5. Dunia dalam Lukisan
#surealisme, fantasi
Prompt: Masuk ke suatu website random
***
Meminta maaf perlu kesiapan mental, sementara untuk memaafkan dibutuhkan keteguhan hati. Serangkaian konflik menimpa Algi dan Gianna, sehingga membuat mereka terseret dalam keputusan itu, serta berusaha membangun hubungan kembali ke titik awal.
Tak pernah diduga takdir membawa mereka pada kecelakaan. Padahal jauh sebelum kejadian, keduanya masih bisa berkelakar di kursi penumpang. Algi tentu tak patut untuk dihakimi hanya karena ia selamat. Oleh karena itu, Gianna menyambut baik surat darinya.
"Diksi puisimu makin berkembang, ya," ucap Gianna memecah keheningan. Ia sangat tahu, Algi masih canggung setelah sekian lama tidak bertemu.
Kini, keduanya tengah duduk pada gazebo di halaman belakang. Ada sebuah kebun kecil dengan berbagai macam tanaman di sana. Sejak menjadi tunanetra, Gianna memang gemar berdiam diri untuk bermeditasi dengan alam, alih-alih berkontakan secara verbal dengan keluarga.
"Makasih, Gianna." Mampu bertahan dengan kekurangan adalah malaikat sesungguhnya bagi Algi. Sedangkan ia yang memiliki fisik sempurna, justru melakukan percobaan bunuh diri. Bersyukur malaikat menyelamatkan nyawanya. "Oh, ya. Algi ingin menunjukkan sesuatu."
"Apa itu?" tanya Gianna penasaran. Meski sudah tidak dapat melihat lagi, ia seolah dapat membaca raut berseri-seri pada wajah Algi sekarang.
"Ini sebenarnya tugas SBK kita yang sempat tertunda." Ia tersenyum simpul sembari menatap Gianna dengan pandangan teduh. "D-dan sebagai ganti, karena Algi gagal membawamu ke museum."
Senyum Gianna semakin mengembang. "Kayaknya menarik, kasih tahu aku lebih banyak." Ia tampak antusias sekaligus penasaran dengan kejutan dari Algi.
Algi beralih mengeluarkan sesuatu dari dalam tas, lantas memberikan kepada Gianna. Ia pun mulai meraba sudut-sudut figura berbentuk persegi empat, dengan motif garis spiral pada tepiannya itu. Ketika beralih meraba bagian lukisan, jemarinya seolah menyatu dengan cat minyak, kemudian berangsur hingga ke seluruh bagian tubuh.
Serta-merta Algi ikut tersedot ke dalam lukisan. Tubuh mereka terperosot jatuh di antara undakan kabel yang meliuk-liuk bagai tangga. Membuat Gianna memekik histeris kala terhempas jatuh. "M-Maaf, Algi lupa memberi tahu Gia, kalau ada dunia dalam lukisan ini."
Detak jantung Gianna berpacu kencang. "B-bukan masalah." Ia berusaha meyakinkan, meski penampilannya tampak kacau dengan rambut berantakan. "Terus, sekarang apa lagi?"
Algi pun menunduk untuk menatap ke bawah, menunjuk pada sebuah komputer besar yang terhubung dengan tangga kabel. "Sebagai pengunjung di sini, kita harus mendaftarkan nama di komputer itu."
Gianna beralih memiting tangan Algi. "Baiklah, ayo--eh, tunggu! Aku bisa melihat?" tanyanya pada diri sendiri. Padahal jauh sebelumya, ia juga sempat mengalami hal serupa saat mimpi sadar. Kejadian itu dipicu karena tengah berada di alam ghaib. Alhasil, Gianna bisa melihat hal-hal tak kasat mata melalui mata batin.
Tanpa ba-bi-bu, keduanya segera berjalan menapaki tangga, untuk menuju ke arah komputer yang masih jauh dari radar. Namun, saat di pertengahan perjalanan, tangga-tangga di langit kian runtuh. Hingga tubuh mereka sekali lagi terhempas di udara.
Algi lantas menahan sebuah garis spiral jingga, yang menjadi penghubung antar dunia satu dan lainnya menggunakan sisa-sisa kekuatan. "Gianna, ke sini!" Ia mengulurkan tangan ke arah sang gadis.
Sementara itu, tubuh Gianna tengah menyangkut di awan mendung. Ia pun segera menjatuhkan diri, kemudian menyambut uluran tangan Algi. Bersama itu pula, garis spiral dari sudut vertikal membawa mereka jatuh dengan meliuk-liuk, dan menghantarkan pada sebuah komputer di bawah sisi jembatan.
