Chapter 23 Melarikan Diri

Note : Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Nama pemeran kuambil dari para member boygroup Indonesia yaitu UN1TY. Maaf jika ada kesamaan latar, tokoh maupun cerita ini. Cerita berjudul Eight 3 adalah murni milik saya!
.
.
.
.
.

Kini Ricky terbaring lemah di tempar tidurnya. Dokter Arka telah selesai mengecek kondisi Ricky dan ia juga telah memberikan obat antibiotik dari selang infus.

"Rick, kamu kenapa lagi? Kok bisa sampai keracunan makanan?" Dokter Arka bertanya, khawatir melihat keadaan pasiennya yang sudah ia anggap keluarga sendiri.

"Iky juga nggak tau kak," jawab Ricky lemas. "Terima kasih kak."

"Iya Ky. Lebih baik kamu istirahat sekarang, Kakak dengar Aji sedang dalam perjalanan kemari kata Bi Inah." Dokter Arka memberitahu.

"Aji...," ujar Ricky pelan.

Tiba-tiba sebuah bayangan samar muncul di pikiran Ricky. Ia melihat sebuah mobil menghindari tabrakan beruntun, lalu menabrak pohon besar tak jauh dari lokasi kejadian. Penghuni mobil tersebut tak sadarkan diri dan Ricky mengenal kedua orang tersebut.

"Arghh!" Ricky menjerit kesakitan. Ia memegangi kepalanya yang terus berdenyut kencang. Air mata mengalir deras dari kedua matanya. Ricky bisa melihat jelas kondisi Gilang dan Fajri mengalami perdarahan di kepala serta tak sadarkan diri.

"Ky! Kamu kenapa?" Dokter Arka bertanya panik.

Ricky pun pingsan. Dokter Arka dengan cepat mengecek nadi Ricky, ia menghela napas lega.

"Sebaiknya kamu harus banyak istirahat dulu dan tenangkan pikiran," ujar Dokter Arka pelan. Ia menyelimuti tubuh Ricky dengan selimut.

__08__

Fenly terduduk lemas di tempat keluarga penunggu pasien di IGD. Beberapa menit lalu, Fenly mendapatkan kabar bahwa kendaraan yang di bawa oleh Gilang dan Fajri mengalami kecelakaan.

Pria berparas tampan itu hanya bisa terdiam. Pikirannya saat ini tengah kacau, ia bingung harus melakukan apapun. Semua menjadi tak karuan dan serba tak terkendali. Teman-temannya dalam kondisi tidak baik-baik saja alias darurat.

"Kenapa harus terjadi di waktu bersamaan?" Fenly bertanya lesu. Entah siapa yang akan menjawab pertanyaan itu.

Orang berlalu lalang di sekitar lingkungan IGD. Kabar Lia masih belum tahu, Ricky keracunan makanan, Fiki menghilang tanpa jejak, Zweitson dalam masa kritis, serta Gilang dan Fajri mengalami kecelakaan.

Lalu siapakah selanjutya???

"Keluarga Nona Lia," ujar salah satu perawat IGD.

Sebanyak tiga kali panggilan, akhinrya Fenly tersadar dari lamunan. Ia segera mendekati asal suara perawat IGD.

"Ada apa dengan Lia, Sus?" tanya Fenly. Ada perasaan khawatir menyelimuti hatinya.

"Mas dengan siapanya?" Perawat IGD tak menjawab, ia malah bertanya balik.

"Saya Fenly, teman satu sekolanya Lia. Ada apa Sus?" Fenly berusaha sabar.

"Apakah orang tua Lia tidak ada yang datang ke sini?"

Kembali perawat IGD bertanya tanpa mempedulikan Fenly. Fenly menahan sabar sejak tadi dan emosinya sudah ingin meledak rasanya.

"Sebenarnya apa yang terjadi dengan Lia, Suster Irene?!"

Suasana di sekitar lingkungan ruangan IGD menjadi tegang. Suster Irene menelan ludah kasar, ia mengalihkan pandangan tajam Fenly yang mengarah kepada dirinya.

"Maaf Mas. Saya ingin menyampaikan berita duka cita, bahwa pasien atas nama Lia Sabrini telah dinyatakan meninggal dunia."

Jdarr!!

Fenly mematung. Ia sangat terkejut atas perkataan Suster Irene. Lagi-lagi ia harus mendengar kabar tak menyenangkan dalam jangka waktu dekat.

"Mohon untuk Mas menyelesaikan berkas kematian Nona Lia Sabrini. Tubuh Nona Lia akan kami pindahkan ke ruang jenazah."

Suster Irene menghela napas kecil setelah menyelesaikan perkataannya. Ia merasa terbebas dari auara tak menyenangkan yang keluar dari sekitar tubuh Fenly.

Dan Fenly masih terdiam mematung. Ia sungguh tak bisa mengontrol kondisi mentalnya untuk saat ini.

__08__

Di sebuah ruangan yang begitu gelap, seorang Pria bertubuh tinggi sekitar 175 cm tertidur lelap di kasur berukuran King Size. Perlahan kedua mata terbuka perlahan, gelap itulah yang terbenak di pikiran.

"Ugh! Kepala Fiki pusing," keluh Fiki memegangi kepala.

Kerutan di kening menandakan Fiki tengah berpikir keras. Ia tak bisa mengingat apapun, jika terlalu dipaksakan kepalanya berdenyut nyeri.

"Sial!" Fiki mengumpat.

Fiki mengatur napas sejenak, ia menghela napas lalu menghembuskan perlahan. Perasaan Fiki sudah mulai sedikit tenang. Ia meregangkan otot-otot di seluruh tubuh pelan.

"Aku harus pergi!" Fiki berseru.

Kemampuan khusus Fiki yaitu mendengarkan isi pikiran seseorang, namun kemampuan itu berkembang menjadi lebih hebat. Ia juga bisa membaca isi hati seseorang, walau jarak antar dirinya dengan orang-orang di sekitar hanya 8 sampai 10 meter saja.

"Sepertinya para penghuni rumah sedang tidak ada," ujar Fiki. Suasana di dalam rumah cukup sunyi dan sepi. Ini kesempatan bagus untuk Fiki menyelinap kabur dari rumah terkutuk yang mengurung dirinya cukup lama.

Fiki berhasil menuruni anak tangga menuju ke lantai satu. Tak ada terlalu banyak penerangan, hanya beberapa lilin kecil yang ditaruh di sisi ruangan.

"Tinggal melewati ruang tamu, aku benar-benar bisa keluar dari rumah yang menyeramkan ini."

Langkah demi langkah Fiki lewati cukup baik. Ia sudah sampai di depan pintu yang menghubungkan dengan dunia luar. Ia pegang kenop pintu, lalu membuka perlahan.

Hembusan angin malam menerpa wajah tampan Fiki. Terukir senyuman lebar di bibirnya, ia berhasil keluar dengan selamat.

"Zweitson, semoga kamu baik-baik saja," ujar Fiki menatap jalanan di lingkungan rumah elit. Fiki pun pergi jauh meninggalkan rumah terkutuk.
.
.
.
.
.

{14/07/2024}

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top