DDD 3
Melepasmu sama dengan membiarkan kesesakan ini semakin menghimpit jantungku
♥
"Haish ...." Javier meredam kejengkelan sekaligus kegelisahannya dengan menyibukkan diri di dapur dengan membuat spageti.
Padahal makanan sisa pesta masih sangat menumpuk di sana. Sekali lagi ia melirik jam mahal yang melingkar apik di tangan kirinya. Lima belas menit berlalu sejak ia kembali namun Tanti tak juga menampakkan batang hidungnya.
"Di mana bocah itu. Menjengkelkan!" gumamnya sengit.
"Siapa yang menjengkelkan?" suara dari sosok yang ia tunggu, menegurnya dari belakang tubuhnya.
"Siapa lagi jika bukan seorang wanita yang memakai pakaian kurang bahan sedang ber-chitchat ria dengan pria mature," sindir Javier, masih dengan memunggungi Tanti.
"Kamu melihat kami?"
"Kalau aku bilang iya, kenapa?" Javier balik bertanya sedikit melirik Tanti yang sedang memanaskan teko di kompor yang lain sebelum kembali ke spageti buatannya.
"Bukan urusanmu juga sih," jawab Tanti sambil lalu, "tolong panggil aku, jika airnya sudah mendidih ya."
Javier mengerutkan dahinya tanpa menyahut dan berbalik badan saat ia menyadari dirinya sendirian sekarang.
"Aneh," gumamnya. Namun ia juga lega, bahwasanya wanita itu sudah kembali lagi. Jika sampai ia selesai membuat spageti dan menandaskannya namun wanita itu tak kunjung datang ia bersumpah akan mencarinya di seluruh penjuru kota. Pemikiran itu jelas sempat mampir di benaknya.
Sekali lagi Javier memalingkan wajah ke belakang, memperhatikan wanita itu yang saat ini sedang mengurusi Asoka. Sangat telaten dan keibuan, sungguh tak menyangka Tanti yang ia kenal sebelumnya adalah wanita yang manja dan selalu menuntut apapun keinginannya harus dituruti lalu kini bisa berubah sedemikian rupa. Yah, memang manusia akan selalu berubah sesuai dengan apa yang terjadi dalam hidupnya, definisi dari bertahan hidup. Sebenarnya kejengkelan Javier juga disebabnya karena kurangnya informasi yang selama ini dirinya dapat. Ia sebetulnya juga heran, foto gadis kecil yang diduga adalah anak Tanti juga tidak pernah jelas penampakan wajahnya. Javier jadi kesusahan menebak.
Sekali lagi hati Javier terusik, hatinya menghangat dengan pemandangan itu sampai ia menggeser kursi meja makan dan mengambil spot paling strategis untuk menatap Tanti. Hati dan isi otaknya tidak berjalan dengan beriringan kali ini. Semua dikarenakan oleh wanita cantik yang ada di depannya saat ini.
Javier mendengkus, mencoba mengurai sesak yang menghimpit dadanya. Ini tidak baik, sebab kenapa? Karena sepanjang hari ini, ia jadi bisa melupakan keberadaan Elina. Bayangan Elina yang selalu menemani hari-harinya di dalam ingatan tak datang hari ini. Segera, ia akan membuat perhitungan dengan Tanti. Javier tahu pikiran tentang Elina sebetulnya karena rasa bersalahnya karena kepergian wanita itu yang janggal mengingat Elina dan juga Tanti dulunya bersahabat begitu yang Javier ketahui belum lama ini.
Javier tak lagi peduli jika dikata sebagai pria pengecut yang hanya berani dengan wanita, karena sejatinya semua sumber sakit hatinya ada dalam sosok kurus namun tepat berisi di beberapa bagian tubuhnya dan berbadan tinggi semampai itu sangat pas. Darahnya berdesir dan dadanya berdenyut nyeri mendamba wanita itu. Seolah-olah bagian dirinya yang paling intim sungguh mengenal rumahnya.
Javier sedang berpikir mengatur strategi bagaimana caranya untuk menjebak Tanti saat tiba-tiba abangnya Noah datang dan merebut piringnya.
"Makasih banget loh, spagetinya," jawab Noah asal-asalan seraya memasukkan segulung spageti menggunakan garpu ke mulutnya.
Javier meringis jijik. "Ih ... jorok banget sih Bang. Itu makan sambil ngomong, Dokter kok gitu," gerutu Javier yang hanya diam saja tanpa berusaha menarik kembali piring makanannya itu.
"Emm ... spageti buatan Adek Javi emang enyak."
"Sumpah Bang! Geli banget, kamu bilang gitu. Aku bukan anak kecil tahu!" sungut Javier ketus, walaupun tidak terlalu keras.
Javier lebih baik diam daripada meneruskan perdebatan dengan Noah. Ia tahu pasti abangnya itu hanya menggodanya karena demikianlah adanya ia suka menggoda Javier yang dasarnya pendiam hanya untuk mendengar suaranya.
