ikut aja. Nanti kamu tahu,"
Eleanor hanya bisa mengangguk menuruti perkataan Talita, lalu berpamitan pada ketiga sahabatnya. Isi kepalanya penuh dengan spekulasi akan apa yang direncanakan Talita.
***
Tok ... tok ... tok.
Suara pintu yang diketuk dan pintu yang langsung terbuka mengalihkan perhatian ketiga orang yang sedang diskusi dalam sebuah ruangan.
Talita diikuti Eleanor masuk ke ruangan Nathaniel yang tengah mengadakan pertemuan dengan perwakilan Wiryawan Group, Sandra, yang tak lain adalah wanita yang hampir menikah dengan pria itu, dan disana juga ada Helena, sekretarisnya.
Talita menaikkan sebelah alisnya melihat dua perempuan diruangan itu yang berusaha menarik perhatian putranya dengan pakaian ketatnya juga dengan gaya duduk mereka.
"Mama, El, kalian darimana?"
Nathaniel berdiri lalu menghampiri Talita dan mencium kedua pipi mamanya, ia lalu mendekat ke arah Eleanor, menarik bahunya lalu mendaratkan kecupan di pelipisnya.
"Aihh ... baru ketemu udah main nempel, main cium aja nih orang," gerutu Eleanor dalam hati
"Maaf aku gak bisa jemput kamu, ada yang harus segera diselesaikan," ucap Nathaniel.
Belum sempat Eleanor menjawab, Talita bergerak memisahkan mereka berdua, melepaskan tangan Nathaniel dari bahu Eleanor.
"Sudah, kamu kerja aja sana. Pulang dari luar kota bukannya pulang ke rumah sebentar, tengokin Mama atau tunangan kamu, malah langsung ke kantor. Sana kerja! Mama kesini cuma mau numpang ke private room kamu," ketus Talita sambil menarik tangan Eleanor menjauh dari Nathaniel.
"Selamat sore, Tante. Apa kabar?" sapa Sandra kepada Talita.
"Baik, Sandra. Tante abis belanja sama Menantu kesayangan, mau jalan-jalan lagi abis ini," balas Talita.
"Oh, hai Eleanor. Baru pulang sekolah?"
Sandra menyapa sambil tersenyum meremehkan melihat gadis itu yang masih berseragam lengkap, Eleanor bukannya tidak tahu arti tatapan meremehkan itu, seolah dirinya hanyalah anak ingusan dibandingkan wanita itu.
"Iya, Tante khusus menjemputnya sendiri karena putraku ini sedang sibuk dengan kerjaanya. Tante gak rela kalau Menantu kesayangan pulang sendiri."
Eleanor tertawa dalam hati setiap kali Talita menyebut dan menekankan kata 'menantu' dengan suara keras, bermaksud menyombongkan Eleanor dihadapan Sandra. Yang ia tahu, mama Talita memang tidak menyukai wanita itu tapi ia tidak pernah bertanya kenapa. Dan kini, ekspresi wanita itu berubah tidak seramah sebelumnya.
"Tante tinggal ya, mau istirahat sebentar sebelum lanjut jalan-jalan lagi."
Talita melenggang ke pojok ruangan Nathaniel dimana ada sebuah pintu yang menghubungkan ke private room yang sering digunakan untuk beristirahat, kamar yang hanya bisa dibuka dengan kode khusus dan Eleanor sengaja diberitahu oleh Talita dengan menunjukkan telunjuknya yang lincah menekan 6 digit angka.
Tanggal pertunangannya !
Eleanor meringis dalam hati sambil memandangi Talita, betapa wanita itu sangat menyayangi dirinya, berharap banyak akan dirinya yang dianggapnya kelak akan menjadi menantunya. Bagaimana jika hubungan ini berakhir? Rencana dan kebohongan ini terbongkar? Banyak yang akan kecewa pastinya.
Talita menariknya duduk di tepi sofabed,
"Kita istirahat dulu disini sebentar. Kamu bisa gunakan kamar mandi itu untuk mandi dan membersihkan diri, pakai baju yang kita beli tadi."
"Kita sebenarnya mau ngapain sih, Ma."
Akhirnya pertanyaan itu meluncur dari bibir Eleanor, ingin mengakhiri kebingungan yang ia rasakan setelah tadi ia dibelikan beberapa pasang baju oleh Talita yang menurutnya akan dipakai untuk acara nanti malam. Dan dilihat dari potongan gaun yang dibeli tadi, membuat hatinya semakin bertanya-tanya.
"Hanya ingin bersenang-senang, El." Talita tersenyum sambil merebahkan dirinya diatas sofabed.
