Bab 12

Berandalan itu merasa telinganya ditarik paksa dengan kasar. Dia merintih kesakitan dan meminta tolong siapa saja. Telinganya mulai memerah dan mungkin sebentar lagi akan terlepas dari kulit.

Reyna menyeringai senang melihat ekspresi siswa berandalan itu. Dia melempar sebuah bunga mawar merah ke samping secara sembunyi. Hantu itu pun terpancing dan berhenti menjewer si Berandalan. Dia mengambil bunga itu dan seketika menghilang.

"Sialan, lo! Dasar penyantet!" teriak kasarnya.

Reyna memutar bolanya malas, menggeleng pelan. "Hei, lo barusan memfitnah gue?"

"Halah, gosah ngelak. Jelas-jelas lo yang kirim santet barusan, 'kan? Sampe telinga gue kek tarik sesuatu."

"Hah? Bukannya itu tidak masuk akal?" Reyna menghadap ke siswa lain. "Bagaimana menurut kalian? Apa santet semudah itu untuk dilakukan? Gue bahkan nggak ngapa-ngapain tadi."

"Bener juga!"

"Ppttff, paling si bodoh itu sedang drama, biar dibela."

"Iya benar. Ya kali kan tiba-tiba nyantet. Nggak logika."

Dan sejumlah komentar lainnya. Reyna tersenyum sinis dan menatap kembali Berandalan itu. "Bukankah lo harusnya meminta maaf karena telah memfitnah gue?"

"Cih! Mana sudi gue!" Dia memasang tasnya ke bahu dan pergi begitu saja ke luar kelas. Siswa lainnya tampak menikmati drama pertikaian barusan.

Tring!

Jam istirahat siang pun berbunyi, semua siswa berhamburan keluar dari kelasnya masing-masing dan segera menuju ke kantin favorit. Saat ini, Reyna dan Nurul tengah duduk di meja makan kantin. Mereka memesan dua porsi bakso dan di meja mereka sudah ada 2 jus. Alpukat dan Jeruk.

"Reyn, yang barusan tadi ulahmu ya?" tanya Nurul hati-hati, takut Reyna tersinggung.

"Ya maaf, Rul. Gue kepaksa ngelakuinnya karena mengganggu suasana kelas. Kasihan juga cowok yang dia tendang barusan, sampe tersungkur loh."

"Hm, gakpapa kok. Aku juga sedikit kesal dengan siswa itu. Semoga bisa memberinya efek jerah ya."

"Semoga saja."

Tak lama, seseorang datang ke meja mereka dengan membawa nampan berisi pesanan mereka barusan. Bakso urat dan bakso telur.

"Terima kas—" kata Reyna yang terhenti saat melihat pelayan itu. "Lo! Yang tadi di kelas kan? Lo pelayan di sini?"

San yang saat itu kebingungan harus bereaksi seperti apa. Sepertinya peristiwa tadi membuatnya mencolok.

"Iy-iya," kata San pelan. "Selamat menikmati." Dia pergi dengan terburu-buru.

"Lah, kenapa tuh orang?"

"Entah Reyn. Mungkin dia malu."

"Ha? Malu? Ngapain coba malu. Toh, gue nggak minta dia nari kek idol-idol itu." Reyna tak habis pikir.

"Ya udahlah, Reyn. Yuk makan, ntar keburu bell bunyi lagi loh."

Reyna mengiyakan perkataan Nurul itu. Jika tidak buru-buru makan, bisa-bisanya dia tak menghabiskan bakso itu. Kemudian saat Reyna hendak menyuap bakso itu lagi di mulutnya, dia secara tak sengaja melihat potongan kertas di bawah mangkok baksonya.

"Apa nih?" Dia menarik kertas itu dan mulai membukanya. "Namaku San, dan aku ingin berteman denganmu. Aku tau, Anda bisa ... menggunakan hal gaib?"

Reyna mengernyitkan dahinya, sedikit terkejut. "Loh, kok dia bisa tau? Padahal mulut gue nggak gerak loh. Tau dari mana dia? Apa jangan-jangan ... dia Indigo juga?" pikir Reyna dengan banyak kemungkinan.

"Bisa jadi, Reyn. Kan biasanya anak indigo itu pendiam dan rada menutup diri."

"Nggak bisa ini, harus dicari tau. Rul, ntar sehabis dari kantin, kita samperin dia. Oke?"

"Oke. Kebetulan aku juga penasaran dengannya." Nurul menyetujui ajakan Reyna barusan.

