Bab 14

"Reyn!"

Semua mendekat, panik sekaligus lega. Teman yang mereka khawatirkan akhirnya membuka matanya sedikit. Dengan kondisi lemah dan tak bertenaga. Walaupun Reyna itu ahli dalam hal horor, bukan berarti dia kuat terhadap pengaruh gaib.

"Gengs, untuk saat ini, kita biarkan Reyna beristirahat ya. Pasti kondisinya drop parah," saran Nurul yang diikuti anggukan lainnya.

"Ya udah, kalo gitu gue pindahin Reyna ke kamarnya." Setelahnya Roy membopong Reyna yang setengah sadar. Tangan Reyna melingkari leher Roy. Keadaan sedikit canggung.

"Ngak papa, buat kali ini aja. Cepet Roy, aku mau beli-"

"Nih," sela San tiba-tiba, dia menyodorkan kotak P3K di tangannya. "Kubaca di internet, orang pingsan itu membutuhkan pertolongan pertama secepatnya."

Nurul menerimanya, dia tersenyum lebar ke arah San. Amat jarang melihat Nurul tersenyum seperti itu ke seorang lelaki. Selama ini memang Nurul baik ke semua orang, tapi dia memiliki senyum khas yang hanya dia tunjukkan ke orang tertentu saja. Reyna salah-satunya.

"Terima kasih banyak, San. Kalau begitu, aku lanjut nyusul Roy dulu...."

Belum sempat San merespon, Nurul sudah pergi duluan. Hijabnya mengibas di depan San. Ia sedikit merasakan hal aneh saat itu. Namun, San langsung menepisnya dan memutuskan untuk kembali ke depan laptopnya.

"Jadi, hari ini kita mau ngapain?"

"Haha, Ridho-Ridho. Kita tadi kan habis shopping, emang lo nggak capek gitu?" respon Afsari sedikit mendekat.

"Ehm...." Ridho tampak berpikir. "Entahlah, gue emang agak bersemangat akhir-akhir ini. Kalo lo, habis ini mau ngapain, Af?" tanyanya.

"Gue mau ngurus daftar minat kemarin. Untunglah ketua OSIS mengubah jadwalnya. Kalau begitu, gue tinggal dulu, Rid. Bye~" ucap Afsari sambil melambai dan berjalan pergi ke ruangannya.

"Jadi cuma gue doang yang gabut nih?! Tuhan, kasih gue kerjaan dong. Masih semangat banget ini."

"Sesajen yang kemaren diletakkan di lantai udah pada busuk. Kata Reyna wajib diganti jadi yang baru."

"San, lo ngomong sama gue kah?"

"Entahlah," kata San tanpa menoleh, seperti biasa matanya mengikuti kemana kursor bergerak. "Gue cuma mengingat perkataan Reyna."

Kentut lo, San. Bilang aja nyuruh gue gantinya. Nggak mungkin banget lo mau berurusan sama yang begituan.

Namun, karena Ridho sedang senggang, dia pun menerima tugas itu. Segeralah dia ke tempat sesajen itu dan benar, buah dan sayurannya sudah busuk. Semacam guci kecil tempat dupa itupun sudah menghitam.

"Ini persis banget kek pesugihan. Apa iya, Reyn- Nggak! Ridho, nggak boleh seuzon."

Ridho menukar buah kelapa yang sudah busuk itu dengan yang baru, begitupun sayur dan buahan yang lainnya. Soal dupe itu, Ridho tak berani mengotak-atiknya. Dia ingin main aman dan biarkan Reyna yang mengurusi sisanya nanti.

Bruk!

Suara benda jatuh membuat Ridho sedikit terkaget. Dia menoleh ke sumber suara tersebut dan melihat buku cukup tebal di lantai.

Lah, jatuh dari mana nih buku? Perasaan nggak ada rak buku di sini.

Ridho mengambilnya dan terpampang tulisan "Dunia Berbeda" dengan cover hitam dan sesosok bayangan hitam. Ridho tak begitu memperhatikan hal itu, dia malah membuka halaman pertama.

"Kami tau, kami salah. Tapi itulah jalan satu-satunya demi kebahagiaan kesayangan kami...." Ridho membaca Quote di halaman depan.

".... Wih, keren juga nih Quote. Kira-kira siapa ya yang nyimpen buku di sini? Reyna? Hm, Reyna nggak baca buku sih. Kalo Roy? Bisa jadi, tapi kan Roy nggak tertarik sama hal ginian. Afsari? Beh, apalagi tuh anak, auto dibuang nih buku."