Gianna memekik, "Al! Papan tik digitalnya gak bisa digunakan!" Ia merasa linglung kala selalu gagal saat mencoba mengetikkan nama keduanya di komputer.
"Memang gak ada program papan tik digital di situ." Algi mencoba memaparkan dengan tenang, "Kita harus mencari huruf-huruf dengan nama kita, pada setiap tombol tik yang tersebar terpisah di penjuru dunia tak terbatas ini."
"Sialan, kenapa kamu gak memberitahuku dari tadi?!" Gianna mengumpat sembari menatap Algi dengan kesal. Namun, bencana lain datang menyambut. Kini, keretakan sudah mencapai ujung jembatan ....
Beruntung Algi mengetahui seluk-beluk dunia ini, dan segera membawa Gianna menduduki kursi sepeda roda satu yang tengah ia ayunkan. Tampak tak masuk akal memang satu roda dengan dua muatan, tetapi ia bisa mengendalikannya saat dalam keadaan terdesak macam ini.
Ketika tengah mengayunkan sepeda, Algi melihat sebuah keretakan yang tampak membentuk huruf 'G' pada ruas jalan. "Apa itu salah satu tombol tik yang kita cari?" selisik Gianna dengan pandangan memicing, karena debu-debu di atmosfer.
Algi mengangguk selilas seraya mengehentikan laju sepeda. Kemudian, segera kembali menghampiri bongkahan. Ia pun menghentakkan kaki sebanyak dua kali, sesuai dengan jumlah huruf 'G' pada nama keduanya.
Akan tetapi, hentakan kakinya semakin membuat ruas jalan menjadi retak. "Algi, cepat! Reruntuhannya sebentar lagi sampai sini!" Gianna memekik untuk memperingati lelaki itu, sembari berusaha sabar menunggu.
Ketika Algi sudah berada di samping Gianna. Keduanya saling bergandengan tangan untuk berlari dengan tergesa-gesa. Napas mereka tersengal tatkala menyadari, posisinya hanya selisih beberapa langkah sebelum jembatan ini benar-benar runtuh. Bahkan, kejadian tersebut telah menelan sepeda yang sempat mereka gunakan.
Algi dan Gianna terus melangkah melewati jembatan, yang terhubung ke sebuah bangunan berkubah. Di sana, garis spiral jingga itu menembus tembok bangunan. Karena terdesak di antara dua keretakan, keduanya memutuskan masuk dalam keretakan pada garis spiral.
Ketika berhasil masuk, sebuah padang hijau menyambut mereka. Melihat pemandangan alam nan asri dengan semilir angin segar, membuat Algi lantas mengembuskan napas lega. "Tadi itu hampir saja, loh."
"Ini dunia fantastis dan sangat surealis." Dibandingkan mengeluh, Gianna tampak terpukau dengan petualangan ini. Algi sendiri menjadi ikut senang, sebab sisi optimis gadis itu sudah kembali lagi.
Keduanya tertawa kecil ketika menyadari hal-hal aneh, dan bagaimana ekspresi satu sama lain saat dihadapi dengan adegan menguji adrenalin.
"Nah, siap mencari tombol tik lain dengan huruf nama kita?" tanya Algi sembari beralih memandang gadis itu sekilas, sementara tubuh keduanya semakin terlihat kacau.
"Jangan ditanya lagi," sahut Gianna antusias, seraya berjalan menyusuri hutan. Gua-gua yang tampak dari jarak pandang, membuatnya dapat menyimpulkan bahwa suatu ras telah membangun peradaban di sini.
Akan tetapi, Gianna tidak menduga bahwa tempat ini ditinggali oleh para goblin. Makhluk dengan perawakan hijau kerdil bertelinga runcing, semakin memberi kesan menyeramkan dengan riwayat ganasnya.
Ketika ia berjalan lebih dekat, terlihat anak-anak goblin tengah bermain petak umpet dengan cara begitu khas. Salah satu goblin menjaga peti harta karun, sementara yang lain bersembunyi. Goblin penjaga harus bisa menemukan mereka dari persembunyian, sedangkan teman-temannya akan dinyatakan menang apa bila berhasil mencuri harta karun tanpa ketahuan.
Sebagai pencipta lukisan, Algi tentu tahu bahwa harta karun itu berisi sekumpulan huruf yang mereka cari. Namun, tak akan menarik jika semua berjalan lancar. Ia pun terpikirkan sebuah ide, "Gimana kalau kita ikut mencuri harta karun?"
"Kamu yang membuat lukisan ini, tapi kamu kesulitan dengan ulah mereka?" Gianna lantas terkekeh, ia tampak tidak peka dengan siasat Algi. "Tapi baiklah, gak ada salahnya mencoba."
