Bagian Pertama

Kolam ikan di taman ini dibuat cukup dangkal, mungkin sekitar empat puluh sentimeter saja. Airnya pun cukup jernih memudahkan pengunjung taman untuk melihat keindahan ikan emas. Di beberapa permukaan air terdapat tanaman teratai. Belum tampak cukup indah, karena masih berupa kuncup-kuncup.

Bimo duduk sembari memandang kolam. Di depannya ada anak perempuan yang tengah iseng melempar sepotong roti ke dalam kolam. Langsung terlihat suara gemercik air tanda ikan emas saling berebutan memakan roti. Entahlah karena jarang diberi makan sehingga ikan emas itu berebutan, Bimo pun tak paham. Namun, ketawa anak perempuan itu membuat Bimo ikut tertawa. Manis sekali.

Pesanan es dawetnya telah datang, hanya butuh waktu sebentar untuk Bimo menandaskan es dawetnya. Rasa menyegarkan tertinggal di tenggorokkannya. Dia melirik sekilas jam tangannya. Pantas saja langit bersemburat merah menandakan sang senja telah hadir. Jarum jam menunjukkan pukul 05.00, saatnya dia pulang ke rumah. Dia mencangklong tasnya dan membayar es dawet pesanannya.

"Ini, Mas uangnya." Bimo memberikan selembar uang sepuluh ribu kepada si Mas penjual.

Mas penjual itu melengkungkan bibirnya dan berkata, "Terima kasih." Bimo mengamati gerak bibir penjual dawet itu lantas dia mengangguk dan ikut tersenyum.

Bimo melangkahkan kakinya dengan santai ke arah halte bus. Terkadang dia menyenandungkan lagu walau tak jelas. Dia memang menyukai band indie ini. Sehingga dia hapal beberapa lagu mereka. Terlebih sekarang dia sangat menyukai lagu berjudul Hujan di Mimpi yang dibawakan oleh Banda Neira.

Semesta bicara tanpa bersuara

Semesta ia kadang buta aksara

Sepi itu indah, percayalah

Membisu itu anugerah

Lagu itu seolah mewakili dunianya yang tak lagi mendengar suara. Orang di sekitarnya seperti berbicara, tetapi dia tak mampu mendengarnya. Namun, dia percaya ternyata dunia tak bersuara cukup indah. Dia tak perlu mendengar celotehan atau nyinyiran tetangganya yang suka bergosip. Bahkan dia juga tak perlu mendengar teman-temannya yang bergerombol di sudut kelas, membicarakan model-model seksi dari berbagai situs. Kemudian bak paduan suara, mereka kompak berteriak histeris.

"Kenapa busnya lama sekali, ya?" keluh Bimo sembari matanya terus melirik jam tangannya. Tampak gerak-geriknya mulai gelisah. Terkadang dia duduk, berdiri, duduk, berdiri dan yang terakhir dia menghela napasnya dengan mendaratkan pantatnya secara kasar di kursi.

Senja mulai menghilang. Matahari pun bergerak pulang ke peraduannya. Sebentar lagi akan tergantikan sang rembulan beserta rombongan kemerlip bintang yang tampak menghiasi langit. Sayup-sayup terdengar suara panggilan dari Allah untuk umatnya agar segera menunaikan salat berjamaah di masjid.

Bak bunga-bunga di Ajerbaizan yang tengah tertidur yang kemudian terbangun akibat mendengar merdunya latunan azan yang mengalun. Begitupula dengan telinga Bimo. Entahlah Bimo juga heran telinganya seolah mengerti mana yang bagus untuk didengarkan mana yang tidak. Dalam sehari telinganya hanya berfungsi sebanyak lima kali. Tepat ketika azan berkumandang.

Dia tahu bus sudah tak akan lewat hingga jam segini. Dia memutuskan berjalan kembali ke musala dekat Taman Bougenvil. Lebih baik dia menunaikan salat terlebih dahulu sebelum dia pulang dengan memesan ojek online.

***

Wajah Bimo tambah terlihat bersinar selepas terbasuh air wudu. Tak lagi tampak gurat kelelahan di parasnya yang rupawan. Bimo mengambil ponselnya dan mulai memesan ojek online. Dia menuliskan catatan tambahan untuk pengemudi ojek online. Jangan menelepon, saya tuli cukup membalas pesan saya saja. Terima kasih.

Tak lupa dia pun mengirimkan pesan singkat untuk ibunya. Dia tak ingin ibunya khawatir. Maaf aku pulang terlambat, Bu.

Selang beberapa menit ponselnya bergetar, dia mendapat balasan dari si pengemudi ojek online. Bimo membacanya, "Oke! Sepuluh menit lagi, saya sampai di Taman Bougenvil." Kelegaan menyelimuti Bimo saat ini.

Sembari menunggu ojek datang, Bimo asyik membaca novel kesukaannya. Entah sudah berapa kali dia membaca kata tamat di novel tersebut. Cerita petualangan dan misteri memang menjadi favoritnya. Dia bahkan lupa sekitarnya ketika matanya sibuk menyoroti kata demi kata atau hidungnya yang sedang mengendus bau buku. Katanya bau buku itu harum terlebih buku yang telah terjamah tangannya.

Di seberang jalan tampak seorang lelaki berlari ke arah Bimo dengan tergesa-gesa. Lelaki itu terlihat aneh, dia membawa tas wanita bewarna merah maroon. Dia menengok kanan kiri, kemudian melemparkan tas wanita itu tepat di pangkuan Bimo. Lelaki itu menghilang dengan sangat cepat seolah-olah dia menguasai jurus menghilang bak ninja, di film Hatori.

Bimo yang terkejut, berdiri dan memegang tas wanita itu. Dia membolak-balik tas itu dan mengkerutkan keningnya. Bimo bingung. "Ini, tas siapa?"

Tiba-tiba beberapa orang menghampirinya dan berteriak, "Copetnya ketemu copetnya ketemu ...."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #remaja#tuli