Toples Kaca
Aku berjalan di antara gedung-gedung tua yang berjajar rapih, ditemani lampu-lampu jalan dan hembusan angin malam yang dingin. Aku sudah memakai jaket yang cukup tebal, tetapi tetap saja angin-angin itu masuk lewat celah yang berada di jaket ini. Padahal sekarang musim gugur, tetapi hawa dinginnya seperti saat musim salju, sangat menusuk kulit.
Suasana malam ini begitu sepi, atau mungkin memang sepi, karena tidak ada satu orangpun yang berada disekitar sini. Tapi, ya, suasana seperti ini memang sudah biasa terjadi di desa Feihsji dari sekitar 50 tahun yang lalu, dimana ada mitos yang mengatakan kalau setiap jam 18.49 malam ada yang berbeda dari desa yang dikenal kaya akan hasil perkebunannya ini. Entah apa perbedaannya itu aku tak mengerti dan mungkin aku tidak ingin tahu.
Oiya, Namaku Farah, Farah Screson. Tetapi orang-orang lebih sering memanggilku dengan sebutan "Screson si bocah pemberani", oh why? Mengapa aku diberi julukan itu? Apa mereka tidak tahu, kalau aku takut dengan cacing? Oh ya, memalukan sekali diriku, takut dengan hewan yang tidak ada bahayanya.
Atau mungkin orang-orang sering melihat ku keluar di jam seperti ini. Apa itu yang disebut pemberani? Oh Tuhan, padahal mitos itu tidak ada benarnya, buktinya aku. Selama ini aku sering bermain keluar di jam malam dan tidak terjadi apa-apa, bukan berarti aku anak nakal yang pulang hingga larut malam, hanya saja, aku ... hmm mencari sesuatu yang menarik, seperti memanah babi hutan yang sering merusak perkebunan warga misalnya. Argh, aku benci itu.
Dan malam ini aku ingin melakukan hal itu, berburu. Semua perlengkapan untuk memanah sudah siap, tinggal sasarannya saja yang tidak terlihat sedari tadi.
"Kemana para babi itu?" ucapku sambil melihat sekeliling. Biasanya babi-babi itu berlalu lalang setiap malam, mencari makanan untuk disantap, tetapi sekarang tak ada satupun hewan menjijikkan itu yang terlihat.
"Kurang beruntung sekali aku hari ini," ucapku kecewa.
Melihat sudah benar-benar tidak ada hewan pengganggu yang berada disekitar sini, aku memutuskan untuk pulang mengingat jua jam sudah menunjukan pukul setengah sembilan malam. Ibuku pasti sudah mengkhawatirkan putri kecilnya yang berumur 14 tahun ini, berburu dimalam yang menakutkan. Ini semua ku lakukan atas kemauanku dan juga didukung ayahku tentunya, yang memang seorang pemburu juga.
Aku berjalan di jalan yang penuh dengan dedaunan yang berguguran, sambil sesekali mengalunkan lagu kesukaanku. Ah, mengapa setiap malam selalu sepi seperti ini. Aku membayangkan kalau desa ini ramai di setiap malamnya. Dihiasi tawa anak-anak seusiaku yang bermain kejar-kejaran. Atau mungkin orang dewasa akan membuat pasar malam di salah satu malam di setiap minggunya. Aku sungguh mengharapkan itu terjadi. Tapi mungkin tidak akan terjadi.
Sangking aku membayangkan hal yang mungkin tidak akan terjadi, kakiku menyandung sebuah batu dan akhirnya aku jatuh diantara dedaunan kering dan kepala ku membentur sesuatu, seperti kaca mungkin.
"Auch. Sakit!" ucapku sambil memegang daerah kening yang terbentur.
Aku melihat seperti ada sebuah toples diantara dedaunan kering. Mungkin toples itu yang membentur kepalaku, batinku.
"Toples sialan," gerutuku sambil berdiri. Karena sungguh kepalaku sangat sakit sekarang.
Tiba-tiba ada cahaya yang sangat terang keluar dari toples itu, tetapi sedetik kemudian cahaya itu menghilang. Oh God, rasa penasaranku muncul. Ini tidak baik, karena apa, kalau aku penasaran, aku akan mencari informasi sampai detail, tidak akan ada yang terlewat, tetapi semua itu butuh waktu yang lama dan aku akan terfokus untuk mencari itu saja, tidak yang lain.
Dan ya, ini buruk. Rasa penasaranku sudah membulat. Akhirnya aku mengambil toples kaca itu. Menelaah setiap detail darinya. Dan saat aku sedang terfokus akan desain toples yang unik, cahaya itu muncul kembali.
"Huahh," teriakku sangking kagetnya dan membuat toples itu terlempar dari tanganku.
Aku mencoba menangkap toples itu saat sudah hampir menyentuh tanah, "Huh, untung ketangkep," ucapku lega.