"Mama ingin menunjukkan kepada Papamu juga Nathaniel, supaya tidak terlalu fokus dengan pekerjaan mereka sampai melupakan kita. Nanti kamu jika sudah menikah, akan merasakan kebahagiaan tersendiri saat suamimu pulang bekerja dalam keadaan lelah dan kita mampu mengurusnya dengan baik. Menyiapkan air mandi hangat, minuman hangat serta pijatan lembut di tubuh lelah mereka akan menjadi hal yang berharga, penghilang penat yang amat manjur, tidak ada yang lebih baik saat mereka tertidur karena kelelahan dengan memelukmu, bersandar hanya kepadamu."
"Jadi, Mama marah karena Papa dan Nathan tidak langsung pulang ke rumah setelah perjalanan dari luar kota?" tebak Eleanor.
"Hmm ... kurang lebih seperti itu. Mama cuma ingin mereka tidak selalu memikirkan pekerjaan setiap menit dan detiknya, apa salahnya pulang sebentar lalu biarkan kami para istri menghibur dan mengurus para suami yang sedang kelelahan setelah perjalanan jauh. Pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya."
Talita beranjak dari tidurnya lalu menggenggam kedua tangan Eleanor, menatapnya lembut.
"Mama senang sekali, kamulah perempuan yang ada di hati Nathaniel selama ini. Dia tidak salah pilih, dia memang butuh kamu dalam hidupnya."
Glek.
Eleanor merasa kesulitan menelan air liurnya sendiri saat mendengar perkataan Talita,
"Bukan aku yang dicintainya, Ma," lirihnya dalam hati.
"Mama tahu, bekerja dibalik meja dan meneruskan kepemimpinan Papanya bukanlah keinginan Nathan yang sebenarnya. Dia mewarisi bakat seni Mama, El dan dia mengubur cita-citanya demi keluarga ini. Terkadang Mama merasa bersalah sama dia."
"Mama langsung jatuh hati pada kamu saat Nathaniel memperkenalkan kamu dan Rebecca sebagai temannya. Di dunianya yang kaku saat ini, dia butuh seorang penyeimbang seperti kamu. Orang yang dapat membuat hidupnya lebih berwarna, lebih menikmati hidup di tengah tekanan dan tuntutan Papanya."
"Kak Becca kan cantik juga, Ma."
" Rebecca memang cantik, dia seorang pekerja keras dan perempuan mandiri, Mama juga suka. Namun, feeling seorang ibu tidak pernah salah, hidup Nathaniel akan tambah monoton jika mereka jadi pasangan."
Eleanor hanya terdiam mendengar pernyataan Talita tentang Rebecca juga rahasia hidup Nathaniel.
***
Ceklek ...
Setelah dua jam lebih Nathaniel penasaran dengan apa yang dilakukan Mamanya dan Eleanor di private roomnya, akhirnya suara pintu terbuka mengakhiri keingintahuanya. Sedari tadi suara gelak tawa dari keduanya membuat dirinya tidak fokus akan meetingnya kali ini, untunglah Papanya dan Reza Wiryawan kini menggantikannya asyik berdiskusi.
Debaran jantungnya kembali berdetak tak normal saat mendengar tawa renyah Eleanor terdengar di gendang telinganya, debaran yang sama seperti terakhir kali mereka bertemu saat kejadian pagi itu. Mata Nathaniel membelalak saat melihat mamanya dan Eleanor kini berdiri di depan mereka semua, dalam hatinya sibuk mengumpat dengan penampilan Eleanor sekarang.
"Mama mau kemana?" Suara papanya mewakili keingintahuan dan kegusaran Nathaniel.
"Eh, ada Papa juga. Belum lupa kan kalau waktu itu Mama bilang ada teman Mama yang ulang tahun dan mengundang Mama datang?"
"Tapi bukannya Mama bilang tidak akan datang?"
"Tadinya sih gitu, waktu itu Mama mikir Papa sama Nathan baru pulang dari Surabaya pasti capek, mau nemenin di rumah aja. Tapi ternyata salah, sepertinya Mama tidak dibutuhkan di rumah, jadi lebih baik Mama bersenang-senang ditemani Eleanor, Menantu Mama."
Glek.
Yusuf Akbar dan Nathaniel saling berpandangan, sepertinya mereka tahu saat ini seorang Talita sedang dalam mode marahnya.
"Dimana acaranya, Ma? Nathan antar ya."
"Klub X."
"Appa ?!"Seru Nathaniel dan Yusuf Akbar bersamaan.
