Tears

Jadi...apa temanya hari ini, Tuanku?

Tanpa menyebutkan katanya ya hmm... Tema ini cocok untuk anak itu sih, pria itu juga cukup cocok. Ada beberapa kertas milikmu yang lumayan identik dengan tema ini.

Apa? Kau menyuruhku memilihnya? Seperti biasa kau tetap seenaknya, Tuanku.

Haaah...baiklah baiklah. Pemuda itu saja.

Sebentar, kau menyuruhku untuk menceritakannya dari sudut pandangku? Meskipun ini bukan kisahku?

Itu aturan setiap cerita ini? Karena aku guidenya?

Cih...merepotkan. tapi baiklah kucoba.

.
.
.

"Hmmm...rasanya disini mulai dingin"

Gadis berambut berwarna anggur itu hanya menggumam ditengah langkahnya diatas tanah yang cukup gersang karena berada di wilayah yang dominan bau pasir. Cuaca disini tak begitu terik seperti seharusnya.

Cek penampilan sebentar. Bagus, ia tampak tak begitu menyolok. Ah iya lupa, kalaupun menyolok, ia 'tak terlihat' oleh siapapun.

Abaikan tentang dirinya. Segala hal tentang dirinya itu tak penting disini. Karena tokoh utamanya bukan dia.

Melainkan pemuda itu.

Seorang pemuda yang sangat baik hati. Disayang semua orang. Namun sayang, nasibnya tak begitu beruntung karena terlahir sebagai tokoh utama.

Ya...ya... Siapa bilang jadi tokoh utama selalu bahagia. Itu hanya omong kosong.

Gadis itu tanpa harus berpikir banyak mulai melangkahkan kakinya ke arah tempat yang seperti pasar. Ia akan menemukan pemuda itu di tempat itu.

Tak butuh waktu lama untuk mencarinya. Bahkan ia sudah menemukan pemuda itu ketika ia baru saja selesai 'jajan' beberapa tusuk sate.

Pemuda berambut coklat itu tengah menarik seorang perempuan berambut hitam arang  dengan wajah panik. Mereka tampak tengah dikejar. Dari sini, gadis itu bisa melihat siapa yang mengejar pemuda itu. Segerombolan pria berseragam. Tampaknya seperti tentara kerajaan.

"Ah...susahnya jadi pemberontak" kata gadis itu memutuskan untuk mengikuti mereka.

Pemuda itu sekarang tengah bersembunyi sembari memeluk perempuan bersamanya. Mengawasi sekitar. Perempuan yang dipeluknya tampak merona.

Ah...bisa ditebak perempuan itu naksir pemuda ini, bukannya begitu?

Gadis berambut sewarna anggur ini hanya memasang senyum...miris.

Ya, miris. Karena sekarang ia tengah berhitung.

"9....8....7...."

"3....2....1"

"Ketemu. Mereka disini!"

Terlihat seorang pria berseragam menemukan mereka berdua. Lalu berteriak memanggil teman-temannya.

"Ah sial"

Pemuda berambut coklat itu tampak mengupat. Kembali menarik perempuan berambut hitam bersamanya.

Sementara gadis berambut anggur ini kembali menghela nafas panjang.

"Kenapa baru mulai dapatnya tema begini sih...hhh...." dengusnya kembali mengekori keduanya.

Menuju waktu yang begitu dingin di depan sana.

.
.
.

"Kalian sudah tak bisa kabur kemana-mana lagi. Kalian yang menantang Raja harus berakhir hari ini juga"

Gadis rambut anggur itu bisa mendengar suara lantang nan mengancam dari para pria berseragam terhadap kedua tokoh utama yang tengah ia tonton sekarang sembari menyantap sate yang barusan ia 'beli'.

Ah, terdengar tidak berperasaan sekali tindakannya sekarang. Tapi hei... apa daya gadis itu. Dia tak punya kuasa untuk melakukan apapun yang ia inginkan sekarang.

Ia hanya guide. Itu aturan main kisah ini.

Di ujung tebing, pemuda berambut coklat dan gadis berambut hitam tampak saling berpegangan tangan dengan erat. Sembari melirik kebawah dengan ngeri. Mungkin berpikir bagaimana caranya lolos dari situasi mereka sekarang.

