BAB 2

Ternyata menjadi gila tidak begitu menyenangkan. Terlalu banyak tenaga yang mesti dikerahkan, terlebih setiap hari ia harus selalu meminum obat entah apa yang seringkali membuatnya tidak berdaya pun sesekali malah membikin ia berhalusinasi.

Mungkinkah pada akhirnya otak Lumi akan menyerah pada kegilaan yang sesungguhnya?

Ah, kendati demikian tak apa. Setidaknya mungkin ia bisa melupakan semuanya dan hidup bahagia dalam dunia ilusi yang diciptakan oleh sel-sel dalam kepala menurut skenario yang ia mau.

Sayang, kenyataan memang tak seindah itu. Dan kini sudah entah ke berapa ratus hari berlalu. Yang Lumi tahu hanya matahari terbit dan tenggelam secara teratur tanpa ada sesuatu yang berarti. Kecuali kekacauan yang kerap kali ia buat terutama saat ada keluarga Iron yang datang berkunjung.

Dan sampai saat ini dirinya masih di sana, terkurung dalam kamar berukuran luas yang tampak kosong karena satu per satu perabotnya ia rusak. Kamar yang sama dengan yang Iron tuju setiap kali pulang bekerja. Tempat lelaki itu merebahkan diri kala lelah melanda. Dia bahkan dengan santainya terlelap di samping Lumi tanpa beban berarti, seolah mereka pasangan suami istri pada umumnya. Tertidur dengan sangat pulas, beberapa kali sampai mendengkur halus dan membuat Lumi terjaga nyaris sepanjang malam.

Sebenarnya, saat-saat seperti itu merupakan waktu sempurna untuk membunuh Iron. Namun entah mengapa, Lumi tak pernah bisa melakukannya. Hanya sekali ia pernah berani. Dulu. Lumi lupa kapan tepatnya. Ia pernah menekan kepala Iron dengan bantal agar suaminya tidak bisa bernapas. Iron yang spontan terbangun beberapa saat kemudian, langsung membalik keadaan dan balas menindihnya dengan setengah linglung. Lumi yang spontan panik takut Iron mengetahui kondisinya langsung tertawa-tawa seperti manusia sinting dan bernyanyi, “Mati. Mati. Ayo mati. Mati!”

Berhasil. Iron hanya mendesah pendek dan melepaskannya begitu saja. Tetapi tak lama. Karena kemudian lelaki itu kembali tidur dengan membelit tubuh Lumi erat-erat sampai ia tak bisa bergerak bahkan kesulitan bernapas.

Rutinitas Iron setiap hari begitu kembali dari kantor; dia akan mengucapkan salam, menghampiri sang istri dan memberikan kecupan di kening meski kerapkali Lumi malah membuang muka, lalu membuka pakaian dan bergegas membersihkan diri ke kamar mandi.

Oh, jangan ditanya, lelaki itu memang seringnya membuka dan mengganti baju di depan Lumi. Bahkan beberapa kali berjalan telanjang bulat ke lemari saat lupa membawa baju ganti ke kamar mandi. Tanpa merasa malu sama sekali! Barangkali dia lupa bahwa di kamar itu ada manusia lain. Atau mungkin urat malunya memang sudah putus.

Kendati sepengetahuannya Lumi sedang tidak sehat secara mental, tetap saja. Seharusnya iron bisa lebih beradab.

Hanya saja, malam ini berbeda. Iron pulang lebih larut dari biasanya. Wajah lelaki itu tampak kuyu dan sangat lelah.

Membuka pintu perlahan, dia menutup daun persegi itu kembali dengan sama pelan lantas melangkah gontai menuju ranjang sambil berusaha menarik dasinya yang sudah longgar hingga terlepas. Kemudian Iron duduk di sisi ranjang tempat Lumi berbaring diam, badannya memang agak lemas setiap kali selesai meminum obat.

Alih-alih mendaratkan ciuman di kening, Iron meraih tangan kiri sang istri. Dirabanya jari-jemari yang kian kurus setiap hari itu dengan gerakan selembut bulu. Mengusapnya naik turun.

“Sudah hampir satu tahun, Aluminia.” Dia berbisik seraya menarik napas panjang. Panjang sekali sebelum kemudian diembuskan dengan desah berat, seakan beban seluruh dunia berada di pundaknya. “Sampai kapan kamu akan terus begini? Menolak menerima kenyataan bahwa Pelita--” suaranya tercekat,  belaiannya terhenti. Iron menatap hampa boneka beruang berukuran sedang di samping Lumi.