Noah menepuk bahu Javier dan merapatkan tubuhnya. "Dengar Bung, sampai kapanpun kau tetap our little Javi. Te amo (I love you), Brother."
Setelah berkata demikian Noah bangkit dengan sedikit merendahkan tubuhnya dan berbisik, "Dengar-dengar nih ya, Tanti akan dijodohkan dengan pengusaha muda dari Jawa Tengah."
Lantas Noah menegakkan badan dan menatap wajah sang adik yang terdiam terpaku menatap pada wanita itu, dan tidak menyahuti ucapannya. Senyum miring tersungging di bibir Noah, ia pun kembali membungkuk dan mengembangkan ciuman seringan bulu pada pipi adiknya. Masih tak ada respon dari sang empunya pipi, lantas Noah berjalan ke dapur dan mencuci piring bekas makannya.
"Jangan lupa bernapas Javi. Aku tidak ingin menjadi anak laki-laki bungsu dalam keluarga Berto," tegur Noah seraya berlalu dan bergabung dengan anggota keluarga yang lain.
Javier sendiri lebih memilih diam dan masih menatap ke arah wanita itu. Ia tentu saja masih ingat dengan percakapan Dany dengannya di depan lift tadi. Namun, kenapa sungguh berbeda jika saudara kandungnya yang mengatakan itu? Lalu bagaimana bisa Noah tahu sedangan ia tidak? Ah, iya dia lupa. Noah lebih mudah membuka percakapan daripada ia yang kaku. Tugasnya memang bukan banyak bicara, tetapi diam dan mengamati.
Walaupun begitu hati Javier membuncah bahagia, satu petunjuk lagi telah ia dapatkan. Pengusaha asal Jawa Tengah? Siapapun dia akan segera berhadapan dengan Javier. Pernikahan Tanti tidak boleh terlaksana. Jikalau harus menculik dan menyiksa wanita itu akan ia lakukan. Seingatnya saat ini Tanti baru saja menyelesaikan kuliah S2 dan magang di kantor Dirandra. Ia akan meminta Dirandra agar Tanti bisa magang di kantor hotelnya. Dengan begitu ia jadi bisa lebih leluasa melancarkan aksi pembalasannya. Kita lihat, apakah dia masih bisa berada dalam topeng sok manisnya seperti dahulu kala atau itu semua hanya kamuflase dari sikap Tanti yang manja dan tak tahu diri.
♥
Tanti tahu sedari tadi pria dingin itu mengamati gerak-geriknya yang membantu Kamini mengurusi ketiga jagoan. Yah, ini yang berusaha Tanti lakukan setiap hari, penghiburannya. Ketiga bocah ini bisa sedikit menghibur hatinya dan menjauhkan pikirannya agar tidak kembali tertarik pada pria itu. Ia tahu sekali pria yang masih duduk termangu di meja makan itu sungguh berbahaya sekali untuk kinerja otak dan hatinya serta tubuhnya tentu saja.
Tanti menarik napas pelan. Bahunya sedikit merosot, sungguh ia merasa frustasi kali ini.
"Kamu sebaiknya segera istirahat saja. Ini obat nyeri untuk memarmu. Aku tahu kamu pasti merasa sedikit pusing dan meriang, bukan?" kata Noah.
Tanti hanya mengangguk dan menerima obat pemberian Noah tersebut. Bergumam terima kasih sebelum berlalu dari sana.
Tatapan mata Javier mengikuti ke arah mana Tanti pergi. Senyum tipisnya tersungging, ia pun segera bangkit dari duduknya dan segera menuju kamarnya.
"Kau ingin cepat istirahat, Javi?" tanya Edgar.
"Iya Bang."
"Baiklah aku juga ingin segera beristirahat."
Tanpa mendengar ucapan yang dilontarkan para saudaranya lagi. Javier segera mengikuti arah perginya Tanti. Sungguh beruntung kamar untuknya tepat berseberangan dengan kamar Tanti. Javier bersandar di samping pintu dan melihat sekitar sebelum tangan kirinya meraba hendel pintu dan memutarnya. Senyum tipis mengembang mendapati pintu itu tak terkunci.
Javier segera masuk dan menguncinya saat situasi dirasa aman olehnya. Ia mengedarkan pandangan dan tak menemukan Tanti di sana. Dengan asumsi gadis itu pasti sedang berada di kamar mandi. Javier segera menekan tombol kedap udara yang terletak tak jauh dari tempatnya berdiri. Ia berjalan ke arah kamar mandi. Ia tahu betul, Tanti tidak sepolos yang banyak sekali orang tahu. Tanti yang ia kenal cukup binal dan suka menggoda.
Dasar setan kecil, kau benar-benar tak akan bisa lepas kali ini. Dosa terbesar dan ditutupi oleh Tanti sudah diketahui oleh Javier dan itu akan ia pergunakan untuk menjebak Tanti.
