Bab 22
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam desa Senyuman:
1. Dilarang memotong yang lebih tua. Apapun alasannya.
2. Hanya memanggil Embah, bukan Nenek, ataupun Buyut untuk semua perempuan yang sudah berada di atas 50 tahun.
3. Dilarang keluar desa, terlebih dengan alasan untuk menemui orang asing.
4. Jangan menolong siapapun di luar pagar.
Reyna pun mulai menjelaskan setiap pointnya dengan rincih. Pertama, dilarang memotong yang lebih tua. Peraturan ini dibuat untuk agar tidak ada ketidak sopanan dalam beraktivitas sehari-hari. Menurut mitos yang dipercaya, orang yang melanggar hal ini, akan mendapatkan musibah dirinya beserta keluarganya.
Ridho merinding seketika. Baru membayangkannya saja sudah benar-benar tak masuk akal. Bagaimana bisa memotong jalan orang lain akan menjadi petaka bagi keluarganya?
"Lanjut, Reyn!" pinta Roy yang masih menyimak dengan serius.
Reyna menambah acungan jarinya yang sebelumnya hanya satu dengan wajah yang tak berekspresi.
Kedua, peraturan ini memiliki sejarah kelam, dimana ada pertumpahan darah akibat, tersinggung saat dipanggil tua bangka. Kata Embah dipilih karena dianggap sebuah panggilan yang sangat sopan. Hingga akhirnya dijadikan sebutan untuk para Perempuan tua. Hal ini tidak menimbulkan kontroversi apapun. Semua warga menerimanya.
"Ah, begitu." Kali ini Nurul yang merespon dengan senyuman kecil di wajahnya. "Senang mendengar warga desa bisa akur satu sama lain."
"Iya nih, nggak kek Kucing sama Kodok ini." Afsari menyindir dua cowok yang selalu bertengkar dimana pun mereka berada.
"Lo nyindir, Af? Mon maaf ya, Kucing gak suka makan Kodok!" Ridho yang tersindir pun membalasnya dengan ketus.
"Dih! Siapa bilang lo kucing? Dari segi manapun, lo tuh paling cocok jadi Kodok." Afsari terbahak-bahak diikuti dengan tawa yang lainnya.
Wajah Ridho seketika cemberut. Lagi-lagi dia dijahili. Ingin membalas tetapi semua orang mengejeknya.
"Gosah marah, Rid. Ntar Nenek di pojokan sana ngerasukin lo." Reyna memperingatinya.
"Hah?!" Ridho terkesiap. "Serius lo, Reyn?"
"Masih gak percaya? Sini gue buka lagi mata batin lo."
Ridho mendekap selimut tipis itu tubuhnya. "Ampun, Reyn! Nggak deh, gak jadi ngambeknya."
Reyna tidak berbohong. Memang ada sesosok nenek-nenek berambut putih panjang yang memperhatikan mereka sejak tadi di pojok ruangan. Reyna sudah berusaha untuk berkomunikasi dengannya, tetapi tak ada respon apapun.
"Oke kita lanjut."
Ketiga, Dilarang keluar Desa tanpa ijin. Peraturan ini dibuat demi kenyamanan bersama dari gangguan makhluk gaib yang selalu bergentayangan diluar desa. Sudah banyak anak kecil hilang karena kabur dari desa. Menurut pengakuan dari saksi mata, ia melihat anak-anak itu berjalan ke dalam hutan yang dipenuhi semak belukar. Mereka berjalan dengan tatapan kosong dan tak pernah kembali lagi, meski sudah bertahun-tahun.
"Jangan-jangan, itu cuma akal-akalan orang tua aja kali. Biar anaknya gak bandel." Kali ini, Roy sedikit tak mempercayai hal tersebut dan mencoba berpikir secara logika.
"Anggaplah jika itu hanya dongeng semata, tetapi kenapa anak yang berhasil keluar desa tak pernah kembali?" Reyna membalas.
Roy hanya terdiam. Ia tak bisa membantah fakta itu.
"Jadi, maksud lo, Reyn, ada hantu penculik anak di sekitar sini?" tanya Afsari setelah melihat Roy yang cukup lama terdiam.
"Bukan hanya anak-anak. Orang dewasa yang mengambil air saat sedang krisis sumur pun juga ikut hilang. Padahal mereka berkelompok. Bukankah mustahil tak ada satupun yang kembali? Sejak saat itu, tak ada lagi yang berani keluar dan peraturan ini pun dibuat."
