Bab 21

Setelah cukup jauh melewati rimbah hutan yang amat panjang. Akhirnya perjalanan mereka mencapai titik tujuan. Tepat di depan mereka ada gerbang dengan tulisn "Desa Senyuman."

Semuanya beranjak turun setelah Roy memarkirkan mobilnya di sekitar pagar kayu yang dijadikan pembatas antara desa dan hutan.

"Reyn, bangun yuk, udah sampe nih."

Reyna menggeliat tubuhnya, matanya membuka sedikit dan berusaha mengenali siapa yang membangunnya barusan.

"Nurul?"

Orang di depannya mengangguk. Reyna menghela napas lega, tidurnya sangat nyenyak. Tidak ada mimpi aneh maupun gangguan gaib lainnya. Reyna melihat ke luar mobil, ia sedikit terkejut karena tampak mengenali lokasi ini.

"Kalian udah sampe? Wih, hebat bener bisa ketemu tanpa bantuan gue."

"Ah iya, Alhamdulillah, Reyn, sebenarnya tadi tuh mutar-mutar sampe pusing sendiri. Untung aja ada kakek-kakek dipinggir jalan yang ngasih tau lokasinya."

"Kakek-kakek?" beo Reyna.

"Ho'oh, kenapa emang?"

Reyna menggeleng setelah terdiam cukup lama. "Yuk turun, sumpek bener di sini, mana panas pula."

Keduanya pun turun. Terlihat rambut Roy yang acak-acakan, Ridho pun sama.

"Kalian kenapa?" tanya Reyna polos.

"Kenapa?" Ridho menjawabnya dengan kesal. "Buat nemuin desa ini, kek nemuin harta karun, tau gak? Ha!"

"Salah siapa gak bangunin gue."

"Gue mau bangunin, tapi mereka gak ngasih."

"Mereka?" Reyna menerka-nerka siapa, kemudian dia menoleh ke Nurul dan Afsari. Keduanya yang menyadari pandangan Reyna pun hanya tersenyum lebar.

Reyna mengerti situasinya, tidak perlu dijelaskan karena hal itu sudah sangat jelas. Reyna yakin kenapa Nurul dan Afsari bersikeras melarang keduanya, tidak pasti tapi tidak bukan karena menganggu cewek remja itu sama dengan membangun singa yang kelaparan.

"Ya udah, yok masuk. Tapi gue punya satu syarat. Ringan kok," kata Reyna memperingati semuanya.

"Apa?"

"Panggil semua nenek di sini dengan sebutan Embah. Mereka kurang suka dipanggil nenek, gue juga gak tau alasannya. Nilai plus jika kalian memakai kata 'Saya'."

Setelah memberi peringatan itu, Reyna mulai masuk desa, diiringi yang lainnya. Desa itu cukup sepi, rumah pun semuanya terbuat dari kayu, tidak ada satupun yang memakai semen di pondasi rumahnya.

"Lewat sini," tuntun Reyna, ke sebuah lapangan depan rumah yang sudah cukup tua. Dengan ciri khasnya yang bernuansa jaman dahulu. Sedikit seram, bahkan tak ada bola lampu yang terpasang, semuanya masih memakai obor bambu.

"Punten, Embah, cucumu Ade kat sini."
Reyna mengetuk beberapa kali. Kemudian menunggu.

Tak lama, pintu terbuka dan terlihat Nenek tua yang rambutnya sudah dipenuhi uban. Keriputnya ada dimana-mana, namun bibirnya masih terangkat, lebar.

"Cucu," kata Nenek itu kemudian memeluk Reyna dengan kehangatannya. Kemudian melepasnya dan bertanya, "Apa mereka semua temanmu?"

"Bener, Embah. Semuanya teman Reyna."

"Ah, begitu. Ayo masuk." Nenek Reyna mempersilahkan semuanya ke dalam. Yang lainnya memberi hormat kepadanya dan masuk ke dalam rumah. Jendela persegi panjang itu dibuka agar sinar matahari mencahayai ruang tamu di rumah tersebut.

"Mari duduk," ajak Nenek yang terlebih dahulu duduk. Mereka semua duduk di atas anyaman bambu yang berbentuk sofa. Di tengahnya ada meja kecil dengan boneka kayu di atasnya.

Bentuk boneka kayu itu sedikit menyeramkan, terlebih lagi matanya yang berwarna merah cerah, sama seperti warna dinding rumah itu.

