BAB 6

Berpura-pura sembuh nyatanya lebih sulit ketimbang berpura-pura gila. Lumi ingat betul masa enam bulan selepas Pelita meninggal. Saat ia sedang berada di fase denial. Betapa ia labil waktu itu. Di satu waktu terkadang bertindak waras, tapi di waktu lain berlaku begitu kasar pada Iron.

Lumi sempat meminta Iron menceraikannya saat ia sembuh, yang kemudian laki-laki itu tolak mentah-mentah. Iron bahkan sampai memindahkan Bi Sumana, asisten rumah tangga yang sudah Lumi anggap ibu sendiri untuk bekerja di rumah Subhan hanya karena menurutnya Bi Sumana terlalu memihak Lumi dan mendukung keinginannya untuk berpisah.

Sejak saat itu, Lumi menjadi gila sepenuhnya, sebab tak ada lagi teman yang bisa diajak berbicara. Padahal sebelumnya, mereka sempat sepakat berdamai, tapi tindakan Iron memisahkannya dengan Bi Sumana sama sekali tak termaafkan.

Namun, dasar hati Lumi yang lemah, lambat laun ia benar-benar mulai luluh melihat ketulusan Iron mengurusnya tanpa lelah. Iron yang tidak pernah menuntut benar-benar berbeda dengan suami yang mengasingkannya di tempat kumuh.

Kendati demikian, Lumi tak bisa menyesali masa lalu kecuali kenyataan bahwa keteledorannya sudah menyebabkan Pelita pergi. Lebih dari itu, di rumah jeleknya yang dulu Lumi belajar banyak hal dan mengenal Nisya. Seseorang yang perkataannya seperti mantra. Selalu berhasil mempengaruhi Lumi seperti sekarang ini.

Menjadi pura-pura sembuh. Kegilaan macam apa pula ini?

Sialnya, Lumi menurut. Dimulai dengan ia yang tidak memberontak lagi dan bersikap lebih kalem. Padahal, kalem benar-benar bukan sifatnya. Lumi lebih suka menjadi barbar. Hanya saja ... oh, barangkali ini proses kesembuhan dari penyakit orang sinting. Lumi sendiri sudah sinting sejak lahir.

Oh, tapi Iron sangat-sangat menyebalkan. Lelaki itu masih mempekerjakan para bedebah yang istrinya lukai. Padahal, seharusnya Iron memecat mereka saja! Dengan isyarat itu, mestinya iron tahu kalau Lumi tidak menyukai para pembantunya!

Dan lagi, ini sudah satu bulan berlalu sejak ia dan Nisya sepakat untuk mulai proses penyembuhan pura-pura yang mereka sepakati. Lumi tidak bertindak aneh-aneh lagi, tapi kenapa Iron dan semua orang tidak terlalu merespon. Seolah ia gila atau waras tak ada bedanya.

Lumi tidak pernah menyentuh boneka dan menyebut benda berbulu dan menggelikan itu sebagai Pelita lagi. Ia tidak pernah memberontak, berlaku kasar atau membuang makanan seperti sebelumnya. Seharusnya, dari sana Iron sadar bahwa ada perubahan dalam diri Lumi.

Kecuali, laki-laki itu benar-benar sudah mengetahui keadaannya. Dan jika benar demikian maka ... maka ... Lumi menyentuh kepalanya yang mendadak pusing dan berat. Gejala yang dirinya alami sejak satu tahun terakhir mengonsumsi obat yang seharusnya tidak ia minum.

Satu bulan terakhir, Nisya tidak memberikan obat-obat sialan itu dan membuangnya diam-diam, lumayan membuat kepala Lumi lebih ringan. Hanya sedikit lebih ringan. Nyatanya, efek-efek obat itu mulai sangat terasa sekarang. Lumi sulit untuk fokus pada beberapa hal sekaligus. Bahkan ia sadar kerja otaknya melambat, sangat lambat. Ia kesulitan mencerna informasi yang agak rumit.

Berdiri setengah sempoyongan dari kursi panjang di dekat taman, Lumi berpegangan pada gagang sandaran tempat duduk yang terbuat dari besi itu. Nisya sudah pulang beberapa saat lalu dan meninggalkannya sendirian di sini. Tentu saja, Nisya punya keluarga, juga putra yang masih butuh kasih sayang. Andai pelita masih hidup, Rayhan dan putrinya bisa menjadi teman bermain.

Lumi menunduk, menatap perutnya yang kecil. Tak ada apa pun di sana, dan Lumi merindukan masa-masa saat ia bisa merasakan tendangan lembut dalam tubuhnya. Mungkinkah akan ada saat seperti itu lagi?

Nisya benar, kalau Lumi sembuh, bukan tidak mungkin Lumi akan bisa memiliki Pelita yang lain. Iron juga pernah mengatakan hal yang serupa dulu.

