Bab 23

Mata Ridho perlahan terbuka, tak ada kokokkan ayam ataupun suara gaduh dari kucing tetangga. Hanya terdengar suara samar-samar dari jangkrik dan sisanya keheningan.

Remaja itu perlahan bangun dari kasur dan meminum air putih yang ada di meja kecil persegi sebelah kasurnya.

Setelah tegukan terakhir, Ridho bernapas lega dan melihat sekeliling ruangan. Teman-temannya sudah tak ada lagi di kasur mereka, ranjang itupun sudah rapih kembali.

"Ini gue yang kesiangan apa mereka yang terlalu bersemangat?" Ridho bertanya ke dirinya sendiri.

Namun, ya sudahlah. Ia memasang sepasang sendal bentuk buah miliknya, karena permukaan rumah Nenek Reyna masih berupa tanah.

Ridho beranjak keluar rumah dan terlihat Reyna dan lain-lainnya sedang membersihkan lapangan yang ditumbuhi rerumputan kecil. Roy yang mencangkul tanah dan San membereskan pagar rumah yang mulai goyang.

"Rid, bantuin gue angkat ini," seru Reyna yang berada tak jauh dari sana. Ia sedang mengumpulkan rumput yang telah lepas dari akarnya dan mengumpulkannya di tong sampah.

"Ah, iya." Ridho pun langsung menghampiri dan mengangkat tong tersebut. Mereka membuang tongnya tak jauh dari dari halaman rumah—sudah disediakan bak yang terbuat dari batu bata merah dan dilapisi semen untuk membakar sampah itu.

"Jadi, abis ini kita mau ngapain, Reyn?" tanya Ridho setelah membersihkan tangannya dari tanah dan debu.

Reyna malah mengangkat kedua bahunya. "Tau! Pikir aja sendiri. Salah siapa yang mau ngikut ke sini. Gue rada sibuk sih, jadi gak bisa nemenin kalian keliling kampung."

"Dih, jahat lo! Ntar kalo gue ke sesat gimana? Terus, tau-taunya udah keluar desa gimana?"

Reyna mendengus heran. "Desa ini udah di kelilingi pagar pembatas. Asal lo gak lewat pembatas, itu udah aman banget. Lagian cuma satu kampung yang nggak gede-gede amat. Ya kali kesesat."

Gadis itu pun pergi begitu saja, tanpa memberikan Ridho untuk bicara. Ia mengunjungi Roy dan yang lainnya. Memberitahukan bahwa sebentar lagi ia akan melaksanakan tugas pertamanya. Reyna tidak memberitahu secara spesifik, tetapi semuanya memaklumi hal itu. Toh, mau dijelaskan pun, belum tentu mereka mengerti.

Reyna masuk kembali ke rumah neneknya. Semua orang kembali ke kesibukannya masing-masing. Nurul dan Afsari juga begitu bersemangat menyiram tanaman bunga di teras.

"Eh, jalan-jalan yuk!" seru Ridho dari jauh, melambaikan tangannya ke atas.

Roy menoleh dan membalas. "Ntar, abis pekerjaan ini. Kalo mau cepet, bantuin sini."

"Iya-iya."

Ridho pun membantu pekerjaan Roy yang sudah hampir selesai itu. Hanya butuh waktu sebentar dan semua pekerjaan mereka pun beres.

"Siapa yang nyuruh ngerjain kek ginian sih?!" tanya Ridho sambil menghapus keringat di dahinya.

"Reyna." Semuanya kompak menjawab.

"Terus, kalian mau aja gitu?"

Semuanya mengangguk.

Ridho hanya menghela napas panjang. "Ya udah, yuk jalan-jalan. Udah keburu siang nih keknya."

"Dih, lo yang bangun kesiangan juga. Coba kalo lo bangun lebih cepet, gak mungkin juga bakal lama kek gini." Roy menyindir.

"Tau tuh." Sambung Afsari. "Tidur udah kek sapi aja."

"Sttt!" Nurul tiba-tiba bersuara. "Udah ah, ngobrol mulu. Yuk jalan-jalan."

Setelah membereskan pekerjaan, mereka pun mulai berjalan-jalan di desa Senyuman. Tak begitu ramai, kebanyakan penduduknya hanya berberes di area rumah mereka sendiri. Tak ada satupun rumah yang memelihara hewan ternak. Suara jangkrik masih nyerang terdengar sejak tadi.

"Nih Desa kek masa lampau banget," komentar Roy sambil melihat-lihat rumah penduduk yang masih terbuat dari papan kayu.

