Chapter 02 Teror

Note : Cerita ini hanyalah fiktif belaka. Nama pemeran kuambil dari para member boygroup Indonesia yaitu UN1TY. Maaf jika ada kesamaan latar, tokoh maupun cerita ini. Cerita berjudul Eight 3 adalah murni milik saya!
.
.
.
.

Fenly tersenyum miris. Sudah seminggu lamanya dia hanya berdiam diri di rumah.

Sejak insiden di gudang rumah sakit yang membuat Fenly mengalami kecelakaan. Kezia, sang Kakak Ipar-nya menjadi posesif kepadanya.

"Bang Joe... gue kok tiba-tiba rindu lo ya. Pasti Bang Joe dan Ayah sudah bertemu di atas sana," gumam Fenly lirih.

Tak terasa netranya sudah berlinangan. Saat menutup kelopak mata dan disitulah air mata turun membasahi pipi.

Fenly kangen dengan suasana rumah yang ramai. Ada Ayah, Mama, Kak Joe, Kak Kezia dan dirinya. Setiap hari Minggu pasti mereka akan mengadakan piknik di puncak Bogor.

"Sudah lama rasanya kehilangan dua orang tersayang," ucap Fenly terisak.

Tok!

Tok!

Tok!

Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar. Fenly segera menghapus air mata paksa. Dia beranjak menuju ke arah pintu.

Saat pintu sudah terbuka lebar, tak ada satupun orang di luar. Kosong. Dahi Fenly mengernyit hingga kedua alis mata menyatu.

"Aneh banget," gumam Fenly bingung.

Fenly menutup pintu kamar. Baru saja jalan tiga langkah, suara ketukan pintu kamar kembali terdengar.

Tok!

Tok!

Fenly langsung membuka pintu sedikit kasar. Dan tidak ada siapapun di luar seperti tadi. Muka Fenly sudah memerah sempurna mirip kepiting rebus.

"Siapa sih yang iseng?!" omel Fenly.

Hening. Tiba-tiba suara senar gita menggema di sudut-sudut rumah. Bulu kuduk Fenly merinding.

"Tuhan, tolong lindungi Fenly," ucap Fenly berdoa.

Fenly baru teringat bahwa saat ini ia hanya seorang diri di rumah. Mama dan Kak Kezia sedang pergi ke supermarket membeli persediaan bulanan.

Degh!

Tubuh Fenly kaku. Kedua netra melebar sempurna. Saat Fenly membalikan badan muncul sosok hantu wanita berwajah bule mengenakan gaun biru panjang serta membawa sebuket bunga mawar biru.

"Aku kembali."

Kedua sudut bibir sosok hantu wanita bule itu menyeringai lebar. Suara tawa seakan menggelegar bagaikan petir.

"Hahaha... kalian bersiap-siaplah. Akan ada kejutan besar menanti kalian!"

Sosok hantu waniya bule menghilang dalam hitungan detik. Tubuh Fenly kembali bisa digerakan. Fenly pun terduduk lemas setelah melihat sosok hantu itu.

"A-apa yang terjadi? Kejutan besar untuk kami? A-aku tidak mengerti."

Fenly tak bisa berpikir jernih. Kali pertamanya Fenly melihat sosok hantu di depan mata langsung.

Kepala Fenly terasa sangat pusing. Ia sampai harus memegangi kepala yang terus berdenyut. Satu-persatu potongan gambar muncul di otak.

Jl. Senopati. Malam hari. Kacamata. Pemuda.

Fenly mengambil pasokan oksigen secepatnya. Kali ini dia mendapatkan empat gambaran penghilahatan masa depan.

Huh!

Huh!

Deru napas Fenly sudah mulai tenang. Fenly berusaha berjalan pelan menuju ke dalam kamar. Ia memilih duduk di pinggir kasur.

"Aneh. Kenapa gue mendapatkan empat potongan gambar? Biasanya hanya tiga saja."

Berbagai pertanyaan tersimpan di otak Fenly. Dari kemuncullan sosok hantu wanita bule dan empat gambaran masa depan. Semua menjadi teka-teki baru bagi Fenly.

"Gue... harus kabarin mereka, tapi...," ujar Fenly penuh keraguan.

Keadaan saat ini tidak memungkinkan untuk berkumpul bersama. Ricky masih dalam fase pemulihan. Fiki menghilang. Dan Fenly terkurung di dalam rumah.

__08__

Zweitson dan Farhan pulang sekolah langsung mencari keberadaan Fiki. Sudah seminggu lamanya sosok sahabat mereka yaitu Fiki menghilang.

"Son, kita istirahat dulu ya," ucap Farhan menyeka keringat di muka menggunakan sapu tangan.

Pemuda berwajah preman berhati hello kitty memilih duduk di bangku taman sekolah. Zweitson masih berdiri memainkan gawai miliknya.

"Fik, lo di mana sih? Gue khawatir sama lo. Nanti lo kalau makan atau minum gimana?"

Mulut Zweitson berkomat-kamit melontarkan rasa cemas, khawatir, panik, serta sedih. Kedua netra Zweitson di balik kacamata bundarnya sudah berkaca-kaca.

