+ | l o v e l y.
lovely (with Khalid) — Billie Eilish, Khalid.
•
•
•
"Apa yang mengganggu pikiranmu?"
Hangyul tersentak dari lamunan. Kepalanya menoleh, menemukan kawannya yang sedikit lebih tua darinya, Seungyoun, tengah menatapi dirinya serta langit di belakangnya secara bergantian. Pemuda di sisi kirinya itu kemudian melempar pandangannya, kembali terfokus pada hamparan bintang di atas mereka.
Hanya ada diam dan semilir angin malam di antara mereka. Hangyul mengerti, Seungyoun masih menanti jawabannya. Kedua kaki jenjang milik sang pria terayun di udara, menggantung begitu saja dari tepian rooftop tempat keduanya menghabiskan waktu, menanti malam menjemput kegelapan yang lebih nyata untuk dilihat.
"Pernahkah kau berpikir—," Hangyul menurunkan pandang, merasa bersalah dan sesak ketika kalimat tanyanya hendak menyeruak dari balik bibir. "Kenapa— Kenapa Tuhan menciptakan makhluk hina seperti kita?"
Pembicaraan dengan topik ini tidak pernah menjadi pembicaraan yang baik-baik saja di antara mereka atau pula kawan-kawan yang lain. Mereka lebih memungkiri kenyataan ketimbang menyetujui fakta yang terhampar jelas di hadapan mereka. Rasa bangga terus ditancapkan kuat-kuat di dalam hati, mengubur pertanyaan yang lebih tepat disebut sebagai ratapan dari mereka pada Yang Kuasa di atas sana.
"Bohong jika aku bilang tidak."
Hangyul menangkap getar di balik suara Seungyoun. Rasa takut seakan tergambar dari kalimat yang baru saja dilontarkan, meski Seungyoun dengan begitu payah menutupi ketakutan itu dengan kekehan ringan. Hangyul memilih diam, abai dengan apa yang baru ia tangkap, dan memilih untuk menepisnya sejenak.
"Lalu?"
"Mungkin Dia memang suka bergurau."
Gurauannya tidaklah lucu sama sekali. Hangyul iri, sejujurnya. Melihat sosok lain dapat menikmati hidup mereka tanpa dilumuri dosa yang justru menjadi sumber kehidupan oleh dirinya dan kawan-kawan yang lain, Hangyul ingin. Ingin sekali ia melihat hal-hal suci tanpa cela, bahkan jikalau boleh, ia akan menyentuhnya selembut mungkin.
Ia semenyedihkan itu, memang.
Jangankan menyentuh, berpapasan dengan sosok lain saja dirinya sudah dihujani oleh tatapan muak yang tak ditutup-tutupi. Mereka di luar sana menatapnya rendah, bagaikan anjing liar di jalanan yang sama sekali tak pantas hidup. Hangyul tidak melakukan apapun. Ia hanya tengah bernafas ketika mereka melemparkan tatapan jijik dan membunuh di saat yang bersamaan.
Mungkin inilah alasan kenapa Hangyul tidak suka menetap di lingkungan tempat tinggalnya. Ia akan memilih pergi ke atas rooftop— manapun itu, hanya untuk duduk disana dan mengamati kerlip bintang atau juga lalu lalang kendaraan di bawah kakinya yang menggantung. Suatu kebetulan yang luar biasa ketika ia bertemu dengan Seungyoun malam ini, dan berbagi cerita mengenai kegiatan mereka di hari itu.
Hingga pertanyaan itu muncul.
Pertanyaan atas diri mereka sendiri.
Siapa mereka?
Apa mereka benar-benar makhluk yang Tuhan ciptakan untuk melengkapi poros kehidupan yang ada?
"Sudahlah, jangan dipikirkan," tangan Seungyoun mendarat di atas kepala Hangyul, menarik kembali atensi Hangyul yang sempat terpecah. Senyumnya tampak tulus di antara dinginnya malam. "Kau mau pergi sekarang?"
"Entah— aku tidak berselera."
Seungyoun sempat mengeratkan giginya. Hangyul menangkap gemertak gigi milik sang kawan yang beradu cukup keras. Maniknya melembut, kontras dengan rahangnya yang mengeras dan nafas yang memburu.