Boneka beruang cokelat milik Steel untuk hadiah ulang tahun gadis yang disukainya, berhasil Lumi rebut dengan membabi buta saat Steel datang untuk mampir beberapa waktu lalu.

Lumi yang kala itu sedang diajak berjemur di pinggir kolam renang pada minggu pagi dengan diawasi langsung oleh Iron, seketika memberontak begitu mendapati Steel memasuki area halaman samping sambil menggendong benda berbulu itu.

“Bayi gue!” pekiknya sembari bangkit dari kursi roda dan langsung menghambur ke arah Steel. Tanpa aba-aba dia menubruk adik Iron yang malang dan merampas boneka yang masih terbungkus plastik itu.

Steel yang tidak siap akan serangan tiba-tiba, tentu jatuh terjerembab seketika itu juga.

Karena kesembronoan itu, Lumi mengalami luka lecet di bagioan siku tangan, pun kakinya keseleo. Kejadiaan yang cukup Lumi sesali karena beberapa setelah itu ia tidak bisa berjalan selama tiga hari.

Ck, bukankah sudah ia katakan, menjadi gila sama sekali tidak semudah itu. Andai dirinya benar-benar gila, mungkin semuanya akan berbeda. Lumi bisa benar-benar bahagia dalam dunia yang otaknya ciptakan tanpa harus terlalu banyak drama.

“--Pelita kita sudah tiada,” lanjut lelaki itu yang sejenak berhasil membuat perasaan Lumi bergejolak.

Benar, Pelita sudah lama mati. Satu tahun kata Iron. Secepat itukah waktu berlari? Meninggalkannya dalam keadaan  menyedihkan semacam ini.

Dan ya ... sampai kapan? Lumi juga tidak tahu. Hidupnya terlalu hampa untuk dilanjutkan. Tak ada harapan.

Kalau benar dirinya kemudian menunjukkan kesembuhan dan perlahan mulai kembali menjadi bagian dari dunia, lalu apa? Bisakah ia menjalani hari-hari seperti manusia lainnya setelah seisi semesta tahu bahwa yang dirinya miliki hanya sepasang sayap-sayap plastik?

Kepalsuan.

Entah, tak ada yang bisa menjamin itu. Dan bukan tidak mungkin Iron akan melepaskannya setelah tahu bahwa Lumi selama ini baik-baik saja atau perlahan menunjukkan kesembuhan nantinya.

Ah, memang kenapa kalau pun nanti Iron melepaskannya? Bukankan memang itu yang ia mau?

Sial! Lumi bahkan sudah tidak tahu lagi apa yang dirinya inginkan.

“Papa mendesak saya untuk menceraikan kamu.”

Satu tangan Lumi yang bebas, ia gunakan untuk mencengkeram seprai diam-diam di balik salah satu sisi tubuhnya. Baguslah. Kalau begitu ia akan segera bebas dari Iron dan juga manusia-manusia munafik lainnya.

Kalau benar mereka bercerai, keluarga Lumi mungkin akan memasukkannya ke dalam rumah sakit jiwa. Tak akan ada yang bersedia merawat ia di rumah, terutama Resti dan Gustav meski mereka sudah meminta maaf dan beberapa kali datang menjenguk. Sedang Cinta belum kembali dari luar negeri. Wandi ... apa yang bisa Lumi harapkan dari ayahnya yang tiap hari tampak muram selepas perceraian dengan Resti?

Ya, itu keputusan yang bagus. Di rumah sakit jiwa Lumi akan menemukan banyak teman. Makhluk-makhluk malang lain yang memiliki nasib serupa atau bahkan lebih berat. Dan mereka tidak munafik.

Berusaha menarik oksigen, Lumi berusaha menahan diri untuk tidak mengumpat saat dirasa dadanya sesak. Sial, apa ini juga termasuk salah satu efek dari obat yang baru dia telan? Bisa jadi formula obat baru mengingat kemarin Rendra memberi resep obat tambahan.

Menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang mengering, Lumi berpaling muka saat merasa ujung matanya mulai basah. Ia berusaha menyembunyikan apa pun itu dari Iron.

“Papa mau saya meneruskan garis keturunan keluarga. Dan bila tetap bertahan dengan kamu, Papa khawatir saya tidak akan mampu melakukan itu.”

Lumi mencengkeram seprai lebih erat, sedang satu tangan yang masih Iron genggam sedikit menekuk.

Guntur terdengar tak lama kemudian. Entah dari langit atau hanya gema dalam kepalanya yang semrawut.

