+ | d r i p.

Gemerlap dunia di malam hari adalah makanan yang biasa ia konsumsi. Setiap hari, benar-benar setiap hari ia akan melangkahkan kakinya masuk ke dalam pub dengan senyum dan memulai pekerjaannya. Dentum musik sudah menjadi alunan yang wajar, nyaris aneh jika ia tidak mendengarnya sedikit pun dalam satu malam. Tentang bagaimana gelap mengulurkan tangannya dan menyambut sang pria, menidurkannya dalam rasa nyaman dan keindahan yang tak dapat dijumpai di sisi lain dunia, pada akhirnya Seungyoun menjadi terbiasa karenanya.

Sekali lagi, dalam setiap kegiatan malamnya yang cukup rutin, ia kembali melangkah ke dalam pub tempatnya bekerja. Sayup keramaian yang terdengar di luar perlahan masuk dan menusuk tepat pada gendang telinganya. Manik rubahnya sempat mengerjap, hanya untuk membiasakan diri dengan redup yang secara mendadak menggantikan lampu-lampu dan kehidupan normal di luar pub.

"Oh, you're here."

Seungyoun menoleh dengan kening berkerut dalam, mempertanyakan pernyataan sang kawan yang sama sekali tidak dapat ia pahami. "Bukannya itu pernyataan yang cukup retorik, Kim Wooseok?," balasnya dengan suara sekencang mungkin, mencoba mengalahkan riuh di sekeliling, meski berujung sia-sia. Suara lembut itu tidak akan bisa menyaingi baluran dosa yang menari dan mencekik lehernya.

Bahu sempit Wooseok terangkat naik dengan acuh, menanggapi Seungyoun yang mulai berjalan, memimpin langkah di antara keduanya. "Aku hanya berusaha memberikanmu semangat, even tho aku tau kau tidak terlalu membutuhkannya."

Tidak, Seungyoun memang tidak membutuhkan semangat apapun jika itu menyangkut apa yang ia kerjakan di dalam pub ini. Sejak awal, ia sudah sadar dengan konsekuensi dan hal-hal kecil lain yang akan ia temui. Tapi tetap saja, masalah-masalah yang mungkin ia hadapi tidak akan menyurutkan ledakan bahagia di dalam dadanya ketika ia telah berdiri di atas panggung dengan mic di dalam genggaman tangan mungilnya. Karena saat itulah, Seungyoun mengerti, bahwa dunia akan berhenti sejenak dan menghargai dirinya yang tengah melantunkan alunan merdu yang berhasil merenggut fokus tiap pasang mata di dalam pub.

Benar, Seungyoun tidak suka diacuhkan.

⠀⠀⠀

***
⠀⠀⠀

Waktu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Seungyoun naik ke atas panggung. Berbalut pakaian yang cukup terbuka, dengan kemeja tak terkancing tiga hingga menampakkan tulang selangkanya juga sebuah celana jeans yang hanya menutupi setengah pahanya, Seungyoun menyunggingkan senyum guna menyapa manusia-manusia lain di bawah panggung. Riuh terdengar bersahutan, merangkai kereta siul panjang hingga Seungyoun duduk di kursi tinggi yang memang tersedia di atas panggungnya, panggung pertunjukan miliknya seorang.

"Selamat malam?"

Dayu suaranya memancing geraman rendah di beberapa sisi. Seungyoun tau itu. Justru, ia melontarkan godaan itu dengan sengaja. Bahkan, bola matanya sudah mengerling nakal pada mereka-mereka yang menatapnya tajam atau bahkan siap menerkamnya di atas panggung kalau saja mereka tidak punya malu. Seungyoun sempat tertawa, membiarkan garis manis melengkung di bibirnya seakan apa yang ia lakukan hanyalah bualan semata.

"Wow, calm down guys. Aku kira aku hanya diminta bernyanyi seperti biasa di atas sini?"