Mereka akhirnya menghabiskan makanan itu dan segera pergi untuk membayar. Sayangnya di kasur bukanlah San yang menjaga. Jikalau begitu, satu-satunya kesempatan adalah menemuinya saat di kelas.

Mereka telah tiba dikelas, terlihat San yang melihat ke jendela, menatap awan-awan di langit biru yang cerah.

"Aha! Ketemu juga, kan lo."

San terkejut akan kehadiran dua gadis di depannya. Dia sempat hendak kabur, tetapi Reyna menahan pergelangan tangannya.

"Enak aja mau kabur. Lo itu kalo udah ngirim kertas kek gitu. Tanggung jawab lah," kata Reyna menahan marah.

"Maaf-maaf, itu ... itu cuma iseng."

"Gue nggak peduli dengan itu. Gue cuma pengen tau, gimana caranya lo bisa tau kalo gue Indigo?"

San berhenti meronta, dia kebingungan menjelaskannya. "Begini, tadi aku—"

"Aku, aku. Gosah formal juga kali sama gue. Santai Man! Coba pake gue-lo, deh."

San semakin gugup. "Gue, nggak sengaja liat lo ng-ngelempar bunga mawar tadi. Berdasarkan pengetahuan di internet, itulah ciri-ciri indigo. Yang jewer tadi, temen hantu lo ... kan?"

"Hah? Teman? Sayang sekali, gue nggak punya temen hantu. Juga, gue nggak butuh mereka."

"Tidak mungkin," balas San cepat. "Menurut seorang blogger, Indigo tanpa teman hantu tidak akan bisa hidup."

"Dih, lawak! Gue buktinya hidup-hidup ae. Makanya jangan mudah kemakan hoax."

"...."

San hanya diam. Reyna seketika merasa bersalah saat melihat San yang terdiam.

"Oh iya, katanya lo mau berteman sama gue ya? Boleh gue tau kemampuan spesial lo? Lo indigo juga, 'kan?"

San menggeleng.

"Lah? Jadi ...." Reyna akhirnya bisa menyimpulkan. San tau dirinya indigo hanya karena dia melempar bunga mawar. San bukan indigo seperti yang Reyna dan Nurul bayangkan, itu berarti dia hanya manusia biasa.

"Jadi apa, kemampuan lo?" tanya Reyna lagi. Sudah seperti mengintrogasi seorang penjahat yang tertangkap basah.

"Ak—Gue ahli dalam hacking."

"Hah? Yang bener? Lo nggak bercanda, 'kan?" Reyna meragukan kemampuan San.

"Anu, bisa dibuktikan, San?" tanya Nurul lembut.

Cowok kurus dengan rambut type Comma Hair itu mengambil Smartphone di sakunya dan memencet banyak.

"Reyna Arta Nadia. Lahir pada 12 April, ini datamu, 'kan?"

San memperlihatkan HP-nya kepada Reyna. Terpampang gambar scan Kartu Keluarga Reyna. Gadis itu tampak kaget dan terkejut. Bagaimana bisa?

"Gimana cara lo ngaksesnya? Bukannya file itu di simpan di hardisk sekolah?" tanya Reyna penasaran.

"Gue memberikan website phising kepada kepala sekolah dan dia secara tak langsung mengijinkanku mengakses seluruh file yang terkunci."

Reyna tak begitu mengerti, tapi dia mengagumi kemampuan San barusan. Demi apapun, San harus berada di lingkarannya. Kemampuan luar biasa ini bisa mendatangkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

"Oke. Lo gue terima jadi temen gue. Kenalin, gue Reyna dan gue mengakui kemampuan lo barusan." Dia mengulurkan tangannya, dan San menerimanya dengan senyuman.

"Terima kasih telah menerimaku, maksudnya gue."

Nurul tertawa kecil. "Sudah, jangan terlalu dipaksakan. Pelan-pelan saja, aku yakin nanti kamu bakal terbiasa dengan gayanya Reyna."

"Iya, terima kasih juga, Nurul."

***

"Eh, yok cabut. Makanan gue dah habis," kata Ridho setelah mengecap sisa makanan pada jari-jarinya.

"Iu, jorok banget sih lo, Ridho!" respon Roy dengan wajah jijik melihat aksi Ridho.

"Lah! Kuku gue bersih ya, nggak kek lo yang sebulan nggak gunting kuku."

"Hah?!"

***

Hallo, Horrores, maaf yak. Akhir-akhir sedikit sibuk. Maafkan juga banyak typo yang bertebaran. Semoga kalian memakluminya. See you in next, chapter!❤️

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top