"Sayangnya, kita harus hidup," Seungyoun mengusap kepala Hangyul sekali lagi sebagai tanda perpisahan. Pria itu berdiri, kemudian menepuk-nepuk bagian celana yang dirasa kotor. "Maaf, Hangyul."
"It's not even your fault, jangan meminta maaf," Hangyul tersenyum lebar, mencoba menyerahkan kembali suasana yang sempat menjadi sama dengannya dengan hembus angin malam. "Aku penasaran dengan orang-orang yang begitu taat— haruskah aku coba?"
Belum ada kalimat persetujuan meluncur dari bibir Seungyoun ketika Hangyul berlalu, meninggalkannya begitu saja dalam keterkejutan. Ia berteriak, mencoba memanggil Hangyul, menahan sang pemuda dan menceramahinya mengenai batasan-batasan yang sebaiknya tidak mereka lalui. Tidak, tidak ada yang salah dengan mendatangi para pemuja Tuhan.
Hanya saja—
Tuhan tidak semudah itu untuk diberikan sebuah gurauan.
⠀⠀⠀
***
⠀⠀⠀
Hangyul menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan dan menyakinkan bahwa dirinya berada di situasi yang aman. Tidak sekalipun mata elangnya menangkap sosok lain yang biasa berkeliaran, atau bahkan menjaga para sosok suci pemuja Tuhan. Malam kali ini sepi, dimana burung hantu pun tidak terdengar saling sahut menyahut.
Aneh. Hangyul menyadari keanehan itu. Meski fisik dan jiwanya menepis rasa cemas yang bersarang, hatinya tetap terasa tidak tenang. Berulang kali, letupan keras terasa menghantam telak di ulu hati, memberikan kejut bagi sang pemilik tubuh. Hangyul nyaris mundur karenanya, namun kata-kata Seungyoun entah kenapa terngiang jelas di dalam kepala.
Benar. Hangyul harus hidup.
"Aku kira kau akan berhenti disitu."
Satu suara menahan pergerakan Hangyul yang sudah bersiap untuk masuk melalui jendela kamar targetnya malam ini. Tanpa perintah dua kali, tubuh tegapnya menoleh cepat, begitu terkejut dengan kedatangan tamu yang tidak diduganya. Sikap defensif lantas ditunjukkan sang pemuda pada sosok lain yang baru saja merendahkan hingga sejajar dengan Hangyul di depan jedela kayu.
Telapak Hangyul meremat kuat bibir jendela, mencoba menguatkan diri dan bersikap sewajarnya pada sosok di depan sana. Jujur, Hangyul sempat terpana selama lima detik pada sayap putih bersih yang mengepak di balik punggung lawan bicaranya. Rumah targetnya yang berada di dalam gang sempit nan kumuh tampak tak menghalangi keindahan sosok tanpa cela di depannya.
Entah dari mana datangnya titik hitam yang berhasil membawa Hangyul kembali pada realita. Kini, dihadapan dirinya sang makhluk paling hina, telah hadir sesosok malaikat dengan sayap seindah rembulan penuh di atas sana.
Hangyul ingin menangis, bingung, haruskah ia merasa takut dengan tatapan tajam yang tersembunyi apik di balik senyum lawan bicaranya, ataukah menangis senang karena doanya baru saja terkabul— Hangyul ingin menyentuh sayap itu sebelum pergi tunggang langgang membawa rasa malu akibat tertangkap basah malam ini.
"Kau indah."
Sangat, sangat indah. Hangyul meneteskan air matanya. Bibir tebalnya bergetar dalam kekaguman tak terhingga pada sosok yang harusnya tidak menjadi jalan cerita baik yang ditakdirkan Tuhan pada sosok incubus seperti dirinya.
"Terima kasih," malaikat itu masih diam dengan sudut bibir ditarik tipis, menguatkan ekspresi congkak yang seketika melambungkan dirinya dalam rasa percaya diri. "Tapi kau harus pergi, sayang sekali," sosok itu melanjutkan.
"Kenapa?," Hangyul tertawa lembut— lebih seperti mendayu, sengaja menggoda lawan bicaranya untuk terjerat dalam perangkap para incubus. "Apa yang salah dari bermimpi basah pada seseorang, tanpa mempedulikan benarkah dirinya seorang yang suci sekalipun atau tidak."
