Bab 10

Reyna menoleh dan melihat sesosok San yang ngos-ngosan, akibat dari mengejarnya. San jarang berolahraga, sebab itu dia mudah kelelahan.

"Lari lo cepet bener."

Alis Reyna terangkat melihat tingkah laku San saat ini. Pasalnya, anak pendiam sekaligus pemalas itu rela mengejarnya. Sungguh, ini momen yang tak pernah Reyna bayangkan.

"San? Tumben bener lo mau lari-larian."

"Ad-Ada sesuatu yang mau gue kasih tau ke ... lo," kata San, yang menarik napas panjang dulu sebelum melanjutkan omongannya Reyna.

"Hah? Apaan emang? Sebegitu pentingnya sam—"

San tiba-tiba memutarkan audio rekaman yang ada di HP-nya.

"Mas, kita harus gimana Mas! Mbak Yuni meninggal. Mas, tolong Mas...."

Suara itu terdengar histeris, suara gemericik juga mengartikan bahwa saat perekaman ini, dipegang dengan kondisi ketakutan. Reyna berpikir, mungkinkah ini rekaman Nyonya itu?

"... Aku nggak mau masuk penjara, Mas! Pikirkan nasib Andre yang bakal kesepian."

Tiba-tiba ada suara lain dalam rekaman itu. Suara bapak-bapak. "Tapi, nggak mungkin mayat Yuni mau kita biarin di sini. Yang ada orang bakal curiga ke kita."

"Terus gimana dong, Mas? Aku ... aku takut banget, Mas!"

"Cukup," kata Reyna, dia menyuruh San untuk menghentikan rekaman itu. "San, lo tau siapa Mbak Yuni yang disebutkan wanita dalam rekaman tadi?"

"Dia ART di rumah Andre. Rekaman ini diambil saat Andre menginjak bangku SMP. Sudah cukup lama, Reyn." San memberitahu.

Itu berarti ... hantu yang merasuki Nyonya itu adalah Mbak Yuni? Tapi kenapa? Motifnya balas dendam atau sesuatu yang lain? Sudah bertahun-tahun tapi Mbak Yuni tidak mencelakai Nyonya.

Apa gue tanya langsung aja, kali yak? Pikir Reyna termenung.

"Reyn?" panggil San dengan nada canggung.

Reyna tersadar dan menoleh ke San. "Boleh gue tau gimana caranya lo dapat rekaman itu?"

"Pas kita kekunci di dalam kamar Andre, gue ngeliat HP ini di pojokan kamar, tepatnya di bawah kolom kasur. Dan sandinya adalah 10-02."

"Kenapa sandinya 10-02? Bukankah itu adalah pertanda? Dan juga, HP nya tidak kehabisan batre?" Reyna malah penasaran ke hal receh.

"Tentu saja kehabisan. Cuma gue cas dulu. Makanya pas lo ribut-ribut di bawah gue nggak ngapa-ngapain. Gue bahkan nggak ikut rombongan Nurul yang pergi ke Kamar orang tua Andre untuk mencari benda kutukan."

"Hm, begitu."

"Reyn!" sorak Nurul dari jauh, dia berlarian dan terlihat kecapean. Dibelakangnya ada Ridho dan Afsari.

"Kalian?" respon Reyna ketika melihat tiga temannya itu.

Begitu sampai, Nurul langsung memeluknya erat. Kedua tangannya mendekap Reyna yang terkejut.

"Kenapa, Rul? Hantunya balik lagi?"

Nurul menggeleng. "Kamu kok tiba-tiba lari, sih? Aku panik tau, gak! Kenapa memangnya Reyn? Apa alasan kamu, lari?"

Reyna hanya bisa tersenyum ditanya begitu. Dia lari karena merasa kurang percaya diri. Padahal, kekurangan itu adalah suatu kewajaran dan itulah sebabnya ada mereka di sekitar Reyna yang penuh dengan kekurangan.

"Maaf ya. Tadi itu—"

"Gue yang suruh," tiba-tiba San memotong pembicaraan.

Nurul melepas pelukannya dan menatap San dengan wajah yang kaget. "San...."

"Ada sesuatu yang perlu gue konfirmasi ke Reyna secara diam-diam. Makanya kami lari dari sana. Benar, 'kan, Reyn?"

Reyna pun ikut kaget mendengar kebohongan San barusan. Bagaimana mungkin dia bisa membuat alasan semulus itu? Reyna saja tidak berpikir ke sana.

"Ah iya, bener! Tadi San mau nunjukin sesuatu ke gue. Coba San putar ulang rekaman tadi."

Syukurlah, Reyna bisa menetralkan kebohongan San barusan. Yah, dipikir-pikir itu tidak termasuk berbohong sih.

