8. Teman ke-35

#SoL, roman, sekolah

Prompt: She fell first, but he fell harder

***

Jam kosong adalah waktu yang sangat digemari para murid. Berbagai macam permainan dan drama mereka lakukan di dalam kelas, sehingga terdengar berisik. Begitu pula Gianna, seorang gadis pecicilan.

Memiliki kepribadian demikian membuat Gianna mudah beradaptasi, dan menjalin hubungan dengan seluruh teman sekelas, terkecuali Algi. Ia sebenarnya bukan orang pendiam, tetapi tidak juga banyak bicara.

Ia terbuka dengan orang lain. Hanya saja hidup dalam kelas sosial lebih tinggi dibandingkan mereka, membuat Algi susah mendapatkan teman sejati. Lebih tepatnya mereka hanya berteman dengan uang milik Algi.

Akhir-akhir ini Algi jarang bergaul dengan mereka, dan lebih sering duduk di taman sambil melukis. Selain karena tidak ingin terganggu dengan kebisingan, ia juga ingin mencari referensi gambar dari lingkungan sekitar.

Sudah sekian lama Gianna melihat perubahan signifikan pada lelaki itu. Tepat di hari sebelum libur tiba, Gianna menyempatkan diri untuk menghampirinya. "Hai, Algi! Kamu tahu, kan, kalau aku sudah menjalin hubungan degan teman sekelas?"

Algi mengangguk. "Tahu, kok. Tapi ...," ia terdiam sejenak sembari menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Hubungannya sama Algi apa, ya?"

Pertanyaan polos Algi membuat Gianna tampak gemas. Ia pun mau tak mau berbicara langsung ke intinya, "Gak sadar? Cuma kamu yang belum berteman sama aku, loh. Jadiii, apa kamu mau bekerjasama untuk menjadi temanku yang ke-35?"

Algi tak serta-merta menyahut. Ia justru lanjut melukis tanpa memedulikan gadis itu. Alhasil, Gianna kembali angkat suara, "Ayolah, ini buat memecahkan rekor pertemanan di dalam kelas."

"Kamu ...," Algi menggantungkan ucapan seraya beralih memandang netra gadis itu lamat-lamat. "Aneh," sambungnya.

Algi beringsut dari tempat duduk, kemudian meninggalkannya di taman sendirian. Hal itu membuat Gianna menghentakkan kakinya kesal, lantas beralih menyusuli lelaki itu.

"Tunggu!" Gianna berusaha meraih lengan Algi. "Kamu pasti tahu kalau cuma dimanfaatkan sama mereka, tapi kenapa kamu terima?" Ia menggerutu, "Sedangkan aku yang mau berteman begitu saja malah diabaikan!"

Algi berpaling sejenak. "Lebih baik berteman dengan orang jahat yang terang-terangan, daripada berteman dengan orang baik yang pura-pura."

Gianna tertegun atas pernyataan lelaki itu. Namun, ia tidak menyerah begitu saja. Gianna bahkan melakukan berbagai interaksi untuk menarik perhatian Algi, tetapi tampaknya ia tak bisa diluluhkan dengan suatu keyakinan atau sekadar kata-kata.

"Kalau begitu untuk kali ini, aku hanya minta tolong buatkan lukisan wajahku. Aku akan membayarmu--" Gianna lantas membekap mulut tatkala menyadari ia sudah salah bicara.

Algi hidup dalam keluarga dengan kelas sosial yang jauh lebih tinggi darinya, para murid justru menjalin hubungan dengan Algi agar bisa membeli apa yang mereka mau. Tentu kebahagian bagi Algi bukan berpaut tentang uang. Namun, secara mengejutkan, untuk pertama kali Algi melihat ke arahnya.

"Baiklah." Algi mengangkat jari kelingkingnya ke atas untuk membuat sebuah simpul perjanjian. "Dan mulai sekarang aku setuju untuk menjadi teman ke-35, teman terakhirmu di kelas ini."

Gianna dibuat kebingungan. Namun, karena tak ingin Algi berubah pikiran, ia lebih baik meyambut tautan jari kelingkingnya. Algi sendiri bukan tidak merasa uang adalah sumber kebahagiaan. Hanya saja dengan Gianna membayarnya untuk melukis, itu berarti Gianna tidak memiliki niat terselubung seperti yang lain.

Algi mendapatkan sebuah kesetaraan, serta menyadari bahwa karyanya memiliki nilai tersendiri melalui sang gadis. Karena itulah ia menyukainya. Bahkan sekarang perasaan Algi tampak dominan, dibandingkan Gianna yang lebih dahulu mendekatinya.

Kini setiap libur sekolah tiba, sebisa mungkin Algi menyempatkan diri untuk datang membesuk. Menceritakan kepada sang gadis perkembangan ke-34 temannya dalam seminggu sekali. Hingga Gianna bertanya, "Gimana sama temanku yang ke-35?"

"Maaf saja. Algi kurang suka menceritakan tentang diri sendiri," sahutnya sembari mengembuskan napas kasar.

"Kalau begitu biarkan aku bertanya, kenapa sampai sekarang lukisan wajahku belum selesai?!" gerutunya, sembari berdecak kesal. Algi selalu suka melihat sisi gadis itu yang cerewet, penuh pertanyaan, serta optimis.

Ia pun terdiam sejenak sembari mencoba memikirkan sebuah alibi. Namun, pada akhirnya ia berkata jujur, "Karena lukisan itu tak seindah wajah aslimu."

Tidak bisa dipungkiri, Algi selalu merasa ada kekurangan dalam karyanya. Hingga sering kali membuat lukisan wajah Gianna di sketsa baru, dan entah kapan selesai ....

shima_alqie
Kamis, 8 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top