BAB 7

Untuk memikat seseorang, kamu harus bisa menjadi seperti yang dia inginkan. Dan hal itulah yang kini sedang Lumi usahakan. Menjadi seperti yang Iron mau. Wanita waras lebih tepatnya.

Jadi langkah pertama yang Aluminia ambil adalah dengan menyingkirkan semua hal yang mengindikasikan kegilaannya dan mulai berusaha tampak normal.

Salah satu contohnya adalah menyembelih beruang cokelat yang sebelum-sebelumnya ia sebut sebagai Pelita di suatu pagi. Pagi buta tepatnya, Iron bahkan belum bagun kala itu. Karena tidak menemukan pisau di mana pun, Lumi menggigit bagian leher boneka malang itu keras-keras hingga robek. Begitu berhasil membuat lubang kecil, Lumi memasukkan dua jari ke dalam celah dan menariknya hingga lubang itu melebar hingga kepala dan badan boneka tak berdosa itu terpisah dan membuat busa di dalamnya berhamburan.

Sialnya, Iron memilih waktu yang salah untuk membuka mata. Tepat saat Lumi tersenyum puas seperti psikopat begitu berhasil membunuh si boneka.

Alih-alih tampak sembuh, Lumi pasti terlihat makin sinting. Terbukti dari cara Iron menelan ludah dan menatapnya prihatin.

Dengan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya, lelaki itu langsung melompat turun dari ranjang menghampiri Lumi yang duduk di lantai dengan gaun tidurnya yang megar membentuk bunga di sekelilingnya. Rambut wanita itu berantakan lantaran belum disisir, dan lingkar hitam bertengger di bawah matanya akibat jarang tidur meski  dosis obat tidurnya sudah ditambah.

Cantik tapi sinting. Barangkali seperti itulah gambaran seolah Aluminia di mata Iron kini.

“Al, apa yang kamu lakukan?” tanya Iron khawatir, berusaha mengambil tubuh beruang cokelat di tangan sang istri yang sudah terpisah dari kepala. “Kenapa kamu membunuh Pelita.”

Lumi yakin dirinya sudah bisa memaafkan. Berkali-kali dirinya mengingatkan bahwa bukan Iron yang menyebabkan Pelita mati. Tapi Lumi tidak tahu bahwa otaknya belum bisa menerima kata membunuh dan Pelita diucapkan dalam satu kalimat yang sama. Seperti yang Iron lakukan.

Secara otomatis, dan di luar kendali, Lumi mencengkeram bagian tubuh si beruang agar tak bisa Iron rebut darinya seolah benar-benar Pelita yang sedang berusaha ia pertahankan. “Bukan aku yang membunuh Pelita, tapi kamu,” desisnya dengan amarah yang berkobar tanpa aba-aba.

“Al, maksud aku--”

“Diam, dasar pembunuh!” Lumi melempar bagian tubuh boneka yang dirusaknya saat tiba-tiba ingatannya mengulang kata-kata dokter satu setengah tahun lalu. Tentang anaknya yang tidak bisa diselamatkan. Dan secara otomatis, ingatan Lumi kembali pada malam sialan itu lagi.

Lumi memejamkan mata berusaha mengusir kenangan pahit, detik-detik sebelum anaknya mati. Tetapi gambaran itu justru menjadi kian nampak.

Lumi bahkan masih ingat betul saat Iron menyentuh perut besarnya pertama kali, dan bayi mereka merespons dengan memberikan tendangan lembut di perutnya. Tendangan terakhir seakan-akan Pelita sedang berpamitan.

Tak kuasa menampung ingatan yang seketika menyerbu kepalanya dan dan menyebabkan sakit luar biasa, Lumi menjerit keras-keras pagi itu. Jeritan kesakitan yang bahkan mungkin berhasil membuat iblis ikut menangis. Atau bahagia. Jeritan yang berhasil merobek ketenangan subuh.

Satu suara dalam kepala Lumi, mungkin bagian dirinya yang waras menyuruhnya untuk berhenti. Pelita sudah mati. Lumi harus melanjutkan hidup. Tapi bagian lain dari dirinya menyuarakan hal yang berbanding terbalik, membuat Lumi makin keras menutup telinga.

Karena inikah orang-orang menganggapnya gila? Karena Lumi juga menyadari dirinya tidak benar-benar waras.

Mungkin selama ini ia tidak berpura-pura, melainkan sinting sungguhan. Dan kenapa Lumi baru menyadari betapa parah kondisinya saat ia hendak menunjukkan pada dunia bahwa mentalnya baik-baik saja?

Kenapa?!