Bunyi pintu kamar mandi di buka dan Tanti yang hanya melilitkan handuk sebatas pertengahan paha memekik kaget menatap nyalang ke arah Javier. Tanti sungguh takut, ia cukup dewasa untuk tahu selain ada kemarahan. Sebagai pria normal melihat tubuhnya seperti saat ini pasti juga akan bernafsu.
Seraya mengerutkan dahi Tanti bertanya, "Apa yang kamu lakukan di sini? Kamarmu ada di sisi yang satunya."
"Oh aku lupa, atau kamu memang sengaja menempatkan kamar kita agar berhadapan."
"Jangan ge er. Bukan aku yang mengatur semuanya."
"Lalu siapa yang mengatur?" tanya Javier sambil lalu tanpa melepaskan pandangan dari Tanti yang saat ini bersandar pada daun pintu yang tertutup.
Titik-titik air masih membasahi leher serta dada Tanti dan itu membuat tenggorokan Javier seperti tercekat. Tubuhnya mendamba melekat pada tubuh itu seperti di dalam lift tadi.
"Dari pihak keluargamu yang mengatur."
"Oh salah keluargaku, maksudmu?"
Tanti mengerang frustasi, yang benar saja mereka membahas penempatan kamar, really? Tidak ada pembahasan penting juga. Keberadaan mereka berdua dalam satu kamar seperti ini sungguh tidak baik.
"Tidak ada yang menyalahkan siapapun. Tidak ada yang bersalah di sini. Jadi lebih baik kamu keluar. Jangan bilang kamu salah masuk kamar."
Tanti berjalan ke arah pintu kamar namun masih kurang satu meter dari daun pintu tubuhnya seketika terpojok menempel pada dinding.
"Kamu yang salah," bisik Javier.
Dahi Tanti mengerut semakin dalam. Tanti sungguh tak tahu apa maksud pria itu. Menempel dan mengungkung dirinya seperti ini dengan bagian pinggang kebawah yang merapat. Bahkan dengan kurang ajarnya satu kaki Javier mendesak ke tengah paha Tanti yang sedikit terbuka. Membuat Tanti sedikit berjinjit dan kedua tangannya meremas kain kemeja di kedua lengan atas pria itu.
"Apa maksudmu?" tanya Tanti gugup.
"Aku tahu rahasia terbesarmu. Keluargamu tidak tahu menahu tentang keberadaan anakmu bukan?"
Bagaikan tersiram bongahan es menimpa kepalanya, wajah Tanti pucat pasi dibuatnya.
"A-pa?" Otaknya tak lagi mampu berpikir, bagaimana Javier bisa tahu. Ah iya, Tanti lupa jika Javier memiliki usaha dengan sang kakak sulung dalam bidang pengamanan dan detektif.
"Sudahlah jangan sok polos aku tahu kamu seperti pelacur kecil."
PLAK
Tamparan keras mendarat dengan mulus pada pipi kiri Javier. Tangan Tanti sampai terasa berdenyut sakit namun jelas lebih sakit hatinya dibuatnya.
"Hentikan omong kosong ini Javi. Pergi dari kamarku," ucap Tanti dingin dengan derai air mata yang sudah meluncur turun.
Rasa marah dan takut bercampur menjadi satu. Tanti jelas tidak suka Javier terlalu ikut campur dengan urusannya. Baiklah mereka memang sekarang dekat karena adanya hubungan perbesanan, tapi cukup sampai di sana saja.
"Kau tidak bisa mengusirku. Ini gedung milik keluargaku," jawab Javier tak kalah dinginnya menunjukkan arogansinya.
"Begitu ya? Baiklah aku yang pergi saja."
Tanti kembali mencoba mendorong dengan mencengkeram kedua bahu kokoh Javier namun pria itu tak juga beranjak.
Javier mundur selangkah namun tak melepaskan kedua lengannya yang bertumpu pada tembok di kedua sisi tubuh Tanti.
"Lakukan saja. Sana pergi dan aku akan beberkan fakta bahwa kamu memiliki anak di luar nikah. Bagaimana?"
Tanti memejamkan matanya erat-erat memutus pandangan dari pria tampan dan congkak di depan matanya ini.
"Lalu apa maumu?" Tanti tak ingin kalah, ia sedang berpikir bagaimana caranya membujuk Javier agar tidak berbicara dengan keluarganya dulu. Tidak bisa, sebelum ia siap mengatakan sendirian. Ia jelas tidak mau berurusan dengan Javier namun kini ia bingung di buatnya. Keputusan apa yang harus ia ambil.
"Aku mau ini." Javier kembali merapatkan tubuhnya dengan Tanti. Secara kasar tangannya terulur melepaskan simpul handuk dan menggantikan dengan kehangatan tubuhnya yang masih berpakaian lengkap. Sedikit mengangkat tubuh Tanti dan melumat bibirnya, tak memberikan kesempatan Tanti untuk meronta karena kedua tangannya berada dalam satu cengkraman Javier di belakang tubuhnya.
Jangan lupa ⭐ untukku.
Follow Ig azeeladanastri untuk info yang lainnya.
2 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top