BAB 1

Prang!

Mangkuk keramik berisi bubur itu terlempar jauh sebelum kemudian jatuh menjadi kepingan saat membentur lantai marmer dengan begitu keras. Untuk kelima kalinya pagi itu.

Iron berusaha menarik napas panjang demi menahan emosi yang berusaha bangkit dalam dirinya. Karena sungguh, dia bukan penyabar. Hanya saja, pada siapa dirinya harus melampiaskan amarah yang menggelegak di balik dada saat seseorang yang membuatnya kesal sedang tidak dalam keadaan stabil?

Ini baru hari kelima selepas kepulangan Aluminia dari rumah sakit. Hampir dua pekan selepas kematian putri mereka. Pelita. Yang mungkin kini sudah bahagia di surga. Tak seperti kedua orangtuanya yang harus menikmati neraka dunia. Atau mungkin hanya Iron saja. Sebab Lumi, dia menciptakan surga dalam dunianya sendiri.

Rendra, salah satu sepupu Iron yang ternyata juga merupakan dokter Lumi sempat menyarankan agar wanita itu untuk sementara dirawat di tempat praktiknya--begitu ia menyebut rumah sakit jiwa tempatnya bekerja agar tidak menyinggung siapa pun. Namun Iron menolak. Membayangkan Lumi berbaur dengan manusia-manusia sinting membuatnya takut. Lagipula, ia percaya sang istri hanya butuh waktu. Entah berapa lama, sampai dia bisa menerima kenyataan pahit dan bersedia kembali. Menjadi seperti Lumi yang dulu.

“Kamu nggak mau makan bubur, hmm?” Tersenyum, lelaki itu mendongak. Menatap Lumi dengan sorot lembut dan sabar. Iron tidak tahu kenapa ia harus bersusah payah begini hanya untuk menyenangkan seseorang yang dulu telah berhasil merusak rencana masa depannya. Mungkin rasa bersalah? Yang pasti, rasanya menyakitkan melihat Lumi tak berdaya.

“Kalau kamu mau makan yang lain, bilang saja. Saya akan minta staf dapur membuatkannya untuk kamu. Atau kamu mau saya yang masak?”

Lagi, tak ada jawaban. Lumi masih setia dengan kebisuan. Berbagai cara sudah Iron lakukan, hanya saja istrinya tampak sama sekali tak tertarik dengan segala upayanya.

Seperti saat ini. Wanita tersebut menutup mulut rapat-rapat setelah mendorong mangkuk bubur dan sekali lagi membuat lantai kotor, seolah tak pernah melakukan kesalahan apa pun.

Dia tetap duduk di sana, di atas kursi roda. Menatap kosong pada pemandangan di balik jendela tinggi ruang tengah, padahal tak ada pemandangan luar biasa di sana. Hanya halaman belakang yang hijau. Pohon palem berdiri di setiap sudut. Rumput hias menghampar. Ada berbagai macam bunga yang ditanam membentuk semak di sudut lain, gazebo di dekat tembok pagar, juga pohon mangga yang mulai berbuah tertanam nyaris di tengah halaman membuat suasana bertambah rindang. Ayunan rendah tergantung di sana.

Satu titik yang Lumi tatap sejak tadi.

Lumi tidak mungkin ingin menaiki ayunan kan? Atau--

Ia hanya sedang membayangkan Pelita bermain di sana dengan rambut berkibar-kibar. Ah, ikut membayangkannya membuat jantung Iron berdenyut nyeri. Juga penyesalan yang ikut muncul setelahnya.

Andai malam itu Iron tidak mengatakan apa pun dan menahan amarahnya, Lumi dan putri mereka mungkin akan baik-baik saja. Lumi tidak akan terjatuh karena mengejarnya. Pelita akan lahir dalam keadaan sehat dan sempurna.

Seandainya.

Namun takdir tak berkata demikian.

Berusaha makan segala rasa duka dan penyesalan yang hanya bisa ia telan sendiri, iron bangkit berdiri. “Kalau kamu tidak mau makan, minum susu saja, ya,” ujarnya sebelum kemudian berbalik dan pergi menuju dapur untuk meminta susu pada salah satu pekerja rumah tangganya, pun menyuruh salah satu dari mereka untuk mengepel lantai. Lagi.

Dan saat gelas yang dibawanya kemudian juga berakhir di lantai, kesabaran Iron nyaris hilang. Ia ingin meninju sesuatu. Atau seseorang, itu lebih baik. Tapi tak ada siapa pun yang bersedia menjadi samsaknya.