Nathaniel memandang kembali penampilan Eleanor dari ujung kaki ke ujung rambut dan menggaruk dahinya yang tidak gatal. Sungguh mamanya telah berhasil mendandani Eleanor menjadi sosok perempuan yang lebih dewasa, menawan sekaligus seksi dengan gaun putih tulangnya. Keringat dingin mengalir di tengkuknya saat matanya berhenti di bagian dada gaun itu yang memiliki belahan V, ia menelan ludahnya kembali saat matanya berhenti di bibir Eleanor yang kini berhiaskan warna peach terang, berkilau sensual seolah memanggilnya untuk disentuh. Ia tidak dapat membayangkan bagaimana jadinya jika gadis kecil kesayangannya itu berada di tempat keramaian yang seperti mamanya sebutkan tadi, pasti akan ada banyak pria brengsek yang mendekatinya.
"Ma, apa nanti Eleanor gak dimarahin sama keluarganya diajak ke tempat seperti itu?" tanya Nathaniel.
"Tenang saja, Mama sudah mengantongi ijin dari Tuan Julian Kournikov juga Maminya El. Jadi kamu jangan khawatir. Papa sama Nathan lanjutin aja lagi kerjanya, kami akan bersenang-senang sebentar."
Tanpa ba bi bu, Talita menggamit lengan Eleanor lalu berjalan keluar dengan langkah gaya yang sengaja dibuat semenarik mungkin, membuat tiga pria di ruangan itu menelan ludah mereka. Sementara kedua perempuan itu saling melemparkan senyum penuh arti.
***
"Papa keliatan marah, Ma" teriak Eleanor di telinga Talita.
Saat ini mereka tengah berada di pesta ulangtahun salah satu teman Talita saat masih menjadi artis, di sebuah klub ternama. Temannya ini adalah seorang mantan istri pejabat, jadi gaya hidupnya memang mewah seperti ini. Suasana ramai dan riuh dari para undangan pesta, ditemani hingar bingar musik memekakkan telinga, sebenarnya Talita sudah lama tidak pernah pergi ke klub lagi setelah menikah, ini dilakukannya karena sedang kesal dengan suami dan putranya.
"Biarkan saja, kita hanya menuruti kemauan mereka yang menyuruh kita menikmati jerih payah mereka, " balas Talita.
Sementara itu Nathaniel yang sudah menahan diri sejak tadi akhirnya beranjak dari barstool, dan mendekati Eleanor. Ia meninggalkan papanya yang masih terduduk menikmati minumannya sambil mengawasi mamanya, rupanya sang papa belum berani menghadapi sang mama yang tengah merajuk.
Nathaniel merasa jengah dengan banyaknya pria yang sedari tadi memandangi Eleanor. Saat Mamanya dan Eleanor keluar dari ruangannya, ia melesat pergi mengikuti mereka berdua, hatinya benar-benar tidak tenang melepas kepergian Eleanor dengan dandanan dan pakaian seperti itu. Tidak ada yang salah dengan pakaian ataupun dandanannya, malahan gadis itu terlihat sangat berbeda dan ... cantik.
Ada perasaaan tidak rela menelusup ke hatinya saat keindahan itu dinikmati oleh banyak pria.
Eleanor tersentak kaget saat seseorang duduk mendesakinya, tepat disebelahnya lalu sebuah jas melingkari bahunya.
"Apaan sih, Kak Iel. Panas tau dipakein ini," gerutu Eleanor sambil melepaskan jas Nathaniel dari bahunya.
"Nurut aja, El. Pake jasnya bwt nutupin yang terbuka tuuh," bujuk Nathaniel sambil berusaha memakaikan lagi jasnya, kali ini menutupi dada Eleanor. Gadis itu memelototi Nathaniel, memasang wajah kesalnya.
"Iishhh, Kakak! Disini tuh panas, pake itu tambah gerah," elak Eleanor.sambil membuka kembali jas Nathaniel.
"Kamu yang bikin suasana 'panas', El," gerutu Nathaniel, "Pokoknya kamu harus pakai jas ini, El. Kakak gak mau nanti kamu masuk angin, baju kamu terlalu terbuka. Nanti Kakak yang dimarahin Mami kamu."
"Apanya yang terbuka? Baju El ini paling sopan diantara yang lain loh, Kak."
"Kita pulang aja, udah jam 8. Besok kamu sekolah !"
Talita tersenyum melihat putranya dan Eleanor yang masih saja berselisih gara-gara jas dan juga gaun yang dipakai gadis itu. Dalam hatinya berharap, bahwa keduanya akan menjadi pasangan yang sempurna, saling melengkapi dan saling mencintai seumur hidupnya, ia selalu berdoa untuk itu, kebahagiaan putranya juga calon menantu pilihannya.
.
tbc.
beautiful in white-nya Neng Eleanor
Babang Nathan cuma bisa cemberut,
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top