Dua : Varol Saladin
Banyak orang mengatakan pinter masak dan jadi chef itu pekerjaan asik. Belum lagi menurut banyak orang kantong tebal, terlebih jika menjadi celebrity chef. Punya wajah tamban menjadi poin plus untuk menjerat banyak kaum wanita. Masakan enak ditambah wajah tampan, siapa yang tidak menjadikan chef sebagai calon suami idaman?
Dulu aku percaya dengan semua itu, percaya bahwa menjadi chef akan membuatku lebih dapat dilihat. Berani mencoba keluar dari jalurku yang sebenarnya, menjadi chef sebenarnya hanya pengembangan dari hobiku. Aku meninggalkan semua posisiku yang sebanrnya untuk menjadi chef.
Mungkin banyak yang berbeda dengan perkataan banyak orang soal profesi ini, tapi aku tidak pernah menyesal dan tetap merasa bahwa ini pilihan yang benar. Tapi, ketika sesosok perempuan dengan mulut judes dan kata-kata pedas muncul di hidupku, rasanya aku ingin membungkamnya untuk selamanya.
Aku akui ada perasaan termotivasi karena sikapnya. Beberapa kali bahkan aku sengaja mengundangnya, hanya ingin tahu bagaimana komentar pedasnya pada setiap hidangan hasil karya tanganku. Egoku jelas tersentil, namun rasanya aku juga senang karena ada orang yang bisa memberikan masukan. Tidak hanya sekedar bergumam dan berkata enak, perfect, luar biasa dan sebagainya.
"Gak ada kapoknya ya lo ngundang si perempuan pemakan segalanya?" komentar Primus. Muka sangar tapi hati hello kitty, itu dia si Primus. Tidak pernah jera dengan tamparan menyakitkan karena hobinya yang suka gonta-ganti perempuan.
Primus dan aku sudah lama bekerja sama, kami memiliki beberapa restoran bersama. Dia bukan dari kalangan chef sepertiku, bisa dibilang Primus ini investor yang kerjaannya cuma hura-hura. Gak heran sih, semua usaha dia sukses besar.
"Gak ngebuat restoran sepi pun. Gue malah seneng ngeliat dia mencibir ke masakan yang ada di depan matanya," aku menanggapi komentar Primus.
Bagi Primus dia percaya dengan kemampuanku, lagian akan lebih terlihat manusiawi jika ada reviewer seperti Maya. Iyap, nama 'perempuan pemakan segalanya' itu Maya Adora. Kebanyakan orang memanggilnya dengan Miss Maya, maka aku akan memanggilnya Dora.
"Gue curiga lo ini sejenis masokis yang dijahatin malah ketagihan," cibir Primus.
Aku hanya tertawa kecil menanggapi cibiran Primus. Saat ini kami sedang melihat restoran yang sudah siap untuk pembukaan nanti malam. Saat ini aku sudah memiliki 3 restoran dan semuanya terlibat Primus. Jadwalku akan semakin padat, antara membagi waktu di restoran dan undangan acara on air maupun off air.
"Mulai bulan depan gue gak begitu banyak ngambil job celebrity chef," ceritaku pada Primus.
Primus menatapku dengan heran. "Kenapa?"
"Mau lebih banyak di restoran aja sih," sahutku santai.
"Eh keuntungan restoran gak gede banget. Lanjutin aja karir lo, selagi lo masih bisa bagi waktu buat sesekali ke restoran."
Aku berjalan ke arah dapur, meninggalkan Primus yang mengomel karena tidak aku tanggapi. Di dapur semuanya terlihat sibuk, khusus untuk perusahaan ini aku tidak berperan di dapur. Kali ini aku mempercayakannya kepada orang lain yang memang berbakat dalam masakan Asia.
"Semua sudah siap?" tanyaku pada Sous Chef yang sering membuatku mengumpati Primus. Aku benar-benar sebal karena dia memilih Laisa, memang kemarin aku menyerahkan urusan Sous Chef pada Adimas dan Primus.
Senyum manis Laisa terbit, dia mengangkat jempolnya pertanda bahwa semua sudah siap dan lengkap. Gadis manis nan cantik ini pernah atau mungkin masih menduduki sebagai perempuan idamanku. Laisa merupakan juniro-ku saat sekolah dulu dan kami cukup dekat.