Alis tebal milik sang malaikat tampak berkedut, merasa tertantang dengan sikap keras kepala Hangyul. Ia menipiskan senyumnya, nyaris berwajah datar sebenernya. Wajahnya menunjukkan raut tak percaya— skeptis, merendahkan pada Hangyul yang merasa tertampar.
Hangyul menunduk, tidak mau melihat tatapan yang ditujukan pada dirinya. Merah menjalar di wajahnya. Ketimbang marah, ia justru malu— malu bukan main. Benar juga, bisa-bisanya makhluk menjijikkan seperti dirinya berbicara dengan seorang malaikat tanpa rasa malu.
"Jangan mengganggu teritoriku."
"M-maaf—," Hangyul mencicit kecil. Telinga bak sirip ikan di sisi kepalanya menunduk, layu, persis seperti semangat dan seleranya yang mendadak hilang karena kedatangan sang malaikat. Ia sadar jantungnya bertalu kuat, entah memberi peringatan padanya untuk segera pergi sebelum menjadi abu, ataukah merasa sangat antusias dengan pertemuan dua makhluk Tuhan yang begitu kontras ini.
"Kau mem—"
"Ng, m-malaikat—?," Hangyul memotong begitu saja kalimat yang entah apa akan dilontarkan sang malaikat. Sosok itu tidak menolak. Ia membungkam bibir tipisnya, menanti kalimat lain yang akan Hangyul ucapkan.
Hangyul meneguk liurnya dengan susah payah. Udara terasa menyesakkan— atau mungkin ia sendiri yang tercekik oleh nafsu alamiah di dalam tubuhnya. "B-boleh aku menyentuh sayapmu—?"
"Kenapa?"
Hangyul memutuskan untuk menangis, membiarkan air matanya meluncur, bentuk frustasi atas keadaan yang ia alami. Di satu sisi, Hangyul menangis karena hendak mengungkapkan pikirannya yang berkecamuk pada sang malaikat, tapi di sisi lain, Hangyul menangis untuk dirinya sendiri.
Tubuhnya.
Kenapa— kenapa ia terlahir sebagai seorang incubus yang jelas memiliki nafsu begitu besar, dan harus ereksi di saat yang tidak menguntungkan seperti ini? Kenapa? Apakah karena balasan dingin sang malaikat, ataukah tubuh kurus yang menguarkan dominasi terlampau kuat, atau Hangyul memang sewajarnya— menjadi pelacur bagi para makhluk immortal?
"M-maaf, tidak seharusnya aku begini," suara Hangyul pecah di beberapa titik. Ia mendongak, mencoba mengembalikan air mata yang hendak meluncur. "Aku hanya penasaran. Bagaimana rasa memiliki sayap indah seperti itu? Sayap kami, para incubus, tidak memiliki perbedaan berarti dengan sayap kelelawar. Dan ekor— kalian tidak memiliki ekor, persis seperti manusia dengan sayap indah di belakang sana."
Hangyul menatap ekornya yang berkibas di bawah telapak kakinya. "Kami memiliki ekor— aneh."
Sosok malaikat itu mendekat, menjadi sangat dekat dengan Hangyul hingga pria itu dapat merasakan deru nafas hangat milik sang malaikat di perpotongan lehernya. Hangyul tidak sempat menghindar, sebab malaikat itu telah lebih dulu memeluk pinggangnya guna mencegah kemungkinan Hangyul untuk kabur. Sang incubus tidak dapat melakukan apapun selain bergidik— benar-benar bergidik ketakutan.
"Tiga kali kau memuji ras kami dengan sebutan indah. Apa pujian itu—"
"Nnh—!"
"—begitu memuaskan hingga kau ereksi? Harusnya aku yang berada di posisimu," telapak tangan itu mengusap gundukan di balik celana Hangyul yang semakin menggembung. Hangyul menahan gerak tangan itu, namun tatap tajam sang malaikat berhasil memukulnya mundur dan membatu dalam rengkuhan sang malaikat.
"J-ja— ahh, j-jangan, kumohon b-ber— ngh!"
Hangyul memejamkan matanya erat, tidak berani mengintip ketika dirinya berhasil mendapatkan pencapaian berlumur dosa seperti malam-malam sebelumnya. Tubuhnya bergetar— aneh, Hangyul tidak pernah merasa selelah dan terpuaskan begitu hebatnya seperti saat ini. Padahal, malaikat itu hanya mengusap dan meremat penisnya perlahan, tanpa benar-benar berniat memuaskan anggota tubuh itu.
