Bagian Keenam
Cahaya matahari menembus kaca jendela ruangan Bimasena lantai dua, tempat Bimo dirawat. Ruangan itu sedikit menjadi hangat. Begitupula dengan pipi Bimo yang terpapar sinar mentari pagi.
Sepasang mata mengerjap-ngerjap menerima rangsangan cahaya. Pelan-pelan dia membuka matanya. Cukup menyilaukan, ketika terbangun dan matanya mendapat banyak cahaya. Pupilnya mengecil untuk menyesuaikan keadaan. Dia berusaha menggerakkan tangannya pelan. Masih terasa linu dan nyeri menjalar di setiap sendi dan tulangnya.
Butuh waktu sekitar hampir sepuluh menit, untuk mengembalikan kesadarannya secara sempurna. Tangan kanannya yang tidak terpasang cairan infus, tengah menutup sebagian mukanya agar tidak terlalu menyilaukan. Dia mengingat kembali apa yang terjadi, sebelum dia terbangun di ruangan serba putih ini. Dia ingat rasa sakit dari pukulan dan tendangan orang yang membabi buta kepadanya. Dia masih bingung kenapa orang-orang itu menghajarnya.
Tengah asyik memikirkan kejadian kemarin, tiba-tiba pintu kamar ini terbuka. Namun, Bimo tetap bergeming. Bahkan dia tak menyadari bila ada seseorang yang memasuki ruangan ini.
Kriieeet
Terlihat seorang gadis manis bermata minimalis dengan rambut yang dicepol asal masuk dengan pelan-pelan. Si gadis menengok ke arah brankar, dirinya cukup terkejut melihat seseorang itu telah terbangun. Walau mata sang pasien tertutup, tetapi tangannya yang berada di muka sedang menghalau cahaya matahari, menjadi penanda dia telah terbangun.
Almeera melangkah ke arah jendela, ditutupnya gorden itu separuh. Ketika merasa cahaya di sekitarnya yang tadi menyilaukan sudah tak ada, Bimo menaruh kembali tangannya di samping. Matanya membuka perlahan-lahan. Dia refleks melihat ke arah jendela yang sekarang sudah terhalang gorden hijau. Menyebabkan ruangan ini menjadi sedikit adem.
"Kamu siapa?" tanyanya ketika melihat sosok gadis di sekitar jendela. Dia tahu pasti ada orang lain yang menutup gorden itu. Namun, dia tak menyangka akan menemukan seorang gadis yang tak dikenalnya.
"Aku Almeera. Panggil saja Mee." Almeera menjawabnya dengan berjalan menuju ke sofabed.
"Kamu siapa?" Ulang Bimo kembali. Jelas Bimo tak akan mampu mendengar Almeera jika dia tak melihat gerak bibir lawan bicaranya.
"Aku Almeera," jawabnya singkat.
"Maaf, aku tuli. Bisakah kamu menatapku ketika menjawab pertanyaanku? Aku tak dapat mendengar apa yang kamu katakan," pinta Bimo pelan.
Almeera cukup terkejut mendengar fakta bahwa laki-laki itu tuli. Dia bangun dari duduk santainya mendekati brankar. "Aku Almeera. Panggil saja Mee." Almeera mengulurkan tangannya guna mengajak berjabat tangan lawan bicaranya. Bimo mengamati gerak bibir tipis bewarna merah alami itu.
"Aku Bimo. Salam kenal, Mee." Bimo mengulurkan tangannya, menjabat tangan Almeera pelan. Lalu mereka berdua melepaskan tangannya secara bersamaan.
"Apakah gara-gara kemarin, kamu jadi tuna rungu?" tanya Almeera. Bimo mengamati kembali gerak bibir Almeera.
"Bukan gara-gara itu. Sebut saja tuli lebih enak didengar daripada tuna rungu," kata Bimo pelan, untuk sesaat wajahnya terpancar kesedihan. Almeera sempat menangkap aura kesedihan itu, hanya saja dia pura-pura tak melihatnya. Terlebih Bimo terlihat tak ingin berbagi kesedihan dengannya. Bimo mengalihkan dengan pembicaraan yang lain, aura kesedihan pelan-pelan menghilang. Bimo mencoba bicara seperti biasa kembali, "Kenapa kamu di sini, Mee?"
"Aku anak ibu pemilik tas yang kamu dituduh sebagai penjambretnya."
"Penjambret ...?" tanya Bimo ragu.
"Iya, kamu dituduh sebagai penjambret lantas dimasa hingga seperti ini. Kamu nggak ingat?" Bimo merenungkan ucapan Almeera. Dia baru mengerti kenapa orang-orang itu tiba-tiba menghajarnya. Bimo berusaha menggerakkan tubuhnya untuk duduk tetapi dia tak mampu.
"Jangan banyak bergerak dulu. Kata Dokter Harso kamu mengalami faktur." Almeera mengingat kembali istilah apa yang digunakan Dokter Harso ketika kunjungan tadi pagi. Sepertinya dia salah menyebut.
"Faktur?" tanya Bimo.
"Bukan ... bukan faktur. Aku ingat fraktur tibia sinistra. Alias patah tulang pada bagian tulang kering sebelah kiri. Kira-kira seperti itu. Dan, kamu tidak boleh banyak bergerak dulu." Almeera menjelaskan bak seorang dokter.
"Apakah aku tidak bisa berjalan?" Ada nada kesedihan tersirat kembali dari pertanyaan Bimo. Dia merasa hidupnya semakin tak adil. Tidak cukupkah hanya pendengarannya yang hilang, sekarang mobilitasnya pun juga akan hilang. Bimo sesaat membayangkan dirinya menggunakan kursi roda untuk membantunya bergerak. Dia terlihat kesusahan tatkala teman-temannya berjalan dan berlarian dengan penuh canda. Bimo menggelengkan kepalanya kuat-kuat, menepis bayangan kursi roda dalam pikirannya.
"Emm, mungkin hanya beberapa bulan saja. Ketika masa penyembuhan. Jangankan berjalan, berlari pun kamu pasti mampu. Semangat terus, ya." Aura positif terus ditularkan Almeera kepada Bimo. Walau Almeera sendiri tak yakin mampukah Bimo berlari. Namun, dia tak ingin mematahkan semangat Bimo untuk sembuh. Biarlah hanya tulangnya yang patah tetapi tidak dengan semangatnya. Karena mungkin dengan semangat dan harapan yang mampu menopang tubuh Bimo untuk berdiri ke depannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top