Bab 25
"Reyna, Reyna...!" Ridho berteriak keras, hingga terdengar kemana-mana. Roy menyenggolnya dengan lengan, menyuruhnya berhenti.
"Apa sih!" balas Ridho sesian, dia tak senang dengan perlakuan Roy barusan, ia malah meneruskan panggilannya.
"Reyna tidak bisa diganggu sekarang, tanya ke saya saja." Nenek Reyna itu berkata dari belakang mereka, semuanya sontak menoleh dan berbalik.
"Ah, iya, Embah. Maaf jika teman-teman terlalu berisik. Aku akan menasehatinya nanti," respon Roy, salah sambung, ia mengatakannya begitu saja. Entah kenapa, setiap berhadapan dengan Nenek Reyna, Roy selalu merasa gugup tanpa sebab.
Reyna muncul dari pintu rumah dan menyapa teman-temannya yang sudah memanggilnya dari tadi. "Ya, Ada apa?"
"Reyn, lo sibuk nggak?" tanya Ridho cepat.
"Buat 30 menit ke depan keknya nggak sih."
Ridho berjalan maju dan menarik paksa lengan Reyna ke dalam rumah, meninggalkan semua orang dan mengunci pintu masuk.
"Apa sih, Rid? Lo jadi aneh gini dah."
"Gimana nggak aneh. Coba lo bayangin, nenek-nenek di depan mata lo tiba-tiba ilang gitu aja sehabis terkena cahaya terang-menerang. Nggak cuma sampe di sana, abis itu tiba-tiba pintunya tertutup otomatis. Berasa masuk dunia hantu beneran."
"Oh ya?" respon Reyna dengan santai, tidak terlihat takut sama sekali. "Kalian abis kemana emang?"
"Gue nggak tau namanya apa. Tapi yang jelas, bangunannya kotak panjang dan debuan gitu."
Mata Reyna langsung membesar begitu mendengar perkataan Ridho barusan. "Tunggu, lo bilang bangunan kotak? Bahannya dari semen kan?!"
"Bener!" Ridho mengangguk. "Eh, kok lo tau sih?! Jangan-jangan lo udah pernah ke sana ya?"
Reyna terdiam, membisu, matanya menunduk, sekarang jantungnya berdetak kencang. Bagaimana mungkin mereka bisa ke sana? Siapa yang membuka dimensi bangunan itu?
"Reyn?" panggil Ridho, yang tak kunjung mendapat jawaban atas pertanyaan barusan. Ia melambaikan tangannya di depan mata gadis itu tetapi tak kunjung di perhatikan.
"Reyn!" panggil Ridho lagi, kali ini dengan nada yang sedikit keras. Hingga Reyna tersadar dengan panggilan itu dan meliriknya secara spontan.
"Siapa yang pertama kali ngeliat bangunan itu?"
"Semuanya deh, tapi yang ngajak masuk, si Roy. Kenapa emangnya?"
"Roy ya?" beo Reyna berpikir keras. Ia menduga jika Penjaga Roy yang melakukannya tapi buat apa?! Bukannya itu malah membahayakan tuannya sendiri?
"Oy! Lo kenapa sih, ngelamun mulu perasaan dari tadi."
"Gue ... belum bisa mastiin, nanti malam kita bahas ya."
Ridho berdecak kesal, lagi-lagi dia harus menunggu untuk hal yang sangat ingin ia ketahui jawabannya.
"Terus, habis ini kami mau ngapain? Lo keknya masih lanjut tugas private lo itu kan?"
"Ini udah sore, Rid, siap-siap mandi di sumur, gih."
"Sore?" beo Ridho tak percaya. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Padahal mereka hanya berjalan-jalan sebentar, tetapi Reyna malah mengatakan jika hari sudah sore?
"Lo nggak lapar, 'kan?"
Mendengar kata 'Lapar' membuat perut Ridho berbunyi keras, bagaikan perut orang yang belum makan seharian. Ia segera memegangi perutnya yang mendadak sakit dan rasa lapar yang datang begitu saja.
"Aduh, kok gue mendadak lapar gini sih, lo apain sih, Reyn?" tanya Ridho kesal.
Ternyata bener, mereka masuk dimensi lain. Reyna menyimpulkan dalam hati.
"Dah, nanti aja gue jelasin. Sekarang ke dapur sana, udah ada makanan dingin, kalo mau anget kukus aja, tapi nyalain api sendiri."