"Cucu, perlu bantuan apa sama, Embah? Teman-temanmu ini, mereka hendak Semedi?"

"Ah tidak, Embahku." Reyna menggeleng dan menyangkal itu. "Reyna hanya ingin memperdalam ilmu pengetahuan. Teman-teman Reyna mau membantu sedikit dalam prosesnya."

Nenek mengangguk paham. "Cucu tidak perlu melencengkan kata-kata, Embah sudah tau kalau mereka mengetahui kemampuan indigomu."

Semuanya terkejut, padahal rencananya Reyna hendak berpura-pura seperti tidak ada yang mengetahui indigo mereka.

"Bag-Bagaimana, Nen—maksud saya, Embah bisa tau?" tanya Roy gelagapan, ia berpikir yang tidak-tidak.

Nenek tersungging. "Dari ekspresi kalian, nampaknya sudah terbiasa dengan nuansa seperti ini. Apa kalian semua memiliki banyak pengalaman dengan Cucuku, Reyna?"

Pertanyaan dari nenek barusan seolah mengguncang hati mereka. Semuanya terdiam, tak ada yang berani menjawab.

"Y-Ya, seperti itulah, Embah. Pada intinya, mereka hanya berkunjung ke desa ini." Reyna akhirnya menjawab, meski terbata-bata.

"Cucuku sudah siap dengan konsekuensinya?"

Reyna mengangguk. Nenek tak lagi melontarkan pertanyaan, ia memiliki beranjak dan pergi dari ruangan itu begitu saja.

Semuanya menghela napas lega. Yang barusan benar-benar mencekam, bahkan menarik napas pun susah.

"Konsekuensi apa yang dimaksud sama nenek lo, Reyn? Kok gk ada pas perencanaan."

Reyna menoleh ke Roy yang bertanya. "Biar gue yang urus. Nanti malam kita diskusi ya. Ada beberapa hal yang harus gue sampaikan ke kalian."

"Oke."

***

Matahari pun menyudahi tugasnya dan digantikan dengan Rembulan yang begitu terang malam ini.

Reyna dan yang lainnya ada di sebuah kamar besar dengan empat ranjang tidur. Masing-masing ranjang bisa untuk dua orang. Kamarnya hanya di hiasi dengan obor api di segala sudut serta lemari kaca yang sedikit besar dan usang.

"Ini ruang gak pernah dipake kah, Reyn? Rada berdebu soalnya," tanya Nurul yang membersihkan dalam lemari itu. Ia menyimpan barangnya di sana.

"Yaps, bener Nurul. Dulu banyak yang datang ke desa ini, cuma karna sekarang desanya terlalu jauh dari pemukiman penduduk, itu sebabnya kamar-kamar tamu menjadi usang."

Semua orang tak begitu mengerti dengan apa yang baru saja Reyna ucapkan.

"Maksudnya, Reyn?" Nurul meminta penjelasan.

"Maksudnya, dulu banyak desa di sekitar sini, tapi sekarang desa itu dah hancur dan berubah menjadi hutan rimbah. Dulu-dulu sekali, ada bencana kebakaran dan semua yang selamat berkumpul di desa ini."

Akhirnya, setelah penjelasan Reyna barusan, kata-kata ambigu barusan bisa dimengerti.

"Eh, sampe lupa kalo mau diskusi malam ini."

"Tunggu Reyn, sebelum itu, gue masih penasaran dengan kebakaran yang lo sebutkan barusan." Roy memotong.

Reyna menoleh santai. "Ah, kalo soal itu, cuma sebatas itu yang gue tau. Kalo mau lebih detail, mungkin bisa bertanya langsung ke Embah. Mulai biasakan ya, mereka tak akan memberikan pengecualian."

Semuanya setuju.

"Oke, lanjut ke diskusi malam ini. Pertama, kita tidak boleh memotong jalan yang lebih tua, istilah mudahnya, jangan berlarian di dalam desa. Kedua, seperti kataku barusan, semua perempuan tua di desa ini, disebut Embah, tidak ada panggilan lain. Ketiga, dilarang keluar desa tanpa ijin. Setidaknya beritahu Embahku ataupun orang-orang terdekat. Terakhir dan paling penting, jangan menolong siapapun di luar pagar desa."

"Kenapa memangnya?" potong Ridho ditengah penjelasan Reyna.

"Sabar, kita akan mulai bahas lebih rincih dari point pertama."

"Ah...." Ridho menghela panjang, ia kecewa jika harus menunggu selama itu...

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top