“Al, sadar!” sentuhan lembut Iron terasa hangat di bahu kecilnya yang mendadak dingin. Seketika Lumi menepisnya. Ia membuka mata dan menatap Iron dengan ketakukan sebelum beringsut mundur ke pojok kamar. Tangan-tangan yang semula menutup telinga, ia turunkan untuk memeluk diri sendiri.

Bunyi ketuk pintu kamar terdengar kemudian, membuat Lumi makin menyembunyikan diri di balik kelambu kamar.

“Mas Iron, Mas ... ada apa dengan Mbak Lumi?” tanya suara dari luar yang Iron kenali sebagai salah satu pekerja di rumah ini.

Ah, tentu saja. Teriakan kesakitan Lumi pasti berhasil membangunkan mereka.

“Tidak apa-apa. Kalian boleh pergi.”

“Syukurlah. Kalau terjadi sesuatu pada Mbak Lumi, panggil kami saja, Mas.”

Iron hanya bergumam sebagai tanggapan. Karena selama dirinya masih mampu, Iron tidak akan meminta bantuan siapa pun untuk mengurus Lumi. Sebab bilamana anak buahnya yang turun tangan, Lumi bisa berakhir terikat di ranjang. Sakit sekali bila mengingat hal itu.

Menarik napas panjang, lelaki itu memasang senyum lebar di bibirnya sebelum kemudian mendekati Lumi secara perlahan sambil mengulurkan tangan. “Sayang,” serunya lembut, berusaha menarik perhatian Lumi yang saat ini tampak kejam dan rapuh. Persis harimau kecil yang terluka.

Tak ada penolakan, Iron makin maju. “Maaf, mungkin aku sudah bikin kamu tersinggung. Bukan itu yang aku maksudkan.” Berhasil sampai di samping Lumi, Iron meraih salah satu tangan istrinya yang dingin. “Kamu pasti punya alasan merobek boneka itu,” pada kata terakhir, Iron mengucapkannya dengan hati-hati, sadar Lumi menjadi histeris lantaran ia yang salah memilih kalimat. “Itu hanya boneka beruang, tidak masalah.”

Bibir Lumi yang gemetar mencebik. Matanya tampak basah oleh cairan bening yang menggenang. Ia menatap Iron lama sebelum kemudian pandangannya jatuh pada bagian kepala boneka malang di dekat kaki meja nakas dengan busa putih berhamburan di mana-mana.

Membalas genggaman tangan Iron, Lumi terisak kecil. “Beruang, bukan Pelita.” Ia mendongak, mencari-cari mata iron, meminta kepastian, yang kemudian Iron angguki dua kali sebelum kemudian menarik tubuh kurus Lumi dan memeluknya. Merasa cukup lega karena Lumi bisa kembali stabil tanpa harus banyak drama seperti sebelum-sebelumnya.

Lama mereka dalam posisi itu. Entah dengan Lumi, tapi Iron mulai merasa sebagian tubuhnya ngilu dan kesemutan, tapi ia tak berani mengubah posisi dan mengganggu ketenangan Lumi yang secara perlahan mulai tertidur dalam dekapannya.

Iron sungguh tidak tahu bagaimana cara otak wanita ini bekerja, pun sikapnya. Di satu waktu, Lumi tampak begitu normal dan sinar matanya hidup tapi bertingkah gila. Tapi di waktu yang lain, tatapannya kosong. Benar-benar kosong dan dia menangis tanpa suara.

Iron pernah menceritakan kecurigaan ini pada Rendra, tapi sepupunya hanya menarik napas panjang sebelum kemudian mendesah berat. “Gue tau lo mau Lumi cepat pulih. Tapi, Iron, saat ini istri lo memang lagi sakit,” begitu katanya.

Benar, Lumi sedang sakit. Dan iron harus menjaganya sampai sembuh.

Menunduk saat merasakan napas Lumi sudah benar-benar teratur, Iron bergerak sedikit, hendak memindahkan Lumi ke ranjang. Namun tepat saat Iron akan menaikkan tubuh Lumi dalam rengkuhannya, wanita itu malah membuka mata dan berkata, “Iron, aku mau punya pelita lagi.” lalu kembali tertidur. Seakan-akan tak pernah mengatakan sesuatu yang membuat tubuh sang lawan bicara membeku.

Apa yang tadi Lumi katakan? Iron mendadak tak bisa berpikir. Ia hanya menunduk, menatap wajah Lumi yang tenang, lalu turun menyusuri sepanjang tubuh wanita itu yang berhasil membuat bagian tubuhnya nyeri.

Sial!

Lumi tidak mungkin mengatakan ingin memiliki anak lagi, kan?