Beberapa menyahut, setuju dengan pertanyaan Seungyoun yang sebenarnya terdengar seperti sebuah pernyataan. Seungyoun mengetahui satu atau dua di antaranya. Mereka adalah pelanggan yang pernah mengajaknya berkencan, secara baik-baik tentunya. Hanya sebuah kencan manis seperti kencan normal lainnya, tanpa ada unsur seks di dalamnya, sekalipun sering kali Seungyoun menggoda teman kencannya dengan candaan yang sedikit menjebak.

Ada pula penolakan. Hal itu dilontarkan oleh mereka-mereka yang— well, menurut Seungyoun, sering kali berbuat onar. Entah dengan mempermalukan orang lain dengan candaan vulgar mereka, atau bahkan menciptakan keributan yang berujung adu tinju secara mendadak di antara meja pub. Seungyoun sebisa mungkin abai dengan mereka, menolak untuk melirik dengan tatapan penuh magnetnya yang bisa saja menjadi penyebabnya celaka malam itu.

Suasana cukup hening ketika Seungyoun menaikkan micnya, bersiap untuk bernyanyi seperti biasa. Deru nafas halus yang terdengar samar mengiringi untai kalimat bernada yang meluncur dari balik bilah bibirnya.

Sweeter, drip drip drip I want the real you, your heart hidden within

stronger, drip drip drip

I want your honest gaze over you acting nice

Seungyoun membuka pelan kelopak matanya. Pandangannya naik, teralih dari lantai kayu panggung yang dilapisi karpet tipis. Ia mengedarkan maniknya, memperhatikan pasang mata yang menatap dirinya penuh kagum dan puja. Sebisa mungkin, ia berinteraksi dengan mereka yang ada di dalam pub melalui sorot pandangnya yang tajam dan sayu di saat bersamaan.

Rantai halus seketika melilit di lehernya saat dirinya menemukan sosok yang baru saja menatapnya. Tidak, bahkan tidak sampai dua detik mereka beradu pandang, sosok itu justru yang memutus kontak pertama di antara keduanya. Ia kembali asyik dengan kelompoknya dan tertawa menanggapi ocehan kawannya yang lain. Seungyoun tersendat, nyaris terbatuk karena salivanya sendiri yang begitu sulit untuk ditelan. Tubuhnya sempat membatu, meski pada kenyataannya, tangan yang tengah menopang mic di hadapan mulutnya bergetar dengan samar.

Marah, Seungyoun disiram dengan telak oleh amarah.

Seungyoun tidak suka diacuhkan, dan sosok di depan sana baru saja melakukannya, tanpa repot-repot mengembalikan pandang pada dirinya di atas panggung.

⠀⠀⠀

***
⠀⠀⠀

"Hey!"

Seungyoun merutuki dirinya yang berteriak dengan cukup kencang, pada akhirnya, di dalam pub. Langkahnya tergopoh mengejar sosok yang nyaris hilang dari pandangannya. Beruntung sosok itu mendengar cicit putus asa Seungyoun di tengah suara gaduh pub. Maka, ketika sosok itu menghentikan langkahnya, Seungyoun tidak pernah merasa lebih bersyukur dari saat ini. Setidaknya, ia tidak merasa sia-sia harus menyakiti pita suaranya dengan teriakan tanpa arti penting.

"Ya?," balas sosok itu ketika Seungyoun berdiri di hadapannya dengan nafas terengah. Pria itu menaikkan alisnya tinggi seakan tak memberi waktu bagi Seungyoun untuk bernafas setelah melewati kerumunan yang cukup berdesakan.

"Kau, kau pria yang tadi duduk di meja 13?"

Pria itu mengendikkan bahu dan tersenyum ramah. Seungyoun bersumpah ia nyaris melayangkan tinju saat melihat lengkungan yang tergambar di wajahnya. Mungkin, hanya perasaan Seungyoun, kalau senyum itu lebih bersifat merendahkan ketimbang terkesan ramah. Tidak tidak, Seungyoun pasti salah. Tidak mungkin pria dengan balut kemeja kantor dan jas tersampir di lengan itu merupakan tipikal pria menyebalkan yang terbiasa menghabiskan waktu di tempat hiburan malam seperti ini. Jelas, penampilan dan wajahnya tidak menunjukkan kemungkinan adanya sikap tanpa tata krama dalam sosok itu.