"Son," Farhan menepuk pelan bahu sang Adik kelas.

Kedua bahu Zweitson sudah bergetar dan suara isakan tangis pecah akhirnya. Farhan menarik tubuh kurus Zweitson ke dalam pelukan.

Satu tangan mengelus punggung Zweitson memberikan kekuatan dan ketenangan. Farhan mengerti perasaan Adik kelasnya, dia pun juga merasa kehilangan sosok Adik lainnya.

"Bang, gue kangen Fiki," ucap Zweitson lirih.

"Fiki sekarang lagi apa? Apa dia nggak kangen sama kita?"

Zweitson terus meracau. Farhan melepaskan pelukan, lalu menuntun Zweitson untuk duduk. Seharian belajar di sekolah kemudian lanjut mencari keberadaan Fiki, membuat tenaga mereka terkuras habis.

"Lo tunggu sini ya, gue mau beli minuman dulu di seberang taman. Ok."

Zweitson menganggukkan kepala kecil. Dia sudah berhenti menangis.

Farhan pun berlari kecil meninggalkan Zweitson sendiri. Farhan menyebrangi jalan untuk membeli minuman dan makanan kecil.

Tinggallah Zweitson di bangku taman. Zweitson menatap langit yang sudah berubah senja. Di hapusnya air mata menggunakan lengan.

"Fik... gue kangen sama kekonyolan lo, kerakusan lo dan semuanya."

Zweitson bergumam sambil menunggu kedatangan Farhan. Sudah limabelas menit, batang hidung Farhan juga tak nampak.

"Bang Han, kok lama juga ya," ucap Zweitson mulai panik.

Degh!

Tidak sengaja lirikan mata Zweitson menangkap siluet bayangan seseorang. Siluet itu cukup dikenali oleh Zweitson.

"Itu kan... Fiki!" seru Zweitson.

Tanpa berpikir panjang, Zweitson langsung mengejar siluet mirip sahabatnya Fiki. Zweitson terus mengejar sambil memanggil nama Pemuda itu.

"Fiki! Tungguin gue!"

Pemuda itu tak memperdulikan panggilan Zweitson. Zweitson tak mau menyerah begitu saja, hingga sosok mirip Fiki berhenti.

__08__

Zweitson mengatur napas sejenak. Lelah rasanya harus berlari mengejar sosok di depannya.

"Fiki, ini lo kan?" tanya Zweitson pelan.

Ada perasaan ragu menelisik hati. Zweitson maju selangkah demi selangkah mendekati Pemuda mirip Fiki.

"Berhenti!"

Suara bernada perintah membuat langkah Zweitson terhenti. Pemuda di depan Zweitson membalikkan badan, memperlihatkan sosok sebenarnya.

Degh!

Senyum lebar terukir di kedua sudut bibir Zweitson. Setelah mencari selama seminggu, akhirnya Pemuda berkacamata bulat berhasil menemukan sahabatnya.

"Halo Soni, sudah lama kita tidak bertemu," ucap Fiki menatap intens Zweitson.

Namun, Zweitson merasa bahwa ada yang berbeda dari sahabatnya. Zweitson masih diam mengamati.

"Kenapa kau tidak menyapaku? Padahal sejak tadi kamu memanggil namaku."

Langkah Zweitson perlahan mundur. Dia menatap sosok Fiki tak percaya. Raut ekspresi ketakutan terpampang nyata di wajah Zweitson.

"Tidak! Kamu bukan Fiki!" seru Zweitson membantah.

"Hahaha... aku ini Fiki, sahabat kamu Soni." tutur Fiki tertawa kecil.

Sosok Fiki dalam sekejap berubah menjadi seorang wanita dewasa berwajah bule. Sebuket bunga mawar biru dan gaun biru panjang ala bangsawan begitu menarik perhatian.

Zweitson ingin melarikan diri, tetapi dari arah sebelah kanan, sebuah kendaran beroda dua melaju cepat. Aksi tabrakan tak dapat dihindari kedua belah pihak.

Brakk!!!

"Aaahh!"

Tubuh Zweitson terpental hingga bagian kepala membentur trotoar jalan. Cairan kental berwarna merah mulai merembas keluar membashi jalan aspal. Sang Pengemudi sepeda motor juga terjatuh. Dia menatap Pemuda yang di tabrak penuh ketakutan.

"Tidak! Aku tidak bersalah!" seru sang Pengemudi.

Pria berusia tigapuluh tahun langsung meraih sepeda motor. Dia dirikan kembali, lalu menaiki cepat. Setelah mesin motor menyala, Pengemudi itu menancap gas motor melaju cepat meninggalkan lokasi penabrakan yaitu Jalan Senopati.

"Aku telah kembali..."

Sosok hantu wanita bangsawan menatapi tubuh Zweitson penuh kesenangan. Bunga mawar biru dia jatuhkan tepat di atas tubuh Zweitson.

"Selamat tinggal..."

.
.
.
.
.

{22/10/2021}

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top