Namun saat mendengar bunyi benturan tetes hujan pertama menyapa genteng, Lumi tahu dirinya sedang tidak sedang berhalusinasi. Hujan turun detik setelah itu, mengguyur bumi dengan banyak tetes air mata semesta. Lumi berkedip perlahan menatap jendela berteralis yang belum ditutup sempurna. Kelambu tipis di sana melambai-lampai pelan tertiup angin yang dibawa hujan. Begitu pasrah, sama sekali tak berusaha memberontak.

Menyedihkan.

Lama iron tak mengatakan apa pun. Dia hanya menggenggam tangan Lumi lebih erat sebelum kemudian ikut merebahkan diri dan memeluk pinggang sang istri.

“Apakah selamanya kamu akan seperti ini? Lalu bagaimana dengan saya, Al?”

Lumi ingin sekali menjawab, dirinya juga tidak menginginkan ini. Seperti kupu-kupu, ia berharap bisa terbang bebas menyusuri satu taman ke taman lain, menikmati keindahan dunia yang terhampar.

Sayangnya, takdir tidak mengizinkan. Dia justru bernasib seperti burung cantik yang terkurung dalam sangkar emas. Hanya bisa meratap. Pun kerapkali dipaksa berkicau.

Lagipula, kenapa iron masih harus berpikir untuk melepaskannya? Apakah karena rasa bersalah itu?

Dan seolah bisa membaca isi pikiran Lumi, Iron berkata pelan, “Saya juga tidak tahu, kenapa berat sekali melepaskan kamu. Sunguh, saya tidak menginginka apa pun sekarang, hanya berharap kamu bisa sembuh.”

Lalu setelah itu apa?

“Agar kita bisa memulai kembali hubungan ini dengan lebih baik.”

Tanpa cinta?

“Karena entah bagaimana, saya sangat takut kehilangan kamu.”

Napas Lumi tercekat seketika. Iron pasti berbohong, pikirnya. Lumi tahu pemilik hati lelaki itu. Adik Lumi sendiri. Cinta yang memilih mengalah agar Lumi bisa bahagia.

Gadis baik hati itu, dia memang pantas mendapatkan semua ini. Semua kebaikan yang ada di dunia. Pemilik senyum polos dan ceria yang diam-diam selalu ingin Lumi lindungi. Dari dirinya sendiri.

“Saya tidak tahu seindah apa dunia yang kamu ciptakan dalam otak kecil dalam kepala kamu yang cantik itu, tapi ... apakah terlalu berharap kalau saya mau kamu sembuh?”

Sepasang telaga bening sewarna arang itu kian terasa panas. Entah bagaiamana, air matanya seperti tak pernah habis. Lumi menggigit bibir bawahnya keras-keras untuk menahan diri agar tak mengeluarkan suara apa pun.

Namun saat Iron menarik pelan dagunya, air mata itu menyerah dan jatuh. Sejenak mereka bertatapan sebelum kemudian secepat kilat Iron memejamkan kelopaknya dan mencium bibir kering sang istri. Melumat pelan. Hanya sekali. Sebelum kemudian menjauhkan tubuh mereka dan langsung bangkit berdiri membalakangi ranjang, juga Lumi yang mendadak mematung dengan jantung berdentam-dentam.

Tadi itu terlalu ... mendadak dan mendesak. Kendati demikian desirannya masih terasa bergelenyar di atas permukaan bibirnya. Lumi seolah bisa merasakan betapa frustrasi Iron menghadapi situasi mereka. Juga hasratnya sendiri.

Tidak mungkin kalau selama ini Iron hidup selibat, kan?

Tidak--

Atau ... ya.

Lumi kembali menelan ludah kelat dalam kebingungan. Pandangannya berkunang-kunang saat menatap Iron yang menyugar rambut dengan gerakan putus asa di sampingnya.

“Berengsek!” umpat laki-laki itu sebelum kemudian berderap dalam langkah-langkah panjang menuju kamar mandi dan membanting pintunya dari dalam. Meninggalkan Lumi yang masih mematung di atas ranjang dengan pikiran yang kian kusut.

Wanita itu menyentuh permukaan bibirnya yang masih terasa hangat dan agak gemetar.

Kenapa?

Kenapa Iron harus menahan diri untuknya? Padahal kalau mau, dia bisa melakukan apa pun pada Lumi. Apa pun. Termasuk menidurinya dengan paksa.

Iron tidak mencintainya. Lantas ... kenapa?

***

Wkwkwk ... kok saya yang malu sih🙈🙈🙈

29 Jul 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top