"Dan kau pria yang tadi menyanyi di atas panggung?," pria itu tertawa pelan, seakan Seungyoun baru saja melakukan hal paling konyol di hidupnya. "Aku tau. Ada apa, tuan penyanyi?"

Seungyoun bimbang. Dunia terasa berputar di bawah kakinya saat ini. Benar, ada apa? Kenapa ia harus berlari, berdesakan, bahkan berteriak hanya untuk mengejar pria ini? Apa pengorbanannya sebagai bintang pub hanya untuk melontarkan pernyataan bodoh seperti: hey, kau tidak melihatku bernyanyi tadi?

Tanpa sadar, ia menggigit bibirnya, menahan sumpah serapah yang akan meluncur dan menampar wajah tampan, coret, wajah menyebalkan di depannya. Seungyoun berusaha tenang. Sempat ia memberi jeda antara keduanya. Ia menarik nafas panjang, kemudian menerbitkan senyum tipis yang selalu menjadi andalannya dalam menghipnotis orang lain. Tubuhnya mendekat dengan sengaja, menggoda pria yang menjadi lawan bicaranya secara terang-terangan. "Well, aku hanya—"

"Apa ada urusan penting?," pria itu menaikkan lengannya. Maniknya turun, mengabaikan Seungyoun yang lagi-lagi membatu di tempatnya berdiri. Wajahnya pucat, merasa dikhianati oleh jam tangan kulit yang melingkar di bawah pergelangan tangan pria itu. "Jika tidak, maka aku harus pulang. Agak sulit mencari taksi di jam-jam seperti ini."

Untuk pertama kalinya, Seungyoun merasakan ledakan hebat yang bergemuruh di dalam dadanya. Keinginan untuk menguasai pria itu, membuatnya terlupa dengan dunia yang harus ia jalani, mendadak bergaung di otaknya. Keinginan untuk mendominasi sang pria hanya untuk dirinya secara berulang terlintas hingga akhirnya terpatri jelas dalam ingatan. Seungyoun ingin serakah pada mereka yang dengan mudahnya mengabaikan dirinya, dan pria itu akan menjadi target pertama operasi uji cobanya yang tidak terencana.

⠀⠀⠀

***
⠀⠀⠀

Seungyoun menggeram kesal. Tangannya yang bergerak naik turun di penis sang pria tidak lagi berada di tempo yang sama seperti sebelumnya. Geraknya berantakan, tak ada semangat membara seperti apa yang ia lakukan di awal. Pegal, telapaknya sudah pegal bukan main, dan pria sialan itu bahkan tidak menunjukkan tanda-tanda akan tiba pada puncak orgasme. Lidahnya tak lagi tertarik untuk menggoda kemaluan pria di depannya. Sia-sia, upayanya mulai dari menjilat hingga menekan jauh penis itu hingga menabrak pangkal tenggorokannya rupanya masih juga kurang untuk meruntuhkan pertahanan pria itu.

Manik tajam Seungyoun naik, menatap penuh ketidaksukaan pada sang pria yang tengah melipatkan tangan di depan dada dan balas menatapnya. Pria itu menaikkan kedua alisnya, mempertanyakan Seungyoun tanpa kata tentang kemampuannya dalam menggoda seseorang. Ereksinya bahkan tidak sepenuhnya tampak, mungkin hanya sebagai bentuk menghormati pria bermata rubah yang sejak tiga puluh menit lalu sudah mengerjai bagian bawah tubuhnya.

"Aku sudah bilang, aku tidak tertarik melakukan seks. Terutama—," pria itu memotong kalimatnya, menggantungkan Seungyoun yang juga berhenti menanti kalimat yang akan meluncur. "—dengan orang-orang sepertimu yang secara sukarela melemparkan dirinya pada orang asing. Kalian kurang menarik di mataku. Mungkin kau bisa coba menggoda orang lain."

