Bab 15

Di sudut jalan, seseorang mengenakan pakaian badut dengan wig besar kribo di tangannya. Ia berjalan lurus tanpa memperdulikan kerumunan orang di malam hari yang penuh dengan cahaya.

Seseorang yang sedang berlarian menabrak bahunya, ia pun terjatuh dengan pantat. Sang penabrak bukannya minta maaf, malah mencacinya.

"Kalo jalan tuh pake mata! Dasar badut sialan!"

Remaja laki-laki itu berlalu pergi setelah mengatakan hal hina tadi. Sang aktor badut berlahan bangkit dengan desahan panjangnya.

Hari ini, dia baru saja dipecat dari pekerjaan badutnya. Penyebabnya hanya tak mencapai target bulanan. Padahal ia sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun, takdir berkata lain.

Lelaki badut itu berada di perempatan. Tanpa ia sadari, sudah berjalan sejauh ini. Dia melihat kiri-kanan, berusaha mengenali dimana lokasinya berada sekarang.

"Eh, ini kan sudah hampir ke jembatan. Astaga, kejauhan banget jalanku."

Segeralah dia berlari ke arah kanan, tetapi dari lorong sempit antar bangunan, ada yang menariknya secara paksa. Memaksanya masuk ke kegelapan.

"Ketemu juga akhirnya," ucap suara berat itu. Badannya tinggi dan lengannya penuh otot. Di dahi kirinya ada tatto api.

Si badut terkejut mendengar suara itu. Badannya seketika gemetar, kakinya mendadak kaku. Badannya panas dan berkeringat, perlahan menghapus make up putihnya.

"Masih inget kan, sama gue?" lanjut suara tadi. "Kalo gue ngomong tuh hadap ke sini!"

Dia menarik paksa dagunya dan menatap penuh sinis. Bibirnya tersenyum lebar, matanya benar-benar tajam di dalam kegelapan.

"Be-beri aku waktu Bang ...," kata si badut gelagapan. Mentalnya sudah menciut.

"Lagi? Lo dari dulu selalu ngomong kayak gitu. Udah hampir setahun ngilang, masih juga ngomongin hal yang sama? Lo pikir gue apa, HAH?!"

"Kal-kali ini ja, Bang. Please Bang."

Si preman botak itu mengocek saku celananya dan mengeluarkan dua botol tablet obat di tangannya.

"Boleh kok, asal lo mau minum obat ini." Bibirnya terangkat.

Badut memandangi tablet obat itu. "Itu obat apa, Bang?"

"Gosah banyak tanya ya! Lo mau keringanan waktu, 'kan?"

Akhirnya si badut meneguk obatnya tanpa air. Si preman bernapas lega serta tersenyum penuh arti.

***

Reyna perlahan terbangun, setelah semalam ia berpikir keras siapa yang mengirim santet kepadanya. Masih banyak hal yang harus Reyna analisis. Jadi, dia tak boleh bermalas-malasan.

Di dekat jendela ruangan, terlihat Nurul yang merapihkan jilbab sekolahnya di depan kaca. Begitu dia menyadari Reyna sudah bangun.

"Reyn, udah bangun?" Nurul melihat dari pantulan kaca.

Reyna menyingkirkan selimut hangat itu dan perlahan bangkit dari ranjangnya. "Iya nih, gue nggak bisa cuma sekedar tiduran doang. Yang ada gue bakal kena santet lagi."

"Reyna mau kemana?" tanya Nurul saat melihat sahabatnya itu menuju ke kamar mandi.

"Sekolah lah, masih sempet, 'kan?"

"Yo!" Tiba-tiba Ridho masuk tanpa mengetuk. Dia sedikit terkaget dengan Reyna yang sudah beranjak dari tempat tidurnya. "Eh, udah sadar aja lo, Reyn. Gimana enak?"

"Hah? Apanya yang enak?" tanya balik Reyna.

Ridho terdiam sesaat. "Nggak jadi deh, lo orangnya pendendam. Males gue."

"Oh ya udah."

Reyna pun melanjutkan langkahnya dan menutup kamar mandi itu. Sementara Ridho kembali ke ruangan tengah dan menyantap roti selai kacangnya.

Tak lama Ridho duduk, Roy muncul dari arah dapur dengan membawakan jus buah. Di belakangnya ada San yang mengantongi berbagai macam buah-buahan segar.

"Lah tumben, Roy. Ada apa nih?" tanya Ridho penasaran.

"Gosah Ge-Er lo! Nih semua buat Reyna. Lo yang sehat wal'afiat jauh-jauh." Roy mengusir dengan gerakan tangannya.

"Udah-udah, kalian tuh ya ...."

Afsari langsung menawarkan buah apel segar ke hadapan Nurul. Ia terdiam kemudian mengambilnya. Itu adalah isyarat Afsari agar Nurul tidak mengocehi mereka.

Semuanya sibuk dengan sarapan masing-masing. Sambil menunggu jam berangkat sekolah yang pas, Ridho menyalahkan televisi untuk mengisi kebosanan.