Sementara Ridho berdeduksi, Nurul dengan sabarnya mengompres kembali handuk kecil di dahi Reyna. Kondisinya masih sama dan tak ada peningkatan yang berarti. Roy yang melihat hal itu berniat untuk membawa Reyna ke rumah sakit, tetapi Nurul memintanya menunggu sampai besok. Jika besok kondisi Reyna tetap sama, maka Nurul akan setuju dengan ide Roy.

"Hari udah mulai gelap, lo istirahat gih. Gantian, biar gue yang jagain Reyna," tawar Roy kepada Nurul.

"Nggak papa kok, aku belum kecapean banget."

"Rul ...."

"Nggak papa, Roy. Tenang aja."

Roy terdiam. Dia mengulum bibirnya ragu. Pandangannya ke bawah.

"Nggak usah sok kuat," kata Roy lirih.

Nurul yang tak mengerti ucapan Roy pun menoleh ke arahnya dengan wajah yang kebingungan.

"Maksud kamu barusan apa, Roy?"

Pandangan Roy perlahan menatap lurus ke arah Nurul. "Lo menentang semuanya, padahal ini demi kebaikan Reyna."

"Hah?"

"Kenapa lo lakukan itu? Jangan bilang kalau-"

Reyna tiba-tiba mendesah kesakitan, dia memegang kepalanya dan menarik-narik rambutnya secara kasar.

"Reyn!" Keduanya langsung panik mengetahui hal itu. Roy langsung menahan pergelangan tangan Reyna agar dia tak menyakiti dirinya sendiri.

"Reyn, sadar! Lo kerasukan apa ini?!"

"Apa, Roy? Reyna kerasukan? Kamu tau dari mana?" Balas Nurul dengan banyak pertanyaan.

"Reyna nggak mungkin mau melukai rambut silver kesayangannya," jelas Roy dengan susah payah, karena sambil menahan Reyna yang terus mengerang.

Tak lama kemudian, perlawanan Reyna berhenti. Matanya yang besar mulai mengecil. Tatapannya lurus ke depan, langit-langit.

"Reyn?"

"Thanks full, Roy," kata Reyna dengan wajah yang tersenyum senang.

"Lo baik-baik aja, Reyn? Bener kan tadi lo-"

"Yoi, tapi untunglah gue bisa ngelawan."

Nurul dan Roy saling pandang, mencoba memahami apa yang Reyna katakan.

"... Begini, lebih simpelnya, ada yang ngirim santet ke rumah ini. Gue nggak tahu siapa orangnya tapi yang pasti dia dukun berpengalaman."

"Dukun ya? Gimana caranya?"

Reyna menghela napas panjang sebelum menjelaskan, "Bisa dari berbagai hal. Salah satu kemungkinan yang paling mendekati adalah tanah. Dia mengambilnya di dekat rumah ini, kemudian memberikan hal gaib ke dalamnya dan menyebarkan tanah itu di sekitar rumah. Aku yakin tanah itu terbawa saat Nurul mengumpulkan surat-surat tadi."

Ini hanyalah deduksi Reyna. Dia hanya bisa merasakan energi gaib itu cukup besar untuk mengambil alih tubuhnya tanpa tau siapa dan bagaimana bentuk makhluk itu. Bahkan sebelum bisa melihatnya, Reyna sudah tak sadarkan diri duluan.

"Begitu. Tapi syukurlah jika lo nggak papa. Tadi tuh gue pengen bawa lo ke rumah sakit."

"Percuma, Roy. Hal semacam ini tidak bisa di periksa melalui peralatan medis. Mereka mungkin hanya akan mengatakan gue kurang berisitirahat dan memaksa untuk dirawat inap demi mendapatkan uang dari pasiennya."

"Begitu...," balas Roy lirih.

"Sekarang, gue mau menenangkan diri sejenak. Bisa tinggalkan gue sendirian?"

"Tapi Reyn!"

"Tenang saja, Nurul. Kamu tau aku lebih kuat dari siapapun bukan?"

Mendapati Reyna yang berbicara formal, itu berarti ia sangat ingin sendirian saat ini. Nurul tak punya pilihan lain selain menuruti apa yang Reyna inginkan....

***

Hallo, Horrores, lagi-lagi telat ya //tabok
Tapi tau nggak? Bulan depan aku bakal publish cerita baru, temanya Teenfic—Romance. Biasa, kayak anak sekolahan tapi dengan sejumlah masalah yang sedikit unik. Harap baca ya😆

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top