"Tidak!," Seungyoun menjerit frustasi. Sungguh, Seungyoun selalu punya 1001 cara untuk menaklukkan orang lain di bawah kakinya. Jika dengan suaranya atau pula sikap menggodanya belum cukup untuk membuat orang lain menaruh atensi pada dirinya, maka Seungyoun tidak segan melakukan lebih, seperti apa yang tengah terjadi saat ini. Seungyoun bersumpah, ia sudah berusaha, melakukan hal sebaik mungkin dalam mengulum, menghisap, bahkan memijat penis pria di hadapannya. Tapi tetap saja, penis itu tidak berkedut atau menunjukkan tanda-tanda akan memuntahkan setetes sperma pun.

Seungyoun tidak pernah kehabisan akal. Ia adalah pria cerdik yang begitu ambisius. Ia harus mendapatkan apa yang ia mau, dan sosok di hadapannya adalah target utama yang akan ia gapai saat ini. Jadi, ia tidak lagi merasa malu ketika harus naik dan duduk di pangkuan paha pria itu. Kepalanya pening, kepalang kesal dengan keadaan yang tidak berpihak padanya. Tangan mungilnya menuntun penis pria itu untuk menekan lubangnya yang dengan sengaja ia kedutkan.

"Pria-pria kantoran membosankan sepertimu harusnya bersyukur mendapat kesempatan untuk melakukan seks bersamaku," Seungyoun mengerutkan alisnya dalam, entah untuk menambah intimidasi pada sosok yang menatapnya datar, atau karena menahan rasa sakit saat penis besar di genggamannya mulai masuk ke dalam tubuhnya. "K-Kau— kau t-tidak menyenangkan shh ah! s-sama sekali. Tanpa hanghh! t-tanpa hasrat seks d-dan sikap yang baik, angkuh—!"

"Sudahlah, berhenti saja."

"N-never—!"

Kakinya nyaris gemetar, namun rasa terbakar di dalam dada seakan meneguhkan dirinya sendiri. Seungyoun meremat dua bahu lebar sang pria. Tanpa peduli dengan rasa panas dan terbakar di bawah sana, Seungyoun mulai bergerak dengan tempo tergesa-gesa. Sofa yang menjadi penopang keduanya terdengar berderit, mengiringi suara kulit keduanya yang saling bertubrukan. Tidak sekalipun maniknya menutup ataupun teralih dari manik lawan mainnya, sekalipun Seungyoun ingin sekali berhenti menggerakkan pinggulnya dan memejamkan kelopak matanya erat.

Boleh jadi pria itu tidak turut menggerakkan tubuhnya dan balas menyetubuhi Seungyoun, namun tetap saja, urat-urat yang menggesek rektum Seungyoun sukses membuatnya nyaris terjatuh lemas beberapa kali. Tangan yang semula hanya mencengkram bahu, kini sudah mulai bersandar di dada bidang yang masih terbalut kemeja kerja. Seungyoun tidak bohong, pria itu gila bahkan tanpa harus menggerakkan tubuh dan membalas Seungyoun.

"Ah! aah!"

Pada akhirnya, Seungyoun mengalah. Kelopak matanya terpejam erat ketika ia berhasil menusuk prostatnya sendiri dengan pangkal penis lawan mainnya. Tubuh kurusnya gemetar, menahan sengatan memabukkan yang baru saja menerpanya. Tempo yang sejak awal sudah begitu berantakan dan tergesa, kini justru mulai melambat dan bahkan nyaris berhenti. Seungyoun tampak asyik menikmati sensasi perlahan ketika penis di dalam tubuhnya menggesek, terus semakin dalam, hingga menekan prostatnya dengan kuat. Seungyoun sendiri yang menanamkan penis itu di dalam tubuhnya untuk mencari surga yang terasa semakin dekat.

Lengkingan panjang meluncur setelahnya, selaras dengan semburan sperma Seungyoun di kemeja kantor lawan mainnya. Tubuh itu meringkuk dalam dada sang pria, bergetar hebat hanya dengan kegiatannya sendiri. Nafas Seungyoun terputus di beberapa tarikan, berlomba dengan erangan tersendat dan isak tangis halus yang sama mendayunya ketika ia menyanyikan bait lagu di atas panggung.