Semuanya mengangguk paham.
"Point selanjutnya!"
Ridho membuka selimutnya dan menyimak dengan serius. Ini momen yang ia tunggu sejak tadi.
Keempat. Jangan menolong siapapun di luar pagar. Banyak roh gentayangan yang ada di sekitar desa Senyuman. Roh itu tak dikubur dengan layak. Rohnya menjadi tak tenang dan suka mengganggu warga desa. Pernah kejadian hampir saja warga menolong seseorang diluar desa. Namun, dia menjadi gila dan terpaksa di penjara. Namun, orang itu malah mencekik lehernya sendiri hingga tewas. Saat itu warga hanya berpikir jika kejadian ini hanyalah kebetulan semata. Namun, tak lama setelah peristiwa itu, terjadi lagi hal yang sama. Ia juga menjadi gila dan lagi-lagi mengharuskan mereka untuk memenjarakannya.
"Orang ini tangannya diikat. Dia masih idup sampe sekarang. Tapi cuma orang-orang tertentu doang yang bisa berkunjung."
Tak ada respon, semuanya menyimak dengan serius dan menunggu kalimat selanjutnya dari mulut, Reyna.
"Makanya, pas Nurul bilang kalian di kasih tau jalan sama Kakek dipinggir jalan gue malah bingung. Jangan-jangan kalian di ganggu makhluk halus?"
Roy menggeleng. "Nggak kok, kakek itu baik. Jenggotnya putih tebal, dia juga pakai topi berbahan jerami gitu, tapi sakunya dipenuhi ulat."
"Nah iya, ulat bulu gitu. Ihh!" Afsari yang kembali mengingat kakek itu merinding. Ia sangat alergi dengan hewan berbulu, apalagi ulat.
Roh nenek-nenek yang sejak tadi diam, kini melototi mereka dengan mata merah yang bersimbah darah merah kental. Ia tiba-tiba sudah berada di belakang Roy dan memandangi punggung remaja itu.
Reyna yang menyadari hal itu pun terkejut. "Embah, apa yang—"
Roy tiba-tiba jatuh pingsan. Untunglah dia terjatuh di pangkuan Nurul. Semua orang panik dan bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi.
"Nenek tadi, merasuki tubuh Roy," kata Reyna lemas. Tubuhnya bergetar, mulutnya terasa kaku. Semua Indranya mati rasa.
"Apa?!" respon yang lainnya. Mereka mencoba menyadarkan Roy.
Remaja itu membuka matanya cepat dan memandangi Reyna dengan tatapan melotot. Posisi kepalanya masih di pangkuan Nurul.
"Kenapa kau kemari?" tanya Roy dengan nada suara yang berbeda jauh. Itu lebih mirip suara nenek yang serak basah.
"Reyna ingin memperdalam il-Ilmu, Embah." Reyna menjawabnya susah. Mulutnya benar-benar sulit digerakkan.
Ridho, Afsari, San, serta Nurul yang mendengar suara Roy benar-benar terkejut dan panik. Bagaimana bisa remaja itu mengeluarkan suara seperti itu?
"Lalu, apa urusan mereka di sini?!"
Angin dingin mulai berhembus pelan, memasuki sela rumah kayu itu. Api obor pun mulai menciut kecil.
"Ha-Hanya berkunjung, tidak memiliki alasan lain."
"Benarkah kalian bertemu kakek-kakek itu diluar desa?"
"Begitulah Embah, menurut pengakuan teman saya."
"Baiklah. Terima kasih banyak, Cu."
Angin bertiup kencang, hingga obor pun padam serentak dan ruangannya menjadi gelap gulita. Tak lama kemudian, obor tiba-tiba kembali menyalah dengan Roy yang sudah berdiri seperti semula.
Roy perlahan membuka matanya. Ia memandangi seluruh temannya dan bertanya-tanya apa yang barusan terjadi? Ia seketika kehilangan kesadarannya.
"Lo dirasukin," ucap Reyna lirih.
"Hah? Sejak kapan?"
Roy beralih ke yang lainnya. "Hei, jawab dong!"
Namun, tak ada yang keluar dari mulut mereka setelah itu....
***
Maaf ya, ceritanya rada macet. Soalnya masih harus riset ini-itu biar nuansa seramnya berasa. Btw gimana menurutmu chapter ini? Apa sudah tergolong cukup seram? Coba komen ya...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top