Bodohnya diriku melakukan hal yang sangat ceroboh, untung saja toples itu tidak pecah, kalau pecah aku akan menyesal sekali karena belum memecahkan hal yang membuatku penasaran, seperti, kenapa bisa ada cahaya yang keluar dari toples yang tidak ada lampunya? Atau Darimana toples yang seunik ini berasal?. Oh benar sekali, pertanyaan itu terus berputar dikepalaku. Dan sekarang aku sangat pusing dibuatnya. Argh, akan aku pikirkan setelah di rumah nanti.
Ku masukan toples kaca tersebut kedalam tas dan aku melenggang pergi dari tempat ku berdiri tadi.
**
"Kau ini bagaimana! Menyuruhnya berburu babi dimalam hari, apa kau tidak mengkhawatirkannya?!" ucap seorang wanita yang aku tahu, ia adalah ibuku.
"Dia sudah besar, Mel. Tak perlu kau sebegitu khawatirnya. Aku yakin ia akan baik-baik saja" ucap ayahku.
"Biasanya ia tak pulang larut seperti ini, apakah kau tak ada niatan untuk mencarinya?!" ucap ibuku.
Huft. Aku bosan mendengar mereka bertengkar. Hampir setiap hari ayah dan ibuku memperdebatkan hal yang tidak terlalu penting untuk di perdebatkan, menurutku.
Aku membuka pintu rumah pelan, "Aku pulang," ucapku dengan cengiran.
"Kau lihat? Ia akan baik-baik saja" ucap ayahku menang. Atau mungkin setiap bertengkar memang ayahku yang selalu menang, dan ibuku kalah walaupun ia benar.
Dengan wajah marah ibuku menjawab "Kau memang tidak pernah peduli dengan kami!"
Ahh, sepertinya ini akan berlanjut. Aku benci ini. "Aku akan ke kamar," ucapku tidak peduli.
"Darimana kau tahu kalau aku tidak peduli, darima ...." ucap ayahku yang mulai tidak terdengar lagi, karena aku sudah masuk kedalam kamar. Lupakan itu, aku tidak suka pertengkaran. Lebih baik aku mulai mencari informasi tentang toples kaca yang baru saja ku temukan.
"Hmm, aku mulai darimana ya?" ucapku bingung sambil melihat lihat desain toples tersebut.
Toples itu terbuat dari kaca bening, sebening air. Ornamen hiasannya pun unik, tak pernah ku melihat ada ornamen yang seperti itu di desa ini. Sebenarnya punya siapa toples ini? Harusnya benda ini tidak ditinggalkan begitu saja bersama tumpukan dedaunan kering.
Hiasan toples itu juga menarik, ada banyak tombol disana. Kanan, kiri, atas, bawah, on, off, tunggu, on? "ini tombol apa?" tanya ku dalam hati. Rasa penasaran ini pun bertambah. Akhirnya ku tekan tombol bertuliskan on, dan Vayla, tidak terjadi apa-apa.
"Kenapa ini tidak berfungsi?" ucapku kebingungan.
Akhirnya ku tekan tombol itu berkali-kali. Bukan, bukan tombol itu saja, melainkan semua tombol yang ada di toples itu, dan yah, masih belum terjadi apa-apa.
Aku menyerah. Bukan menyerah untuk tidak mencari tahu tentang toples itu lagi, melainkan beristirahat sebentar, karena sungguh aku lelah sekali habis berkeliling mencari hewan menjijikan yang ternyata hasilnya nihil. Huft. Oke aku akan melanjutkannya besok pagi.
Ku taruh toples kaca itu ditempat yang aman tidak terjangkau oleh Meichi--kucingku, agar ia tidak membuat kerusuhan yang membuat aku marah besar.
Dan saat aku membalikkan badan dari tempat ku menyimpan toples itu. Betapa terkejutnya aku dengan keadaan kamarku sekarang, bukan, ini bukan kamarku. Melainkan sebuah padang rumput luas di malam hari yang langitnya bertabur bintang dengan keajaiban alam Aurora yang menambah cantiknya langit. Oh! Dimana aku sekarang? batinku.
Aku mulai melangkah, memastikan ini hanya khayalan. Aku mulai menyentuh rerumputan disekitarku, dan oh, perkiraanku salah, ini sungguhan. Tapi bagaimana aku bisa disini? Dan ah, kenapa aku tidak ingin memikirkan hal itu? Aku senang disini, dengan berbagai keindahan alam yang menyejukan mata.
Ku mulai berlarian menikmati padang rumput ini, tidak peduli kearah mana aku melangkah. Rasanya seperti tidak ingin berhenti. Dan sepertinya bukan aku saja yang ada disini, melainkan anak-anak seusiaku, mereka bermain permainan tradisional yang ada didesaku, oh, ini sangat menyenangkan. Takkan ku lewatkan malam ini.