San pun memutar ulang rekaman tadi, kali ini sampai habis. Semuanya menyimak dengan seksama. Tak ada yang bersuara sedikitpun saat rekaman itu dimulai sampai selesai.

"Jadi, Nyonya itu dirasuki Mbak Yuni?" simpul Roy setelah mendengarkan.

"Kemungkinan besar, iya. Gue bisa memastikan hal itu saat melihat foto-foto di rumah tadi. ART mereka tidak ada di dalam foto saat Andre menginjak bangku SMA."

"Lalu, apa yang akan kita lakukan, Reyn?" tanya Nurul.

"Sebenarnya tidak ada lagi yang perlu kita lakukan. Semua informasi penting ini gue serahkan ke lo, Afsari. Silahkan manfaatkan Andre dengan informasi ini. Ancam dia bila tidak mau menuruti kemauanmu. Bila perlu, aku akan mengirimkan kembali hantu itu ke rumah tersebut."

Semuanya merinding. Otak Reyna mulai kumat lagi. Selain hobby memalak orang kaya, dia juga sering mengancam mereka. Siapapun, dia tak akan gentar jika sudah mempunyai senjata berupa informasi penting.

"Baiklah, terima kasih Banyak, Reyn. Gue bakal ngemanfaatin info ini buat nyuruh Andre ngasih informasi minat saat dia menjabat jadi ketua OSIS."

"Nggak perlu!" Andre tiba-tiba datang dengan berjalan santai. Di tangannya sudah ada kertas Map hijau. "Nih, semua data yang lo perluin. Gue bulan depan mau Sidang Skripsi, jadi nggak punya waktu buat ngeladenin kalian secara langsung. Oh iya, di sana sudah sangat lengkap informasinya. Gue jamin keakuratannya 100%."

"Bang Andre kok di sini? Mamanya gimana?" tanya Nurul penasaran, diikuti dengan raut wajah cemas.

"Mama udah nggak papa. Gue nggak nyangka kalo kalian bisa ngusir hantu itu. Padahal sudah ada Mbah Sepuh dari pedalaman yang rela datang ke rumah untuk mengusirnya, tetapi malah dia yang terbunuh. Boleh kuingat nama kelompok kalian? Aku mempunyai beberapa kenalan orang KAYA yang ada masalah dengan hal gaib." Andre sedikit menekankan kata 'Kaya' nya. Seolah sengaja agar disadari oleh mereka.

"Menarik, tapi bukan berarti kami mau menerimanya. Kami datang ke rumah lo pun sebenarnya karena meminta data Minat siswa, bukan karena bisnis ini. Jadi, bisa disimpulkan bahwa kami tak akan menerima semua tawaran yang ada. Oh iya, mengenai Mbak Yuni, gue pengen lo cari tau kebenarannya dari Mama lo. Mau apapun keputusan lo setelah itu, gue nggak peduli." Reyna membalas panjang kali lebar.

"Pasti, karena gue pun sudah sadar hal itu sejak memasuki masa kuliah. Namun, mama gue selalu menghindari pertanyaan seperti itu." Andre menjawab dengan raut yang terlihat sedih.

"Bilang saja Mbak Yuni tidak dendam sama sekali dengan Mama lo. Katanya begitu sih," balaa Reyna dengan bibir yang sedikit terangkat.

"Maksud lo?" tanya Ridho yang refleks karena penasaran.

Reyna melirik ke samping kiri. Terlihat Arwah Mbak Yuni yang mengamati mereka sejak tadi. Wajahnya penuh dengan darah, matanya hitam pekat dan banyak ulat di sekitar rambutnya.

"Liat deh samping lo!"

Ridho menuruti perintah Reyna, dan seketika....

"AAHHH!!! APAAN ITU WOY! REYNA ANJ***"

Ridho segera lari terbirit-birit, bahkan dia sempat terjungkal tetapi dengan cepat kembali berlari lagi.

***

"Mas, nih paket atas nama Reyna mau dikirim kapan?" tanya seorang bapak-bapak berbusana kurir. Dia melihat-lihat paket yang diselimuti kantong hitam itu.

"Ah iya itu, paket atas nama Reyna dikirimnya besok Bang. Sekarang kan udah malem, target juga udah tercapai. Aku mau pulang dulu, istirahat, hehe."

"Yoo, hari-hari...."

"Ngeh, Bang."

***

Hallo, Horrores, balik lagi ya sama ceritanya. Maaf ya, kali ini nggak ada action yang wow. Karena chapter ini semacam penjelasan dari chapter sebelumnya. Terima kasih yang telah ikut serta menebak. Aku sangat sayang kalian, Horrores ❤️

See you, again.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top