Tidak. Pasti bukan itu. Kalau pun memang benar, mungkin benar kata Subhan bahwa ia yang gila bila menuruti hal tersebut.

Bagaimana pun, Lumi tidak sedang dalam kondisi siap dijamah. Istrinya sakit kalau-kalau Iron lupa.

Tetapi memang dasar sinting, esok hari saat jam makan siang Iron membuat janji dengan Rendra di sebuah restoran yang menyediakan ruang privasi. Dan ia menceritakan keinginan Lumi pada sepupunya itu.

Ingin tahu bagaimana reaksi Rendra? Ia menatap Iron seolah putri pamannya itu alien dari luar angkasa yang tersasar di bumi.

“Mungkin sebaiknya lo mempertimbangkan saran Om Subhan,” katanya kemudian sembari melahap makan siangnya.

“Maksud lo?” Iron bertanya retoris, karena sungguh ia mengerti arti kalimat sederhana yang Rendra ucapkan.

Sang lawan bicara di seberang meja menelan kunyahannya sebelum menjawab. “Poligami.”

Ayam pesanannya di atas meja masih utuh, dan Iron sama sekali tidak berniat menyentuhnya. Entah pergi ke mana rasa lapar itu. “Lo pikir gue laki-laki macam apa?”

“Nggak ada yang salah dengan poligami, Iron. Agama kita membolehkan. Apalagi dalam posisi lo saat ini. Mau sampai kapan lo memendam hasrat, heh?”

“Tapi, Lumi bilang--”

“Lumi lagi nggak stabil, Iron.”

“Mungkin kalau kami punya anak lagi, dia bisa sembuh.”

Rendra menggeram pelan atas ketololan sepupunya. Otak Iron mungkin sudah tumpul lantaran terlalu lama selibat karena seluruh fokusnya sudah berpindah ke selangkangan. “Sekalipun nanti keadaannya mulai membaik, lo pikir Lumi boleh hamil?”

Mendengarnya, Iron menelan ludah. Benar-benar tidak mengerti kali ini. “Maksudnya?”

“Obat-obatan yang selama ini dikonsumsinya bisa jadi mempersulit Lumi memiliki keturunan. Dan lagi, lo pikir mudah menjalani kehamilan selama sembilan bulan? Wanita normal lain di luar sana saja bisa stres, Iron. Apalagi Lumi yang memang tidak stabil. Belum lagi kondisi pasca melahirkan. Lo pikir mudah? Ditambah akan ada bayi yang harus diurus. Lumi mengurus dirinya saja tidak bisa, apalagi seorang bayi!

Lo sendiri tahu kondisinya jadi kayak sekarang karena dia mengalami stres selama kehamilan yang dulu ditambah bayinya yang tidak terselamatkan. Apa lo mau mengulang kesalahan yang sama lagi, Iron?”

Iron bungkam, makin tidak bernafsu pada hidangan makanan di atas meja. Benar kata Rendra, kondisi Lumi yang sekarang terjadi akibat di masa kehamilan sebelumnya yang tak bahagia. dan semua itu karenanya.

Lalu kini, hanya karena hasrat sialan itu, Iron hendak menggadaikan kewarasan Lumi kembali. Sinting. Banar kata Subhan. Ia lebih gila dari Lumi.

Menunduk, iron memijit pelipis yang terasa begitu pening. “Tapi gue nggak mau poligami!”

“Terus lo maunya apa?”

Entah. Iron bahkan tidak tahu apa yang benar-benar diinginkannya.

Dia mau Lumi. Sepaket dengan kewarasan. Tetapi kenapa hal sesederhana itu saja terasa begitu jauh dari jangkauan. “Gue nggak tahu!”

“Lagipula, apa lo dengar inti dari omongan gue barusan?”

“Apa?”

“Sekalipun Lumi sembuh, lo kemungkinan nggak bisa punya keturunan.”

Ah, benar. Tidak memiliki keturunan, ya?

Jujur, Iron juga ingin mendekap darah dagingnya sendiri meski ia sering membantah Subhan saat menuntut keturunan bagi keluarga Hanggara dengan selalu mengatakan masih ada Steel yang bisa melakukannya.

Memiliki anak yang bisa ia peluk dan banggakan, rasanya pasti akan luar biasa hebat. Tapi kalau kata-kata Rendra memang benar, Iron kemungkinan tidak akan bisa mendapatkannya dengan Aluminia.

Lalu ia harus bagaimana?

Benarkah poligami merupakan jalan yang tepat?

***

Dasar Lumi, mau nunjukin dirinya waras malah tambah gila🤧

Jadinya Iron bingung kan kudu gimanaaa ....

19 Agust 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top