Algi dan Gianna pun mencuri kesempatan. Ketika goblin penjaga mulai lengah saat mencari tempat persembunyian temannya, mereka hendak mengambil harta karun. Namun, sebuah suara terdengar, "Krik-krik!"
"Krik-krik, ajheno ndksi irhen!" Suara itu semakin mendekat, membuat mereka berhenti beraksi.
Gianna mengernyit keheranan. "Suara apa itu?"
Algi tak serta-merta menjawab. Ia menyeret tubuh Gianna untuk bersembunyi di antara semak belukar terlebih dahulu. "Itu suara goblin. Mereka sudah mengetahui ada penyusup," desisnya.
Gianna melongo tak percaya. "Kamu tahu maksud dari perkataan mereka?"
"Tentu saja, karena Algi yang membuat dunia dalama lukisan ini," ungkapnya dengan percaya diri.
Gianna mengangguk takzim. "Ya. Kamu hebat, Al. Aku tahu itu. Tapi biar kuubah pertanyaan ... apa itu berarti, ini bahasa asal-asalan?"
Algi mengangkat bahu. "Setidaknya, belum terdaftar dalam bahasa resmi. Aku sedang mengusahakannya."
Dalam perbincangan, tanpa disadari enam bambu runcing sudah mengarah ke leher mereka. Algi lantas mengangkat tangan tatkala makhluk-makhluk kerdil itu menyudutkannya. "Gabda erta shanna an jabkak ... bidean!"
Mendengar pernyataan itu, para goblin saling bertukar pandangan untuk berbicara secara naluri, sehingga dapat melihat keraguan satu sama lain. Namun, sepersekian detik kemudian salah satu goblin tertua maju, lalu berlutut diikuti prajurit goblin lainnya.
Gianna tidak begitu mengerti dengan perbincangan mereka, tetapi ia dapat menarik suatu kesimpulan bahwa para goblin sudah menyadari siapa penciptanya. Algi sendiri berbicara dengan bahasa asal-asalan, tetapi antara ia dan goblin seolah memiliki suatu ikatan yang membuatnya saling mengerti.
Untuk merayakan kedatangan Sang Dewa kemari, para goblin melakukan tarian sambil mengitari Algi dan Gianna, seraya memberikan peti harta karun. Kali ini mereka cukup beruntung, karena peti tersebut berisi dua huruf pada papan tik. Yaitu, 'A' dan 'N'.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Dari hutan rimbun, menuju hutan para dryad, atau dikenal pula dengan roh pohon. Gianna lantas memetik salah satu daun pada sebuah pohon besar nan rimbun. Sebab tulang daunnya membetuk kerangka dengan huruf 'L'.
Sebagai sosok yang bertugas untuk merawat alam, dryad tentu tidak suka daun mudanya dipetik begitu saja. Untuk menjadi pengganti, dryad memerintahkan Algi--sang pelukis, agar melukiskan sebuah pohon besar dengan 1.000 macam daun berbeda-beda jenis.
Akan tetapi, hanya satu hal yang tidak mungkin terjadi dalam dunia surealis. Yaitu melukis sesuatu, ketika mereka berada dalam lukisan itu sendiri. Karena tak sanggup, Algi dan Gianna melakukan pelarian. Alhasil, mereka dikejar oleh para dryad dengan akar panjang dan dahan-dahan kokohnya.
Beruntung saat mereka berlari, ada seekor gorila tengah menguap. Keduanya mengambil kesempatan, dengan masuk ke dalam mulut gorila sebelum benar-benar terkatup.
"Kamu hampir mengajakku mati untuk kedua kali, Al," ucap Gianna sembari terkekeh dengan lelucon gelapnya.
Algi tak habis pikir dengan Gianna. Ia masih bisa tertawa di saat-saat seperti ini. Beruntung ia berhasil menekan gigi gorila yang berbentuk 'I', sebagai akhir dari kelengkapan huruf pada nama mereka.
Sekarang, ia mendadak kebingungan. "Gianna, kita sedang berada di dalam mulut gorila," ungkap Algi dengan gelagapan. Karena meski huruf yang dikumpulkan sudah lengkap, mereka telah terperangkap di sini, dan tidak bisa kembali lagi!
***
-Tema Website: Zoom Infinity
-Link Website: https://zoomquilt.org/
Karena website yang muncul saat pencarian web randomku dalam format video, aku hanya bisa memberikan linknya. Sebab wattpad gak punya fitur upload video dari ponsel. (Linknya masih bisa diakses, kok. Tapi harus diketik ulang).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top