"Bener." San menyambung. "Berasa nonton film kerajaan."

Tak jauh di depan mereka, ada pedagang perempuan lanjut usia yang sedang menopang dagangannya di kepala.

Tak lama juga, perut Ridho berbunyi cukup keras. Ia pun baru menyadari jika pagi tadi tidak sempat sarapan.

"Mau beli dagangan Embah itu nggak?" tawar Ridho sambil menunjuk orang yang dimaksud.

"Boleh tuh." Roy menyetujui, baru kali ini mereka akur. "Kebetulan tadi pagi cuma sempat minum air putih doang."

"Embah!" panggil Ridho, berharap orang itu menyadarinya. Untunglah pedagang itu peka dengan keadaan dan menoleh ke belakang.

Mereka semua segera menghampiri Bibi itu. Sang Bibi pun menurunkan jajanannya ke tanah. Terlihat berbagai macam khas kue, bolu, sampai ke makanan yang dibungkus pelepah pisang pun ada.

"Bi—Embah, ini semua makanannya halal, 'kan?" tanya Nurul yang ternyata masih belum terbiasa menerapkan panggilan itu.

"Iya, Dik. Semuanya halal kok. Silahkan di ambil." Bibi ini berbicara dengan aksen jawa.

Roy mengambil kue bolu lima bungkus, San mencoba makanan pelepah pisang yang ternyata isinya adalah nagasari. Sedangkan yang lainnya mencoba kue bolu kukus yang berwarna-warni.

"Bagaimana, Dik? Embah harap, kalian menyukainya," ucap Bibi itu dengan senyuman di wajahnya.

"Enak kok, Embah. Harganya berapa ya?" tanya Nurul yang masih memegang kue kukus berwarna merah muda itu.

"Nggak perlu bayar, Dik. Makanan ini gratis. Kalian pengunjung baru ya di sini?" katanya lagi.

Semuanya mengangguk. "Iya, Embah, baru sampai kemarin. Kami menyinap di rumah Embahnya Reyna. Embah kenal?"

Bibi pun tampak berpikir dan mengingat-ingat, siapa yang Ridho maksud barusan. "Oalah, Cucunya Embahku. Kalian mesti orang kota, ya toh?" (Kalian pasti anak-anak kota ya, kan?"

"Iya, Embah."

"Pasti ayu toh ya, si Reyna iki?"
(Pasti cantik ya, si Reyna ini?)

"Hehe, iya Embah."

Afsari pun berbisik. "Eh, Rid, lo tadi iya-iya aja. Emang lo ngerti Embah ini ngomong apa?"

"Ora bisik-bisik, aku krungu loh."

"Nah loh, Af. Embahnya bisa denger." Ridho memperingati.

"Wes lah, aku ngomong bahasa kota saja, biar semuanya paham."

Semuanya hanya tersenyum canggung.

"Si Reyna sudah ngasih tau kalian semuanya, 'kan? Tentang peraturan di desa ini?"

"Iya, Embah."

"Oalah, ya udah. Harap patuhi yo, biar selamat. Hehe." Entah apa maksud dari Bibi itu, dia hanya tersenyum lebar seolah kalimatnya tadi hanyalah lelucon.

"Iya, Embah. Kalau begitu, kami mau lanjut melihat-lihat, boleh?" tanya Nurul dengan penuh sopan santun.

"Yo wes, mari. Aku juga mau ke rumah Embahku satunya."

"Makanannya beneran gratis, Embah?" tanya Ridho lagi, memastikan.

"Iyaaa, adikku sayaaang."

"Ijin ambil beberapa lagi, Embah."

"Silahkan."

Ridho pun mengambil beberapa kue bolu kukus yang ia genggam di tangannya. Setelahnya Bibi itupun pergi. Agar tidak mendahului jalan Bibi itu, mereka pun duduk di meja panjang tak jauh dari sana.

"Itu sistemnya gimana ya? Kayak jualan, tapi gratis?" tanya Ridho tak habis pikir.

"Mungkin emang udah tradisi kali, Rid. Kita liat aja besok, masih gratis atau berbayar. Kayak sales biasanya, dikasih gratis dulu, kalo udah nyaman. Baru muncul wajah aslinya," balas Afsari.

***

Hallo Horrores, semuanya.

Gimana pendapat kalian tentang chapter ini? Terbayangkan gimana kondisi desanya?

Kalau enggak, berarti aku gagal dalam mendeskripsikannya dan perlu latihan lagi.

Jangan lupa VOTE dan KOMEN ya Guys.
Terima kasih banyak sudah membaca❤️❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top