Sudah sering berganti siaran, tetapi tak ada yang cocok dengan selera Ridho. Reyna yang entah kapan sudah selesai mandi merebut paksa remot TV itu. Ridho pun terkejut dibuatnya.

"Reyn! Orang lagi nonton kok direbut sih?" tanya Ridho sedikit kesal.

"Nonton apaan nggak sampe 5 detik, siarannya udah diubah. Mending nonton berita gih."

Reyna menetapkan siarannya ke acara berita pagi.

"Ditemukan mayat seorang pria yang tidak dikenali identitasnya," kata si penyiar. "Tubuh korban ditemukan dalam kondisi organ dalam hilang, seperti jantung, paru-paru, bahkan ginjal. Terletak di ...."

"Loh, bukannya itu dekat dengan tempat klien kita selanjutnya?" tanya Reyna sedikit mengingat.

"Kalau semisal benar, lo mau apa, Reyn? Mau ngebatalin kliennya kah?"

"Ngomong ngelantur apaan lo, Ridho. Justu lebih seru jika ada pemakaman, gue berkesempatan dapat job lebih banyak."

Ridho hanya menghela panas panjang, dia menyenderkan punggungnya. "Job mulu yang lo pikirin, Reyn. Santet kemaren gimana? Udah ketemu pelakunya?"

Reyna melirik Ridho cepat. "Lo kira gue apaan, Rid. Nyari pelaku santet nggak sesimple nyari hantu kali. Kalo ketemu pun belum tentu dia mau ngaku. Tapi gue udah punya penangkalnya sekarang. Udah lah ah, mending lanjut sekolah."

Reyna tiba-tiba melempar remot itu ke arah Ridho. Ia pun menangkapnya gelagapan. Untung saja remot itu berhasil menangkapnya. Kalo tidak, bisa-bisanya San marah.

Tak sengaja Ridho melirik jam dinding, dan sudah menunjukkan pukul 07.10. Seketik Ridho beranjak dari sofanya dan mengambil sepasang sepatu dan segera mengenakannya.

Setelah selesai, Ridho membuka pintu terburu-buru, terlihat teman-temannya yang sudah bersiap di dalam mobil. Termasuk Reyna yang tersenyum miring.

"Kampret lo semua!"

Segeralah Ridho berlari ke arah mobil dan masuk.

"Lah, gue kira lo nggak jadi sekolah, Rid," sindir Roy yang memegang kendali mobil.

Ridho mendecih. "Bilang ae mau ninggalin."

Terlihat wajah Ridho yang sangat jutek dan merajuk. Dia seketika kesal dengan semua orang. Apalagi disindir Roy barusan.

"Dih, merajuk. Gampangan banget lo jadi lakik! Bercanda Ridho, lo nggak bisa diajak main-main ya."

"Bercandaan lo nggak lucu, tau gak?" Ridho menyilang kedua tangannya di dada. Muka cemberut malah membuatnya jadi peminim.

Yang lainnya hanya bisa geleng-geleng karena kelakuan Ridho ini. Termasuk Reyna yang sudah tau hal ini akan terjadi.

"Ridho, lo yakin mau ngambek kek gini?"

Tak ada jawaban dari Ridho.

"Serius nih nggak mau ngejawab?"

"Apa sih, Reyn? Orang lagi kesel juga."

Reyna membulatkan mulutnya membentuk huruf O tanpa suara. "Ngomong-ngomong, kalo gue buka lagi yang kemaren sabi lah ya?"

"Yang kemaren apaan? Lo ya Reyn, tambah lama tambah ngeselin."

"Oke gue buka lagi mata batin lo!" Reyna berusaha memegang kepala Ridho, tetapi dengan cepat laki-laki berkulit putih itu menyembunyikan kepalanya.

"Reyna, lo tuh kek ANJ****"

***

Hallo, Horrores, besok ada cerita baru loh. Kira-kira kalian penasaran nggak?😌
Nih yah, aku spill dibawah. Tenang, bukan horor kok. Tapi Teenfic—Romance.

Blurb:

"Kenalin! Ini selingkuhan gue."

Gimana perasaan lo ketika, ada cowok asing yang tiba-tiba merangkul pundak lo dan berkata demikian? Pasti Ilfil, 'kan? Begitu juga dengan Clara yang tiba-tiba di pertemukan dengan Garry dalam situasi seperti itu.

Clara Amelia, siswa pindahan karena ayahnya baru saja di mutasi ke pulau Sumatera. Dia anak tunggal, dan sang Ayah menyekolahkannya di sekolah Elit, berharap Clara bisa mempunyai masa depan yang baik.

Garry Alexandre. Orang tuanya adalah donatur sekolah, para siswa tidak menyukainya karena berbuat seenak jidat. Sering bolos, tidak pernah ikut upacara, bahkan dia tidak pernah di hukum oleh para Guru.

Apa jadinya jika Clara menjalani hubungan palsu dengan Garry? Apa respon para siswa? Bisakah mereka menerima kenyataan itu? Tentu tidak bagi Salwa, sang Mantan Garry.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top