"Menikmatinya? Kau benar-benar tidak tau malu ya?"

Seungyoun menaikkan pandang. Kelopak matanya sayu, membalas tatapan datar yang sama sekali tidak berubah sejak pertama kali Seungyoun menariknya ke dalam ruang staff pub. Seungyoun hanya tersenyum, masih mempertahankan sikap menggodanya meski sudut hatinya menggertak kesal atas jatuhnya harga diri sang bintang.

"S-setidaknya— ahh aku puas meski melakukan segalanya hh s-sendiri," satu kecupan mendarat di rahang tegas sang lawan main. "You have the greatest one nghh down t-there—hh."

Seungyoun mulai menggerakkan tubuhnya yang terasa tidak nyaman di pangkuan pria itu. Sudahlah, persetan dengan ereksi pria itu. Seungyoun akan mengakui kekalahannya untuk kali ini meski tidak secara terang-terangan di depan pria menjengkelkan itu. Meski kakinya masih bergetar, tapi Seungyoun sudah hendak membawa tubuhnya turun dari pangkuan pria itu.

Itu semua adalah rencananya sebelum kemudian ia membeku dalam diam.

"I'm not done yet."

Bisik kata di sisi telinga yang berhembus bersamaan dengan nafas panas sang pria terdengar seperti peringatan kencang yang begitu terlambat untuk Seungyoun sadari. Meski telapaknya secara refleks telah menahan gerak dominan itu, pula mata yang tak lagi memancarkan keangkuhan melainkan getar bukti rasa takutnya, tetap saja tubuh yang sudah lemas dengan mudah diputar tanpa melepas kontak di bawah sana dan disandarkan pada dada bidang lawan mainnya.

Seungyoun mencicit, mengatakan tidak dengan suara bergetar hebat. Telapaknya mati-matian mencoba melepaskan cengkraman di bawah lututnya yang dengan sengaja melebarkan paha Seungyoun ke arah yang berlawanan. Seungyoun tidak sempat menyembunyikan wajahnya yang memerah karena terekspos seperti ini. Panik sudah menyergapnya ketika suara di dalam hatinya menyuarakan perasaan waswas yang begitu kentara.

"T-Tunggu— a-aku baru saja—"

"Tunggu?"

Tubuh Seungyoun membusur, menjauhi sandarannya saat pria di bawahnya bergerak dengan keras, menghantamnya tanpa ampunan. Penis yang sedari tadi diam akhirnya menghujam prostatnya tanpa henti, seakan pria itu sudah hapal dengan letak titik terlemah Seungyoun melalui kegiatan binal Seungyoun tadi. Bibir tipis milik Seungyoun digigit kuat oleh pemiliknya, menahan jerit nikmat juga sakit yang menerpa tepat di tubuh bagian bawahnya.

Seungyoun tidak mempu bergerak barang sedikitpun. Tubuhnya lemas, telonjak-lonjak secara pasrah dengan kedua kaki terbuka lebar atas cengkraman di lututnya. Suara lembutnya tak lagi terdengar, tenggelam dalam rintih tipis yang membentuk untaian tak terputus. Seungyoun melemah hanya karena pergerakan tiba-tiba pria yang tadinya tidak menunjukkan ketertarikan atas sikap serta perilaku Seungyoun.

Beruntung Seungyoun tidak perlu melihat senyum yang pasti menghias wajah tampan di belakang sana. Cukup mendengar tawa itu dalam kalimat sang pria, Seungyoun sudah merasa perlu untuk menenggelamkan wajahnya di bantal sedalam mungkin.

"Tunggu? Bukannya ini yang kau nantikan sejak tadi, dear?"

"T-Tidak— tidak, m-maaf shh ngh! K-kumohon berhenti du— ah!"

Seungyoun menangis. Ia benar-benar menangis di antara rasa nikmat yang mendera dirinya. Kepalanya berdentam, tak sanggup lagi menerima kenikmatan yang disuguhkan padanya secara tiba-tiba. Tangan yang beralih meremat tubuhnya sendiri, sesekali harus terpeleset akibat cairan precum dan keringat yang mengalir deras dan menghias sudut-sudut tubuhnya.