Aku mengangguk sekilas pada Laisa dan beberapa orang yang belum begitu aku kenal di dapur. Sepertinya dapur kali ini penuh dengan orang kenalan Adimas, tapi ya mau bagaimana lagi. Seharusnya aku fokus di sini, tetapi restoran lain butuh aku juga. Malam ini sebenarnya juga akan menjadi malam perkenalan Adimas.
Menurut Primus banyak yang beranggapan kedatangan Adimas nanti malam untuk memenuhi undangan. Kenyataannya, Adimas akan bergabung bersama aku dan Primus di sini. Kali ini aku murni sebagai investor bersama Primus.
"Varol!" sapaan seorang pria berkulit sawo matang dengan perawakan khas orang jawa namun sedikit kekar menyambutku saat aku keluar dari dapur.
Aku menghampiri Adimas yang sedang berdiri bersama Primus, sepertinya dia baru saja sampai. "Siap banget nih Head Chef baru dari luar kota langsung ke sini," kataku sambil melirik koper kecil Adimas di sebelah kaki meja.
"Tentu dong, gue harus totalitas. Secara ini kesempatan besar buat gue," sahut Adimas semangat.
Aku menepuk pelan pundak Adimas. "Dapur udah ditangani Laisa dengan baik. Malam ini sajikan yang terbaik."
"Bukan cuma malam ini kali, tapi setiap hari," sambung Primus yang kini meninju bahu Adimas.
Adimas mengangguk setuju dan segera berpamitan, dia meminta seorang pramusaji untuk membawakan kopernya ke ruangan di atas. Saat Adimas sudah berlalu, Primus menatapku dengan senyum aneh. Aku bergidik karena takut dengan senyum Primus.
"Hati-hati lo Laisa pindah ke pelukan Adimas," kelakar Primus.
Aku memasang wajah datar saja, tidak mau menanggapi Primus yang sepertinya akan terus menggodaku. "Gue sama Laisa gak ada apa-apa juga."
"Ah tai lo!"
Aku mendelik pada Primus, apa lagi beberapa pramusaji melihat ke arah kami. "Eh itu mulut bisa direm dikit kagak? Pantes aja lo jomblo seumur hidup."
"Tolong beli kaca dulu lo. Kayak situ sudah berhasil punya pasangan hidup aja, tiap hari temenan sama celemek juga," aku dan Primus memang seperti ini suka menjatuhkan satu sama lain kalau soal pasangan hidup.
"Apron lah nyebutnya, gak berkelas banget celemek," protesku.
Primus mengabaikan protesku dan justru melambaikan tangannya memanggil seorang pramusaji. Aku tidak mendengar lagi Primus berkata apa dengan si pramusaji karena aku lebih asik membaca sebuah chat di ponselku. Aku menarik kursi di dekatku untuk aku duduki, perlu beberapa waktu untuk membaca chat yang super panjang itu.
Tidak berapa lama, Primus bergabung denganku duduk di meja yang sama. Dia menyenggol kakiku sengaja. "Gue jamin ya review Maya kali ini pasti segar bugar, secara Adimas head chef-nya," kata Primus.
"Emang kenapa dengan Adimas? Ini restoran gue juga, paling tetap bakalan ada kritis pedas."
"Lah lo gak tau apa si Maya itu paling suka sama masakan Adimas. Di salah satu reviewnya dia sempat nyinggung kalau makanan Adimas itu memanjakan lidahnya dan si Adimas memanjakan matanya," Primus semangat sekali membahas hal yang aku sendiri pun tidak tahu dan tidak penting.
"Ya bagus dong kalau gitu. Sekali-kali dia baik sama gue," tanggapku.
"Bukan baik sama lo, tapi baik sama Adimas."
Aku hanya diam saja tidak mau menanggapi Primus lebih jauh. Aku lebih memilih mengecek pembaruan e-mail untuk tawaran jadi juri. Aku melihat poster yang dikirm lewat e-mail, gambar poster resmi yang harus aku bagikan di semua akun media sosialku. Aku mendengus sebal saat membaca satu nama menyebalkan turut andil di sana, Maya Adora.
Bersambung
Tadinya cerita ini mau pakai sudut pandang si Maya aja, cuma kok kayaknya aku tergoda membuat sudut pandang Bang Varol. Harap maklum ya kalau sudut pandang Bang Varol agak kaku, soalnya aku memang jarang sih pakai sudut pandang pria.
Btw, coba dong ramaikan lapak ini. Kalau ramai, apa lagi bisa ratusan komentarnya aku up lagi bab 3 nanti malam deh.
Tapi jangan lupa vote juga ya :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top