Sang malaikat memundurkan wajah. Nafasnya dihembuskan di wajah Hangyul, meminta sang pemuda untuk membuka matanya. Hangyul mengintip, dan ia cukup menyesal saat mendapati telapak tak bercela itu kini sudah dilumuri cairan yang mengkilat tertimpa sinar rembulan.
"Menjijikkan," tanpa peringatan, telapak tangan itu mendekat pada bibir Hangyul dan masuk begitu saja ke dalam mulutnya. Hangyul tersedak, nyaris muntah karena tidak siap dengan perbuatan kasar sang malaikat yang bisa-bisanya mempertahankan ketenangan dan raut datar di wajahnya. "Bersihkan," titah sang malaikat.
Dalam linangan air mata yang mengumpul di balik kelopaknya, Hangyul mulai membiasakan mulutnya dan menjilat kecil bak kucing pada jari-jari sang malaikat. Sikap malu-malunya dibalas tatapan dingin oleh sang malaikat, yang entah kenapa dalam kepala Hangyul, menjelaskan bahwa sang malaikat belum puas dengan jilatan-jilatan ringan Hangyul. Malaikat itu ingin melihat lebih, melihat betapa rendahnya incubus ketika dikuasai oleh nafsu mereka.
Hangyul menghisap jari-jari sang malaikat. Kepalanya mulai maju dan mundur secara konstan. Sesekali ia akan menjilat telapak tangan sang malaikat dengan rakus, ketika merasa masih ada jejak dosa di atas kesucian itu.
"Is it enough—?"
"No."
Hangyul tersentak saat tubuhnya diputar secara mendadak. Tubuhnya terlempar pada dinding, kemudian dihimpit tanpa membiarkan Hangyul menarik nafasnya barang sedetik. Lengkingan panjang penuh puja meluncur dari bibir Hangyul ketika sang malaikat mengusap ekornya dengan tidak sabaran. Lain dengan di bawah sana, lidah sang malaikat bekerja di sisi telinga Hangyul. Anggota tubuh tak bertulang itu menjilati telinga Hangyul dan sesekali menyesapnya— atau bahkan menggigit dengan cukup kuat.
Semua makhluk immortal mengerti, bahwa ekor dan telinga incubus adalah hal yang wajib dijamah ketika kau ingin melihat mereka hancur dan dibutakan oleh nafsu.
"Nggh! Ah ahh! M-more— hh, more, p-please—"
"Look at this little sinner," bibir yang menjauh dari telinga rupanya menggigit ujung ekor Hangyul yang berbetuk sekop. Sang incubus muda melolong panjang, persetan dengan kemungkinan ia dan sang malaikat akan tertangkap basah di dalam gang kumuh saat ini.
"Begging like a whore— atau kau memang seorang jalang, dear?"
"I-I'm h-haah— y-your whore shh—"
Andai Hangyul menyempatkan diri untuk menoleh, tentu ia akan mendapati seringai tercetak di wajah sang malaikat. Senyum lebar itu tampak begitu puas dengan reaksi tubuh Hangyul serta jawaban yang diberikan padanya. Gigitan dalam pada ekor sang incubus seakan menjadi suatu penghargaaan untuk Hangyul.
"Betapa hinanya kalian," nada jenaka terselip disana. Mungkin malaikat itu sadar bahwa untuk kedua kalinya, Hangyul mencapai pelepasannya di malam ini, hanya karena rangsangan kecil dari jari sang malaikat. "Mengharapkan hal suci dari tubuh kotor seperti ini."
"H-hh! O-ohh God, mnhh! M-more, please m-more kh!"
"Bagaimana jika aku tidak mau?," telapak tangan itu menjauh. Tubuh sang malaikat mundur di udara, memberi jarak pada Hangyul yang menoleh tergesa dan terisak seperti anak kecil yang kehilangan mainannya. Tangannya yang lemah mencoba menggapai tubuh sang malaikat yang tetap memberi jarak. "Apa kalian akan mati?"