"Aku benar-benar muak dengan orang-orang keras kepala sepertimu."

Seungyoun merengek, meminta ampunan pada sosok di belakangnya. Hatinya bahkan sudah bersumpah bahwa uji coba menggoda ini menjadi yang terakhir dalam hidupnya. "M-maaf! nghh hahh! m-maafkan a-ahh a-aku—"

"Tidak," sebuah kecupan dan gigitan panjang mendarat di tengkuk Seungyoun, menghantarkan kejut listrik yang berhasil membuat Seungyoun mendapatkan pencapaiannya lagi. Tubuhnya yang menggelinjang tak menjadi perhatian khusus sang dominan. "Aku harus memberikan anak nakal kenikmatan yang dia cari, bukan begitu?"

Seungyoun melihat putih dan gelap secara bergantian. Demi Tuhan, tidak lagi. Seungyoun tidak lagi sanggup melanjutkan permainan mematikan yang sialnya ia ciptakan sendiri. Pelepasannya yang pertama terasa cukup memuaskannya dan menghantarkan rasa lelah yang memang sudah mendera dirinya, terlebih mengingat ia baru saja menyelesaikan pekerjaannya di pub. Menyanyi membuatnya lelah, dan mendesah setelahnya benar-benar menguras energi yang tersisa.

"Han Seungwoo," pria itu bergumam tipis di sisi telinga Seungyoun. Temponya secara mendadak berubah menjadi lambat, tidak lagi menghentak secara kasar dan keras. Telapaknya yang ternyata begitu lebar justru melingkupi penis Seungyoun yang masih sangat sensitif dan mengurutnya perlahan. Nada bicaranya terdengar puas ketika menangkap suara tangis Seungyoun dan untai kata maaf, serta permohonan remeh yang memintanya untuk berhenti mengurut penis memerah di bawah sana.

"Itu yang harus kau ucapkan setiap kali kau mengeluarkan sperma dari penis nakal ini."

Seungyoun mungkin tidak mendengar kalimat di belakang. Pikirannya sudah berkabut, teralihkan oleh kegilaan yang dibawa Seungwoo pada tubuhnya. Tubuh kurusnya kembali melenting, membentuk busur yang berkilat akibat hujan keringat di punggungnya sendiri. Setidaknya, ia masih dapat menangkap untai nama yang berhasil menyeretnya pada penyesalan dan kenikmatan tak berujung di malam itu. Seungyoun tidak lagi paham, apa yang tubuhnya inginkan; apakah ia ingin lebih, atau berhenti total dan terjatuh lemas di sofa keras pub.

"S-Seungwoo— n-no m-more-hh!"

"More?," Seungwoo meremat dagu Seungyoun, membawa kepala yang tertunduk untuk menoleh dan menariknya dalam lumatan panjang. Untuk kali ini, Seungyoun dapat melihat bagaimana paras itu memberikan senyum penuh ejekan padanya yang telah melebarkan kelopak mata. "Gladly, dear."





a/n: memulai dosa ini dengan kapal seungzz.

y'all, dengan hati yang paling rendah, aku minta untuk step back kalau takut tergonjang-ganjing sama cracknya kapal-kapal di dalam book ini. atau untuk kalian yang masih suci, i warn you, book ini ga bakal jadi jalan yang baik-baik dan mulus untuk kalian.

well, but, welcome sinners. i'm here, widely open my arm for y'all. lets get trapped in the hell, and never step back.

tolong ya, jangan misuh.
pokoknya kalau ga suka, langsung pergi dari chapter pertama ini. say goodbye dengan segala dosa yang akan disuguhkan di dalam sini.

this is gonna be a oneshot.
semua cerita di dalam sini cuma oneshot pendek— yang mungkin ada tambahan sedikit kalau aku mau nambah wkw.

bukannya lanjutin 7 rings atau trapped, malah nulis ini. ya, gimana? sesekali otak kotorku sendiri perlu asupan kan:)

With luv,
Jinny.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top