Pelita yang lain. Lumi menggigit bibir.

Mendesah panjang, ia melepas cengkeramannya dari dari kursi dan mulai melangkah menjauh, berniat kembali ke dalam rumah. Tetapi tepat pada langkah ketiga, kakinya tersandung dan ia tergelincir jatuh ke dalam kolam renang yang dingin.

Lumi megap-megap berusaha menghirup udara, tapi justru serbuan air yang memasuki lubang hidung dan membuat dadanya terbakar.

Berusaha keras sampai ke permukaan, tubuh Lumi justru makin tersedot ke dalam. Padahal, dulu dia lumayan jago berenang, bahkan beberapa kali pernah melakukan sesi foto di bawah air dengan kedalaman bermeter-meter.

Namun, kini ia malah tak berdaya dalam pelukan air kolam yang gelap, tanpa cahaya sama sekali. Bahkan sinar dari lampu taman sama sekali tak nampak.

Dulu, Lumi ingin mati. Sangat ingin. Semesta menolak.

Kini, saat ia berusaha untuk sembuh demi bertahan hidup, justru maut berusaha menjemputnya.

Lumi berusaha menggapai-gapai lagi, tapi tekanan di dadanya menguat dan membuat paru-parunya ingin meledak. Hingga pada akhirnya, Lumi benar-benar menyerah pada kegelapan yang datang merengkuh.

Kalaupun ia harus mati sekarang, ya sudahlah. Mungkin kini waktu yang tepat bertemu dengan Pelita di dunia lain. Hanya saja kalau benar harus mati, satu hal yang Lumi sesali. Tak bisa melihat wajah iron untuk terakhir kali.

Ah, Iron. Kenapa dia belum pulang juga?

Lalu ... kesadaran Lumi menghilang.

***

“Bagaimana bisa kalian membiarkannya tenggelam?”

“Maaf, Pak. Kami tidak tahu kalau Mbak Lumi diam-diam menyelinap keluar dari kamar setelah meminum obat tidurnya.”

“Tidak tahu?! berapa kali harus saya kasih tahu, awasi dia. AWASI DIA saat saya tidak ada! Saya membayar kalian mahal-mahal bukan untuk ini! Seharusnya kalian mengunci pintu kamar. Apa itu terlalu sulit untuk dilakukan?!”

“Maaf, Pak.”

“Berhenti mengatakan maaf, saya muak! Mulai besok, kalian boleh kembali bekerja di rumah sakit!”

“Maksud Bapak?”

“Saya tidak butuh bantuan kalian lagi.”

“Tapi, Pak--”

“Pergi!”

Suara-suara itu serta geraman keras Iron samar-samar terdengar seiring benda dingin yang terasa menyentuh bagian atas dadanya. Lumi ingin membuka mata, tapi sepasang kelopaknya terasa begitu berat untuk digerakkan. Pun ia masih kesulitan bernapas, bahkan saat benda bulat yang terasa dingin tadi terangkat dari atas dadanya.

“Sudahlah, Iron. Tenang. Toh Lumi sudah aman sekarang.” Itu suara Rendra. Lumi kenal betul tanpa harus membuka mata untuk memastikannya. Dokter kejiwaan yang sudah ia kenal sejak akhir SMA. Pun yang menanganinya setiap kali Lumi merasa sangat kacau.

Benar, Lumi kacau. Ia memiliki gangguan psikologis lantaran masa kecilnya yang berantakan. Tak terhitung berapa kali ia berusaha bunuh diri dan berhalusinasi. Terkadang ia bahkan mendengar suara-suara yang terasa amat nyata. Seperti sekarang.

Lumi bahkan sebenarnya tidak tahu, apakah dia berpura-pura gila saat ini, atau justru dirinya berpura-pura waras. Karena meski berat diakui, Lumi beberapa kali melihat beruang yang sering dipeluknya benar-benar tampak seperti bayi yang hidup. Pelitanya.

“Seharusnya gue bisa pulang lebih cepat, Ren. Kalau saja gue terlambat beberapa menit saja dan--”

“Ck, ini kecelakaan.”

“Lo tahu sendiri, Lumi selalu berusaha mencari apa pun untuk bisa mencelakai dirinya!”

“Mengurus orang seperti istri lo, memang butuh kesabaran dan--”

“Apa tidak ada kemungkinan dia bisa sembuh sepenuhnya?”

“Gue percaya istri lo bisa sembuh, tapi kalau sembuh sepenuhnya ... maaf, Iron. Otak istri lo sudah terlanjur bermasalah. Berapa kali gue harus menjelaskan ini?”

Dada Lumi nyeri saat mendengar tarikan napas dalam suaminya. Juga kenyataan bahwa ternyata dirinya benar-benar sakit.