"P-please, I'm b-begging hh you—," Hangyul meraih celana kain sang malaikat ketika dirasa sosok itu telah diam dan lebih memilih untuk memperhatikan Hangyul. Seakan dikomandoi oleh alam bawah sadar, Hangyul menarik pengait celana kain sang malaikat dan menurunkannya sebatas paha, membiarkan penis sang malaikat menggantung di udara tanpa dihalangi kain apapun lagi.
Sang malaikat hanya diam, membiarkan kedua matanya bekerja, mengawasi Hangyul yang sudah menurunkan celananya sendiri dan mengangkat sebelah kakinya. Sang incubus muda merengek, mencoba memasukkan penis sang malaikat ke dalam dirinya dengan susah payah. Tentu bercinta sembari mengepakkan sayap dan menjaga keseimbangan di udara bukanlah hal mudah.
"Help m-me— nghh."
Telapak tangan dan kedua kaki Hangyul berpindah cepat, mengalungi tubuh sang malaikat saat sosok itu mulai menyentak masuk tanpa peringatan, menghujam rektum Hangyul dengan tidak sabaran. Temponya tak teratur, hujamannya kasar— benar-benar tidak menunjukkan sikap seorang malaikat yang suci.
Hangyul menggapai sayap sang malaikat, mencoba menyentuhnya di sela kegilaan yang tengah mendera dirinya. Kepalanya terhentak seiring gerak sang malaikat di bawah sana. Pusing, namun ia masih berada di ambang kewarasan saat jarinya menyentuh bulu sehalus sutera dan sebersih awan putih di siang hari.
Malaikat benar-benar makhluk yang sangat indah.
"Kau hh menyukainya—?"
Hangyul mengangguk pelan sebagai jawaban.
"I l-like it— ahh, a-aku menyukai kh! nghh! s-segala hal t-tentangmu— hh—"
Sang malaikat terkekeh. Kecupan lembut yang mendarat di pipi Hangyul kontras dengan gerak kasar di bawah sana. "Apa hh ini shh sebuah ungkapan cinta, dear?"
Aneh. Sang malaikat begitu aneh.
Harusnya, sejak awal Hangyul menyadari detak jantungnya yang berhamburan kesana kemari adalah karena ulah sang malaikat. Harusnya Hangyul berlari, bukannya terdiam kagum karena bertemu makhluk kesayangan sang pencipta.
Tidak sepantasnya Hangyul membalas rengkuhan sang malaikat, mengejar kehangatan yang menjalari tubuh serta hatinya secara perlahan.
Maniknya yang menyayu mencoba menangkap ekspresi sang malaikat. Direkam jelas dalam ingatan Hangyul tentang bagaimana sosok itu tersenyum lembut, begitu indah dan menyesakkan di saat yang sama. Kilat matanya melunak— memberi jawaban pada Hangyul yang cukup pintar untuk menyimpulkan apa arti dari tatapan itu.
"Kim Wooseok, say it."
"Kh! K-Kim nghh— W-Wooseok—hh!"
Hangyul merasa telah menemukan rumahnya. Tempat dimana ia tidak lagi perlu untuk berkelana, memuaskan dirinya sendiri yang tengah dihukum oleh Tuhan dalam jerat nafsu tak terbendung. Perasaan hangat itu datang, membawa Hangyul untuk masuk dalam lindungan rasa nyaman yang digaungkan oleh dirinya sendiri.
Wooseok adalah rumahnya, jika Tuhan menghendaki.
•
•
•
•
•
a/n: sesuai judul, chapter ini ditulis berdasar lagunya Billie ft Khalid, lovely.
Adegan anu mungkin nggak banyak dan nggak wow this is so freaccin hot. Tapi kalau sambil denger lagunya, aku mencoba menyampaikan bayak filosofi disini.
Tentang bagaimana seorang Hangyul merasa tersesat, dibuang, mencari-cari jati diri dan makna keberadaan dia sesungguhnya. And then datang Wooseok, dengan segala kesempurnaan yang selama ini hanya jadi bayang imajiner dalam kepala Hangyul. Memang, apa yang mereka lakukan adalah dosa. Tapi, perasaan hangat dan nyaman seakan masuk ke dalam rumah itu datang. Hangyul merasa disambut, dan keduanya jatuh ke dalam perasaan saling mencintai yang jelas penuh dosa serta kemustahilan.
hello, welcome home.
Berat banget nggak temanya? Wkwkw. Maaf ya anuannya nggak enak:(
With luv,
Jinny.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top