Dan ternyata aku tidak sadar kalau aku sudah berada diujung dari padang rumput ini, dari sini sungguh indah pemandangannya. Dan sepertinya aku melihat sebuah kota disepanjang mata memandang, tapi sebentar, "sepertinya aku mengenal lampu-lampu itu" batinku. Ya, aku mengenal lampu itu. Lampu-lampu itu persis seperti yang ada didesaku, tapi apa mungkin itu benar desaku? Kok ramai? Aku harus mengeceknya jika ingin tahu.
Akhirnya aku berlari kearah lampu-lampu itu berada, sambil menikmati keindahan sekitar juga, seperti keindahan ribuan kunang kunang yang menyejukan mata. Sudah lama aku tidak melihat hewan itu, senang rasanya bisa melihatnya lagi.
Aku sudah sampai dipintu masuk desaku, dan betapa terkejutnya aku melihat perubahan besar, perubahan 180 derajat. Desa yang biasanya akan sangat sepi dimalam hari justru sekarang ramai bukan main, dan desa yang biasanya tidak ada anak kecil yang bermain sekarang sangat banyak. Waw... rasanya seperti memasuki desa baru.
Ku melangkahkan kaki masuk, sambil mengagumi perubahan yang ada. Mataku tidak berhenti melihat-lihat sesuatu yang belum pernah ku lihat, sampai mataku jatuh pada titik dimana aku melihat kedua orang tua ku saling bergandengan tangan, sesekali ayahku merangkul pundak ibu. Ahh aku sampai mengucak mataku sangking tidak percayanya. Mereka melakukan itu, bermesraan.
Tanpa sadar kakiku membawaku berlari menuju kedua orang tuaku berada. Dan ketika sudah didepan mereka, reflex tanganku memeluk mereka erat, dan juga air mataku menetes tak wajar, "huh kenapa aku menangis?" batinku, dan beberapa detik kemudian melepaskan pelukanku, menyekat air mataku yang membanjiri pipi.
"Hei, kenapa sayang?" ucap ayahku.
"Nothing, Dad," ucapku sambil tersenyum. "Aku senang melihat kalian akur seperti ini, Mom, Dad. Kumohon, jangan pernah bertengkar lagi" ucapku memohon.
Aku melihat raut wajah kedua orangtuaku berubah, menjadi kebingungan, atau entah apa, aku tidak bisa membacanya. "Kapan kami bertengkar sayang? Coba katakan," ucap ibuku sambil mengelus rambutku lembut. Oh, sudah lama aku tidak dibelai oleh ibuku, aku sangat rindu saat kecil dulu.
"Hah? Kalian tidak menyadarinya? Setiap hari kalian bertengkar, Mom, Dad. Aku sampai tidak ingin di rumah kalau kalian sedang berdebat" ucapku bingung.
"Oh ya? Kalau begitu maafkan kami, kami tidak akan bertengkar lagi," ucap ayahku sambil menatap kedua mata ibuku.
Aku sangat sangat senang melihat ini, kedua orangtua ku sangat akur, tidak ada perdebatan yang aku dengar. Oh, ya, aku harap perkataan ayahku tadi ditepati.
"Kalau begitu mari kita pulang, Mom sudah memasak makanan kesukaan mu, Farah," ucap ibuku sambil merangkul pundak ini. Dan betapa senangnya aku, ibuku memasak makanan kesukan ku lagi. Huah, aku sangat senang malam ini.
"Oh ya, Mom? Woah, lets go Mom, Dad, aku sudah tidak sabar mencicipi masakanmu lagi, aku sudah sangat lapar," rengekku sambil menarik tangan mereka. Dan kami pun berjalan pulang kerumah dengan senang.
**
Sudah beberapa hari dunia ini terasa lebih menyenangkan, semua yang aku harapkan menjadi kenyataan, apapun itu. Ahh, senangnya, kuharap tidak ada yang mengganggu hari-hari ini.
Aku sedang berjalan-jalan, menikmati kesejukkan pagi hari, sambil sesekali melempar senyum ke warga desa sekitar, sampai sesuatu hal menarik mataku untuk melihatnya. Hendra, ya Hendra. Temanku sekaligus orang yang aku sayangi ada di tengah-tengah taman, tetapi sepertinya aku salah lihat, karena Hendra sudah meninggalkan ku selama-lamanya.
Aku membuang pikiranku jauh-jauh, mungkin itu aku hanya berkhayal. Berkhayal kalau Hendra akan ada disisiku lagi, bersama sama denganku lagi, bermain bersama lagi. Dahulu, hanya Hendra yang mengerti aku, tak ada orang lain termasuk orangtuaku yang mengerti, hanya dia. Dan saat ada kabar bahwa Hendra meninggal, aku stress berat. Tak ada tempatku berkeluh kesah dan membagi kesenangan. Seperti hilang harapan tak ada dirinya.