Lumi mungkin memang tidak gila sepenuhnya, tapi kenyataan bahwa ia memiliki gangguan psikologis sejak bertahun-tahun lalu merupakan fakta yang harus diterima.

“Tapi dia bisa hidup normal lagi kan, Ren?” tanya Iron dengan nada putus asa.

“Saat kondisinya stabil, kemungkinan dia bisa hidup normal. Seperti saat Pelita belum meninggal. Dia normal.”

“Syukurlah. Itu saja cukup buat gue.”

Rendra menepuk pundak Iron dua kali, barang kali sebagai bentuk dukungan atau sekadar memberi sedikit kekuatan. “Gue nggak nyangka lo bakalan sesayang ini sama dia mengingat hubungan kalian dulu yang ... kacau.”

“Gue juga nggak percaya,” bisik Iron pelan, seolah tak ingin ada yang bisa mendengar jawaban itu. Tapi Lumi mendengarnya. Wanita itu sudah sadar sepenuhnya tapi masih belum ingin membuka mata.

“Ini bukan sekadar rasa bersalah kan, Iron? Kalau iya, lo mending lepasin dia dari sekarang. Kalau benar yang lo bilang kemarin kalau Lumi banyak mengalami kemajuan, saat keadaannya stabil nanti dia dia bakal sangat bergantung sama lo. Sudah terlambat untuk pergi setelah itu.”

Lumi menelan ludah selama sepersekian detik, menunggu jawaban Iron yang juga sering disuarakan gema dalam otaknya. Ketakutan bahwa perlindungan yang iron berikan hanya sebatas tanggung jawab dan rasa bersalah, meski lelaki tersebut menyangkalnya setiap kali ada yang bertanya.

Tawa ironi Iron mengalun singkat di ruangan yang beraroma seperti kamar yang selama ini Lumi tempati. Ah, mungkin ini memang kamar mereka.

“Kenapa kalian semua meragukan perasaan gue?”

“Karena kami semua tahu, betapa lo sangat benci Lumi. Dulu lo bahkan berharap dia mati.”

Benar, Lumi bahkan ingat saat Iron mencekiknya di awal pernikahan mereka. Kobar di mata iron saat mereka beradu pandang. Juga kebencian dari tatapannya yang tak pernah mau repot-repot Iron sembunyikan.

Iron bahkan berkata, bukan Lumi ratu yang Iron inginkan untuk mengisi singgasana dalam rumahnya. Berbanding terbalik dengan kini. Lumi bahkan menempati kamar terbaik di rumah ini.

“Gue nggak tahu, Ren. Gue nggak tahu. Yang gue tahu, melihat Lumi seperti ini, dada gue sakit.”

Rendra berdecak kecil sebelum tertawa pelan. Barangkali menertawakan sepupunya yang tolol. Andai sedang tidak berpura-pura pingsan, Lumi bahkan mungkin akan ikut tertawa.

Ah, pura-pura pingsan. Hidup Lumi benar-benar penuh dengan kepura-puraan.

“Kalau gitu selamat, Iron,” suara terdengar lagi setelah tawanya reda. “Kali ini lo nggak bisa lagi diselamatkan.”

Dan jangan pernah berharap lagi bisa diselamatkan, tambah Lumi dalam hati sebelum kemudian secara amat perlahan dia membuka mata agar terlihat benar-benar sadar dari pingsan secara alami.

“Haus,” katanya dengan suara serak. Dan kali ini tidak dibuat-buat. Ia memang sangat haus, padahal sudah meminum banyak sekali air kolam hingga perutnya masih terasa kembung. Tapi entah kenapa kerongkongannya justru kerontang.

“Al.” Iron langsung terperajat dan spontan berdiri. “Kamu sadar?” tanyanya sebelum kemudian heboh sendiri mencari-cari air.

Tak menemukan di mana pun, pada akhirnya ia menyuruh Rendra ke dapur untuk mengambilkannya air mineral yang Lumi butuhkan.

“Sayang, kamu sadar?” tanyanya lagi dengan nada luar biasa lega. Ia bahkan tampak hendak memeluk Lumi, tapi berusaha keras menahan diri.

Dan Lumi, merespons kali ini dengan anggukan sekali.

Benar, Lumi kini sudah sadar. Ia sadar Iron mencintainya. Pun, seperti yang Rendra katakan, kali ini Iron tidak terselamatkan. Tidak akan terselamatkan dari cengkeramannya. Tentu saja.

Karena saat Lumi menginginkan seseorang, tak ada lagi ampun.

***

Wkwkwk .... Iron emang udah nggak bisa diselamatkan lagi.
Anggap aja karma yak, dulu kan doi jahat sekaliiiii ....
Biarpun masih lebih jahat lumi sih🤭

16 Agust 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top