Maka, meminta susu sekali lagi pada salah satu pekerja dapur, Iron meminumnya seteguk sebelum kemudian meletakkan gelas tinggi itu jauh dari jangkauan Lumi, lantas ia mendekati wanita itu, menarik kepalanya hingga sedikit mendongak lalu meraup bibirnya. Memasukkan cairan susu sedikit demi sedikit.

Barangkali kaget, Lumi sempat tersentak. Detik kemudian, dia berusaha menjauhkan diri dan memukul bahu Iron. Tapi tenaga Iron yang lebih kuat jelas membuat Lumi kewalahan.

Usai memastikan Lumi berhasil meminum susu dari mulutnya, barulah Iron melepaskan ciuman mereka dengan napas terengah. Sama terengah dengan Lumi yang kemudian terbatuk pelan. Iron bantu menenangkan wanita itu dengan menepuk-nepuk punggungnya pelan sambil tersenyum geli.

Mungkin bukan hanya Lumi yang gila di sini. Dirinya juga. Bagaimana bisa Iron masih bisa menikmati ciuman itu saat istrinya justru dalam keadaan sakit?

Ah, bukan ciuman. Tepatnya suapan. 

Bibir Lumi tipis dan agar lebar. Teksturnya kasar karena kering lantaran kekurangan cairan, tapi tetap terasa begitu lembut dan menyenangkan.

Ugh, memikirkannya membuat Iron menginginkan hal yang tidak-tidak saja.

Berusaha menyingkirkan segala hal kotor dari benaknya, Iron berdeham. Begitu batuk Lumi mereda, ia mengangkat satu alisnya. “Kenapa saya baru memikirkan metode ini untuk menyuapi kamu? Kalau saja saya melakukannya sejak tadi, kita tidak perlu membuang terlalu banyak bubur. Itu mubazir.”

Lumi tidak menyahut. Seperti biasa. Hanya saja kedua tangannya mencengkeram dua sisi lengan kursi roda erat-erat hingga urat-uratnya menyembul.

Iron tidak ambil pusing, ia kembali memasukkan susu ke dalam mulutnya sebelum mencium Lumi lagi. Terus begitu sampai gelas menjadi kosong.

“Kalau besok kamu masih mengamuk saat berusaha disuapi, saya akan melakukan metode seperti ini,” kata iron di sesi terakhir ciuman mereka seraya mengusap sudut bibir Lumi yang basa oleh cairan putih encer itu. Dan seolah mengerti kata-kata sang suami, Lumi memelototinya dengan sorot benci. Tetapi iron mengabaikan itu dan tetap tersenyum. Ia  memutar kursi roda Lumi dan membawanya kembali ke kamar karena setelah ini ia harus berangkat ke kantor dan bekerja.

Ah, sebenarnya ada suster yang ia bayar untuk merawat istrinya, tapi selama masih ada waktu luang, Iron akan mengurus Lumi sendiri. Anggap saja untuk menebus kesalahan dan membayar dosa-dosanya di masa lalu selama awal pernikahan mereka yang mengerikan.

Begitu memastikan Lumi sudah aman di kamar, Iron keluar dan menutup pintu. Bunyi bantingan barang menyusul kemudian, sempat membuat langkahnya terhenti sejenak. Kini barang apa lagi yang Lumi pecahkan? Seingat Iron, kamar mereka nyaris kosong lantaran ulah istrinya. Mungkinkan sekarang giliran meja nakas yang jadi korban?

***

Iron sialan. Sialan. Sialan.

Berani-beraninya dia!

Lumi mengusap-usap bibirnya keras, berusaha menghilangkan bekas mulut Iron di sana dan menghapus ciuman mereka yang entah bagaimana masih terasa sampai kini.

Tak tahukah dia, Lumi membencinya. Sangat benci hingga ia gatal ingin menusuk perut lelaki itu sampai mati. Kalau bukan Lumi, setidaknya Iron yang harus menyusul anaknya. Anaknya, bukan anak mereka. Karena pelita hanya miliknya, bukan Iron.

Lumi yang mengusahakan agar putrinya ada. Hanya Lumi. Iron tidak memiliki kontribusi apa pun selain hanya pemilik sperma yang ia beli dari hasil kelicikan. Untuk membalas dendam.

Dendam yang pada akhirnya hanya menyakiti diri sendiri.

Kini Lumi hanya bisa memutar waktu. Andai dulu ia berhasil meyakinkan Rafdi agar tidak melakukan taruhan konyol dengan rivalnya sedari SMA, mungkin kini Lumi sudah bahagia dengan menjadi Nyonya Zachwilly.

Ah, tidak. Jauh setelah itu bahkan Rafdi masih mendatanginya, menawarkan kesempatan kedua agar mereka bisa kembali. Dia bahkan bersedia menerima anak yang Lumi kandung. Tetapi Lumi yang bodoh dan terbutakan perasaan sialan malah lebih memilih bertahan di gubuk jelek demi menunggu Iron pulang.