Setelah mengatakan itu, Ridho pergi ke dapur, sementara Reyna membuka kembali pintu rumah dan terlihat semua orang sedang berbaris rapih si hadapan Nenek Reyna.
"Embah Sari, ada yang ingin Reyna sampaikan," kata Reyna tak lama setelah membuka pintu.
"Embah sudah tau, Cucuku, suruhlah mereka untuk makan. Pergi ke dimensi lain mengambil banyak tenaga mereka. Untung saja mereka bertemu dengan Embah pedagang, jika tidak, Embah sendiri bingung cara menyelamatkannya."
"Iya, Embah. Teman-teman, yok makan."
Semuanya tiba-tiba memegangi perut mereka, sama seperti Ridho barusan dan bertanya hal-hal yang sama pula.
"Ke dapur aja ya, temuin Ridho. Dia tau sesuatu..."
Tanpa banyak bicara lagi, semuanya bergegas ke dapur dan menjumpai Ridho yang sedang menyantap daging ayam dengan banyak cabe di atasnya, padahal Ridho tak menyukai makanan pedas.
"Rid, kamu makan pedas?" tanya Nurul lemas, ia juga begitu bergairah dengan makanan dingin yang ada di balik tudung saji itu.
Ridho tak menjawab, ia terus saja memakan, menguyah makanannya dengan kasar, seperti halnya hewan.
Semua orang duduk melingkar di meja makan dan perlahan memakan makanan yang ada di depan mereka. Setelah tegukan pertama, nafsu makan mereka langsung naik drastis, hingga kelakuannya pun sama seperti Ridho tadi.
***
Sementara temannya makan dan memulihkan diri, Reyna duduk di kursi panjang depan rumah ditemani dengan neneknya.
"Embah-"
"Panggil saja, Nenek, Cucuku. Kamu tau kan, aturan itu bisa dilanggar asal dengan sesama keluarga."
"Reyna takut keceplosan, Nek, bisa bahaya...."
"Nenek tau, kamu bukan takut dengan itu. Kamu lebih takut jika temanmu masuk kembali ke bangunan itu bukan?"
Reyna menghadap ke Neneknya. "Sejelas itu, Nek, ya?"
Bibir Neneknya sedikit terangkat, "Kamu yang membawa mereka, kamu yang paling mengerti dengan desa ini, lalu kamu juga yang bertanggung jawab atas kehidupan mereka. Nenek paham betul perasaan itu. Dulu, saat ayahmu berkunjung ke sini pun, ibumu juga begitu."
Tiba-tiba Reyna penasaran dengan sesuatu. "Nek, apakah Ibuku dulu mempunyai mata batin juga?"
Neneknya menggeleng pelan. "Hal itu muncul begitu saja, Reyna, mata batin itu bukanlah sesuatu yang bisa diturunkan."
"Lalu, boleh Reyna tau kenapa Ibu dan Ayah memutuskan untuk pergi dari desa ini?"
Nenek menoleh ke arahnya, masih dengan senyuman kecilnya. "Akan lebih baik, jika Reyna tanya sendiri pada mereka."
"Mereka juga membuangku, Nek, karena takut dengan apa yang dimiliki Reyna."
"Kamu yakin dengan hal itu?"
"Maksud Nenek?" Reyna mengernyitkan dahinya, kebingungan.
Neneknya malah mengalihkan pandangan ke depan. "Jika ke depannya kamu masih menyimpulkan hal serupa seperti itu, kelak kamu akan terjatuh. Setiap tindakan pasti ada alasannya."
Reyna menghela napas panjang, ia sama sekali tak mengerti dengan apa yang Neneknya bicarakan barusan. Apa maksud Neneknya barusan orang tuanya menyayanginya, begitu?
TIDAK!
Sejak tau Reyna mempunyai kemampuan Indigo, saat itulah mereka menghilang dan seolah-olah tak pernah mengenal Reyna. Lantas, kenapa Neneknya malah berkata seperti itu? KENAPA!
"Reyn?" panggil temannya dari dalam rumah. Reyna yang hanya terdiam sejak tadi segera beranjak dan permisi pergi, kemudian masuk ke rumah dan menghampiri teman-temannya di dapur.
"Reyn, makanannya habis. Dihabisin sama RIDHO!" tunjuk Afsari kesal.
***
Menurut kalian, apa yang sebenarnya terjadi kepada teman-teman Reyna?
Ada yang tau jawabannya sebenarnya?
Ada yang penasaran dengan kehidupan Reyna di masa lalu?
Semuanya akan terjawab ke depannya, pantengin terus ya🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top