Gadis berambut anggur ini lalu menutup telinganya tak ingin mendengar kata-kata yang akan keluar sebentar lagi. Kata-kata yang sejujurnya tak ia sukai.

"Matilah"

Maaf...

Kelanjutan dari kata-kata itu sungguh tak disukai olehnya. Momen inilah yang akan menjadi pendamping dari tema hari ini.

"Awas Kak"

Kata-kata itu terlontar dari bibir perempuan berambut hitam yang tiba-tiba menarik pemuda di depannya yang sedari tadi mencoba melindunginya. Memasang badan dari sabetan pedang salah satu tentara. Memberinya luka besar secara diagonal menghiasi dadanya.

Gadis penonton ini kembali menggigit bibirnya. Hanya menatap kejadian itu sembari melangkah mendekati mereka mulai mengeluarkan payung.

Karena sebentar lagi mereka akan datang.

"A-ASHA..."

Gadis itu bisa melihat Sang Pemuda meraih tubuh perempuannya yang ambruk. Ia hanya jongkok sembari lagi-lagi menghitung sesuatu.

"Kenapa kau..."

"WAAA!!!!"

Kata-kata si Pemuda seketika terputus karena tanah yang menjadi pijakan mereka tiba-tiba runtuh. Ya, lagi-lagi sesuai hitungan gadis penonton yang seolah sudah tahu kalau mereka akan jatuh.

Ah...bukan seolah lagi. Dia memang sudah tahu.

Dari atas tebing ia bisa melihat pemuda itu tengah bertahan pada sebatang pohon. Mati-matian memegangi perempuannya.

Ia tak begitu mendengar apa yang mereka bicarakan. Suara para tentara di dekatnya lebih berisik. Mereka tampak bergembira karena mengira kedua target mereka sudah mati. Padahal sebenarnya tidak.

Ah bukan, belum.

Mereka memang pasti mati. Semua makhluk hidup itu pasti mati. Tapi tidak untuk sekarang.

Gadis itu masih menatap mereka yang tengah mempertaruhkan nyawa dalam diam. Kemudian mulai mengembangkan payungnya yang bersamaan dengan jatuhnya perempuan berambut hitam. Bertemankan teriakan putus asa dari pemuda berambut coklat yang benar-benar tak cocok untuknya.

Mereka sudah datang. Seolah menangisi kisah ini.
.
.
.
.

Gadis berambut ungu itu masih menatap pemuda berambut coklat yang sekarang telah kembali menginjakkan tanah dengan miris. Membiarkannya menumpahkan segala perasaannya yang hancur lebur karena baru saja kehilangan orang yang ia cintai. Menangis ditemani oleh mereka.

Mereka yang entah benar-benar menemaninya menangis atau justru tengah mentertawakan Sang Tokoh Utama ini. Gadis berambut sewarna anggur ini tak tahu.

Ia hanya bisa jongkok menemani pemuda itu. Memberinya payung yang sebenarnya percuma saja karena ia hanya 'penampakan'. Sang Tokoh Utama akan tetap basah kuyup.

Sejujurnya payung yang ia pegang sekarang juga tidak membantunya sama sekali untuk memayungi perasaannya yang rasanya juga ingin menangis meratapi perannya yang cukup mengesalkan ini.

Sabar ya...

Hanya itu yang bisa dikatakan gadis mungil berambut sewarna anggur ini dengan sorot mata redup.

.
.
.
.

Seperti itu kah yang kau inginkan, Tuanku?

Cih...pagi-pagi sudah nyesek aja. Menyebalkan. Sepertinya kau tampak puas menyiksaku dengan memberiku peran sebagai saksi bisu ini, huh.

Ya sudahlah. Setidaknya sate disana cukup enak sebagai permulaan.

*******
Note:

Btw, tema hari ini:

Hujan tanpa menyebut kata hujan sama sekali.

Cerita ini terlihat aneh? Ya maap. Ku memang agak susah mengembangkan cerita dari sudut pandang orang ketiga pengamat. Ku keseringan pakai pov 1 atau pov 3 serba tahu.

Untuk lebih jelasnya cerita ini ada di The Ways to Paradise. Tentu saja disini ku takkan detil. Selain karena menggunakan sudut pandang orang lain diluar kisah mereka, ku juga ga mau spoiler terang-terangan//uhuk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top