Tetapi mataku terus memandangi orang yang mirip Hendra, sampai aku tak sadar kalau aku sudah berada didepan orang itu.
"Hai Farah," ucap orang itu.
"Hah? Kamu tau nama ku?" ucapku bingung.
"Aku Hendra, Far. Kamu lupa sama aku?" ucapnya.
"Hah Hendra? Hendra teman kecilku?" ucapku sudah mulai senang, tetapi aku ingat lagi kalau Hendra sudah meninggal dunia. "Tidak! Tidak! Hendra sudah meninggal dunia, kamu bukan Hendra!" ucapku sedih.
"Ya, memang aku sudah meninggal, Far," ucapnya yang membuat raut wajahku berubah. "Aku kesini mau bilang kalo kamu ada didunia Toples Kaca yang kamu temukan malam itu, ini bukan dunia kamu sebenarnya. Ini bukan desa Feihsji yang kamu kenal. Ini bukan dunia kamu. Semua yang ada disini itu hasil khayalan kamu, ini semua tidak benar, termasuk diriku. Dan juga termasuk kedua orangtua mu, teman-teman mu dan keadaan setiap malam didesa Feihsji"
Aku tercengang mendengar pernyataan Hendra, aku tidak bisa begitu saja percaya oleh perkataannya, tidak mungkin ini dunia toples kaca itu, "Maksudmu apa? Bagaimana aku bisa ada disini? Didunia toples ini? Kau hanya mengada-ngada kan?" bentak ku kesal.
"Semua tombol yang ada ditoples itu. Semua tombol itu membawamu ke tempat yang berbeda, kesemua tempat. Dan karena kamu tidak mengerti bagaimana cara menggunakan toples itu, kau main tekan-tekan saja dan kau tidak menyadari kalau latar tempat disekeliling mu berubah. Disitulah kamu sampai dipadang rumput itu, dan kau mulai berkhayal ada teman teman sebayamu, berkhayal ada desa ini, berkhayal orangtua mu baik-baik saja dan berkhayal kalau aku ada, kau berkhayal semua itu" ucapnya panjang.
Aku sangat kebingungan saat ini, antara ini benar atau salah.
"Dan sekarang lihatlah keselilingmu," ucapnya dan langsung saja aku melihat sekitarku, dan apa yang aku lihat berhasil membuatku menganga. Beberapa orang yang berlalu lalang memperhatikanku sedang berbicara dengan Hendra dengan tatapan membunuh. "Kenapa semua orang disini?" batinku ketakutan. Dan sekarang sudah ada beberapa orang yang berani mendekatiku.
"Apa yang terjadi disini?!" teriakku kepada Hendra.
"Mereka telah menyadari keberadaanmu yang telah mengubah dunia Toples Kaca ini," ucap Hendra tenanng.
"Oh? Why? Bagaimana aku bisa keluar dari dunia ini?" ucapku takut. Dan orang-orang yang tadi telah terang-terangan mendekatiku sekarang sudah menarik tanganku, sepertinya mereka ingin melukaiku. Ahh, terus saja aku menghindar dan melawan dari pegangan mereka. Tetapi takkan mungkin bisa karena aku sendiri sedangkan mereka? Sepertinya banyak sekali orang-orang yang ingin melukaiku.
"Tak bisakah kau menolongku? Setidaknya menolongku dari orang-orang ini! Ahh," ucapku kesakitan karena mereka telah merobek kulit tanganku.
"Tentu bisa, Farah, tetapi dengan cara ini," ucap Hendra tersenyum licik dan langsung menusuk perutku dengan pisau yang entah berasal darimana.
"Huahh" ucapku terbangun dari tempat tidur. Keringatku membanjiri tubuh, jantungku masih berdegub cepat. Jadi selama ini aku bermimpi atau apa? Tetapi rasa sakitnya ditarik orang-orang tadi dan ditusuk pisau benar-benar terasa, berarti semua itu sungguhan? Huah, tak kan lagi aku kedunia Toples Kaca itu. Sungguh menyeramkan berada disana.
Aku langsung turun dari tempat tidurku, mengambil toples itu dan membawanya pergi ketempat dimana orang-orang tidak bisa menemukannya.
Lebih baik berada didunia sebenarnya walaupun tak seindah di dunia khayalan. Aku mengalami pengalaman buruk tentang itu dan aku tidak akan mengulanginya. Bersyukur atas apa yang kita dapatkan walaupun tak sesuai harapan. Toples kaca ini tidak boleh ditemukan oleh orang lain lagi, karena pasti akan membawa mala petaka yang tak diinginkan. Semua sesuai dengan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top