Entah apa yang ada dalam pikirannya saat itu. Dan lihat apa yang kini ia dapat?

Kehilangan.

Sikap baik Iron tidak akan bisa menghidupkan kembali Pelita. Tak akan pernah. Pun sikap Iron kini hanya ... sebagai penebusan dosa. Lumi tahu itu.

Meraung marah lantaran gelenyar di bibirnya tak kunjung mau hilang, Lumi menarik ujung-ujung seprai yang semula terpasang rapi di ranjang dan berusaha mencabik-cabiknya, tapi gagal. Tentu saja.

Dua perawat yang ditugaskan untuk menjaga wanita itu segera datang tak lama kemudian dan mengambil tindakan untuk menenangkan Lumi. Si wanita gila.

Benar Lumi sudah gila. Dan menjadi gila ternyata lebih sulit dari yang dirinya duga.

Ia berusaha mencakar, menendang dan melakukan apa pun yang bisa membuat orang-orang di sekitarnya tersiksa. Salah satu perawat yang berusaha memegang lengannya bahkan berhasil Lumi dorong hingga jatuh terjerembab ke lantai.

Barangkali karena mendengar kegaduhan yang kian emnjadi, ebberapa asisten rumah tangga Iron menyusul kemudian, bahkan tukang kebun dan satpam,

Pada khirnya, Lumi kembali terikat di atas ranjang setelah berhasil mereka bekukan.

“Pelita,” gumamnya nelangsa. “Aku hanya mau Pelita. Kembalika dia. Kenapa kalian tidak pernah bisa mengerti. KENAPA?!” teriaknya di ujung kalimat dengan nada frustrasi. Ia menatap berpasang-pasang mata itu yang menyorotnya dengan iba, kesal, benci dan marah.

Tahu apa mereka?

Manusia-manusia itu sama saja. Yang mereka bisa hanya menghakimi, tanpa berusaha mengerti perasaan Lumi.

Aluminia Lara, dia hanya menginginkan Pelita. Seorang yang akan mencintainya tanpa syarat.

Seperti cinta Wandi pada Resti.

Seperti kasih sayang Gustav untuk Cinta.

Sesuatu yang tak pernah Lumi dapatkan dalam hidupnya. Bahkan dari Rafdi sekalipun. Hubungan mereka yang dulu, tak lebih dari sekadar simbiosis mutualisme. Rafdi butuh istri dan keturunan. Lumi, dia membutuhkan uang dan ... anak yang akan menyayanginya.

Semua itu nyaris terwujud, sebelum kemudian hancur dalam semalam. Dan Iron pelaku utamanya.

Dia berhasil memusnahkan dua usaha besar Lumi.

Menggagalkannya menjadi calon Nyonya Zachwilly dan ... membunuh Pelita yang ia dapatkan dengan banyak risiko.

“Tenang, Nyonya. Tolong sadar, Non Pelita sudah pergi,” ujar salah satu perawat di sampingnya dengan takut-takut.

Benar, kini mereka memanggilnya Nyonya.

Nyonya. Tapi bukan menjadi nyonya semacam ini yang Lumi mau.

Nyonya tanpa kekuasaan. Nyonya menyedihkan. Nyonya yang ditatap iba.

Benar-benar berbanding terbalik dengan Resti.

Mungkin, selamanya Lumi tak akan pernah bisa menyaingi ibunya. Tak akan pernah. Satu kenyataan lagi yang harus dirinya terima. Bahwa ia memang semenyedihkan itu. Sejak awal.

Berbeda dengan Lumi, semua orang begitu menghargai Resti. Menyayanginya. Memaklumi kesalahannya. Juga mengemis kasih sayangnya.

Dan Lumi salah satu dari orang yang mengemis kasih sayang wanita itu. Dengan begitu menyedihkan. Ia bahkan rela melakukan berbagai cara demi bisa menarik perhatian sang ibu. Yang selalu berakhir dengan kegagalan.

Sialnya, di saat-saat seperti ini, Lumi tetap berharap Resti akan datang dan memeluknya. Seperti cara wanita itu memeluk si bungsu Cinta.

***

Wkwkwk... pas ngetik ini perasaan saya biasa aja. Tapi kenapa pas baca segelintir sebelum dipos ulang, kok jadi rada nyesek ya🤧

Semoga kalian suka, deh. Yang kepo pengen baca sampe ending bisa langsung cus ke KK. Tapi nggak ada yang langsung ful ya, adanya yang per bab atau per tiga bab😅

25 Jul 2022

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top